Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Bangkit Bersama Program Bidikmisi

Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Kalimat tersebut tercantum pada pasal 31 Ayat 1 UUD 1945. Berdasarkan pasal tersebut, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat mempunyai kewajiban untuk memberi pelayanan kepada seluruh rakyat Indonesia berupa pendidikan
yang bermutu tanpa ada diskriminasi.
Pendidikan Untuk Semua Tanpa Ada Pengecualian
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu melibatkan berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), dukungan administrasi, sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif  untuk mendukung proses pembelajaran.
Pendidikan punya peranan penting dalam pembangunan manusia. Seseorang semakin tinggi mengenyam pendidikan, maka akan berdampak positif pada indeks pembangunan manusia (IPM). IPM adalah pengukuran perbandingan angka dari harapan hidup, standar hidup, melek huruf dan pendidikan pada sebuah negara/provinis. IPM Indonesia (2013) berada di urutan 111 dari 182 negara. Kendati Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad yang lalu, namun IPM Indonesia masih kalah dibanding IPM negara tetangga, seperti: Malaysia (64), Brunai (30), Singapura (18), Australia (2), dan menang selisih 51 angka lebih tinggi dibanding Timor Leste (162).   
Melihat pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, maka seharusnya pendidikan di Indonesia merata kepada seluruh rakyat, baik itu dari golongan mampu sampai golongan yang berkekurangan. Namun ada pengecualian dalam hal ini dimana siswa-siswi dari keluarga tidak mampu dilarang merasakan pendidikan bermutu di bangku kuliah karena terhalang faktor biaya. Berhubung untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka dengan terpaksa, saudara-saudara kita dari keluarga berkekurangan yang ingin sekali merasakan pendidikan di bangku kuliah setelah lulus dari SMA/SMK/MA tidak dapat terlaksana meskipun nilai akademik mereka di atas rata-rata. Berbeda dengan siswa-siswi dari keluarga mampu, mereka dapat bebas memilih Universitas maupun Progdi untuk melanjutkan pendidikan. Perbedaan kesempatan tersebut ternyata telah melahirkan gap baru di masyarakat. Pendidikan yang sejatinya berperan untuk mengikis ketimpangan sosial, malah menjadi penyebab lahirnya ketimpangan sosial baru di bidang pendidikan.
Dari kasus tersebut, pemerintah Republik Indonesia berusaha menghapus ketimpangan sosial di bidang pendidikan melalui program Bidikmisi. Program Bidikmisi pertamakali dikenalkan pada tahun 2010 dalam penyusunan Program Seratus Hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Dengan motto “memutus mata rantai kemiskinan”, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpin oleh Mohammad Nuh memberi kesempatan kepada siswa siswi terbaik negeri dari keluarga tidak mampu untuk melanjutkan kuliah di jurusan yang mereka pilih berdasarkan bakat minat yang mereka miliki tanpa dipungut biaya, malahan mereka mendapat uang saku bulanan sebesar Rp.600.000.00 untuk biaya hidup selama menempuh pendidikan. Tujuan dari program ini kelak, setelah mereka (mahasiswa Bidikmisi)  lulus selain bisa  mendarmakan ilmunya sewaktu kuliah untuk negara juga dapat mengangkat derajat, harkat, dan martabat (status sosial) pada keluarga mereka.
UU No.12 tahun 2012 Pasal 74 Ayat 1 tentang Pendidikan Tinggi menjadi “karpet merah” bagi setiap siswa-siswi dari keluarga berkekurangan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sejak berubah status menjadi UU, Bidikmisi mempunyai payung hukum yang kuat. Artinya, program pro-rakyat tersebut bukan lagi sekedar tanggung jawab Menteri (Permen) maupun tanggung jawab Presiden (PP) yang berlaku sementara tetapi menjadi tanggung jawab negara (UU).
