Kabupaten Semarang Berjuang - Pasukan Clurut (Tengaran 1947-1949)
Ketika Pasukan Belanda menduduki Kota Salatiga, masyarakatdari daerah Tengaran tidak tinggal diam. Ulama sekaligus Pasukan Sabilillah
yang dahulunya ikut berjuang dalam perang Kemerdekaan melawan tentara Jepang
bernama Kyai Mawardi, mengumpulkan pemuda dari daerah Tengaran untuk direkrut
menjadi pasukan gerilya. Pemuda-pemuda dari daerah Tengaran dikumpulkan dengan
media pengajian yang digelar di Masjid Tengaran. Dalam pengajian itu, Kyai Mawardi berdakwah tentang cinta tanah air dan jihad fi sabilillah. Para pemuda
sangat antusias mendengarkan ceramah
dari Kyai Mawardi. Pada hari itu juga, 20 pemuda yang hadir di Masjd Tengaran tertarik
dengan ajakan Kyai Maward dan membentuk sebuah Barisan Pejuang bernama Pasukan
Hizbullah.
Pada awal didirikannya, pasukan Hizbullah beranggotakan 20 pemuda. Dullah Sadjadi ditunjuk sebagai ketuanya. Latihan perang pertama kali digelar di depan rumah Ahmad Tirkon di Dusun Kaliwaru yang pada waktu itu sudah ditinggal penghuninya. Ketika Dullah Sadjadi sedang mengajati teori membidik dengan senapan laras panjang, Trimo tidak sengaja menarik pelatuk senapan yang dibawanya. Senapan yang sudah terisi peluru tadi meletus mengenai telinga Jumari. Setelah kejadian itu, latihan perang dialihkan ke Masjid Kaliwaru. Di sana Pasukan Celurut dilatih oleh Kyai Mawardi untuk menggunakan senjata api dengan benar dan cara melempar granat. Sebagai komandan utama Pasukan Hizbullah, Kyai Mawardi mengangkat dirinya sebagai Kapten. Setelah diajari teori menembak dan melempar granat dengan benar, Pada hari itu juga Dullah Sadjadi melatih fisik dan kemampuan bertempur Pasukan Hizbullah dengan sebuah permainan mencari target sasaran berupa bendera putih. Pada saat itu Dullah Sadjadi memasang bendera putih di makam Dusun Ngentak, Klero (dekat komplek situs Candi Klero). Bendera itu dikibarkan pada sebatang bambu yang tingginya sepuluh meter. Setelah dipasang di atas makam, lalu Dullah Sadjadi kembali ke Markas Kaliwaru. Dia memerintahkan anggotanya untuk mencari bendera yang dimaksud. Untuk mencapai target yang dituju, anggota Pasukan Hizbullah harus berjalan melewati anak Sungai Serang yaitu Kali Tanggi. Mereka merangkak naik pada tebing Kali Tanggi yang tingginya sekitar 30 meter menuju makam. Setelah target sasaran ditemukan, mereka membawa bendera putih yang dipasang di atas makam tadi kembali ke markas Kaliwaru (Subardi, wawancara 29 September 2013, Mawardi, wawancara 3 Desember 2013 dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).
Selang beberapa hari pasca latihan perang-perangan
di Kaliwaru, nama Pasukan Hizbullah kemudian diganti menjadi Pasukan Clurut. Pasukan
Clurut dibawah pimpinan Dullah Sadjadi mengadakan penyerbuan pertamanya ke markas
Belanda di Kebonjeruk (sekarang menjadi kantor pengembangan tanaman
holtikultura di Utara pasar Kembangsari Baru). Dahulunya markas tersebut
digunakan sebagai kantor perusahaan perkebunan jeruk milik orang Belanda.
