Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Kabupaten Semarang Berjuang - Pasukan Clurut (Tengaran 1947-1949)

Ketika Pasukan Belanda menduduki Kota Salatiga, masyarakatdari daerah Tengaran tidak tinggal diam. Ulama sekaligus Pasukan Sabilillah yang dahulunya ikut berjuang dalam perang Kemerdekaan melawan tentara Jepang bernama Kyai Mawardi, mengumpulkan pemuda dari daerah Tengaran untuk direkrut menjadi pasukan gerilya. Pemuda-pemuda dari daerah Tengaran dikumpulkan dengan media pengajian yang digelar di Masjid Tengaran. Dalam pengajian itu, Kyai Mawardi berdakwah tentang cinta tanah air dan jihad fi sabilillah. Para pemuda sangat  antusias mendengarkan ceramah dari Kyai Mawardi. Pada hari itu juga, 20 pemuda yang hadir di Masjd Tengaran tertarik dengan ajakan Kyai Maward dan membentuk sebuah Barisan Pejuang bernama Pasukan Hizbullah.

Pada awal didirikannya, pasukan Hizbullah beranggotakan 20 pemuda. Dullah Sadjadi ditunjuk sebagai ketuanya. Latihan perang pertama kali digelar di depan rumah Ahmad Tirkon di Dusun Kaliwaru yang pada waktu itu sudah ditinggal penghuninya. Ketika Dullah Sadjadi sedang mengajati teori membidik dengan senapan laras panjang, Trimo tidak sengaja menarik pelatuk senapan yang dibawanya. Senapan yang sudah terisi peluru tadi meletus mengenai telinga Jumari. Setelah kejadian itu, latihan perang dialihkan ke Masjid Kaliwaru. Di sana Pasukan Celurut dilatih oleh Kyai Mawardi untuk menggunakan senjata api dengan benar dan cara melempar granat. Sebagai komandan utama Pasukan Hizbullah, Kyai Mawardi mengangkat dirinya sebagai Kapten. Setelah diajari teori menembak dan melempar granat dengan benar, Pada hari itu juga Dullah Sadjadi melatih fisik dan kemampuan bertempur Pasukan Hizbullah dengan sebuah permainan mencari target sasaran berupa bendera putih. Pada saat itu Dullah Sadjadi memasang bendera putih di makam Dusun Ngentak, Klero (dekat komplek situs Candi Klero). Bendera itu dikibarkan pada sebatang bambu yang tingginya sepuluh meter. Setelah dipasang di atas makam, lalu Dullah Sadjadi kembali ke Markas Kaliwaru. Dia memerintahkan anggotanya untuk mencari bendera yang dimaksud. Untuk mencapai target yang dituju, anggota Pasukan Hizbullah harus berjalan melewati anak Sungai Serang yaitu Kali Tanggi. Mereka merangkak naik pada tebing Kali Tanggi yang tingginya sekitar 30 meter menuju makam. Setelah target sasaran ditemukan, mereka membawa bendera putih yang dipasang di atas makam tadi kembali ke markas Kaliwaru (Subardi, wawancara 29 September 2013, Mawardi, wawancara 3 Desember 2013 dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).
