Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Revolusi Fisik di Kecamatan Tengaran 1947-1949 (Awal Mula Pendudukan Belanda di Kecamatan Tengaran)

A.    Keadaan Umum Daerah Kecamatan Tengaran 1947 
     Daerah Tengaran secara struktural merupakan daerah kecamatan, bagian dari kawedanan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kecamatan Tengaran terdiri dari 20 desa, yaitu Tengaran, Tegalrejo, Sruwen, Sugihan, Duren, Regunung, Cukil, Klero, Butuh, Patemon, Karangduren, Bener, Tegalwaton, Barukan, Nyamat, Noborejo, Tingkir Lor, Tingkir Tengah, Cebongan dan Kalibening (Kusdi, wawancara 29 September 2013). 
Kecamatan Tengaran berbatasan dengan:

a.       Sebelah Utara Kota Salatiga
b.      Sebelah Selatan Kecamatan Ampel
c.       Sebelah Timur Kecamatan Susukan dan Suruh
d.      Sebelah Barat Kecamatan Ampel dan Kecamatan Getasan.
       Kondisi geografis tanahnya berupa tanah dataran dan pegunungan yang tergolong subur karena berada di sebelah Timur gunung Merbabu yang hampir setiap lima tahun sekali diguyur hujan abu vulkanik dari letusan gunung Merapi. Jenis tanahnya sebagian besar terbentuk dari bahan vulkanis yang mudah lapuk. Jenis tanah ini cukup subur sehingga dapat ditanami sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija. Kondisi tanah yang subur dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bercocok tanam terutama tanaman palawija. Daerah ini juga mempunyai potensi hidrologi yang cukup besar, yaitu adanya mata air Umbul Senjoyo dan aliran Kali Tanggi yang tidak pernah kering airnya meskipun di musim kemarau. Hamparan sawah terbentang di sepanjang aliran Kali Tanggi yaitu dari Desa Tengaran, Desa Sruwen, sampai Desa Duren. Melihat letak geografisnya, wilayah Kecamatan Tengaran cukup strategis, di Tenggara Kota Salatiga dan diantara dua kota besar yaitu Kota Semarang dan Kota Solo. 
     Sejak jaman Jepang penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional semakin meluas. Bahasa yang lazim digunakan masyarakat sehari hari di kalangan masyarakat Kecamatan Tengaran dan sekitarnya adalah bahasa Jawa. Dalam bidang agama, mayoritas penduduk beragama Islam. Dari segi adat istiadat, sinkritisme Hindu-Jawa dan Islam masih dianut oleh sebagian besar masyarakat terutama ketika upacara selamatan.  
B.     Aksi Militer Belanda I 
     Setelah Indonesia memproklamasikan Kemerdekaannya, bangsa Belanda berusaha untuk menguasai kembali tanah jajahannya yang sempat dirampas oleh bangsa Jepang. Usaha untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia adalah dengan mendirikan Pemerintahan Hindia Belanda Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada akhir September 1945 yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Gubernur Dr. HJ. Van Mook. Selain mendirikan NICA, Belanda juga menghidupkan kembali angkatan darat Hindia Belanda Koninklijk Nedherlands Indische Leger (KNIL) dibawah pimpinan Letnan Jenderal Van Oyen (Husni Thamrin, dkk., 2008: 144). Dengan meningkatnya aktivitas Belanda di Jakarta, ancaman kepada pemerintah RI semakin berbahaya, sehingga pada 4 Januari 1946, ibu kota RI pindah ke Yogyakarta. Kota itu dipilih karena dianggap lebin aman dari gangguan NICA (Moehkardi, 2012: 114)
      Sebelum Belanda melancarkan agresi militernya yang petama, keadaan perang di daerah Tengaran sudah terasa. Banyak pemuda  bergabung bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu (Inggris) di Ambarawa. Setelah pasukan Indonesia dapat merebut kembali kota itu dari tangan Inggris pada bulan Desember 1945, Kota Salatiga oleh TKR dijadikan Markas Pimpinan Pertempuran (MPP) yang mengomando jalannya pertempuran di sekitar Kota Semarang (Moehkardi, 2012: 261). Pertempuran di Semarang mulai reda sejak Februari 1946 setelah Syahrir melakukan pendekatan diplomasi dalam perjanjian Linggarjati  (Moehkardi, 2012: 262). 
