Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Tengaran Terbelah Menjadi Dua Pemerintahan (Periode Renville/ Masa Damai 1948)

          Pada tanggal 17 Januari 1948,  Perdana Menteri Amir Syarifuddin menandatangain perjanjian Renville. Kebijakan yang diambil oleh Amir Syarifuddin sangat merugikan pihak Republik baik dibidang politik, ekonomi, maupun militer. Kerugian di pihak Republik adalah sebagai berikut (Wiyono M.A, dkk., 1983 :98):
1.    Dalam bidang politik: Pemerintah Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda pada aksi militer pertama. Wilayah Republik Indonesia tinggal 2/3 dari Jawa dan 1/5 dari pulau Sumatera. Batas wilayah Republik Indonesia dengan daerah pendudukan terkenal dengan nama “garis van Mook.
2.  Dalam bidang ekonomi: Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan kota-kota besar, pusat perindustrian dan  perdagangan kepada Belanda, sehingga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Belanda untuk melakukan blokade ekonomi terhadap Republik.
3.  Dalam bidang militer: Pemerintah Republik Indonesia harus menyerahkan kantong-
kantong gerilya atau kantong-kantong pertahanan kepada musuh.
          Di Jawa Tengah, perundingan antara militer Belanda dan Republik berlangsung di tiga tempat, yaitu Tengaran, Parakan dan Gombong. Perundingan di Tengaran, delegasi RI diketuai oleh Letkol Mursito yang didampingi oleh Residen Semarang dan Residen Surakarta. Sementara di pihak Belanda diketuai oleh Letkol AJP. Brummer didampingi  oleh Mayor FA. Semit, Kapten A.V. Vosveld dan Residen Salatiga, Emanuel. Sedangkan wakil dari KTN adalah Kolonel Survy dari Belgia dan Mayor Mackie dari Amerika Serikat (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 124).
          Perundingan antara Indonesia dan Belanda di Tengaran dilaksanakan di Desa Klero pada tanggal 24 Januari 1948. Perundingan awalnya membahas tentang garis status quo yang diusulkan oleh pihak Belanda, yaitu dari Gunung Merbabu sampai Laut Utara Jawa. Usul tersebut disetujui oleh pihak Indonesia. Kemudian Delegasi Indonesia juga setuju menarik seluruh pasukannya dari daerah Pendudukan. Adapun peraturan-peraturan yang telah disetujui oleh kedua pihak dalam perundingan Klero yaitu (Arsip Delegasi Indonesia No. 43):
1.   Daerah demiliterisasi letaknya diantara pos-pos Belanda dan pos-pos Indonesia yang terkemuka.
2.   Penetapan batas-batas dari zona demiliterisasi akan segera dilakukan dengan teliti oleh kedua pihak.
3.  Selama belum ada instruksi lainnya dari atasan maka barisan-barisan patroli diperbolehkan mengadakan patroli masing-masing sampai jarak 100 meter dari garis Status Quo (SQ). Dalam menjalan patroli diharapkan jangan sampai ada bentrokan atau insiden.
4.      Jika terjadi papasan antar kedua pihak, maka untuk menghindari bentrokan, kedua pihak harus mengangkat kedua tangannya ke atas dan tidak boleh mendekat apabila tidak ada hal penting untuk dirundingkan.
5.    Untuk menjaga ketertiban bersama antar kedua pihak, komandan sektor dari kedua belah pihak memberi instruksi kepada anak buahnya supaya tidak sampai melakukan sabotase.
6.   Dari daerah-daerah yang akan ditinggalkan oleh pasukan Indonesia akan diberi peta tentang adanya landmijnen (ranjau darat) yang nantinya akan diambil bersama.
          Papan status quo pertama kali akan dipasang di Selatan Kali Tanggi (daerah Republik) pada tanggal 27 Januari 1948 yang disaksikan oleh Mayor Sunitijoso dengan Kapten A.V. Vosveld. Sedangkan di Utara (daerah pendudukan) disaksikan oleh Letnan Kolonel Sunandar dan Mayor C.M. Schilperoord. Papan tersebut bertuliskan “Status quo-lijn” dengan huruf berwarna putih dan background berwarna hitam, sedangkan sebaliknya ditulis “Garis Status Quo” dengan huruf berwana putih dan background berwarna merah. Tidak hanya di Kali Tanggi, papan garis status quo juga dipasang di Karanggede, Djabi, Betok, Walang, Turi, Kedodong, Tanjung  Anjar, Djatisono, Dempet dan seterusnya hingga ke muara Laut Utara Jawa.  
