Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Peran Masyarakat Tengaran Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (Revolusi Fisik 1947-1949)

Peran Pamong Desa
       Sejak perang melanda Kota Semarang, Ungaran, Ambarawa, dan Salatiga, maka daerah perbatasan seperti Tengaran banyak dilalui pengusi yang berasal dari daerah yang diduduki Belanda. Mereka ada yang sekedar melewati Tengaran dan ada juga yang menetap di sana. Dalam hal ini pamong desa mempunyai peran sangat penting karena di desa-desa yang ditempati pengungsi, tugas pamong desa mengkoordinir warganya untuk memberi tempat penampungan maupun memberi makan untuk pengungsi. Pada umumnya, warga desa menerima para pengungsi dengan senang hati dan tangan terbuka. Sebagai balasannya para pengungsi berusaha membantu pekerjaan tuan rumah (Chusnul
Hajati, dkk., 1997: 133).
Akibat Kolonialisme, Rakyat Semakin Miskin, Pakaian Mereka Hanya Terbuat Dari Bekas Karung Goni
     Pamong desa mempunyai jabatan strategis karena mereka sebagai panutan warganya dan para pengungsi. Begitu strategisnya jabatan pamong desa, Pemerintah RI dan Belanda menyadari arti pentingnya pamong desa dalam merebut simpati rakyat. Setelah Salatiga dikuasai Belanda, banyak desa tidak mempunyai pamong desa. Mereka memilih mengungsi ke wilayah Republik. Akibatnya, di daerah yang diduduki Belanda kekurangan penguasa. Oleh karena itu, Belanda menunjuk pamong desa baru untuk menggantikan pamong desa yang ikut hijrah ke daerah Republik. Pamong desa sebagai pejabat federalis di daerah pendudukan nasibnya kurang menguntungkan. Mereka selalu dicurigai oleh kedua pihak. Supaya mereka tidak dibunuh atau dijebloskan ke penjara, mereka harus pandai berkepala dua. Strategi berkepala dua resikonya sangat besar (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134).
      Dari 20 desa yang ada di Kecamatan Tengaran hanya empat pamong desa yang pro Belanda, yakni pamong Desa Bener, Karangduren, Cukil dan Regunung (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134). Selama Belanda menduduki sebagian besar Kecamatan Tengaran, Wedana Tengaran, Wiryo dan Camat Tengaran, Siswo, secara diam-diam mengadakan pertemuan rahasia. Wedana Tengaran berkantor di Desa Tingkir (wilayah pendudukan) tetapi hatinya tetap RI. Dia sering mengirim peluru secara ilegal kepada para pejuang RI. Dia juga mengusahakan beras dan pakaian bagi pejuang RI. Kondisi selama perang, tentara RI sangat menyedihkan. Mereka banyak yang kekurangan makanan dan pakaian. Bahkan mereka sampai kekurangan selimut untuk tidur. Selimut hanya selembar kain sarung hasil sumbangan dari masyarakat sekitar (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
     Jayus, Lurah Klero adalah lurah federalis yang dijebloskan ke penjara oleh Belanda. Jayus terbukti bersalah karena sering membantu para pejuang RI memata-matai pergerakan Belanda di Klero. Jiwa Republik Jayus terbentuk karena sebelum ditunjuk sebagai lurah dia bekerja sebagai anggota Polisi Tentara (PT). Jabatan lurah tidak membuat Jayus tunduk kepada Belanda, malahan dia selalu memonitori pergerakan Pasukan Belanda di Klero. Hasil monitoring dilaporkan kepada pemimpin pejuang RI yang bermarkas di Desa Tegalrejo. Pejuang RI yang akan menyerang pos Belanda di Klero harus ijin Lurah Jayus. Bisa dikatakan bahwa Klero merupakan wilayah kekuasaannya hingga pemimpin pejuang RI harus bermusyawarah dahulu dengannya sebelum menyerang dan untuk mengetahui posisi Belanda di sekitar Klero. Setelah perundingan Klero, Belanda giat melakukan screening atau pembersihan. Jayus sempat dicurigai bekerja untuk Republik. Dia dihajar agen IVG sampai wajahnya biru lalu ditangkap tetapi tidak sampai dieksekusi di Kedayon. Selain Jayus, Lurah Noborejo bernama Darma Kiyat juga berjiwa Republik. Dia menyelundupkan obat-obatan melalui kurir bernama Maryam yang menyamar sebagai pedagang. Obat-obatan tersebut diperoleh dari seorang mantri kesehatan benama Binoso yang bekerja untuk Pemerintah Belanda di Salatiga (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 128).