Sebelum diselengarakan perjanjian Linggarjati, Belanda dan RI mengadakan perjanjian penghentian tembak menembak yang disaksikan oleh perantara Lord Killearn pada 14 Oktober 1946 (K.M.L Tobing, 1986: 4). Perjanjian Linggarjati diselenggarakan di daerah Cirebon pada 15 November 1946. Pihak Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Syahrir sebagai ketua dengan tiga orang anggotanya yaitu Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo dan A.K. Gani. Sedangkan Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jenderal dengan ketua Schermerhorn dengan anggotanya yaitu Max Van Pool, F. De Boer dan H.J. Van Mook. Selaku mediator, Inggris diwakili oleh Lord Killern (Husni Thamrin, dkk., 2008: 146). 
Hasil perundingan Linggarjati terdiri dari 17 pasal dengan pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut: 
  1.  Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.
  2. Pemerintah Belanda dan RI bersama-sama mendirikan sebuah negara berdaulat dan demokrasi dengan bentuk negara perserikatan bernama Negara Indonesia Serikat (NIS) (K.M.L Tobing, 1986: 5).
  3. Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan terwujudnya NIS dan Persekutuan Belanda-Indonesia sebelum 1 Januari 1949 (K.M.L Tobing, 1986: 8).
  4. Pemerintah RI mengakui hak-hak milik orang-orang non RI yang menuntut dilakukan dan dikembalikannya barang-barang milik mereka yang berada didalam kekuasaan de facto. Panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan dan pengembalian.
  5.  Pengurangan kekuatan angkatan bersenjata kedua belah pihak (K.M.L Tobing, 1986: 9).
Dengan ditandatanganinya perjanjian Linggarjati, Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera. RI dan Belanda setuju bekerjasama untuk mendirikan sebuah negara persatuan bernama Negara Indonesia Serikat (NIS) yang rencananya dibentuk sebelum tanggal 1 Januari 1949. Tiga komponen NIS terdiri dari Republik Indonesia, Negara Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. NIS secara simbolis dikepalai oleh Ratu Belanda, yang terdiri dari Kerajaan Belanda dan NIS (Anthony J.S. Reid, 1996: 189). Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, setelah Sekutu meninggalkan Indonesia pada 30 Nopember 1946, tentara Belanda tetap berada di Indonesia. Maka pada tanggal 5 Mei 1947 Pemerintah Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden RI/ Panglima Angkatan Perang RI yang berisi tentang perintah supaya Tentara Republik Indonesia (TRI) dan laskar-laskar bersenjata dilebur menjadi satu organisasi tentara. Untuk melaksanakan Dekrit dari Presiden RI,  Iskandar dari Laskar Rakyat mengundang semua pimpinan badan kelaskaran di seluruh Surakarta bertemu di Kota Surakarta. Hasil dari rapat tersebut adalah menyetujui untuk segera melaksanakan penggabungan badan-badan kelaskaran ke dalam TNI.  Pada tanggal 3 Juli 1947  semua badan kelaskaran resmi bergabung kedalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah laskar bersenjata bersatu dengan TNI, mereka diwajibkan taat dan tunduk dengan segala perintah serta instruksi yang dikeluarkan TNI (Tashadi, dkk., 1997: 113) .  