Pemasangan Patok Batas di Kali Tanggi
          Letak geografis Kecamatan Tengaran berbatasan langsung dengan daerah pendudukan Belanda. Garis pembatas berupa bentang alam yaitu aliran Kali Tanggi. Kali Tanggi merupakan hulu Sungai Serang yang bermuara di Laut Jawa. Sesuai instruksi dari Panglima Besar Sudirman, setelah pecahnya agresi oleh Belanda maka Markas Pemimpin Pertempuran Jawa Tengah dibubarkan. Sebagai gantinya di sepanjang garis demarkasi, wilayah dari Divisi IV Panembahan Senopati Jawa Tengah dan Divisi V Ronggolawe Jawa Timur dibentuk komando operasi Pimpinan Pertempuran (PP). PP dibagi menjadi enam sektor  dengan kode PP4A sampai PP4F (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 124). Di sepanjang garis demarkasi tersebut, TNI menyusun pos-pos penjagaan. Sektor PP4A dipimpin oleh Letkol Suadi yang bertugas memimpin pertempuran di desa-desa yang masuk wilayah administratif Kecamatan Tengaran dan Kecamatan Ampel. Sektor PP4A sangat strategis karena berhadapan langsung dengan pos Pasukan Belanda Salatiga. Untuk menjaga penerobosan dari pihak Belanda, petahanan di sektor PP4A disusun dua lapis. Pos pertahanan di garis depan (lini pertama) membentang dari Ngaglik, Soka, Kembang, Jomblang, Tengaran, Duren Sawit, Jembangan, Putatan dan Karangwuni. Pos pertahanan garis kedua tersebar di Pentur, Karang Gondang, Ngadirejo, Karangboyo, Sembung, Tegalrejo, Sruwen, Sugihan dan Gondang Wedelan. Markas komandonya berada di Dusun Kalicacing, Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel. Sektor PP4B dipimpin oleh Letkol Suyoto yang bermarkas di Karangggede. Berhubung di PP4B tidak mendapat tekanan seberat di sektor  PP4A, maka di sepanjang wilayah sektor PP4B dari Kecamatan Susukan sampai Wonosegoro, hanya disusun pertahanan satu lapis. Pos-pos pertahanan di sektor PP4B yaitu di Deresan, Karangtanggung, Klego, Pentur, Kacangan, Susukan, Karanggede, dan Wonosegoro (Peta lihat Gambar 2). Di masing-masing sektor dibagi  menjadi beberapa Comando Operasi Pertempuran (COP). Sektor PP4A dibagi menjadi dua COP yang terletak di Tengaran dan Ngaglik. Komandan COP Sektor I Tengaran adalah Kapten Sarsono. Sedangkan Komandan COP Sektor II Ngaglik dipegang oleh Letkol Slamet Riyadi. Sektor PP4A berhadapan langsung dengan pos-pos Belanda. Pos Belanda tersebar di Ngaglik (di rumah H. Nakhrowi), Ngrandon, Karang Duren (dinas petanian), Tingkir, Setugur, Bawangan, Dadapayam, Tempuran, Wiru, Getas, Bringin dan pos polisi Sumber Rejo (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 125).