      Desa Tegalrejo merupakan garis pertahanan lini kedua di Sektor I Tengaran. Di desa ini, ribuan tentara RI berkumpul di Tegalrejo Lor dan Tegalrejo Kidul. Untuk mengatur logistik di Tegalrejo Kidul, didirikan dapur umum kecil di rumah Wito Surat dan dapur umum besar di rumah Suwar. Lurah Tegalrejo saat itu bernama Sudar. Dia menyuruh para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan membantu masak di dapur umum. Lurah Sudar dikenal baik kepada TNI maupun masyarakatnya. Seperti halnya ketika Sudar membagikan nasi dari dapur umum kecil kepada masyarakatnya, dia tidak pernah membuat perbedaan alias semua harus rata. Selain mengkoordinasi dapur umum kecil, Sudar juga mengatur tempat istirahat TNI di rumah-rumah milik warganya (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
    Tidak semua lurah berpihak dengan pemerintah RI, salah satunya adalah Lurah Karangduren. Lurah Karangduren merupakan agen IVG. Sebagai Agen IVG dia bertugas mencari orang-orang Republik yang berbahaya bagi Belanda. Setelah Lurah itu menemukan orang yang dicurigai sebagai mata-mata, lalu ia melapor kepada pimpinan IVG. Dari laporan tersebut kemudian Pasukan Belanda yang bertugas menangkap orang yang diduga berbahaya bagi pemerintah Belanda di Tengaran. Mereka yang ditangkap akan diinterogasi tentang keterlibatannya membantu Pemerintah RI. Siksakan fisik juga dilakukan oleh agen IVG agar orang yang diduga pembantu Republik mengakui kesalahannya. Apabila orang tersebut terbukti dengan sengaja membantu RI dan membahayakan Pemerintah Belanda, mereka akan dihukum mati di Kedayon. Sedang untuk kesalahan ringan seperti ketahuan membantu logistik pejuang RI, mereka dipenjarakan di Ambarawa maupun di Nusa Kambangan.
Peta Kecamatan Tengaran awal tahun 1900-an 
Situasi di Tengaran (Republik)     
     Dengan ditetapkannya garis demarkasi di sepanjang aliran Kali Tanggi, kesibukan masyarakat desa-desa di Kecamatan Tengaran bagian selatan semakin meningkat. Masyarakat yang tinggal di desa-desa seperti Tengaran, Tegalrejo, Sruwen dan Sugihan harus merelakan rumahnya untuk dijadikan markas, asrama, pos Palang Merah Indonesia (PMI) dan dapur umum. Masyarakat desa yang dipimpin oleh pamong desa wajib melakukan ronda setiap malam untuk menjaga keamanan desanya (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134).
     Dapur umum didirikan berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Dapur umum dapat dibedakan menjadi dua macam yakni, dapur umum besar dan dapur umum kecil. Dapur umum besar diselengarakan oleh Comando Operasi Pertempuran setempat yang dibiayai langsung oleh pemerintah RI. Dapur umum besar fungsinya untuk melayani logistik bagi pasukan resmi dalam jumlah yang besar. Di sektor PP4A dapur umum besar didirikan di Desa Tegalrejo dan Desa Kaligentong. Dapur umum besar hanya dikhususkan untuk TNI yang kebetulan singgah maupun yang bergerilya di sektor PP4A. Untuk memasak nasi, dapur umum besar biasanya menggunakan drum karena bahan yang dimasak sangat banyak. Petugas dapur umum terdiri dari Laskar Putri dan anggota TNI. Operasional dapur umum mendapat bantuan tenaga dari masyarakat setempat. Bagi masyarakat yang menyumbangkan jasa, mereka mendapat imbalan berupa setengah liter beras (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135). 