      Saat Tentara Inggris ditarik mundur, kedudukan Tentara Belanda di Semarang sudah kuat. Belanda mulai mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang kedudukan Pasukan Indonesia di Semarang pada bulan Juli 1947 (Moehkardi, 2012: 264). Pagi hari sekitar pukul 06.00 beberapa pesawat tempur Belanda Mustang P-41 atau yang terkenal dengan sebutan Cocor Merah mengudara dari Lapangan Terbang Kalibanteng, Semarang. Mereka memburu pos-pos TNI di sekitar jalan poros Ungaran, Demak, Kendal yang mengarah ke Semarang. Penyerangan itu dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pasukan infanteri dan kavaleri Belanda dalam rangka menduduki Semarang pada tanggal 3 Juni 1947 (Husni Thamrin, dkk., 2008: 170).
      Setelah menguasai Semarang, Belanda tidak mau mengakui Pemerintahan RI di Semarang (Moehkardi, 2012: 262). Kota Semarang lalu menjadi pangkalan militer Belanda yang dipersiapkan untuk merebut wilayah RI di Jawa Tengah (Moehkardi, 2012: 264). Di sana telah bercokol Brigade Tijger (Brigade T) yang dipimpin kolonel Van Langen. Rencana sasaran gerak Brigade T adalah sebagai berikut: (Ani Olivia, 2005: 57).
a.       Ke arah Selatan: menduduki garis Bedono, Ambarawa,  Tuntang dan Bringin.
b.      Ke arah Timur: menduduki garis Purwosari dan Mranggen.
c.       Ke arah Barat:  menduduki garis Mangkang Wetan, Wijon dan Cangkringan.
d. Pemusatan pasukan di rayon Ungaran dan Bawen untuk digunakan pada pelaksanaan Plan Rotterdam (penyerbuan dan pendudukan ke Kota Yogya dan Solo).
       Tepat pada 21 Juli 1947 tentara Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke daerah Republik. Serangan tersebut oleh bangsa Indonesia dikenal dengan nama “Agresi Militer I”. Belanda bergerak dari markas induk militer Semarang menuju ke Selatan yaitu ke Srondol, Ungaran dan Ambarawa. Dari Ungaran, Pasukan Belanda sebagian menuju ke Bringin, Salatiga, dan Tengaran (Ani Olivia, 2005: 56).
1.      Salatiga Jatuh
       Pada tanggal 22 Juli 1947, Pasukan Belanda dari Tuntang bergerak ke arah Salatiga. Saat Belanda melancarkan serangannya, Kota Salatiga dalam keadaan kosong karena sebagian besar Pasukan TNI yang bermarkas di Salatiga sedang ditugaskan di front Ungaran, Delik dan Tuntang. Lemahnya pertahanan TNI di kota itu dapat ditembus dengan mudah oleh Belanda dalam waktu singkat. Belanda menduduki Kota Salatiga hanya beberapa jam, lalu mereka kembali lagi ke Tuntang. Tujuan mereka adalah untuk membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di Hotel Kalitaman. Setelah Pasukan Belanda  mundur dari Salatiga, TNI nama baru dari TRI melakukan konsolidasi kekuatan (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 120).    
        Usaha untuk membendung jatuhnya daerah-daerah RI ke tangan Belanda salah satunya adalah membakar bangunan-bangunan yang sekiranya dapat digunakan untuk kepentingan Belanda pasca ditinggal oleh TNI. Berdasarkan pertimbangan taktis, pimpinan TNI di Salatiga kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan kota itu. Gedung-gedung yang sekiranya dapat dipakai Belanda dibumihanguskan. Sebelum Salatiga dibumihanguskan, untuk menghindari supaya orang-orang Cina tidak diperalat oleh Belanda, mereka diungsikan ke Tengaran sebelum kemudian dipindahkan ke Kota Solo. Aksi bumi hangus tidak hanya terjadi di Kota Salatiga. Di kota-kota kecamatan antara lain di pasar Suruh, Kantor Asisten Wedana Bringin, rumah onderneming, sekolah dan stasiun Gogodalem juga dibakar. Untuk menghambat gerak laju Pasukan Belanda, jembatan-jembatan yang menghubungkan Kota Salatiga juga dihancurkan. Esok harinya pada tanggal 23 Juli Belanda dapat menduduki Kota Salatiga tanpa ada perlawanan yang berarti (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 122).