Parade Militer oleh Brigade Tigjer di Salatiga Merayakan Ulang Tahun  Ratu Wilhelmina 31 Agustus 1947
           Awal gencatan senjata keadaan cenderung kondusif dan tidak meletus tembak menembak antara TNI dan Pasukan Belanda. Meskipun begitu, Pasukan RI maupun Belanda berpatroli di wilayahnya masing-masing tanpa melintasi garis demarkasi. Sebagai penghubung antara pihak RI dan Belanda, Pemerintah RI membentuk Polisi Keamanan (PK) dari kesatuan Mobile Brigade (Mobrig). Mereka mengenakan identitas ban lengan warna merah dengan huruf putih bertuliskan “PK”. Sabaliknya Belanda juga membentuk Veiligheid Politie (VP). Mereka mengenakan ban berwarna oranye  bertuliskan “VP”. Di garis demarkasi hanya PK dan VP saja yang dibolehkan melintasi garis demarkasi untuk mengadakan kontak. Meskipun cenderung kondusif, kesalah pahaman antara kedua pihak baik Republik maupun Belanda seperti melintasi batas secara ilegal bisa berujung pada insiden-insiden kecil (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 126).
          Perjanjian Renville menuntut Pasukan TNI ditarik dari daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda. Perjanjian tersebut hanyalah siasat Belanda untuk menghabisi RI. Ketika wilayah RI  dipersempit, komandan-komandan TNI maupun petinggi-petinggi RI otomatis berkumpul di Yogya dan Solo, sehingga Belanda dengan mudah dapat menangkap mereka. Berbeda dengan TNI yang terikat dengan ketentuan perjanjian, gerilyawan merupakan kelompok bebas dan tidak terikat aturan. Mereka selalu mengganggu stabilitas kemanan di daerah pendudukan. Hal inilah yang nantinya dijadikan dasar bagi Belanda untuk mengingkari perjanjian Renville.
          Dengan adanya perjanjian Renville, Belanda berhasil membulatkan wilayahnya. Mereka juga berusaha memprovokasi dan memancing pertikaian dengan RI sebagai alasan bagi mereka untuk melancarkan agresinya yang ke dua. Blokade ekonomi yang dilakukanBelanda atas Republik dibalas TNI dengan membatasi barang dagangan tertentu yang akan  dijual oleh para pedagangpelintas batas ke wilayah pendudukan. Pada waktu itu belum ada koordinasi antar sektor. Terbukti antara pos satu dengan pos lainnya peraturannya tidak sama. Akibat tidak adanya koordinasi dengan baik, blokade ekonomi yang dilakukan oleh TNI tidak efektif. Adapun perbedaan ketentuan barang yang tidak boleh dijual di daerah pendudukan persektor: (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 137)
1.      Getasan                 : ternak dan beras.
2.      Bringin                  : garam.
3.      Suruh                     : ternak dan gula.
4.      Susukan                 : gula pasir.
5.      Tengaran               : lebih longgar tidak ada pembatasan.
          Di daerah Republik masih terdapat perusahaan gula milik Mangkunegara yaitu perusahaan gula Colomadu yang masih aktif produksi. Produksi gula pasir sejak berdirinya Republik hingga tahun 1948 rata-rata dalam satu tahun menghasilkan 80.000 ton. Gula dari Republik sengaja diselundupkan ke daerah Pendudukan karena bisa dibarter dengan pakaian. Sedangkan produksi pakaian yang terbuat dari kapas dalam jangka waktu satu tahun sebanyak 25.000 hingga 30.000 ha sehingga di daerah Pedalaman harga kain mahal dan  terjadi kelangkaan. Pada waktu itu, hanya orang-orang kaya saja yang bisa membeli kain yang terbuat dari kapas. Karena harga kain mahal masyarakat banyak yang memakai pakaian yang terbuat dari kain goni. Kalaupun mereka punya pakaian yang terbuat dari kapas, jumlahnya tidak sampai dua potong. Daerah pedalaman juga kekeurangan garam dapur. Produksi garam pertahunnya sebanyak 35.000 ton dan untuk beras  sebanyak 1.500.000 ton. Kelangkaan barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berdampak pada kemerosotan jaminan hidup di daerah Republik karena di daerah ini ditempati sebanyak 24 juta penduduk (Sin Po, 2 Agustus 1948 kol. 1). Akibat produksi yang terbatas, Pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan primer rakyatnya. Solusinya adalah mendatangkan kebutuhan pokok dari luar Republik. Karena ekonomi RI masih diblokade oleh Belanda, harga barang-barang di RI harganya tinggi. Mahalnya kebutuhan pokok menyebabkan inflasi ORI yang tidak dapat dihindarkan lagi. Keributan timbul dimana-mana karena kemerosotan jaminan hidup sperti kasus penggarongan dan perampokan di daerah pedalaman. Di Tengaran dan Ampel, banyak garong menjarah rumah-rumah penduduk. Penggarongan dapat diatasi oleh Slamet Riyadi yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Comando Operasi Pertempuran di Sektor II Ngaglik. Para garong ini kemudian oleh Slamet Riyadi dibentuk pasukan gerilya bernama Barisan Tahan Udji (Batu) (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
          Jalan yang menghubungkan daerah RI dengan daerah Pendudukan banyak dilintasi oleh para pedagang. Harga barang seperti tekstil di daerah Pendudukan lebih murah daripada di daerah pedalaman. Para pedagang mayoritas adalah perempuan. Mereka lebih suka berbelanja dengan uang kecil. Sehingga di daerah pendudukan banyak beredar uang kecil RI. Di daerah Pendudukan maupun di daerah Pedalaman, banyak beredar Oeang Repoebliek Indonesia (ORI) palsu ratusan warna hijau. Hal ini berdampak pada kegelisahan pedagang bertransaksi menggunakan uang ratusan hijau (Arsip Delegasi Indonesia No. 528).