         Di Desa Tegalrejo terdapat dua dapur umum. Dapur umum besar diselenggarakan dan dibiayai oleh Pemerintah terletak di Dusun Tegalrejo Lor (di rumah Suwar). Sedangkan, dapur umum kecil terletak di Dusun Tegalrejo Kidul (di rumah Wito Surat). Berbeda dengan dapur umum besar, dapur umum kecil diadakan oleh masyarakat desa dengan biaya dari masyarakat setempat. Dapur umum kecil dikoordinasi oleh pamong desa. Bahan yang dimasak di dapur umum kecil dikumpulkan dari masyarakat kemudian diserahkan pada pejuang yang melewati desa ataupun singgah di desa. Bahan yang dimasak tidak banyak hanya cukup untuk dua sampai tiga regu. Di samping itu, adapula penduduk yang memberikan makanan bagi pejuang sebagai tanda simpati (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135).
        Tanah ladang di Desa Tegalrejo banyak yang terbengkalai karena ditinggal berjuang maupun mengungsi pemiliknya. Beras pada saat itu sedang langka karena produksi beras RI tidak banyak. Kalaupun ada beras, kualitasnya jelek dan banyak kutunya. Sebagai penggantinya, mereka makan apa saja yang dapat ditemui seperti ketela rambat dan singkong. Laskar gerilya tidak masuk dalam formasi TNI. Kebutuhan logistik laskar gerilya sepenuhnya bergantung pada pemberian masyarakat. Biasanya hubungan gerilyawan dan masyarakat setempat sangat dekat. Bahkan masyarakat ada yang menganggap sebagai anaknya sendiri. Masyarakat tidak sampai hati menelantarkan mereka kelaparan. Kesadaran masyarakat setempat yang tinggi membuat para gerilyawan tetap militan di sektor PP4A karena tidak kekurangan logistik selama ikut dengan penduduk setempat. Selama menganggur atau lepas jaga, mereka membantu pekerjaan penduduk di ladang sebagai tanda terimakasih karena sudah disediakan tempat tinggal dan dicukupi logistik selama bergerilya di sektor PP4A (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014). 
      Pasukan Clurut bukan termasuk TNI sehingga mereka tidak mendapat jatah makan dari dapur umum. Meskipun begitu, mereka tidak mati kelaparan. Mereka berjuang dengan modal sendiri yaitu dengan membawa makanan dari rumah mereka masing-masing. Memang, kadang-kadang mereka diberi nasi nuk (nasi jatah) dari dapur umum, tetapi tidak rutin seperti halnya anggota TNI. Selama di Tegalrejo, Pasukan Clurut hidup penuh kebersamaan. Mereka tidak mementingkan ego pribadi melainkan nasib kelompok. Suatu ketika menjelang Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, mereka bersama-sama merebus tempe pemberian warga. Meskipun hanya sedikit, tempe yang direbus tadi tidak dimakan perseorangan tetapi dibagi rata hingga semua yang pada saat itu berkumpul di rumah Dullah Sadjadi mendapat bagian sama rata (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).
        Tengaran bagian Selatan bukan sebagai daerah penampungan pengungsi karena daerah ini adalah konsentrasi pertahanan RI untuk membendung gerak maju Pasukan Belanda yang ingin menduduki Kota Solo. Masyarakat Tengaran yang dahulunya hidup di satu daerah harus tersekat semenjak diberlakukannya pembagian wilayah karena perbedaan haluan politik pemerintahnya. Meskipun begitu, ikatan antara masyarakat bagian utara (Pendudukan) dan bagian selatan (Republik) tidak terputus. Masyarakat yang tinggal di daerah pendudukan banyak yang mengunjungi saudara-saudaranya di pengungsian maupun sebaliknya. Karena TNI terikat dengan perjanjian, mereka tidak dapat melewati garis status quo. Oleh karena itu kunjungan dari masyarakat yang berasal dari daerah pendudukan dimanfaatkan TNI untuk menggali informasi mengenai kekuatan Belanda di daerah pendudukan (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).   