Sebelum digerakkan menuju front, Pasukan Clurut dirajah oleh Kapten KyaiMawardi dengan doa-doa agar tubuh mereka tidak tembus peluru. Sebagai media
doa-doa tersebut, Kyai Mawardi meggunakan telur ayam yang sudah matang. Setelah
telur dimakan, Pasukan Clurut berdoa bersama untuk kesalamatan anggota dan
suksesnya misi mereka. Penyerangan dilakukan pada malam hari. Pasukan dipecah
menjadi dua regu, satu regu terdiri dari 10 orang. Pemimpin regu barat dipimpin
oleh Riri, sedangkan regu timur dipimpin langsung oleh Dullah Sadjadi. Mereka
harus merangkak sejauh 200 meter dari Selatan sungai kecil (sekarang di Selatan
pasar Kembangsari) untuk mendekati markas Belanda. Belanda mencium keberadaan
regu timur, lalu Belanda menyalakan lampu sorot ke atas langit. Suasana di
sekitar Markas Kebonjeruk menjadi terang dan akhirnya posisi regu timur
diketahui oleh Belanda. Saat itu juga, Belanda
langsung menembakkan mortir ke regu timur. Mortir berjatuhan di kanan kiri
tempat persembunyian regu timur. Beruntung mortir tersebut tidak ada yang
meledak. Ketika regu barat sudah mendekati markas Belanda, mereka mendapat komando
dari Dullah Sadjadi untuk menyerang. Dullah Sadjadi meneriakkan “Allah Akbar”
sembari lari mendekati markas Belanda. Regu barat yang pertama kali memasuki
markas Kebonjeruk melihat markas tersebut sudah kosong. Ternyata sekitar dua
jam penyergapan itu, telah dimanfaatkan oleh tentara Belanda yang berjaga di
sana untuk melarikan diri ke arah Utara (Salatiga). Dalam penyergapan itu, Pasukan
Clurut tidak mendapatkan senjata rampasan. Sebelum waktu subuh, Pasukan Clurut
sudah kembali ke Markas Kaliwaru (Subardi, wawancara
29 September 2013, dan Wito Turut, wawancara
30 September 2013).
Serangan yang dilancarkan oleh Pasukan Clurut di
Markas Belanda Kebonjeruk pada tahun 1947 memotivasi pemuda-pemuda di sekitar
Tengaran untuk bergabung dengan Pasukan Clurut. Pasukan Clurut yang mulanya
hanya terdiri dari 20 pemuda, meningkat jumlahnya hingga 50 pemuda. Karena
terlalu banyak, mereka tidak ditempatkan dibarisan depan (bertempur) saja,
melainkan ada yang menjadi tukang kayu untuk masalah dapur, tobang (pembawa logistik untuk keperluan
TNI), spionase (mata-mata), dan kurir
surat. Meskipun begitu mereka yang ditempatkan sebagai bantuan non tempur TNI,
ketika mereka dipanggil untuk bertempur, mereka selalu siap (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Peta Salatiga 1947- Tangsi Bambu Salatiga (nomer 28) |
Beberapa hari kemudian, pasca penyerangan terhadap
markas Belanda di Kebonjeruk, Dullah Sadjadi menawarkan misi kepada anggotanya untuk
memata-matai pergerakan dan kekuatan Pasukan Belanda yang berada di Tangsi
Bambu, Salatiga. Jumari mengajukan dirinya untuk melaksanakan tugas itu. Dari Markas
Kaliwaru, Jumari berjalan menuju Salatiga dengan menyamar sebagai pencari kayu.
Saat menyamar, dia memakai baju jelek yang yang terbuat dari serat jerami,
sedangkan celannya adalah celana pendek yang terbuat dari karung goni dengan
ikat pinggang yang terbuat dari serabut pohon pisang. Sekitar pukul 07.00
Jumari berangkat dari Kaliwaru dengan goloknya yang sudah diberi mantra.