Penyelundupan candu merupakan masalah penting yang harus diselesaikan oleh Kepolisian. Pada tanggal 15 Maret 1948, petugas polisi sektor Tengaran berhasil mengamankan 56 tabung yang di dalamnnya berisi candu. Rencananya, candu-candu tersebut akan dijual ke daerah Pendudukan (Arsip Delegasi Indonesia No. 528). Candu ternyata berperan penting sebagai dana perjuangan selama masa revolusi di sekitar Salatiga. Sebagaimana dialami pasukan gerilya RI di Getas, mereka mendapat bantuan berupa candu (opium) yang kemudian mereka jual secara ilegal guna membiayai operasional pasukan. Mereka mendapat jatah kiriman candu sebanyak 20 butir per bulan. Harga candu sangat fantastis yaitu satu butir seharga 20 gulden. Sebagai pembanding tingginya harga candu, patokan harga beras saat itu hanya 3,5 sen per kilonya (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135).
          Semenjak daerah Tengaran dibagi menjadi dua pemerintahan, kegiatan mata-matapun berkembang subur. Pada tanggal 20 Mei 1948 pukul 22.00, rumah Martokirub yang terletak di Dusun Ngentak Klero kedatangan dua orang bernama Sabudi dan Kartosupar. Mereka adalah mata-mata Belanda. Kemudian Sujono dengan tujuh anggota Pasukan Batu yang bersenjatakan delapan pistol menghampiri rumah Martokirub pada pukul 23.00. Setelah Pasukan Batu mengadakan ajakan dan bujukan supaya mereka mau diajak ke daerah RI. Mereka menolak bahkan mereka berusaha merebut pistol dari salah seorang Pasukan Batu. Dengan terpaksa akhirnya Pasukan Batu melepaskan 14 kali tembakan ke arah mereka. Suara tembakan tersebut terdengar oleh petugas pos penjagaan Belanda. Lalu petugas Belanda  yang berjaga di daerah Klero membunyikan kentongan terus menerus sebagai tanda bahaya. Penyergapan yang dilakukan oleh Pasukan Batu akhirnya gagal (Arsip Delegasi Indonesia No. 566).
          Pada bulan Mei, Belanda memperkuat pertahanannya di daerah Salatiga. Mereka menempatkan 1500 pasukan yang terdiri dari KL dan Heiho. Selain itu mereka juga menambahkan satu kompi pasukan Gadjah Merah yang  terdiri dari orang-orang Belanda asli. Pasukan Andjing Nica sebanyak satu kompi yang terdiri dari campuran orang-orang Ambon, Manado, dan Jawa yang  terkenal paling kejam. Untuk menjaga keamanan Kota Salatiga, Belanda mengerahkan satu kompi Pasukan Tjap Padi yang terdiri dari orang Jawa. Untuk meneror TNI di daerah Republik, Belanda menempatkan tiga unit kanon di tangsi Salatiga  dan  satu unit kanon besar (dengan empat roda) di Bancakan, Sidorejo, Salatiga. Di Setugur, Belanda menempatkan 75 pasukannya yang terdiri dari bangsa pribumi. Di Kebonjeruk ditempatkan 50 pasukan yang terdiri dari orang-orang Belanda ditambah tiga juru bahasa (Arsip Delegasi Indonesia No. 555).