Selang beberapa hari pasca latihan perang-perangan di Kaliwaru, nama Pasukan Hizbullah kemudian diganti menjadi Pasukan Clurut. Pasukan Clurut dibawah pimpinan Dullah Sadjadi mengadakan penyerbuan pertamanya ke markas Belanda di Kebonjeruk (sekarang menjadi kantor pengembangan tanaman holtikultura di Utara pasar Kembangsari Baru). Dahulunya markas tersebut digunakan sebagai kantor perusahaan perkebunan jeruk milik orang Belanda. Sebelum digerakkan menuju front, Pasukan Clurut dirajah oleh Kapten KyaiMawardi dengan doa-doa agar tubuh mereka tidak tembus peluru. Sebagai media doa-doa tersebut, Kyai Mawardi meggunakan telur ayam yang sudah matang. Setelah telur dimakan, Pasukan Clurut berdoa bersama untuk kesalamatan anggota dan suksesnya misi mereka. Penyerangan dilakukan pada malam hari. Pasukan dipecah menjadi dua regu, satu regu terdiri dari 10 orang. Pemimpin regu barat dipimpin oleh Riri, sedangkan regu timur dipimpin langsung oleh Dullah Sadjadi. Mereka harus merangkak sejauh 200 meter dari Selatan sungai kecil (sekarang di Selatan pasar Kembangsari) untuk mendekati markas Belanda. Belanda mencium keberadaan regu timur, lalu Belanda menyalakan lampu sorot ke atas langit. Suasana di sekitar Markas Kebonjeruk menjadi terang dan akhirnya posisi regu timur diketahui oleh Belanda.  Saat itu juga, Belanda langsung menembakkan mortir ke regu timur. Mortir berjatuhan di kanan kiri tempat persembunyian regu timur. Beruntung mortir tersebut tidak ada yang meledak. Ketika regu barat sudah mendekati markas Belanda, mereka mendapat komando dari Dullah Sadjadi untuk menyerang. Dullah Sadjadi meneriakkan “Allah Akbar” sembari lari mendekati markas Belanda. Regu barat yang pertama kali memasuki markas Kebonjeruk melihat markas tersebut sudah kosong. Ternyata sekitar dua jam penyergapan itu, telah dimanfaatkan oleh tentara Belanda yang berjaga di sana untuk melarikan diri ke arah Utara (Salatiga). Dalam penyergapan itu, Pasukan Clurut tidak mendapatkan senjata rampasan. Sebelum waktu subuh, Pasukan Clurut sudah kembali ke Markas Kaliwaru (Subardi, wawancara 29 September 2013, dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).
Serangan yang dilancarkan oleh Pasukan Clurut di Markas Belanda Kebonjeruk pada tahun 1947 memotivasi pemuda-pemuda di sekitar Tengaran untuk bergabung dengan Pasukan Clurut. Pasukan Clurut yang mulanya hanya terdiri dari 20 pemuda, meningkat jumlahnya hingga 50 pemuda. Karena terlalu banyak, mereka tidak ditempatkan dibarisan depan (bertempur) saja, melainkan ada yang menjadi tukang kayu untuk masalah dapur, tobang (pembawa logistik untuk keperluan TNI), spionase (mata-mata), dan kurir surat. Meskipun begitu mereka yang ditempatkan sebagai bantuan non tempur TNI, ketika mereka dipanggil untuk bertempur, mereka selalu siap (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Peta Salatiga 1947- Tangsi Bambu Salatiga (nomer 28)
Beberapa hari kemudian, pasca penyerangan terhadap markas Belanda di Kebonjeruk, Dullah Sadjadi menawarkan misi kepada anggotanya untuk memata-matai pergerakan dan kekuatan Pasukan Belanda yang berada di Tangsi Bambu, Salatiga. Jumari mengajukan dirinya untuk melaksanakan tugas itu. Dari Markas Kaliwaru, Jumari berjalan menuju Salatiga dengan menyamar sebagai pencari kayu. Saat menyamar, dia memakai baju jelek yang yang terbuat dari serat jerami, sedangkan celannya adalah celana pendek yang terbuat dari karung goni dengan ikat pinggang yang terbuat dari serabut pohon pisang. Sekitar pukul 07.00 Jumari berangkat dari Kaliwaru dengan goloknya yang sudah diberi mantra. Sesampainya di  Klero, dia melanjutkan perjalanannya menuju Karangduren melalui Dusun Banjari ke arah  Utara. Dari Karangduren, dia terus berjalan ke Utara menuju Bener Etan. Sesampainya di Bener Etan Jumari bergerak ke  arah Barat  menyeberangi jalan Semarang-Solo menuju ke Cebongan. Dari Cebongan, Jumari bergerak ke Pendem. Di daeah Pendem, Jumari menyaksikan banyak rumah telah kosong ditinggal mengungsi pemiliknya ke luar daerah Salatiga. Jumari sampai di Tangsi Bambu sekitar pukul 15.00. Di sekitar Tangsi Bambu banyak terdapat pohon kenari. Jumari langsung memanjat pohon kenari yang berada tepat di depan Tangsi Bambu untuk mengintai kekuatan musuh yang berada di dalamnya. Saat mengintai, Jumari melihat ada empat serdadu Belanda berseragam hijau berjaga di depan barak dengan senjata laras panjang. Setelah menebas beberapa dahan kayu lalu Jumari turun. Saat kakinya menginjak tanah, dia dikejutkan oleh seorang Belanda yang ternyata dari tadi sudah berada di bawahnya. Dia ditangkap oleh orang itu. Jumari ketakutan dan khawatir mengira dia akan dibunuh. Ternyata dia tidak dibunuh oleh tentara Belanda yang menangkapnya tadi. Setelah itu Jumari diberi roti dan akhirnya dibebaskan. Jumari langsung pulang sambil memikul kayunya. Di sekitar Isep-Isep, kayu yang dipikul dari Tangsi Bambu tadi dia buang. Jumari tiba di markas Kaliwaru sekitar pukul 01.00 malam (Peta lihat Gambar 4). Di Kaliwaru dia disambut Dullah Sadjadi. Setelah melapor, Jumari disuruh tidur oleh Dullah Sadjadi (Jumari, wawancara 3 Desember 2013).
