Tengaran Benteng Terakhir Kota Solo Saat Agresi Militer II
Agresi
Militer Belanda II dilancarkan bersamaan dengan serangan terhadap Ibukota RI di
Yogyakarta. Pada tanggal 18 Desember 1948, Pasukan Belanda yang
dikonsentrasikan di daerah Salatiga diberangkatkan menuju Kota Solo. Untuk
melancarkan aksinya yang ke II, pesawat capung pengintai Belanda setiap hari
berputar-putar di langit sektor PP4A Tengaran. Sore hari menjelang pergerakan
pasukan ke Solo, sejumlah truk bertuliskan “Naar
Solo” disiapkan dengan menarik persenjataan berat. Pagi hari tanggal 19
Desember, Belanda menembakkan kanon ke arah Selatan dari Ngebul (Chusnul
Hajati, dkk., 1997:139). Sebagai dampaknya banyak korban dari rakyat dan
pertahanan TNI tercerai-berai. Dalam serangan kanon tersebut jatuh korban seorang wanita
bernama Isah yang tinggal di Desa Tengaran (Wito Turut, wawancara 30 September 2013). Serangan kanon dari Ngebul dilakukan untuk
membuka jalan bagi konvoi Belanda yang akan menyerang Kota Solo. Kon
voi serdadu Belanda dari Salatiga selalu diawali dengan vorijder atau pasukan yang bertugas mengawal konvoi di barisan paling depan yang biasanya mengendarai motor. Setelah vorijder, baru disusul tank, lalu rombongan truk pengangkut prajurit. Konvoi tersebut juga mendapat kawalan dari udara oleh pesawat Cocor Merah (Chusnul Hajati, dkk., 1997:139).
voi serdadu Belanda dari Salatiga selalu diawali dengan vorijder atau pasukan yang bertugas mengawal konvoi di barisan paling depan yang biasanya mengendarai motor. Setelah vorijder, baru disusul tank, lalu rombongan truk pengangkut prajurit. Konvoi tersebut juga mendapat kawalan dari udara oleh pesawat Cocor Merah (Chusnul Hajati, dkk., 1997:139).
19 Desember 1948, Daerah Tengaran Hujan Kanon dan Mortir |
Meskipun
pihak Indonesia sudah menghancurkan jembatan Kali Tanggi, dengan mudah mereka
memasang jembatan belley sehingga
pasukan mereka dapat terus bergerak maju. Kendaraan berat jenis buldozer milik Belanda dengan mudah
menutup lubang-lubang yang dibuat sebagai rintangan oleh pejuang RI yang
membentang dari Kali Tanggi hingga Boyolali. Kayu-kayu besar yang melintang di
jalan dengan mudah dibersihkan sehingga Belanda dapat mengepung pejuang RI di
Tengaran (Jarkoni, wawancara 28
September 2013 dan Kusdi, wawancara
29 September 2013).
Pergerakan
Pasukan Belanda untuk melumpuhkan daerah Tengaran sangat cepat. Letkol Slamet
Riyadi memerintahkan anggotanya merobohkan jembatan Ampel. Bersamaan itu, dia
memerintahkan agar pasukan TNI dan Laskar-Laskar non TNI yang bertahan di
Tengaran melakukan gerakan mundur ke arah Selatan dan ke arah Barat (Lereng
Gunung Merbabu) (Suratman Murbowijoyo, wawancara
22 September 2013). Di Kaliwaru pecah pertempuran besar antara pihak Republik dan Belanda. Benturan dari TNI yang dibantu masyarakat melawan Belanda tidak
dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran tersebut gugur lima orang kyai yang
dihormati masyarakat Tengaran. Kelima kyai tersebut termasuk dalam Barisan Kyai
Tengaran. Mereka adalah Kyai Mawardi (Ketua NU Tengaran), Kyai Zahrodji, Kyai
Badjuri, Kyai Amri, dan Kyai Dulbari. Mereka terjebak dalam kepungan musuh
sewaktu TNI melakukan gerakan mundur. Mereka menolak untuk menyerah dan terus
melawan hingga akhirnya mereka gugur (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 139).