          Sore hari pukul 17.00, Polisi Keamanan (PK) yang bertugas menjaga daerah Status Quo Kadang  mencium pergerakan lima personil Pasukan Belanda dengan senjata lengkap dari arah Setugur pada tanggal 22 Mei 1948. Mereka mendekati daerah Status Quo (SQ) hingga jarak 15 meter. Pasukan RI yang berjaga di sana lalu memberi tembakan peringatan sebanyak empat kali. Akan tetapi, Belanda tidak memperhatikan isyarat tersebut, malahan mereka bersiap untuk membalas tembakan. Kemudian Belanda mundur ke arah Surodadi. Dua hari kemudian tanggal 24 Mei, pukul 17.45, Belanda mendekati daerah SQ Jlarem. Mereka berjumlah delapan personil yang terdiri dari enam tentara Heiho dan dua tentara KL. Mereka datang dari Setugur dengan persenjataan lengkap. Tidak meletus insiden bersenjata pada saat itu. Lalu pada pukul 18.00 mereka mundur ke Surodadi (Arsip Delegasi Indonesia No. 566).
          Pasukan Belanda memang sengaja memancing pertikaian dengan Pasukan Republik dengan menerobos masuk ke daerah Republik. Pada tanggal 30 Mei 1948, Belanda menugaskan 17 Tentara dan 14 VP berjaga di tangsi Setugur. Menurut laporan dari Parmin mata-mata RI yang bekerja di sana, Belanda menggunakan gedung sekolah Setugur sebagai markas. Mereka juga memasang trekbom di sepanjang jalan yang mengarah ke selatan dari markas mereka. Masing-masing trekbom yang ditanam memiliki berat 25 Kg per bijinya. Pukul 09.00 pagi trekbom yang dipasang di sana meledak karena kawat pemicunya ditabrak oleh anjing.  Suara ledakan tersebut terdengar hingga markas PK di Kadang. Untuk mengantisipasi meningkatnya penerobosan oleh Pasukan Belanda dan menghindari terjadinya tembak menembak antara kedua belah pihak, Markas Besar Kepolisian Surakarta (MBK) pada tanggal 31 Mei 1948 mengirim 10 personil PK untuk menjaga stabilitas keamanan di sekitar Kadang (Arsip Delegasi Indonesia No. 566).  
          Pada tanggal 5 Juni, Belanda mulai mengkonsentrasikan pasukannya ke daerah perbatasan. Kira-kira pukul 17.30, satu Brigade (2000 personil) Pasukan Belanda bersenjata lengkap sudah menempati Dusun Butuh dan Klero. Selain pemusatan pasukan di daerah perbatasan, mereka juga melatih mata-mata di markas Kebonjeruk. Rencananya Belanda akan menerjunkan 15 mata-matanya ke daerah Solo pada tanggal 25 Juni 1948. Salah satu mata-mata yang akan beroperasi di Solo bernama Suharti berusia 21 tahun dari Desa Tjokrotulung (Arsip Delegasi Indonesia No. 566). 
