Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Peran Kyai Selama Revolusi Fisik di Tengaran (1947-1949)

       Setelah keluar “Resolusi Jihad” oleh fatwa Rois Akbar NU, K.H. Hasyim Asy’ari maka semangat membela kemerdekaan menggelora di penjuru tanah air.  Pemuda-pemuda Islam menggabungkan diri dalam pasukan Hizbullah, sedangkan orang-orang Islam kalangan awam bergabung dengan pasukan Sabilillah. Untuk mendampingi Hizbullah dan Sabilllah, ditunjuk para kyai yang tergabung dalam barisan Mujahidin.
Pada tanggal 5 Juni 1946, dibentuklah Hizbullah Divisi Semarang yang bermarkas di Salatiga. Komandan Divisi Semarang dipegang oleh Harsono. Divisi Semarang dipecah menjadi tiga resimen. Resimen Demak dipimpin oleh M. Moehdi, Resimen Purwodadi dipegang oleh Sudarsono, dan Resimen Semarang dipegang oleh Abdul Rozaq. Tugas dari masing-masing Komandan Resimen adalah
(Tashadi, dkk., 1997: 59):
1.      Membentuk batalyon-batalyon di setiap kawedanan.
2.      Membentuk kompi-kompi Hizbullah di tiap-tiap kecamatan.
3.      Mengadakan mobilisasi pemuda-pemuda Islam di tiap-tiap kebupaten dan bekerjasama dengan para kyai yang saat itu tergabung dalam barisan Sabilillah.
4.      Mengadakan latihan kemiliteran dan mempersiapkan pasukan bila ada perintah maju ke front.
5.      Menggali dana berupa uang dan bahan makanan di daerahnya.
       Peran ulama selama perang mempertahankan kemerdekaan di Tengaran tidak dapat dipandang sebelah mata. Para ulama memberi kontribusi penting dalam menyediakan massa selama perang. Mereka menjadi tokoh panutan masyarakat karena mayoritas masyarakat Tengaran beragama Islam. Sejak proklamasi kemerdekaan mereka berpegang teguh pada prinsip anti penjajahan, sehingga Belanda menganggap bahwa ulama dengan pondok pesantrennya merupakan pusat perlawanan. Pada kenyataannya memang banyak pondok pesantren maupun masjid-masjid yang digunakan sebagai markas perjuangan dan pengkaderan pemuda untuk dijadikan pejuang.
Untuk Menghormati Pahlawan yang Gugur di Kecamatan Tengaran, Jalan Raya Semarang-Solo yang melintasi daerah Tengaran (antara Sruwen - Bener) diubah namanya menjadi Jalan Kyai Haji Mawardi
Di Tengaran, para kyai yang mengabdikan dirinya untuk membela kedaulatan Indonesia disatukan ke dalam pasukan Sabilillah. Pasukan Sabilillah Tengaran lebih dikenal dengan nama Barisan Kyai Tengaran. Mereka adalah Kyai Mawardi (pendiri Pasukan Clurut Tengaran), Kyai Zubair dan Kyai Khumaidi dari Pondok Tingkir Lor, dan Kyai Abu Ngamar dari Cabean (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 147).
       Sebagai imam dan anggota laskar, mereka tidak mendapat gaji dan juga tidak mendapat jabatan dalam pemerintah sipil maupun militer. Keikutsertaan mereka mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah murni karena mereka mencintai bangsa Indonesia. Semangat perjuangan dilandasi oleh semangat jihad fi Sabilillah, yaitu semangat berjuang di jalan Allah. Jihad fi Sabilillah tidak lain adalah semangat berjuang membela kebenaran yaitu membela tanah airnya dari kaum jahat, yaitu penjajah Belanda (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013) .