        Pada masa awal pendudukan Belanda di Salatiga, pejuang RI  tidak henti-hentinya menebar teror kepada konvoi Belanda di barat Kota Salatiga. TNI dari Markas Pemimpin Pertempuran Salatiga (MPP) dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) dari Cirebon rutin melakukan penghadangan di Getasan. Mereka dibantu oleh laskar dari rakyat seperti Sabilillah, Barisan Maling, Barisan Pendem serta pejuang-pejuang lokal non kelaskaran dari Tengaran, Susukan, Suruh dan Getasan. Peran masyarakat dari Kecamatan Tengaran selama Agresi Militer I sudah tercium semenjak para pemuda ikut menyerang dan membumihanguskan Salatiga.
       Sebelum Belanda sampai ke Klero, para pemuda Tengaran ikut berjuang bersama TLRI di Getasan. Di sana kekuatan TLRI sebanyak 60 prajurit dipimpin oleh Letnan Bibin. Pemuda dari Tengaran bernama Subardi merasakan pertempuran perdananya di daerah Getasan. Meskipun hanya bersenjata bambu runcing, Subardi bersama kesembilan temannya dari Tengaran tidak gentar bertempur dengan Pasukan Belanda. Saat itu di Tengaran belum dibentuk barisan pejuang, sehingga para pemuda ketika bertempur hanya sekedar ikut-ikutan saja. Baru sekitar akhir tahun 1947, di Tengaran dibentuk sebuah barisan benama Pasukan Clurut (Subardi, wawancara 29 September 2013). Bersamaan dengan itu pada awal 1948, TNI juga membentuk laskar bernama Laskar Barisan Tahan Udji (Batu) yang terdiri dari para garong (Kusdi, wawancara 29 September 2013). 
TLRI berjuang bersama rakyat di Getasan selama dua bulan. Di sana TLRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat gencar melakukan serangan terhadap konvoi Belanda di Pulian Kopeng. Karena Belanda semakin ganas menyerang daerah itu dengan pesawat Cocor Merah, pasukan TLRI bersama Subardi dan kesembilan orang temannya pidah ke Dusun Sumber, Desa Timpik Susukan. Di sana TLRI  memanfaatkan rumah H. Sukaryo (60 tahun) sebagai markas pertahanan (Subardi, wawancara 29 September 2013). 
        Selama di Susukan, TLRI dan gerilyawan tetap melakukan serangan terhadap Pasukan Belanda. Disetiap pertempuran TLRI menggunakan senjata laras panjang bekas peninggalan tentara Jepang jenis Kareben. Sedangkan, gerilyawan dari rakyat termasuk Subardi menggunakan granat dan bambu runcing. Lima hari pasca pindahnya markas TLRI dari Getasan ke Susukan, Subardi mendapat tugas untuk menangkap mata-mata Belanda di Desa Jati, Suruh. Setelah menangkap seorang pribumi yang yang bekerja sebagai mata-mata Belanda, Subardi membawa mata-mata tersebut ke markas TLRI di Desa Timpik untuk diintrogasi mendalam. Subardi bertugas di Susukan selama dua bulan, selanjutnya Subardi mendapat tugas berjaga di Wonosegoro, Boyolali. Ketika bertugas di Wonosegoro gerilyawan RI sering mendapat serangan dari Pasukan Belanda terutama di daerah Karangggede. Belanda menyerang dari arah barat yaitu dari arah Suruh. Tujuan Belanda menyerang Karanggede karena di daerah ini terdapat jalan pintas ke Kota Solo tanpa melewati Tengaran (Subardi, wawancara 29 September 2013).