          Patroli Belanda di perbatasan semakin diperketat. Pagi hari tanggal 17 Juli 1948, terjadi baku tembak antara pasukan RI dan Belanda di Dusun Gading. Pemicunya adalah larinya penyelundup dari daerah RI ke daerah Pendudukan. Penyelundup tersebut berhasil membawa beras dan gula pasir  yang diangkut menggunakan dua ekor kuda. Pasukan RI yang berjaga di selatan Kali Serang memergokinya. Petugas menembakkan peluru ke udara sebanyak tiga kali. Tetapi penyelundup itu sudah terlanjur masuk ke daerah Pendudukan. Lalu penyelundup itu bertemu dengan Pasukan Belanda yang sedang berpatroli. Menurut laporan dari seorang  mata-mata RI, Pasukan Belanda tersebut bertanya kepada penyelundup itu “opo kowe mau dibedil tentara?” (apa kamu tadi ditembak tentara?), dijawab penyelundup itu  inggih” (iya). Lantas Belanda memberi perintah melanjutkan perjalannannya kepada penyelundup itu “yo wis terusno!” (ya sudah teruskan!). Setelah itu, Pasukan Belanda  kemudian memuntahkan pelurunya ke posisi Pasukan RI. Pasukan RI membalas tembakan tersebut. Kemudian Belanda lari dan tidak lagi membalas tembakan dari Pasukan RI. Pasca insiden itu, Belanda memprovokasi  masyarakat yang tinggal di Dusun Gading. Belanda memberi arahan kepada masyarakat dusun tersebut agar bersiap-siap meninggalkan dusunya ke daerah Utara, yaitu ke daerah Pendudukan yang lebih aman  Kabeh wae wong-wong penduduk kene, kudu tata-tata lo, kiro-kiro suwene rong sasi, ning kene kanggo papan pertempuran, mulo sing tumuli golek panggonan ngungsi ngalor-ngalor kono ngendi wae sing padha disenengi.” (Kepada semua penduduk Gading, diharuskan berkemas-kemas, kira-kira dua bulan lagi, tempat ini akan dijadikan sebagai ladang pertempuran, sehingga carilah tempat untuk mengungsi di daerah Utara sana yang kalian sukai). Pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Gading pada umumnya adalah Pasukan Belanda dari  bangsa pribumi. Kebanyakan mereka bisa bercakap dengan menggunakan bahasa Jawa, sedangkan Pasukan Belanda yang datang dari negeri Belanda hanya berjaga di markas saja (Arsip Delegasi Indonesia No. 595).
          Setiap hari, Pasukan Belanda berjaga di pasar Tugu, Bener. Mereka memeriksa bawaan pedagang baju yang dibeli dari pasar Salatiga. Belanda berusaha memblokade masuknya bahan tekstil ke daerah Republik. Para pedagang hanya diperbolehkan membawa satu potong baju ke daerah Republik. Untuk para pedagang yang terlanjur membeli lebih dari satu potong baju, kelebihannya akan dirampas oleh Belanda. Para pedagang tidak mendapat uang ganti dari Belanda, malahan apabila mereka protes, pasukan yang berjaga di sana mengancam untuk membawa mereka ke Kebonjeruk (Arsip Delegasi Indonesia No. 595).
Sejak Belanda menduduki Salatiga, jembatan-jembatan yang mengarah ke daerah Republik sudah dihancurkan oleh TNI. Untuk memperlancar pergerakan Belanda dari Salatiga ke daerah-daerah pedalaman, jembatan merupakan obyek vital. Tanpa ada jembatan, Pasukan Belanda dari Salatiga tidak dapat bergerak dengan cepat ketika pos-pos Belanda di daerah pedalaman diserang oleh para gerilya RI. Karena pentingnya fungsi jembatan sungai yang kelak akan digunakan untuk memperlancar doorstoot ke Solo, pada hari Selasa, 7 Juli 1948, Pasukan Belanda dari Afdeling Genie atau Zeni Tempur Belanda mengadakan latihan pembuatan jembatan belley di daerah Tengaran dan Karanggede (Arsip Delegasi Indonesia No. 544). Kemudian pada tanggal 15-18 Juli 1948, kurang lebih 30 prajurit Belanda selesai membenahi jembatan yang terletak di Utara dan Selatan Karangduren (Arsip Delegasi Indonesia No. 595).
          Pada tanggal 20 Juli 1948, Delegasi Indonesia mendapat laporan telah terjadi pelanggaran oleh lima belas anggota V.P. yang bersenjatakan empat revolver dan 11 machine pistol. Mereka  masuk ke dalam wilayah RI sejauh 150 meter dari batas demarkasi Gudean. Petugas RI yang berjaga di pos Kembang berhasil memergokinya dan kemudian memberi isyarat kepada mereka dengan tembakan peringatan sebanyak tiga kali tetapi tidak diindahkan. Lalu terjadi tembak menembak antara pasukan RI dan Pasukan Belanda. Pukul 18.00, Belanda mengerahkan pasukannya sebanyak delapan truk dan mengadakan stelling (formasi siap bertempur) mulai Desa Mongkrong hingga Ngadireno (Arsip Delegasi Indonesia No. 559).  