       Kyai Mawardi merupakan pendiri sekaligus komandan pasukan Hizbullah (Pasukan Clurut). Dia berasal dari Solo dan mempunyai empat anak buah yang masing-masing dari mereka adalah kyai. Mereka yang setia kepada Kyai Mawardi adalah Kyai Saghoji, Kyai Bajuri, Kyai Amri, dan Kyai Dulbari. Kyai Mawardi tergabung dengan Barisan Kyai Tengaran. Dia mengumpulkan pemuda dengan cara mujahadahan dari masjid ke masjid. Mujahadahan pertama kali diselenggarakan di masjid Tengaran. Dalam kesempatan itu, dia berdakwah tentang jihad fi sabilillah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dari dakwahnya, ia memperoleh dua puluh pemuda. Lalu dari  dua puluh pemuda itu dibentuk pasukan bernama Hizbullah. Dikemudian hari nama pasukan Hizbullah diganti menjadi Pasukan Clurut (Mawardi, wawancara 3 Desember 2013) dan Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
       Untuk meningkatkan keterampilan anak asuhnya (anggota laskar Hizbullah) para kyai membina ideologi, kerohanian, dan jasmani anak asuhnya. Pembinaan ideologi dilakukan dengan cara menanamkan nasionalisme dan patriotisme. Mereka juga menekankan agar anak asuhnya selalu mencintai bangsanya. Penderitaan rakyat yang dibuat oleh Belanda harus segera diakhiri dengan jihad fi Sabilillah. Rasa senasib sepenanggungan dijajah Belanda melahirkan ikatan batin yang kuat antara pasukan Hizbullah dan masyarakat Tengaran, sehingga anak asuh para kyai berani berkorban demi masyarakat (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
       Kyai sebagai pemimpin spiritual juga memberi bekal spiritual kepada anak asuhnya. Bukan hanya anak asuhnya saja, tetapi juga pejuang non Hizbullah yang bertempur di Tengaran. Sebelum anak asuhnya bertempur, para kyai jauh hari telah mengasah kerohanian anak asuhnya dengan bermacam-macam doa keselamatan. Doa keselamatan bagi mereka yang paling umum sebelum terjun melaksanakan tugas adalah doa kebal peluru dan kebal senjata tajam. Mereka diharuskan puasa mutih selama tujuh hari. Puasa mutih beda dengan puasa dibulan Ramadhan.  Puasa mutih adalah berpuasa atau berpantang makan dan minum apa saja kecuali makan nasi dan minum air putih. Tata caranya hampir sama dengan puasa Ramadhan yaitu ada makan sahur dan makan buka puasa. Sahur adalah makan dipagi hari sebelum waktu sholat subuh sedangkan buka adalah makan disore hari menjelang detik-detik adzan mahgrib sebagai batasan puasa hari itu sudah usai. Puasa mutih hanya diperbolehkan memakan sekepal (segenggam) nasi putih dan segelas air putih. Sehabis waktu sahur ataupun buka, mereka tidak boleh makan apa-apa lagi hingga tujuh hari lamanya. Selama tujuh hari itu mereka juga harus menjaga kelakuan dan napsu duniawi. Sebelum anak asuhnya berangkat mengemban tugas, Kyai Mawardi selalu menyepuh (memberi doa) pada peralatan yang akan dibawa anak asuhnya mengemban misi dengan doa-doa keselamatan. Hal itu bertujuan untuk menguatkan moril mereka selama menjalankan tugas (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Subardi, wawancara 29 September 2013).
       Diluar kegiatan bertempur, pembinaan rohani sangat diutamakan kepada anak asuhnya seperti memupuk keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kedisiplinan sholat lima waktu, sholat tahajud   dan hajat, mengaji, puasa senin-kamis, dan memberi pencerahan dari ayat Alquran maupun Alhadits. Markas Kaliwaru dijadikan sebagai pusat pembinaan moral dan akhlak pemuda Hizbullah Tengaran. Dengan semboyan “Hidup Mulya, Mati Sorga” anak asuh Kyai Mawardi tidak gentar melawan Belanda meskipun hanya bersenjatakan golok dan bambu runcing (Jarkoni, wawancara 28 September 2013). 