Setelah disetujui hasil perundingan Klero mengenai garis demarkasi di Kecamatan Tengaran, maka Kecamatan Tengaran dibagi menjadidua. Pasukan Clurut yang berasal dari rakyat tidak terikat dengan perjanjian tersebut. Mereka menyamar sebagai rakyat dan melakukan sabotase-sabotase di daerah pendudukan. Meskipun melakukan sabotase, mereka tidak menyakiti warga yang tinggal di daerah itu karena warga yang tinggal di daerah pendudukan kebanyakan masih saudara. Hal ini yang membedakan antara Pasukan Clurut dengan Pasukan Batu ketika mengemban misi. Pasukan Batu lebih agresif, karena kebanyakan dari mereka adalah bekas garong (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
Kegiatan Pasukan Clurut setelah Renville semakin membahayakan kedudukan Pasukan Belanda di Kebon Jeruk. Hampir setiap hari, pukul 21.00 Pasukan Clurut yang berkumpul di Tegalrejo mendapat perintah dari Dullah Sadjadi untuk meneror maupun mencuri senjata Pasukan Belanda di sana. Tidak semua anggota Pasukan Clurut berangkat ke Kebonjeruk, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki keahlian melakukan sabotase. Dengan berbekal ilmu sirep (ilmu sihir) mereka dapat melumpuhkan penjaga di markas Kebonjeruk. Petugas jaga di markas Kebonjeruk dibuat tidur sehingga para Clurut bisa mengambil senjata mereka.  Mereka baru kembali ke Tegalrejo setelah pukul 01.00. Bila beruntung mereka dapat membawa granat dan senapan (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Menjelang doorstoot, Jarkoni mendapat tugas dari Kyai Mawardi untuk menanam ranjau darat di pertigaan jalan Klero yang mengarah ke jalan Senjoyo. Saat itu, truk yang membawa serdadu Belanda rencananya akan menuju Senjoyo. Truk tersebut sebenarnya menginjak ranjau yang ditanam oleh Jarkoni. Tetapi ranjau tersebut tidak meledak karena truk tadi hanya menginjak sisi badan ranjau bukan pemicu ledakannya yang terletak di atas  badan ranjau. Beberapa hari setelah menanam ranjau, Jarkoni mendapat tugas baru untuk mengawal pasukan TNI menyerbu markas Belanda di Kebonjeruk. Jarkoni berada di depan rombongan untuk membersihkan jalan yang akan dilalui pasukan TNI dari mata-mata Belanda. Jarkoni juga harus memastikan jalan yang akan dilalui pasukan TNI di desa-desa sekitar Kecamatan Tengaran bersih dari ranjau darat. Misi paling sulit dalam pengawalan tersebut adalah mencari waktu yang aman untuk menyeberangkan pasukan TNI dari satu dusun ke dusun lain, dari Klero sampai pertigaan Dusun Cabean yang akan mengarah ke Kebonjeruk. Di desa-desa yang dilalui oleh Pasukan TNI, Belanda telah menyebar mata-mata yang berasal dari masyarakat sekitar. Belanda banyak menyebar mata-mata di Daerah Cabean. Meskipun begitu, tidak semua masyarakat Cabean memihak Belanda, tetapi ada juga yang memihak RI. Sebenarnya,  jauh hari sebelum Kecamatan Tengaran dibagi menjadi dua, TNI sudah menanam mata-mata bernama Kyai Abu Ngamar di dusun itu. Tidak mau kalah dengan TNI, Belanda juga menyebar agen mata-mata, salah satunya adalah Lurah Karangduren.  Selain lurah Karangduren, Ridwan anggota Pasukan Clurut yang berasal dari Karangduren juga direkrut menjadi mata-mata Belanda (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