          Perjanjian Renville berdampak pada sikap masyarakat yang pro dan kontra mengenai untung rugi diterimanya perjanjian Renville bagi RI. Suhu politik RI semakin panas sewaktu pecahnya insiden senjata di Solo. Kejadian di Solo tidak merambat ke Salatiga. Pertentangan di daerah Salatiga hanya sebatas saling ejek, belum  sampai meletus tembak menembak. Namun di Desa Tegalrejo, salah seorang anggota TLRI bernama Sumadi ditangkap oleh Joyo Suwondo. Dia dicurigai ikut TLRI Komunis yang memberontak di Solo. Supaya dia mengakui keterlibatannya dalam pemberontakan komunis di Solo dia disiksa sambil diinterogasi. Karena dia tidak terbukti ikut memberontak di Solo, tidak lama kemudian akhirnya dia dibebaskan (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014). 
          Gerakan PKI di Madiun berdampak pada dualisme Tentara Laut Republik Indonesia yang bertugas di Kaliwaru.  TLRI kompi Tembong yang pro Komunis mengikuti Letnan Kolonel Yadau bergerak ke Madiun lewat Pati. Sedangkan, TLRI kompi Kasban yang pro RI memisahkan diri ke sebelah Barat jalan raya. (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 138). Yadau dahulunnya adalah anggota Barisan Pembrontakan Rakyat Indonesia (BPRI) cabang Semarang. Setelah pemerintah melebur laskar-laskar bersenjata yang tidak resmi ke dalam TNI, Bung Tomo mengangkat Yadau menjadi Letnan Kolonel. Setelah militair actie, Yadau mundur ke Solo (Sin Po, 30 Oktober 1948 kol. 5). Meletusnya pemberontakan PKI di Madiun, membuat Yadau pindah ke Madiun. Pindahnya Yadau ke Madiun diikuti oleh simpatisannya di Tengaran. Meskipun di Tengaran tidak meletus pertempuran, hal tersebut melemahkan kekuatan TNI. Melemahnya kekuatan TNI  karena pada saat itu TNI tidak hanya menghadapi Pasukan Belanda tetapi juga menghadapi saudaranya sendiri yang berbeda haluan politiknya. Di saat yang genting itu, akhirnya pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Belanda menyatakan pihaknya tidak terikat oleh persetujuan Renville. Serangan umum Belanda ke wilayah Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 1948.

Sumber Arsip/ Surat Kabar/ Buku:
  • Arsip Delegasi Indonesia No. 43. Hasil Perundingan Genjatan Senjata di Klero. Tanggal 25 Januari 1948. 
  • Arsip Delegasi Indonesia No. 528. Laporan Polisi Keamanan tanggal 16 Mei sampai dengan 4 Djuni 1948. Tanggal 10 Juni 1948. 
  • Arsip Delegasi Indonesia No. 555. Situasi Belanda dan Keadaan di Daerah  P.P.IV.A (Daerah Salatiga). Tanggal 16 Juli 1948. 
  • Arsip Delegasi Indonesia No. 566. Keadaan di Daerah SQ Kabupaten Boyolali. Tanggal 26 Juli 1948. 
  • Arsip Delegasi Indonesia No. 595. Laporan dari  Kepolisian Negara Karisidenan Surakarta Kabupaten Boyolali. Tanggal 17 Agustus 1948. 
  • Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  • Kamerosotan djaminan idoep di saloeroe daerah Repoeblik. Sin Po, 2 Agustusm1948, kolom 1. 
  • Riwajat jang menarik dari Luit. Kol. Jadao, Saorang pendjamin djiwanya Moeso.   Sin Po, 30 Oktober 1948, kolom 5. 
  • Wiyono, dkk., 1983. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 Sumber Gambar
  • http://www.gahetna.nl/

No comments

Powered by Blogger.