       Sedangkan di Cabean, Karangduren ada seorang kyai bernama Abu Ngamar. Dia adalah kunci keberhasilan gerilya pasukan Republik di daerah Tengaran bagian Utara. Pada waktu itu  para kyai mempunyai wibawa yang tinggi di mata masyarakat dan TNI. Mereka dipercaya oleh TNI untuk mengumpulkan massa maupun sebagai mata-mata di daerah Pendudukan. Gerilyawan yang akan menyerang pos Belanda di Kebonjeruk, mereka harus ijin Kyai Abu Ngamar dahulu. Apabila Kyai Abu Ngamar tidak mengijinkannya, gerilyawan tidak jadi menyerang. Kyai Abu Ngamar sangat dekat dengan TNI  karena  dia adalah mantan tentara jaman Jepang yang memberontak pada tahun 1945. Pergerakan Belanda di Kebonjeruk dimonitorinya dan rutin dilaporkan kepada pemimpin pejuang di Desa Tegalrejo. Kyai Abu Ngamar tahu persis keadaan Belanda di Kebonjeruk. Oleh karena itu, masalah pengaturan jadwal serangan TNI ke Kebonjeruk menjadi tanggung jawabnya. Setelah perjanjian Klero, Belanda mengadakan penangkapan besar-besaran terhadap penduduk yang membahayakan kedudukan Belanda. Kyai Abu Ngamar ditangkap dan rencana akan dieksekusi di Kedayon. Tetapi Kyai Abu Ngamar tidak jadi dieksekusi karena eksekutornya kenal dengan dia. Pada masa Jepang, eksekutor yang akan mengeksekusi Kyai Abu Ngamar pernah menjadi anak buahnya. Setelah Belanda menduduki Pulau Jawa, dia bergabung dengan KNIL. Akhirnya, Kyai Abu Ngamar selamat dari Kedayon kemudian ditahan di Nusa Kambangan karena dia dianggap sebagai Republikan yang berbahaya (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
       Garis demarkasi memperparah penderitaan penduduk yang tinggal di daerah Republik. Hal itu dimanfaatkan Belanda untuk merekrut mata-mata dari orang-orang Republik. Belanda menjanjikan bagi mereka yang dapat menangkap seorang TNI ataupun orang Republik yang berbahaya bagi Belanda akan mendapat hadiah uang. Karena desakan kebutuhan perut, banyak orang yang dahulunya Republik tergiur dengan tawaran Belanda tersebut. Orang Republik yang bergabung dengan  IVG adalah Kyai Ngusman. Pada tahun 1947, Kyai Ngusman adalah pejuang Republik yang militan memerangi Belanda. Kyai Ngusman masuk Barisan Kyai Tengaran dan membawahi Pasukan Clurut. Namun pada tahun 1948, dia terbujuk dengan rayuan Belanda karena mereka menjamin kehidupan yang layak bagi anggota IVG. Keikutsertaan Kyai Ngusman ke dalam IVG bisa jadi karena kedekatan dia dengan agen IVG yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Pamannya adalah seorang Lurah Karangduren. Lurah Karangduren ini terkenal sangat loyal kepada pemerintah Belanda (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
       Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mendobrak pertahanan RI di Tengaran. Saat pertahanan TNI di selatan Kali Tanggi dapat ditembus, para pejuang mundur ke arah Selatan (menuju Ampel), ke arah Barat (menuju lereng Gunung Merbabu) dan ke arah Timur (menuju ke Jembangan). Pasukan Clurut yang terdesak oleh Pasukan Belanda melarikan diri ke Masjid Kaliwaru. Di sana Kyai Mawardi sudah menunggu kedatangan Belanda dengan samurainya. Pasukan Belanda mengejar Pasukan Clurut sampai ke depan Masjid. Sebelum Belanda mengepung Masjid Kaliwaru, sebenarnya Kyai Mawardi bersama ke empat kyai yang berada di dalam Masjid Kaliwaru dapat meloloskan diri ke arah Timur menuju Durensawit, tetapi enggan mereka lakukan karena mereka ingin membakar semangat juang anak asuhnya yang sempat turun morilnya saat mereka mundur ke Masjid Kaliwaru. Masjid Kaliwaru akhirnya dikepung oleh ratusan serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Untuk mengangkat moril anak asuhnya, dengan semangat jihad fi Sabilillah, Kyai Mawardi dengan gagah berani melawan kepungan Belanda dengan samurai peninggalan jaman Jepang. Meskipun diberondong peluru dia tidak mati. Bahkan, dari pihak Belanda banyak jatuh korban karena sabetan samurai Kyai Mawardi tersebut. Tentara Belanda yang umumnya masih berusia remaja secara psikologis morilnya sudah turun. Hal itu disebabkan karena teman-teman mereka banyak yang tewas di tangan TNI maupun laskar non TNI. Mereka yang terluka maupun yang tewas langsung diangkut ke atas truk untuk dilarikan ke Salatiga (Jarkoni, wawancara 28 September 2013, Kusdi, wawancara 29 September 2013), dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).
            Ketika samurainya direbut seorang serdadu Belanda, samurai itu dihunuskan ke tubuh Kyai Mawardi. Akhirnya, Kyai Mawardi gugur tepat di depan pintu rumah haji Bakri. Dalam peristiwa tersebut gugur pula empat anggota dari Barisan Kyai Tengaran yang tidak mau menyerah. Mereka yang gugur adalah Kyai Saghoji, Kyai Bajuri, Kyai Amri, dan Kyai Dulbari (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).

Sumber:
Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tashadi, dkk., 1997. Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah Divisi Sunan Bonang. Surakarta: Yayasan Bhakti Utama.



No comments

Powered by Blogger.