        Tengaran bagian Selatan merupakan target tembakan kanon Belanda dari Kebonjeruk. Oleh Sebab itu, keamanan pengungsi menjadi prioritas RI.  Agar para pengungsi terhindar dari pecahan peluru kanon, mereka ditempatkan di daerah aman yaitu di Desa Patemon (daerah SQ) dan Kembang, Ampel. Desa Kembang dianggap lebih aman karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan letaknya jauh dari jalan raya Solo-Semarang. Tempat itu memiliki persediaan air yang melimpah sehingga pengungsi tidak kekurangan air (Suratman Murbowijoyo, wawancara 22 September 2013).
Seorang Pedagang Sedang Memperhatikan Pengumuman Pembebasan Kota Salatiga dari Kekuasaan Republik oleh Pihak Recomba di Depan Pasar Salatiga
      Saat terjadi eksodus penduduk secara besar-besaran dari daerah pendudukan ke daerah pedalaman, gejala yang muncul di daerah pedalaman adalah pasar tiban atau pasar dadakan.  Awalmulannya pasar resmi berada di Tengaran, karena di Tengaran sering diganggu oleh Belanda,  maka pasar pindah ke Gatak. Di Gatak juga diganggu oleh Belanda lalu pindah ke pasar Sri Badak, Kembang (Kusdi, wawancara 29 September 2013). Selama pasar resmi pindah di Kembang Ampel terjadi kelangkaan barang pokok yang dibutuhkan seperti pakaian dan garam. Kelangkaan barang tersebut terjadi karena adanya penumpukan pengungsi di Kembang dan sedikitnya pasokan barang dari daerah Republik. Untuk mengatasi kelangkaan barang itu peran pedagang pelintas batas menjadi sangat penting. Pedagang pelintas batas, selain berdagang dengan menyelundupkan barang dari daerah pendudukan juga berperan sebagai mata-mata RI. Tak jarang dari mereka juga menyelundupkan peluru dan obat-obatan (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
        Untuk menyelundupkan barang dari daerah pendudukan ke daerah Republik, prosesnya sangat sulit. Mereka harus berhati-hati ketika melewati pos penjagaan Belanda yang tersebar di sepanjang jalan Noborejo sampai Kali Tanggi. Meskipun secara de facto daerah Republik terus dipersempit, para pedagang bisa keluar masuk di wilayah pendudukan. Daerah status quo merupakan daerah yang paling sulit untuk ditembus. Mereka harus melewati jalan setapak (jalan tikus)  untuk menghindari patroli Pasukan Belanda. Sesampainya di daerah Republik, mereka juga belum aman. Patroli pasukan RI  selalu mengintai mereka. Apabila mereka dicurigai sebagai mata-mata Belanda, mereka akan dibunuh (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
        Pada bulan Juli 1948, Belanda berencana membatasi masuknya orang-orang Republik ke daerah Pendudukan. Kebijakan ini berlaku bagi pedagang pelintas batas. Mereka diharuskan memiliki “surat pas jalan” agar bisa melintasi garis demarkasi. Surat pas jalan adalah surat ijin bagi masyarakat Pendudukan untuk melintasi batas demarkasi dari daerah Pendudukan ke daerah Republik maupun sebaliknya.  Selain itu mereka juga diwajibkan memiliki surat tanda penduduk untuk memudahkan petugas membedakan orang Republik dan orang Pendudukan (Sin Po, 5 Juli 1948 kol.4).
        Kelompok gerilya yang berperan dalam kegiatan komunikasi adalah Barisan Clurut atau Pasukan Clurut. Dalam bahasa Jawa clurut adalah nama binatang sejenis tikus. Mobilitas yang tinggi diperlukan untuk bergerak cepat membawa informasi dari satu tempat ke tempat lain. Pasukan Clurut berasal dari kelaskaran Islam yaitu Hizbullah-Sabilillah pimpinan Kapten Kyai Mawardi. Selain sebagai kurir surat, mereka juga dilatih untuk menyusup di pos musuh. Sebagai halnya Barisan Maling, mereka menguasai ilmu sirep dan ilmu kebal. Dengan ilmunya itu mereka mudah menyusup ke markas musuh (Chusnul Hajati: 1997: 136). Di daerah Ngaglik (Sektor II), Pasukan Batu sangat aktif memantau pergerakan Belanda. Komunikasi antara Pemimpin Batu dan markas Polisi Keamanan di Kadang berupa lembaran-lebaran surat. Biasanya isi surat tersebut adalah laporan mengenai penerobosan yang dilakukan oleh Pasukan Belanda di daerah SQ.