Dua hari sebelum tentara Belanda merangsek ke Kota Solo, 19 Desember  pukul 01.00, truk-truk Belanda yang membawa pasukan dari Salatiga sudah ditempatkan di Kebonjeruk. Pukul 04.00, Belanda memuntahkan peluru kanonnya dari Kebonjeruk ke arah Ampel dan Tengaran. Di Tengaran, warga banyak yang menjadi korban dari pecahan peluru kanon Belanda. Salah satu korban serangan kanon Belanda di Tengaran bernama Isah. Sedangkan di Tegalrejo, Sati dan anaknya bernama Ngatini terkena pecahan peluru kanon yang jatuh di depan rumahnya. Beruntung keduannya selamat tidak sampai meninggal dunia (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Malam hari sebelum Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, anggota Pasukan Clurut berkumpul di Masjid Kaliwaru untuk mujahadahan bersama. Mujahadahan selesai pada pukul 00.00. Karena Masjid Kaliwaru tidak bisa menampung semua anggota Pasukan Clurut untuk bermalam di sana, maka sebagian besar Pasukan Clurut  tidur di rumah Dullah Sadjadi. Pagi harinya Belanda sudah mendekat ke garis SQ Kali Tanggi setelah Belanda menyerang pertahanan Republik di Selatan Kali Tanggi dengan meriam atau kanon (Jarkoni, wawancara 28 September 2013). Pertahanan di Kali Tanggi tidak mudah ditembus oleh Belanda karena di daerah tersebut ribuan TNI dan Laskar non TNI membangun kekuatan dua lini. Oleh karena itu Belanda menggunakan strategi menjapit dari dua sisi petahanan PP4A. Belanda menyerang dari tiga arah. Sayap Barat kusus menyerang daerah Ngaglik. Sayap Timur menyerang Gading, dan kekuatan utama di Tengah (Klero) bertugas mendoorstoot pertahanan Tengaran. Pertahanan Gading (Karangwuni) yang pertama kali disapu oleh Belanda. Setelah Karangwuni dilumpuhkan, Belanda  merangsek ke Kebon Batur Sruwen. Karena prediksi awal Belanda masuk lewat Sektor I, jembatan Kali Tempuran sudah terlebih dahulu dihancurkan oleh TNI untuk menghalau gerak laju Belanda dari Salatiga menuju Ampel. Pohon Randu Alas yang besarnya tiga kali pelukan orang dewasa juga dirobohkan melintang ke arah Barat menutupi jalan Solo-Semarang. Ternyata hal itu tidak dapat membendung sergapan Belanda yang berasal dari arah Timur. Sesampainya di Kebon Batur, Belanda  bergerak ke Barat dan mengadakan penghadangan di Dusun Kalisoko. Melihat pertempuran yang tidak seimbang di Tengaran, Slamet Riyadi memerintahkan untuk penghancuran jembatan Ampel dan menginstruksikan kepada pasukan TNI yang bertahan di Tengaran untuk mundur ke Selatan maupun ke Barat (lereng Gunung Merbabu). Setelah Tengaran dilepaskan, pasukan TNI banyak yang mundur ke Selatan (Ampel). Mereka yang lari ke Selatan dihadang Belanda di Kalisoko. Mereka lalu dilucuti dan ditawan di Barat Kaliwaru untuk diinterogasi. Bagi mereka yang terbukti sebagai pejuang langsung digiring ke Kebonjeruk. Dari Kebonjeruk mereka digiring ke penjara Salatiga. Dari penjara Salatiga mereka disaring berdasarkan kejahatan mereka. Mereka yang terkena hukuman berat akan dieksekusi di Kedayon (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Saat Belanda mengepung markas Clurut di Kaliwaru, banyak Pasukan Clurut yang berlari ke arah Barat. Salah satunya adalah Subardi yang lolos dari penyergapan Belanda. Dari Kaliwaru dia berlari ke Sampetan. Di sana dia bergabung dengan Pasukan Clurut yang selamat dari sergapan Belanda di Desa Tegalrejo. Berbeda dengan nasib Jarkoni, saat Belanda menyerang Markas Clurut, Jarkoni tertangkap oleh Belanda. Dia sempat akan dibunuh, kemudian Lurah Tengaran mencegahnya dan mengakui bahwa dia adalah warganya sehingga dia tidak jadi ditembak di tempat. Jarkoni mendekam di penjara Salatiga selama tiga bulan. Selama dipenjara, dia mendapat pelayanan yang cukup baik dari Belanda karena saat diinterogasi dia mengaku sebagai tobang (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