Sesampainya di Klero, dia melanjutkan
perjalanannya menuju Karangduren melalui Dusun Banjari ke arah Utara. Dari Karangduren, dia terus berjalan
ke Utara menuju Bener Etan. Sesampainya di Bener Etan Jumari bergerak ke arah Barat
menyeberangi jalan Semarang-Solo menuju ke Cebongan. Dari Cebongan,
Jumari bergerak ke Pendem. Di daeah Pendem, Jumari menyaksikan banyak rumah
telah kosong ditinggal mengungsi pemiliknya ke luar daerah Salatiga. Jumari sampai
di Tangsi Bambu sekitar pukul 15.00. Di sekitar Tangsi Bambu banyak terdapat
pohon kenari. Jumari langsung memanjat pohon kenari yang berada tepat di depan
Tangsi Bambu untuk mengintai kekuatan musuh yang berada di dalamnya. Saat
mengintai, Jumari melihat ada empat serdadu Belanda berseragam hijau berjaga di
depan barak dengan senjata laras panjang. Setelah menebas beberapa dahan kayu
lalu Jumari turun. Saat kakinya menginjak tanah, dia dikejutkan oleh seorang
Belanda yang ternyata dari tadi sudah berada di bawahnya. Dia ditangkap oleh
orang itu. Jumari ketakutan dan khawatir mengira dia akan dibunuh. Ternyata dia
tidak dibunuh oleh tentara Belanda yang menangkapnya tadi. Setelah itu Jumari
diberi roti dan akhirnya dibebaskan. Jumari langsung pulang sambil memikul
kayunya. Di sekitar Isep-Isep, kayu yang dipikul dari Tangsi Bambu tadi dia
buang. Jumari tiba di markas Kaliwaru sekitar pukul 01.00 malam (Peta lihat Gambar
4). Di Kaliwaru dia disambut Dullah Sadjadi. Setelah melapor, Jumari disuruh
tidur oleh Dullah Sadjadi (Jumari, wawancara
3 Desember 2013).
Setelah disetujui hasil perundingan Klero mengenai
garis demarkasi di Kecamatan Tengaran, maka Kecamatan Tengaran dibagi menjadidua. Pasukan Clurut yang berasal dari rakyat tidak terikat dengan perjanjian
tersebut. Mereka menyamar sebagai rakyat dan melakukan sabotase-sabotase di
daerah pendudukan. Meskipun melakukan sabotase, mereka tidak menyakiti warga
yang tinggal di daerah itu karena warga yang tinggal di daerah pendudukan
kebanyakan masih saudara. Hal ini yang membedakan antara Pasukan Clurut dengan Pasukan
Batu ketika mengemban misi. Pasukan Batu lebih agresif, karena kebanyakan dari mereka
adalah bekas garong (Jarkoni, wawancara
28 September 2013).
Kegiatan Pasukan Clurut setelah Renville semakin
membahayakan kedudukan Pasukan Belanda di Kebon Jeruk. Hampir setiap hari,
pukul 21.00 Pasukan Clurut yang berkumpul di Tegalrejo mendapat perintah dari
Dullah Sadjadi untuk meneror maupun mencuri senjata Pasukan Belanda di sana.
Tidak semua anggota Pasukan Clurut berangkat ke Kebonjeruk, hanya orang-orang
tertentu saja yang memiliki keahlian melakukan sabotase. Dengan berbekal ilmu sirep (ilmu sihir) mereka dapat
melumpuhkan penjaga di markas Kebonjeruk. Petugas jaga di markas Kebonjeruk
dibuat tidur sehingga para Clurut bisa mengambil senjata mereka. Mereka baru kembali ke Tegalrejo setelah pukul
01.00. Bila beruntung mereka dapat membawa granat dan senapan (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Menjelang doorstoot,
Jarkoni mendapat tugas dari Kyai Mawardi untuk menanam ranjau darat di
pertigaan jalan Klero yang mengarah ke jalan Senjoyo. Saat itu, truk yang
membawa serdadu Belanda rencananya akan menuju Senjoyo. Truk tersebut
sebenarnya menginjak ranjau yang ditanam oleh Jarkoni. Tetapi ranjau tersebut
tidak meledak karena truk tadi hanya menginjak sisi badan ranjau bukan pemicu
ledakannya yang terletak di atas badan
ranjau. Beberapa hari setelah menanam ranjau, Jarkoni mendapat tugas baru untuk
mengawal pasukan TNI menyerbu markas Belanda di Kebonjeruk. Jarkoni berada di
depan rombongan untuk membersihkan jalan yang akan dilalui pasukan TNI dari
mata-mata Belanda. Jarkoni juga harus memastikan jalan yang akan dilalui
pasukan TNI di desa-desa sekitar Kecamatan Tengaran bersih dari ranjau darat.
Misi paling sulit dalam pengawalan tersebut adalah mencari waktu yang aman
untuk menyeberangkan pasukan TNI dari satu dusun ke dusun lain, dari Klero
sampai pertigaan Dusun Cabean yang akan mengarah ke Kebonjeruk. Di desa-desa
yang dilalui oleh Pasukan TNI, Belanda telah menyebar mata-mata yang berasal
dari masyarakat sekitar. Belanda banyak menyebar mata-mata di Daerah Cabean.