Empat tahun sudah program pro-rakyat ini berjalan. Tiap tahun jumlah pendaftar semakin meningkat diikuti dengan penambahan quota beasiswa. Dimulai pada tahun 2010, pemerintah membuka quota sebanyak 20.000 beasiswa dengan jumlah pendaftar sebanyak 54.385 peserta. Kemudian tahun 2011 pendaftar meningkat menjadi 94.762 dari quota yang disediakan 30.000. Lalu, Tahun 2012 jumlah pendaftar meningkat  menjadi 153.834 dengan quota 42.000 . Kemudian pada tahun 2013 pemerintah menambah quota sebanyak 50.000 dengan pendaftar sebanyak 239.438 peserta.
Dana Bidikmisi berasal dari APBN.  Sebagian besar (80%) APBN Indonesia bersumber dari pajak rakyat. Pada tahun 2013 penerimaan pajak negara sebesar Rp 1.071,1 triliun. Uang sebesar itu adalah milik rakyat. Sehingga untuk mempertanggung jawabkan amanah tersebut, kewajiban Pemerintah adalah mengembalikan uang itu dalam bentuk pelayanan dan digunakan sebaik baiknya untuk keperluan rakyat. Betapa dosa Pemerintah jika uang tersebut disalah gunakan untuk kepentingan pribadi semisal untuk memperkaya kolega partai maupun keluarga para pejabat (read: korupsi).
Seyogyanya semua gayung bersambut, mahasiswa bidikmisi tenyata mampu berprestasi bahkan lebih unggul daripada mahasiswa dari keluarga mampu. Seperti halnya, Tirza Puji Syukur asal Bojonegoro dengan kesungguhan hati ia mampu mempertahankan IP 4,00 selama lima semester berturut-turut , begitu pula Risma Pratiwi teman seprogdi Tirza mampu mengukir prestasi dengan IPK 3,9 di Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya. Mahasiswa bidikmisi lainnya bernama Ria Rossi juga mampu mengukir prestasi di Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,97 dan masih banyak lagi mahasiswa bidikmisi yang menorelkan hasil prestasi membanggakan selama di bangku kuliah.
Bukan mahasiswa kalau tidak menemui kendala. Halang rintang bagi mahasiswa Bidikmisi selama berkuliah yang paling sering dijumpai adalah masalah ekonomi terutama bagi mahasiswa Bidikmisi baru karena uang yang dijanjikan pemerintah pada awal semester (semester I) ternyata terlambat cair. Kemudian setelah cair, ditengah-tengah keterbatasan ekonomi, mereka harus pandai mensiasati uang saku sebesar Rp. 600.000,00 perbulan  supaya tidak habis dan dapat digunakan semaksimal mungkin untuk biaya sewa kos, makan, buku materi, ngeprint, maupun kegiatan-kegiatan kampus. Supaya mereka dapat mencukupi biaya untuk menunjang pendidikan, mereka berusaha memenuhinya dengan mencari dana tambahan bekerja paruh waktu sambil belajar supaya prestasi di bangku kuliah tidak turun.
Segelintir mahasiswa dari keluarga mampu, uang Rp. 600.000.00 mungkin dinilai kurang untuk memenuhi hasrat hidupnya (belanja, nonton bioskop, pacaran). Namun berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Philip Anggo Krisbiantoro. Mahasiswa Bidikmisi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) ini malah membagi uang saku bulannya untuk biaya sekolah ketiga adiknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Gugum Gumilar. Penerima Bidikmisi 2011 dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini merasa perlu berbagi rejeki untuk keperluan pendidikan adik-adiknya. Mahasiswa Program Pendidikan  Kewarganegaraan, FSIP ini mengaku bahwa setengah dari uang saku Bidikmisinya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kebangkitan kaum duafa akan segera tiba. Mereka adalah cendekiawan-cendikiawan yang akan menjadi kekuatan baru bagi bangsa ini. Melalui tingkat skolastik yang tinggi dan berkarakter mulia, mereka akan menjadi penggerak perubahan menuju peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik.

Untuk adik-adik yang ingin melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah tetapi mendapat ganjalan dalam biaya pendidikan, silakan mendafattar Bidikmisi. Informasi Bidikmisi dapat diakses di http://bidikmisi.dikti.go.id/ .
Ingat! Keterbatasan bukan menjadi halangan untuk mencapai sukses. Jangan menyerah untuk mewujudkan mimpi dan harapanmu karena Tuhan bersama orang-orang yang selalu melantunkan namaNya dalam doa, mempunyai niat menggebu-gebu laksana badai, dan berusaha sungguh-sungguh tanpa putus asa.

 Testimoni Birul Qodriyah membuat tangis haru Presiden SBY dan tamu undangan mahasiswa Bidikmisi

Sumber buku:

No comments

Powered by Blogger.