2.      Belanda Menyerbu Tengaran 
        Setelah Kota Salatiga jatuh ke tangan Belanda, selanjutnya Belanda berencana meluaskan kekuasaanya hingga ke Surakarta.  Pasukan Belanda dari Salatiga yang rencanannya bergerak ke Surakarta mendapat benturan dari pihak Republik di Tingkir, sehingga  gerak laju Pasukan Belanda terhenti di Tengaran. Sebelum Belanda bergerak lebih jauh ke wilayah RI, keluarlah mosi Dewan Keamanan PBB yang memerintahkan segera diberlakukannya gencatan senjata. Mulai tanggal 1 Agustus 1947 diserukan penghentian tembak-menembak (gencatan senjata) dengan menyertakan pihak Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi Tiga Negara terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika Serikat (Tashadi, dkk., 1997: 120).
         Belanda memanfaatkan masa damai untuk memindahkan pasukannya dari Semarang ke Salatiga. Belanda pertama kali menduduki Desa Tegalwaton. Di sana mereka membangun markas di dekat sumber air Senjoyo. Setelah menduduki Senjoyo, Belanda menduduki Kebonjeruk, Karangduren. Di Kebonjeruk, Belanda mendirikan markas pertahanan untuk menjaga Kota Salatiga dari serangan gerilyawan Republik. Di sana, Belanda menempati bekas kantor perusahaan perkebunan jeruk yang sudah lama ditinggal pemiliknya  ketika Jepang menginvasi Indonesia. Meskipun ditinggal pemiliknya, bangunan tersebut masih kokoh berdiri. Markas Belanda tersebut dikelilingi tembok beton dan tanggul dari tanah sebagai benteng (Jarkoni, wawancara 28 September 2013). Markas Kebonjeruk merupakan titik tengah pertahanan Belanda di Tengaran. Dari markas Kebonjeruk ke markas Senjoyo bisa ditempuh melalui jalan pedesaan ke arah timur laut. Sedangkan dari markas Kebonjeruk ke pos penjagaan Belanda di Klero tinggal mengikuti jalan raya Solo-Semarang ke arah Selatan. Dari markas Kebonjeruk ke tangsi Belanda di Setugur dapat melewati Desa Noborejo ke arah Barat. 
        Pada tanggal 13 Oktober 1947, pasukan infanteri Belanda yang bermarkas di Kebonjeruk, Tengaran bergerak ke Suruh. Total kekuatan mereka sebanyak dua kompi dibantu sebuah tank dan dilindungi tiga buah pesawat dari udara. Mereka menyerang dua desa, salah satunya di Susukan (Barat Karanggede). Di sana mereka menyerang Masjid Petak (Susukan). Dari dua desa yang diserang tentara Belanda, jumlah korban meninggal dunia mencapai 89, dua diantaranya masih bayi (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Setelah menggempur Masjid Petak, pada tanggal 18 Oktober, markas Belanda di Kebonjeruk mendapat tambahan personil dari Salatiga. Mereka diangkut  dengan truk dan membawa sepucuk kanon (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Kemudian pada tanggal 25 Oktober, Belanda menghujani daerah Ampel dengan tembakan kanon dari Kebonjeruk (A.H. Nasution, VI, 1978: 171).
          Klero merupakan ladang pertempuran antara Belanda dan TNI. Berbeda dengan Belanda, sejak awal Agresi Militer I, TNI sudah terlebih dahulu membuat pos pertahanan di Klero Selatan. Di sana TNI  menempati rumah Kasah Rejo sebagai markas kompi Rustam dan pos  darurat PMI. Hampir setiap hari Belanda melakukan teror di Klero. Setiap kali meletus pertempuran di daerah ini, pejuang yang terluka dipikul ke rumah Kasah Rejo. Salah satu korban pertempuran Klero pada akhir tahun 1947 adalah Sartimin. Di rumah Kasah Rejo, Sartimin hanya diberi pertolongan pertama, setelah itu dia dibawa pergi ke daerah Republik yang lebih aman (Jarkoni,  wawancara 28 September 2013).