Sebelum
kekuatan utama TNI di Tengaran dapat dipukul mundur ke arah Solo, Belanda
berusaha menerobos dari dua sayap pertahanan PP4A yang berada di sebelah Barat
dan Timur. Di sebalah Barat, Belanda menyerang Ngaglik dari Setugur, dari arah
Timur Belanda menyerang pos pertahanan RI di Karangwuni dari Dusun Gading
(wilayah pendudukan). Pertahanan PP4A di bagian timurlah yang dapat ditembus
Belanda terlebih dahulu. Kemudian Belanda bergerak ke Sruwen. Dari Sruwen
Belanda memecah pasukannya untuk mengurung gerak mundur TNI yang akan lari ke
Ampel. Belanda selanjutnya bergerak ke Kalisoko. Di Kalisoko banyak pejuang RI
yang ditangkap. Mereka kemudian digiring ke Kaliwaru untuk diinterogasi (Kusdi,
wawancara 29 September 2013)..
Pejuang
yang tertangkap oleh Belanda sebelum dan sesudah doorstoot banyak yang direkrut Belanda untuk dijadikan mata-mata Belanda.
Mereka yang nasionalismenya tipis, dengan mudah menerima tawaran tersebut.
Mereka diadudomba untuk memerangi saudaranya sendiri, pejuang Indonesia di
Tengaran. Saat doorstoot anggota
Belanda banyak yang berbuat ceroboh. Mereka menembak mati setiap warga yang dicurigai
sebagai pejuang Republik Indonesia. Korban keganasan Belanda dari rakyat sipil
salah satunya adalah Muhadi. Muhadi disangka oleh Belanda sebagai pejuang
Republik Indonesia. Muhadi diculik Belanda dan rencana dibawa ke Kembangsari.
Saat akan dibawa ke Kembangsari, Muhadi memberontak dan melarikan diri. Ketika
akan melarikan diri Muhadi ditembak mati oleh serdadu Belanda dan akhirnya
meninggal dan dimakamkan di Tempat Makam Umum (TPU) Dusun Ngesrep, Desa
Tegalrejo (Wito Turut, wawancara 30
September 2013).
Pada
tanggal 21 Desember 1948, Belanda sudah menguasai Kota Solo. Setelah Kota Solo
dikuasai, mereka mempertahankan jalan yang menghubungkan jalan Solo-Semarang.
Jalur Solo-Semarang merupakan urat nadi untuk menguasai pedalaman Jawa Tengah. TNI
berusaha mengimbangi ofensif Belanda dengan menggeser pasukannya dari Lawu
mendekati Semarang. Brigade V TNI dipecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok wingate dan wehrkreise (WK). WK merupakan pusat pertahanan dan perlawanan
gerilya yang dilancarkan secara luas dan didalam wilayahnya terdapat
daerah-daerah basis, sekaligus sebagai daerah pangkalan gerilya. WK dilengkapi
dengan kekuatan satuan-satuan tempur (Batalyon-batalyon infanteri), Komando
Teritorial, Sub-Wehrkreise (SWK),
Pasukan Mobil, satuan-satuan bantuan tempur dan bantuan administrasi (SESKOAD,
1990: 175). Kelompok WK dilaksanakan oleh Yon 4 Mayor Suharto. Suharto
melaksanakan gerakan mengikat dan melakukan kontak pada instansi teritorial
setempat. Sementara itu Yon 1 Mayor Sunitiyoso, Yon 2 Mayor Suradji dan Yon 3
Mayor Sudigdo berwingate. Mereka
bergerak ke daerah pendudukan sambil menyiapkan field preparation pada sel-sel gerilya di daerah pendudukan. Slamet
Riyadi yang dikawal dua kompi gabungan dari Yon 1 dan Yon 2 berusaha berwingate ke daerah Salatiga dan Semarang.