       Untuk mengantisipasi salah sasaran, setiap hari penjaga di daerah SQ selalu diberi sandi kata ketika berhadapan dengan penjaga yang sama-sama memihak RI. Sandi kata ini bertujuan untuk membedakan antara kawan dan lawan. Sandi kata sudah disepakati bersama dalam sebuah kelompok dan sifatnya rahasia. Hanya anggota kelompok saja yang tahu. Suatu ketika pada tahun 1948 Pasukan Clurut sedang berjaga di Dusun Ngesrep, Tegalrejo. Mereka bertemu dengan TNI dari Tengaran yang sedang berganti jaga. Agar tidak terjadi tembak-menembak, Jarkoni anggota Pasukan Clurut yang berjaga di Ngesrep berteriak kepada rombongan TNI itu “telo” (ketela rambat) dijawab anggota TNI itu dengan “boleng” (setengah cacat dan rasanya pahit). Karena jawabannya benar, mereka diperbolehkan berjalan ke daerah Selatan (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
Situasi di Tengaran Utara (Daerah Pendudukan)
            Jatuhnya Kota Salatiga berdampak pada banyaknya pengungsi yang mencari tempat aman di luar Kota Salatiga. Biasanya pengungsi dipimpin oleh pamong desa yang berkuasa sebelumnya. Karena pamong praja juga pindah ke wilayah Republik otomatis terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah pendudukan Belanda. Untuk mengisi kekosongan, Belanda membentuk pemerintah Recomba (Regerings Comisie voor Bestuurs Angelegenheden) atau pangreh praja. Belanda memanfaatkan pegawai-pegawai Indonesia yang tidak ikut mengungsi ke wilayah Republik untuk dijadikan aparatur pemerintah Pendudukan (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 127).
        Di daerah yang diduduki Belanda, mata uang Jepang dan mata uang Republik Indonesia (ORI) diganti dengan mata uang NICA sebagai alat pembayaran yang sah. Pemerintah Belanda mendirikan Algemene Distributis Dienst (ADD) yang berfungsi untuk mengurusi kesejahteraan pegawai dan pekerja. ADD memberi bantuan  berupa susu, keju, roti, metega dan hampir semua kebutuhan sehari-hari dengan harga jual yang murah. ADD dijadikan alat propaganda bagi Belanda untuk menarik simpati orang-orang Republik agar mau pindah ke wilayah Belanda. Jawatan Penerangan Regerings Voorlichting Dienst (RVD) bertugas menyiarkan propaganda Belanda untuk menanamkan kepercayaan kepada masyarakat agar mau berpihak kepada Belanda. Sedangkan Dienst der Leger Contacten (DLC) bertugas memberikan doktrin-doktrin kepada tentara Belanda Koninklijk Leger (KL) dan Koninklijk Nedherlands Indische Leger (KNIL) tentang tugas suci Belanda di Indonesia (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 127).
      Secara bertahap, masyarakat yang tadinya mengungsi kemudian kembali ke Kota  Salatiga karena mereka tidak tahan dengan penderitaan selama berada di daerah pengungsian. Roda ekonomi berjalan kembali dengan dibukanya pasar-pasar. Bahasa Belanda ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah pendudukan, posisi mereka terjepit dan banyak yang menderita. Mereka dicurigai kedua belah pihak karena dianggap sebagai mata-mata. Meskipun berada di wilayah pendudukan Belanda, banyak diantara mereka jiwanya tetap Indonesia. Masyarakat yang jiwanya tetap Indonesia, dimanfaatkan oleh TNI sebagai mata-mata Republik. Mereka memberi informasi, menyediakan tepat berlindung dan mengkoordinir/mensuplai logistik ketika pejuang Republik menyusup ke dalam kota (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129).
