Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Jalan-jalan ke Candi Cetho

Susah sekali untuk merubah jam biologis (pola jam tidur) orang Eropa ke pola biologis orang Indonesia, heheheh.. Berhubung susah merem, aku iseng buka folder dokumen di netbook, tidak sengaja aku lihat foto-foto untuk bahan laporan sewaktu penelitian di Dusun Cetho tahun 2013 lalu. Kemudian terlintas ide untuk mengolah foto-foto tadi menjadi sebuah ceritera.Yahh,, lumayan, hal ini bisa dijadikan sebagai langkah preventif untuk mengamankan foto-foto kenangan masa lalu ke dunia maya yang sifatnya semi abadi, heheheh. Pikirku, daripada foto tersebut hilang seperti kasus ribuan foto dan dokumen di laptopku dulu, mending sisa kenangan itu aku share aja ke blog. Walaupun aku tidak pandai membuat karangan, yah.. daripada nganggur saya corat-coret deh di kanvas ini.




Pintu Masuk ke Pendopo

Pelataran Candi Cetho dengan background Gunung Lawu

Cantik kan pemandangannya?? heheh Cetho buangett
Well, langsung saja. Dulu ceritanya waktu aku jadi mahasiswa Progdi Sejarah, aku dan beberapa teman-teman seangkatanku diajak penelitian oleh bu dosen (bu E dan bu W) mengenai Pengembangan Kompetensi Masyarakat Desa Wisata di Dusun Cetho. Sudah agak lupa sih apa yang diteliti. Yah.. intinya tentang kebudayaan, ekonomi, gaya hidup, sarana pengairan (paralon), infrastruktur jalan desa, bahkan sampai bentuk kuburan, heheheh. Tapi bukan itu yang ingin aku bahas di sini.
Wawancara dengan Masyarakat Cetho
Mayoritas masyarakat Cetho berprofesi sebagai petani karena memanfaatkan kesuburan tanah lereng Gunung Lawu.
Sedikit  ceritera tentang Dusun Cetho. Dusun ini terletak di ketinggian kurang lebih 1400 mdpl (aku ambil dari wikipedia). Dusun yang terletak sekitar 40 Km dari pusat Pemerintah Kabupaten Karanganyar ini mempunyai  panorama alam yang sangat cantik. Sesampainya disana, mata  kita langsung terhipnotis dengan keerotisan alamnya berupa hamparan kebun teh yang sangat luas, rimbunnya hutan pinus dan warna-warni tanaman sayur milik warga. Selain panorama alam, dusun ini juga mempunyai magnet lain sebagai alasan mengapa turis datang melancong ke sini. Yaaap... magnet itu tidak lain adalah Candi Cetho.
Gerbang Masuk Menuju Situs Candi Cetho
Panorama Alam: Kebun Teh dan Garis Horizon-Dilihat dari pintu masuk Candi Cetho
 
Pelataran Candi Cetho berbentuk Punden Berundak -undak
Berdasarkan pada isi prasasti yang ditemukan di teras ke-7 di Pelataran Candi Cetho, kita dapat mengetahui kapan candi ini berdiri dan apa fungsi dahulunya. Candi Cetho dibangun pada tahun 1397 Saka atau 1475 Masehi. Fungsi utamanya selain untuk tempat beribadah juga sebagai tempat membebaskan seseorang dari kutukan (diruwat). Candi ini memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan candi-candi lain diluar komplek Cetho-Sukuh. Yang membedakannya  adalah ornamen  yang ada di dalamnya. Ornamen yang menghiasi Candi Cetho terkesan “vulgar” hampir sama vulgarnya dengan Candi Sukuh (tetangganya). Biasaya, Ornamen yang ada di Candi Hindu untuk melambangkan kesuburan disimbolkan dengan sepasang Lingga dan Yoni yang menyatu tetapi disamarkan bentuknya. Namun Lingga di Candi Cetho ini oleh nenek moyang Dusun Cetho dibuat sedemikian mirip dengan phallus (alat kelamin laki-laki). Karena mirip dengan Phallus, Lingga Candi Cetho sangat berbeda dengan Lingga-lingga yang sering  kita jumpai di Candi Hindu lainya semisal di Candi Gedong Songo, Candi Brawijaya, maupun di Candi Tengaran.
Dilihat sepintas, hanya seperti tatanan batu (mozaik) dan tidak mengarah pada gambar/bentuk Phallus. Tetapi kalau kita dekati dan cermati di ujung depan, maka kita akan menemukan ciri khas Phallus (alat kelamin laki-laki)

Bentuknya mirip phallus. Ini  yang membuat candi Cetho unik dan  beda dengan lainnya
Nah, kalau di candi lain bentuk Lingga disamarkan, uniknya di Cetho malah dimiripkan :) heheheh
Candi  Cetho memiliki banyak koleksi arca. Memang kalau dilihat secara saksama, akan terlihat berbeda jika dibandingkan dengan arca yang ada di Prambanan maupun di Borobudur. Arca Candi Cetho bentuk tubuhnya tidak proporsional alias gemuk.
Arca di Candi Cetho mempunyai ciri khas yakni badannya gempal

Dengan bertambahnya usia, Arca ini terancam rusak  karena terpaan alam (terik matahari/panas- air hujan, lumut)


Arca ini mengenakan mahkota di atas kepalanya- menurut penggambaran pribadi saya dia adalah seorang raja yang sedang bertapa.