Belanda tidak hanya mengepung Kaliwaru saja, Desa Tegalrejo juga tidak luput dari kepungan Belanda. Dengan senjata lengkap, Pasukan Belanda menggeledah satu persatu rumah warga yang dijadikan sebagai markas TNI maupun Laskar Gerilya. Masyarakat yang ketakutan mengungsi ke daerah Kaligentong. Di Tegalrejo, Belanda mencari buronan utamanya yaitu Dullah Sadjadi. Ketua Pasukan Clurut itu sangat dibenci oleh Belanda karena berhasil mengerahkan massanya untuk mengganggu ketentraman Belanda di daerah Pendudukan. Belanda menggeledah rumah Dullah Sadjadi tetapi tidak ketemu. Saat Belanda masuk ke rumah Dullah Sadjadi, dia langsung bersembunyi naik di atas pogo (tempat mengeringkan kayu yang dipasang di atas tungku). Dullah Sadjadi tidak sempat mengambil senjata dan granatnya sembunyi. Malam hari dirasa keadaan sudah aman, Dulah Sadjadi pergi ke Kaligentong mencari sisa pasukannya yang selamat (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014). Di hari itu juga, Mujiyem istri Dullah Sadjadi bersembunyi di jurang Kali Tempuran. Setelah keadaan mulai kondusif, Mujiyem keluar dari persembunyiannya dan bergerak menuju Kaligentong mencari tempat aman. Setelah beberapa hari mengungsi ke Kaligentong, Mujiyen pindah ke Kembang (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Saat Belanda mendoorstoot Tengaran, Belanda mengusahakan sepanjang radius 1 Km dari jalan Solo-Semarang harus bersih dari gangguan gerilyawan (Suratman Murbowijoyo, wawancara 22 September 2013). Oleh karena itu, Belanda melakukan penangkapan warga di daerah Tegalrejo. Saat melakukan penangkapan sering kali mereka asal tangkap. Warga Tegalrejo yang sedang berladang benama Juri dan Marto tiba-tiba ditangkap. Padahal  mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi (doorstoot ke Tengaran). Siang hari mereka ditangkap dan dibawa ke Kaliwaru untuk dimintai keterangan.  Pada malam harinya Juri berhasil meloloskan diri dari kamp tawanan sementara Belanda di Tengaran. Juri berhasil lari ke arah Selatan. Pasukan Belanda yang berusaha menangkap Juri memberondong tempat persembunyian Juri di Jurang Ngesrep tetapi dia selamat. Kemudian dia pergi ke Tegalrejo, dari Tegalrejo Juri langsung ke Ngaglik (markas pertahanan terdepan dan terakhir TNI di Sektor PP4A saat Belanda mendoorstoot Tengaran). Karena Juri kabur dari kamp tawanan di Kaliwaru, Marto teman Juri dituduh oleh penyidik Belanda akan ikut kabur. Karena tuduhan itu, Marto tidak dilepaskan seperti masyarakat lainnya. Malahan dia dijadikan tawanan Belanda di Kebonjeruk yang setiap harinya harus  mengangkut ransel-ransel Belanda dari gudang ke truk maupun sebaliknya (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