Meskipun begitu, tidak semua masyarakat Cabean memihak Belanda, tetapi ada juga
yang memihak RI. Sebenarnya, jauh hari
sebelum Kecamatan Tengaran dibagi menjadi dua, TNI sudah menanam mata-mata
bernama Kyai Abu Ngamar di dusun itu. Tidak mau kalah dengan TNI, Belanda juga
menyebar agen mata-mata, salah satunya adalah Lurah Karangduren. Selain lurah Karangduren, Ridwan anggota Pasukan
Clurut yang berasal dari Karangduren juga direkrut menjadi mata-mata Belanda (Jarkoni,
wawancara 28 September 2013).
Dua hari sebelum tentara Belanda merangsek ke Kota
Solo, 19 Desember pukul 01.00, truk-truk
Belanda yang membawa pasukan dari Salatiga sudah ditempatkan di Kebonjeruk. Pukul
04.00, Belanda memuntahkan peluru kanonnya dari Kebonjeruk ke arah Ampel dan
Tengaran. Di Tengaran, warga banyak yang menjadi korban dari pecahan peluru kanon
Belanda. Salah satu korban serangan kanon Belanda di Tengaran bernama Isah.
Sedangkan di Tegalrejo, Sati dan anaknya bernama Ngatini terkena pecahan peluru
kanon yang jatuh di depan rumahnya. Beruntung keduannya selamat tidak sampai
meninggal dunia (Mujiyem, wawancara 12
Januari 2014 dan Kusdi, wawancara 29
September 2013).
Malam hari sebelum Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, anggota Pasukan
Clurut berkumpul di Masjid Kaliwaru untuk mujahadahan
bersama. Mujahadahan selesai pada
pukul 00.00. Karena Masjid Kaliwaru tidak bisa menampung semua anggota Pasukan
Clurut untuk bermalam di sana, maka sebagian besar Pasukan Clurut tidur di rumah Dullah Sadjadi. Pagi harinya
Belanda sudah mendekat ke garis SQ Kali Tanggi setelah Belanda menyerang
pertahanan Republik di Selatan Kali Tanggi dengan meriam atau kanon (Jarkoni, wawancara 28 September 2013). Pertahanan
di Kali Tanggi tidak mudah ditembus oleh Belanda karena di daerah tersebut
ribuan TNI dan Laskar non TNI membangun kekuatan dua lini. Oleh karena itu
Belanda menggunakan strategi menjapit dari dua sisi petahanan PP4A. Belanda menyerang
dari tiga arah. Sayap Barat kusus menyerang daerah Ngaglik. Sayap Timur
menyerang Gading, dan kekuatan utama di Tengah (Klero) bertugas mendoorstoot pertahanan Tengaran.
Pertahanan Gading (Karangwuni) yang pertama kali disapu oleh Belanda. Setelah
Karangwuni dilumpuhkan, Belanda merangsek ke Kebon Batur Sruwen. Karena
prediksi awal Belanda masuk lewat Sektor I, jembatan Kali Tempuran sudah
terlebih dahulu dihancurkan oleh TNI untuk menghalau gerak laju Belanda dari
Salatiga menuju Ampel. Pohon Randu Alas yang besarnya tiga kali pelukan orang dewasa
juga dirobohkan melintang ke arah Barat menutupi jalan Solo-Semarang. Ternyata
hal itu tidak dapat membendung sergapan Belanda yang berasal dari arah Timur.
Sesampainya di Kebon Batur, Belanda bergerak ke Barat dan mengadakan penghadangan
di Dusun Kalisoko. Melihat pertempuran yang tidak
seimbang di Tengaran, Slamet Riyadi memerintahkan untuk penghancuran jembatan
Ampel dan menginstruksikan kepada pasukan TNI yang bertahan di Tengaran untuk
mundur ke Selatan maupun ke Barat (lereng Gunung Merbabu). Setelah Tengaran
dilepaskan, pasukan TNI banyak yang mundur ke Selatan (Ampel). Mereka yang lari
ke Selatan dihadang Belanda di Kalisoko. Mereka lalu dilucuti dan ditawan di Barat
Kaliwaru untuk diinterogasi. Bagi mereka yang terbukti sebagai pejuang langsung
digiring ke Kebonjeruk. Dari Kebonjeruk mereka digiring ke penjara Salatiga.