Pelaksanaan wingate ternyata mengalami kendala. Cuaca buruk di
musim penghujan menghambat gerakan. Yon Sunitiyoso akhirnya tetap berada di
Klaten, Yon Suradji tertahan di sekitar Merbabu dan Yon Sudigdo tertahan di
Wonosegoro (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 140).
konvoi pasukan Belanda |
Sesuai
dengan Maklumat Panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD) No. 2 tanggal 22
Desember 1948 tentang pembentukan Sistem Pemerintahan Militer, Pemerintahan
Militer disusun dari gabungan pemerintahan militer-sipil dari tingkat Kecamatan
hingga Karesidenan. Dengan adanya perubahan formasi tersebut Karesidenan
Semarang menjadi wilayah WK III dibawah pimpinan Letkol Sudiarto. Yon Sudigdo
dan Yon Suradji kemudian dimasukkan ke WK III. Untuk menghindari sergapan
musuh, TNI mundur ke pedalaman dan tersebar di berbagai tempat yaitu di
Pantaran, Gubuk, Seboto, Karangtalun, Kradenan, Canggal, dan Pager. Dalam
formasi WK III ini, pemerintah Kabupaten Semarang digabungkan ke dalam
pemerintahan militer pimpinan Kapten Ashari dan Kota Salatiga digabungkan
dengan pemerintahan militer pimpinan Lettu Ngaspirin yang bermarkas di Desa
Kradenan, Kaliwungu. Komandan pemerintah militer Susukan dipegang oleh Letnan
Imam Suhardjo didampingi oleh Camat Suharno yang bermarkas di Klari sedangkan
markas Pemerintah Militer Kecamatan Tengaran berada di Pager (Chusnul Hajati,
1997: 145).
Setelah
Tengaran didoorstoot, Belanda
menempatkan satu kompi pasukan baret hijau dengan senjata lengkap di Randusari
(Timur pasar Tengaran). Penempatan satu kompi baret hijau di Tengaran tidak
lain hanyalah untuk mempertahankan jalur utama Semarang-Solo. Usaha
mempertahankan jalur Semarang-Solo tidaklah mudah bagi Belanda. Dari pihak
Belanda banyak memakan korban ketika berusaha mengedrop pasukan dari Semarang
ke Solo. Seperti halnya akhir Januari 1949, Letda Sudarkoco memerintahkan enam
pemuda Tengaran yaitu Sugianto, Kusdi, Tulus, Jupri, Sukijan dan Amat untuk
menanam ranjau darat di Jembatan Krakal. Satu truk dari konvoi Belanda dari
arah Solo hancur (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 145).
Bulan
Januari hingga Maret 1949, Belanda leluasa mengirimkan pasukannya ke Solo. TNI
yang masih terpisah-pisah saat mundur dari Tengaran, sengaja membiarkan Pasukan
Belanda masuk Kota Solo.Untuk memperkuat kedudukannya di Solo, Kolonel Ohl
memperkuat pasukannya di Boyolali dengan menempatkan satu Brigade Green Cup di Bangak, Banyudono. Saat
Belanda di Boyolali, Lettu Sumitro Komandan COP Sektor II Ngaglik mundur ke
daerah Cepogo. Di sana Lettu Sumitro
membentuk Pusat Pertempuran Sementara (PPS) Divisi IV yang beroperasi di
sekitar Boyolali. Selama di Cepogo, Pasukan TP dari Batalyon 100 menjadi tulang
punggung TNI dalam penghadangan konvoi Belanda di daerah Ampel (Sidik Suwarno, wawancara 14 Januari 2014). Saat TNI
menyusup ke daerah pendudukan, Belanda semakin terkurung di kota-kota saja.
Jalan Semarang-Solo merupakan ladang pembantaian bagi konvoi Pasukan Belanda
sejak bulan Maret 1949. TNI maupun
laskar yang sudah berpengalaman menghadapi Belanda menjadi ancaman serius yang
sebelumnya tidak dipikirkan dampaknya oleh Belanda saat mendoorstoot Solo. Di
Kaligentong Ampel, vorijder yang
sedang mengawal konvoi Belanda dihabisi oleh anak buah Sumitro bernama Kusdi.