Pasukan Clurut yang berhasil lolos dari sergapan Pasukan Belanda di Desa Tegalrejo dan di Desa Tengaran kemudian lari ke arah Barat yaitu ke lereng Gunung Merbabu. Mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Subardi dan kelompoknya sesampainya di Desa Sampetan kemudian melakukan konsolidasi kekuatan di sana. Sehari kemudian, Subardi memimpin teman-temannya bergerak ke arah Utara yaitu ke Dusun Ngaglik. Di Ngaglik, Dullah Sadjadi sudah menunggu mereka. Belanda dari Setugur dan Kebonjeruk berusaha mengepung Pasukan Clurut dan TNI yang lari ke lereng Merbabu. Setelah seminggu di Ngaglik, Dullah Sadjadi memerintahkan anak buahnya bergerak ke Getasan. Dari Getasan, mereka berjalan menyusuri lereng Telomoyo menuju ke Pager Endog, Banyubiru. Dari Pager Endog, mereka melanjutkan perjalanannya ke daerah Tegalrejo, Magelang. Selang beberapa hari, Pasukan Clurut kembali ke Sampetan lewat jalur Kopeng.  Menjelang waktu subuh, Pasukan Clurut sudah berada di Kopeng. Mereka disergap Pasukan Belanda dengan diberondong peluru. Tidak ada satupun anggota Pasukan Clurut yang menjadi korban. Setelah itu, mereka menyusuri lereng Merbabu dan pada malam harinya sampailah di Sampetan, Ampel (Jumari, wawancara 3 Desember 2013).
Selama berada di lereng Gunung Merbabu, Pasukan Clurut selalu waspada terhadap pergerakan Belanda di daerah Sampetan, Ampel. Meskipun pimpinan utama (Kyai Mawardi) sudah gugur, semangat perjuangan melawan penjajahan tidak terhenti. 1 Maret 1949 terjadi serangan umum terhadap pos-pos Belanda di Tengaran. Serangan secara besar-besaran terjadi pada malam hari. Penduduk desa memukul kentongan sehingga suasana menjadi hiruk pikuk. Pertempuran kecil terjadi di Desa Mongkrong, Tanjung, dan Tengaran (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 146). Sisa Pasukan Clurut yang sempat melakukan konsolidasi kekuatan dibawah pimpinan Subardi melakukan stelling di Mongkrong. Di sana terjadi tembak menembak antara pasukan RI yang didalamnya ada Pasukan Clurut melawan Pasukan Belanda (Subardi, wawancara 29 September 2013 ).
Pertengahan Maret 1949, Pasukan Clurut baru berani keluar dari lereng Gunung Merbabu. Di daerah pendudukan, Pasukan TNI membuat kantong-kantong gerilya setelah berwingate dari Solo dan Yogyakarta. Dullah Sadjadi memerintahkan Jumari dan Trimo untuk memasang ranjau darat (mine) di lajur timur jalan raya yang menghubungan antara Kota Semarang dan Solo, tepatnya di pertigaan Klero. Ranjau yang ditarik dengan kawat penghubung tersebut dikubur di dalam tanah. Penarik kawat mine tersebut bersembunyi di dalam sebuah lubang yang jaraknya 50 meter di sebelah barat jalan raya. Lima belas hari kemudian, datanglah konvoi Belanda yang akan menuju Solo. Saat mereka melintas, mine tadi ditarik oleh Tentara Pelajar yang pada hari itu bertugas menarik kawat mine. Banyak jatuh korban jiwa dipihak Belanda. Mayat-mayat serdadu Belanda tadi diangkut dengan truk menuju ke Salatiga. Didikan khas militer Jepang dan semangat jihad fi Sabilillah, membuat anggota Pasukan Clurut tidak takut mati. Memang kenyataannya hingga akhir tahun 1949, tidak ada satupun Anggota Clurut yang mati ditangan Belanda (Jumari, wawancara 3 Desember 2013). 
Sumber 

  • Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Old Map of Salatiga. http://www.salatiga.nl/jalan/kaart_salatiga_1947.htm
 

1 comment

Margono said...

Trima kasih infonya..jadi tahu ada pejuang dari tengaran

Powered by Blogger.