Dari penjara Salatiga mereka disaring berdasarkan kejahatan mereka. Mereka yang
terkena hukuman berat akan dieksekusi di Kedayon (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Saat Belanda mengepung markas Clurut di Kaliwaru,
banyak Pasukan Clurut yang berlari ke arah Barat. Salah satunya adalah Subardi
yang lolos dari penyergapan Belanda. Dari Kaliwaru dia berlari ke Sampetan. Di
sana dia bergabung dengan Pasukan Clurut yang selamat dari sergapan Belanda di Desa
Tegalrejo. Berbeda dengan nasib Jarkoni, saat Belanda menyerang Markas Clurut,
Jarkoni tertangkap oleh Belanda. Dia sempat akan dibunuh, kemudian Lurah
Tengaran mencegahnya dan mengakui bahwa dia adalah warganya sehingga dia tidak
jadi ditembak di tempat. Jarkoni mendekam di penjara Salatiga selama tiga
bulan. Selama dipenjara, dia mendapat pelayanan yang cukup baik dari Belanda
karena saat diinterogasi dia mengaku sebagai tobang (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
Belanda tidak hanya mengepung Kaliwaru saja, Desa
Tegalrejo juga tidak luput dari kepungan Belanda. Dengan senjata lengkap, Pasukan
Belanda menggeledah satu persatu rumah warga yang dijadikan sebagai markas TNI
maupun Laskar Gerilya. Masyarakat yang ketakutan mengungsi ke daerah
Kaligentong. Di Tegalrejo, Belanda mencari buronan utamanya yaitu Dullah
Sadjadi. Ketua Pasukan Clurut itu sangat dibenci oleh Belanda karena berhasil
mengerahkan massanya untuk mengganggu ketentraman Belanda di daerah Pendudukan.
Belanda menggeledah rumah Dullah Sadjadi tetapi tidak ketemu. Saat Belanda
masuk ke rumah Dullah Sadjadi, dia langsung bersembunyi naik di atas pogo (tempat mengeringkan kayu yang
dipasang di atas tungku). Dullah Sadjadi tidak sempat mengambil senjata dan
granatnya sembunyi. Malam hari dirasa keadaan sudah aman, Dulah Sadjadi pergi
ke Kaligentong mencari sisa pasukannya yang selamat (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014). Di hari itu
juga, Mujiyem istri Dullah Sadjadi bersembunyi di jurang Kali Tempuran. Setelah
keadaan mulai kondusif, Mujiyem keluar dari persembunyiannya dan bergerak
menuju Kaligentong mencari tempat aman. Setelah beberapa hari mengungsi ke Kaligentong,
Mujiyen pindah ke Kembang (Mujiyem, wawancara
12 Januari 2014).
Saat Belanda mendoorstoot
Tengaran, Belanda mengusahakan sepanjang radius 1 Km dari jalan Solo-Semarang
harus bersih dari gangguan gerilyawan (Suratman Murbowijoyo, wawancara 22 September 2013). Oleh
karena itu, Belanda melakukan penangkapan warga di daerah Tegalrejo. Saat melakukan
penangkapan sering kali mereka asal tangkap. Warga Tegalrejo yang sedang
berladang benama Juri dan Marto tiba-tiba ditangkap. Padahal mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi (doorstoot ke Tengaran). Siang
hari mereka ditangkap dan dibawa ke Kaliwaru untuk dimintai keterangan. Pada malam harinya Juri berhasil meloloskan
diri dari kamp tawanan sementara Belanda di Tengaran. Juri berhasil lari ke
arah Selatan. Pasukan Belanda yang berusaha menangkap Juri memberondong tempat
persembunyian Juri di Jurang Ngesrep tetapi dia selamat. Kemudian dia pergi ke Tegalrejo,
dari Tegalrejo Juri langsung ke Ngaglik (markas pertahanan terdepan dan
terakhir TNI di Sektor PP4A saat Belanda mendoorstoot Tengaran). Karena Juri
kabur dari kamp tawanan di Kaliwaru, Marto teman Juri dituduh oleh penyidik
Belanda akan ikut kabur. Karena tuduhan itu, Marto tidak dilepaskan seperti
masyarakat lainnya. Malahan dia dijadikan tawanan Belanda di Kebonjeruk yang