      Untuk meneror kedudukan Belanda di Klero, Lettu Sumitro memimpin pertempuran langsung di sana. Lettu Sumitro tidak hanya memimpin anggota TNI melainkan juga memimpin laskar-laskar non TNI di Tengaran. Selain menebar teror terhadap Pasukan Belanda di Klero, dia juga mengadakan aksi teror terhadap Pasukan Belanda di Kebonjeruk (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013). 
        Akhir 1947, TNI menyerang markas Belanda di Kebonjeruk dengan menggunakan mortir dan brengun. Tetapi, tidak satupun Belanda yang berani keluar dari markas tersebut. Sebelum subuh TNI sudah meninggalkan Kebonjeruk dan kembali ke markas Tegalrejo, namun sebagian dari mereka mampir ke Dampit Klero. Selang beberapa hari pasca serangan ke Kebonjeruk, TNI yang sedang berkumpul di Klero mendapat balasan dari Belanda. Belanda menembaki rumah Kasah Rejo yang dicurigai sebagai markas TNI. Melihat rumah Kasah Rejo kosong, Belanda menghentikan tembakan. Lalu Belanda mengarahkan mulut pelontar mortirnya ke Dusun Dampit. Mortir-mortir yang dilontarkan dari Utara Masjid Klero jatuh di sekitar dapur umum. Anggota TNI yang sedang makan siang dengan kolak gori (buah nangka mentah) berlari cerai-berai tidak beraturan ke segala arah untuk menyelamatkan diri. Saat peristiwa itu berlangsung, dari pihak TNI tidak ada yang menjadi korban (Jarkoni, wawancara 28 September 2013). 
      Masjid Klero yang hanya berjarak 5 meter dari rumah Kasah Rejo tidak luput dari amukan Belanda. Masjid itu diberondong habis-habisan tetapi tidak sampai dirubuhkan oleh Belanda. Pohon pisang yang tumbuh di sekitar masjid banyak yang tumbang dihajar peluru-peluru Belanda. Jarkoni yang kebetulan berlindung di dalamnnya selamat. Dia tiarap di dalam masjid saat Belanda menyerbu. Peristiwa penyerangan Rumah Kasah Rejo tidak berlangsung lama. Warga yang mendengar suara tembakan segera berlindung ke bawah kolong amben. Lantai di bawah amben sudah mereka gali sebelum perang berlangsung untuk lubang persembunyian. Amben adalah meja berukuran besar yang difungsikan sebagai tempat tidur. Selain menggali tanah di bawah amben, warga setempat juga membuat lubang persembunyian di depan rumah mereka. Lubang dengan kedalaman rata-rata 2-3 meter tersebut, dibuat cekungan di salah satu dindingnya. Cekungan itulah yang berfungsi sebagai pelindung ketika terjadi serangan kanon.

Sumber Pustaka: 
  • Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Husni Thamrin, dkk. 2008. Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950. Temanggung: Dewan Harian Cabang Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kabupaten Temanggung. 
  • Moehkardi. 2012. Revolusi Nasional 1945 di Semarang. Jakarta: Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat.  
  • Nasution, A.H.,, 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Perang Gerilya Semesta I jilid 6. Bandung: Angkasa.
  • Tobing, K.M.L., 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Linggarjati. Jakarta:Gunung Agung.
  • Reid, Anthony, J.S., 1996. Revolusi Nasional Indonesia. (terjemaah oleh Pericles G. Katoppo). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
  • Tashadi. 1997. Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah Divisi Sunan Bonang.  Surakarta: Yayasan Bhakti Utama.
 

 

No comments

Powered by Blogger.