        Banyaknya penduduk yang keluar masuk wilayah pendudukan, membuat Belanda kuatir akan adanya penyusupan oleh pejuang Republik. Pada bulan Juli 1948, Belanda berencana mengatasi banyaknya penduduk ilegal yang berasal dari wilayah Republik. Orang-orang Republik yang tadinya bebas melewati daerah pendudukan, setelah diberlakukannya passenstelsel atau larangan untuk memasuki daerah pendudukan, mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat masuk ke wilayah pendudukan misalnya mereka adalah anggota Palang Merah atau keluarga tawanan (Sin Po, 5 Juli 1948 kol. 4).
     Untuk menjaring informasi, Belanda menyebar mata-mata dibawah Intelichtingen Veiligheids Grouep (IVG). Kekejaman mereka tidak kalah dengan Kenpetai di jaman Jepang. Susunan staf IVG Salatiga sebagai berikut (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129):
Komandan                       : Lettu Draaisma
Wakil Komandan             : De Liezer
Anggota Tim Screening    : Van Beeks, Hiks, Sutayo, Saban Purnomo, Temu, Sunaryo Holan Sumodilogo                                             Sunawan, Parwoto dan Tan Soen Am .
Kepala Staf                      : Sersan Michael alias Djajusman digantikan Tommy Suryadi
Penyelidik                        : Sersan Swart (Kepala),
                                         Sastra Suratman (Wakil Kepala)
                                         Diaenur, Rasmal Slamet dan Gito (anggota)
    Setelah wilayah Tengaran dibagi menjadi dua yaitu daerah Republik dan daerah pendudukan, Belanda dibuat kewalahan dengan munculnya aksi-aksi gerilya seperti penyergapan patroli, serangan gelap, sabotase dan penyusupan ke dalam daerah pendudukan. Terhadap orang-orang seperti itu, Belanda dengan rutin melakukan screening atau pembersihan. Pejuang yang tertangkap oleh IVG Salatiga mengalami siksaan yang berat. Mereka yang terbukti bersalah karena melawan Belanda akan dieksekusi di Kedayon. Untuk mengeksekusi pejuang, Belanda telah menyiapkan satu peleton algojo dari Brigade Tijger (Brigade T). Sedangkan apabila melakukan kesalahan sedang mereka akan dimasukan ke penjara Nusa Kambangan dan Ambarawa (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129).
      Belanda juga dibantu oleh pasukan bersenjata yang direkrut dari etnis Cina yang diberi nama Po An Tui. Masalah rasial digunakan oleh Belanda untuk memojokan RI di pecaturan politik dunia. Sejumlah harian Cina seperti Kenapo, Sin Mi-in dan Sin Po yang terbit di daerah pendudukan, mendukung Belanda dalam mengabarkan berita mengenai masalah diskriminasi ras yang diterima etnis Cina selama berada di pengungsian (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129).
Penderita Kaki Gajah- Akibat Blokade Ekonomi yang Dilakukan Oleh Belanda Menyebababkan Menipisnya Stok Obat-obatan di Republik Indonesia yang Berdampak Pada Menurunnya Kualitas Kesehatan Penduduk  
     Meskipun dalam tekanan, banyak orang yang hidup di daerah pendudukan namun jiwanya tetap Republik. Sebagai contoh adalah Mantri kesehatan Binoso, secara diam-diam dia mengirim obat-obatan secara ilegal ke daerah Republik dan mengadakan kontak rahasia dengan Lurah Noborejo. Selanjutnya obat-obatan yang diperoleh dari Binoso oleh Lurah Noborejo dikirim melalui pedagang lintas batas bernama Maryam ke wilayah Republik. Di Klero, juga terdapat seorang Republik bernama Jayus yang menjadi Lurah Klero. Ia mengabdian dirinya kepada RI dengan membantu memberi informasi kepada pejuang RI tentang aktifitas Belanda di Klero (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 128).
      Sungguh mulia hati mereka, disaat mereka punya kesempatan menduduki posisi penting di daerah Pendudukan, mereka memilih untuk setia kepada Republik Indonesia, merelakan nyawa dan harta mereka untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
 
Sumber Arsip/Pustaka:
  • Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Passenstelsel masoek daerah pendoedoekan. Sin Po, 5 Juli 1948, kolom 4.
 Sumber Gambar:
  • gahetna.nl

No comments

Powered by Blogger.