setiap harinya harus mengangkut
ransel-ransel Belanda dari gudang ke truk maupun sebaliknya (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Pasukan Clurut yang berhasil lolos dari sergapan Pasukan
Belanda di Desa Tegalrejo dan di Desa Tengaran kemudian lari ke arah Barat
yaitu ke lereng Gunung Merbabu. Mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok
kecil. Subardi dan kelompoknya sesampainya di Desa Sampetan kemudian melakukan
konsolidasi kekuatan di sana. Sehari kemudian, Subardi memimpin teman-temannya
bergerak ke arah Utara yaitu ke Dusun Ngaglik. Di Ngaglik, Dullah Sadjadi sudah
menunggu mereka. Belanda dari Setugur dan Kebonjeruk berusaha mengepung Pasukan
Clurut dan TNI yang lari ke lereng Merbabu. Setelah seminggu di Ngaglik, Dullah
Sadjadi memerintahkan anak buahnya bergerak ke Getasan. Dari Getasan, mereka
berjalan menyusuri lereng Telomoyo menuju ke Pager Endog, Banyubiru. Dari Pager
Endog, mereka melanjutkan perjalanannya ke daerah Tegalrejo, Magelang. Selang
beberapa hari, Pasukan Clurut kembali ke Sampetan lewat jalur Kopeng. Menjelang waktu subuh, Pasukan Clurut sudah
berada di Kopeng. Mereka disergap Pasukan Belanda dengan diberondong peluru.
Tidak ada satupun anggota Pasukan Clurut yang menjadi korban. Setelah itu,
mereka menyusuri lereng Merbabu dan pada malam harinya sampailah di Sampetan,
Ampel (Jumari, wawancara 3 Desember
2013).
Selama berada di lereng Gunung Merbabu, Pasukan
Clurut selalu waspada terhadap pergerakan Belanda di daerah Sampetan, Ampel.
Meskipun pimpinan utama (Kyai Mawardi) sudah gugur, semangat perjuangan melawan
penjajahan tidak terhenti. 1 Maret 1949 terjadi serangan umum terhadap pos-pos
Belanda di Tengaran. Serangan secara besar-besaran terjadi pada malam hari.
Penduduk desa memukul kentongan sehingga suasana menjadi hiruk pikuk.
Pertempuran kecil terjadi di Desa Mongkrong, Tanjung, dan Tengaran (Chusnul
Hajati, dkk., 1997: 146). Sisa Pasukan Clurut yang sempat melakukan konsolidasi
kekuatan dibawah pimpinan Subardi melakukan stelling
di Mongkrong. Di sana terjadi tembak menembak antara pasukan RI yang didalamnya
ada Pasukan Clurut melawan Pasukan Belanda (Subardi, wawancara 29 September 2013 ).
Pertengahan Maret 1949, Pasukan
Clurut baru berani keluar dari lereng Gunung Merbabu. Di daerah pendudukan, Pasukan
TNI membuat kantong-kantong gerilya setelah berwingate dari Solo dan Yogyakarta. Dullah Sadjadi memerintahkan
Jumari dan Trimo untuk memasang ranjau darat (mine) di lajur timur jalan raya yang menghubungan antara Kota
Semarang dan Solo, tepatnya di pertigaan Klero. Ranjau yang ditarik dengan
kawat penghubung tersebut dikubur di dalam tanah. Penarik kawat mine tersebut bersembunyi di dalam
sebuah lubang yang jaraknya 50 meter di sebelah barat jalan raya. Lima belas
hari kemudian, datanglah konvoi Belanda yang akan menuju Solo. Saat mereka
melintas, mine tadi ditarik oleh
Tentara Pelajar yang pada hari itu bertugas menarik kawat mine. Banyak jatuh korban jiwa dipihak Belanda. Mayat-mayat serdadu
Belanda tadi diangkut dengan truk menuju ke Salatiga. Didikan khas militer
Jepang dan semangat jihad fi Sabilillah,
membuat anggota Pasukan Clurut tidak takut mati. Memang kenyataannya hingga
akhir tahun 1949, tidak ada satupun Anggota Clurut yang mati ditangan Belanda
(Jumari, wawancara 3 Desember 2013).
Sumber
- Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
- Old Map of Salatiga. http://www.salatiga.nl/jalan/kaart_salatiga_1947.htm
Post a Comment