Kusdi berani melakukan penghadangan karena ingin membalas kematian ayahnya. Di saat
vorijder itu datang dari arah
Salatiga, satu dari dua vorijder
berhasil ditembak mati oleh Kusdi. Vorijder
tersebut berhasil diidentifikasi bahwa dia berasal dari kesatuan Anjing Hitam
NICA dengan pangkat sersan. Setelah vorijder
itu jatuh, kemudian Kusdi mengambil uang Rp. 6000,00 dari saku mayat tersbut
dan juga menggondol machine pistol dan pistol milik serdadu Belanda yang tewas tadi (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Doorstoot
Belanda di sektor PP4A berdampak pada terhentinya anggaran rutin dari
pemerintah pusat kepada semua kesatuan, jawatan, dan instansi. Sesuai Instruksi
Panglima MBKD Nomer 4/MBKD/49 tanggal 1 Januri 1949, suplai logistik untuk
tentara menjadi tanggung jawab Pemerintah Militer Kabupaten (PMKB). PMKB harus
bisa memenuhi kebutuhan logistik untuk pasukannya dengan cara apapun seperti
mengumpulkan logistik dari rakyat maupun merampas dari musuh. Di Tegalrejo, setelah pasukan TNI masuk ke daerah pendudukan, dapur umum dikelola oleh masyarakat setempat. Karena terjadi kelangkaan beras, biasanya dapur umum
Tegalrejo menyediakan nasi jagung lauk sayur. Kalau beruntung, Pasukan TNI yang
berwingate dapat merasakan tempe
goreng pemberian warga (Mujiyem, wawancara
12 Januari 2014). Selain di daerah Tegalrejo Tengaran, dapur umum juga
didirikan oleh masyarakat di Balai Desa Urut Sewu dan Mrican Kecamatan Ampel. Dengan
demikian jelas bahwa sumber utama dukungan logistik TNI di bekas PP4A diperoleh
dari rakyat (Sidik Suwarno, wawancara
14 Januari 2014).
Keterbatasan Alat Tempur Tidak Menjadikan Para Pejuang Tengaran Ciut Nyali Meskipun Berhadapan Dengan Tank Belanda |
Setelah
bertempur kurang lebih enam bulan, Pasukan Belanda mengalami kekalahan besar.
Belanda hanya berkuasa atas kota-kota saja, seperti Semarang dan Salatiga. TNI
yang tadinya terpukul, menjadi memukul. Setelah melakukan wingate dari Solo dan Yogya ke daerah pendudukan, Pasukan Belanda terkepung
di daerah Solo. Bantuan pasukan dari Salatiga terhenti di daerah Tengaran dan
Boyolali. Setiap hari Zeni Tempur Belanda harus membenahi jembatan-jembatan
yang rusak akibat bom-bom milik pejuang. Di Ampel, pasukan gerilya yang terdiri
dari rakyat mulai berani mengepung pos-pos Belanda (Sidik Suwarno, wawancara 14 Januari 2014).
Pada
3 Agustus 1949, tercapailah gencatan Senjata. Setelah dinilai aman, Pada bulan
November aparat pemerintah RI PMKB Semarang dan Salatiga diikuti Pemerintah Militer
Kecamatan (PMKT) Bringin dan Tengaran mulai meninggalkan Susukan menuju Sruwen
dan Bener Tengaran. Pada 19 Desember, Yon Suradji sudah berada di Tingkir dan
Ngaglik. Sementara Bupati Semarang Sumardjito dan Kepala Polisi Sutardjo sudah
masuk ke Salatiga untuk membicarakan penyerahan Salatiga ke tangan Republik.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, wilayah RI
dipulihkan kembali. Baru tanggal 29 Desember Kota Salatiga resmi masuk Republik
Indonesia diikuti kecamatan-kecamatan di sekitar Salatiga (Chusnul Hajati,
dkk., 1997: 150).
SUMBER:
- Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
- SESKOAD. 1990. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta Latar Belakang dan Pengaruhnya. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.
Post a Comment