Dengan menenteng senjata "Pentung", Dugaan awal saya mereka adalah pengawal/penjaga

Saya tidak tahu namanya, namun berhubung ditempatkan di tempat yang istimewa, saya yakin Arca ini sangat dihormati

Arca ini terawat dengan baik. Kalau dilihat sepintas dari bentuk wajahnya mirip wajah etnis Cina.

harum asap dupa selalu tecium di area Arca ini ditempatkan
Seperti maklumnya candi-candi di Jawa yang dihiasi relief,  Candi Cetho juga dihiasi relief.
Ketika saya jalan-jalan ke Museum Trowulan Jawa Timur, saya melihat pahatan seperti ini. Yup, ini sangat mirip dengan lambang kerajaan Majapahit yang di namakan Surya Majapahit

Saya menemui pahatan kepala kura-kura seperti ini pada Yoni di Candi Tengaran. Nah, Uniknya, pahatan kepala kura-kura Candi Cetho tidak dipahat menyatu dengan Yoni (biasanya berbentuk meja kotak dari batu)

Salah satu relief yang ditemukan di pelataran Candi Cetho, mungkin dahulunya relief ini menyatu dengan dinding bangunan. Sayang bangunan tersebut sudah runtuh.

Ada puluhan relief di Candi Cetho

Dulu sinyal hape tidak tersedia di Cetho (perdana I*3 dan Kartu Tiga tahun 2013) karena memang tempatnya tersembunyi di lereng Lawu. Nah, untuk sarana telekomunikasi (Sebelum ada broadcast BBM), masyarakat (jaman dahulu) menggunakan pentongan (kentongan) untuk mengumpulkan warga.
Candi Cetho bukan hanya tempat wisata (yaiyalah).Pada awalnya tempat ini memang hanya digunakan sebagai tempat peribadatan. Oleh karena itu, hingga saat ini, banyak orang berdatangan ke tempat ini untuk bersembahyang terutama saudara kita yang bergama Hindu.
Pak Mangku sedang membakar dupa
Dengan kusyuk saudara kita ini berdoa kepada Tuhannya
Mbak-mbak Bali (kuning) sedang membagikan bunga yang dipincuk dalam selembar daun

Pak Mangku mengumumkan Doa akan segera di mulai
Mbak-mbak ini mahasiswi dari Surya Global Jogjakarta, lhoo....
Saya diberi kesempatan untuk masuk ke tempat peribadatan yang paling disakralkan ini. Letaknya berada di ujung atas komplek Candi Cetho. Saya juga diberi kesempatan untuk mengikuti  upacara mengelilingi bangunan kubus tersebut sampai selesai. Sebenarnya bukan pertama kalinya saya mengikuti upacara keagamaan Hindu. Pernah saya ikut upacara agama Hindu di Gianyar dan Larung di Sanur Bali, juga upacara keagamaan Hindu di OKI, Lampung. Meskipun iman saya berbeda dengan mereka, tapi dari pengalaman seperti inilah saya belajar untuk mencintai bangsa ini dengan keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama.
Ini tempat sakral yang saya ceriterakan tadi.
Oh,,,iya.. selain komplek peribadatan berwujud Candi, Dusun Cetho masih punya tempat peribadatan umat Hindu berupa Puri yang  dinamakan Puri Saraswati. Untuk menuju ke sana kita tinggal jalan kaki  50 meter dari pintu keluar yang berada di teras ke-8  (agak lupa). Bagi yang tidak membawa bekal dari rumah, jangan takut. Setelah keluar dari pintu kecil (teras ke-8), kita akan berjumpa dengan penjual makanan yang berjejer di kios semi permanen. Selain menjual makanan, mereka juga menggelar oleh-oleh khas Cetho seperti batu akik, keris, patung, dan tongkat komando.
Selama alam terjaga, mereka akan memberi manfaat. Hawa sejuk langsung menyapa sesampainya kita di pelataran Puri Saraswati
Jalan masuk menuju Puri Saraswati
Karena dirawat dengan sungguh-sungguh, sarana jalan menuju Puri tetap bagus.
Saya lupa berapa biaya masuk ke Puri Saraswati, dulu saya mendapat gratisan masuk oleh mas penjaga.
Ini kondisi warung tahun 2013, sekarang sudah bersolek cantik tidak seperti dulu, kalau tidak percaya silakan ke sana :). Sekedar informasi, ternyata pedagang asli dusun Cetho tidak egois dalam berdagang. Malahan mereka cenderung pasrah. "Rejeki wis ono sing ngatur", dengan begitu mereka tidak memaksa pembeli untuk mampir ke warungnya (bahkan mereka tidak menawarkan jajanannya seperti yang lazim kita temui di pasar-pasar tradisional). Kalau pembeli mampir ya rejeki mereka, tidak mampir berarti bukan rejeki mereka.  Inilah yang membuat Situs Suci ini tetap nyaman dikunjungi wisatawan tanpa ada kegaduhan.
Oleh-oleh khas Cetho : Ada Batu Akik, Keris, Patung, dan olahan kayu sakti (Liwung)
Oleh-oleh khas Cetho salah satunya adalah Tasbih yang terbuat dari Kayu Liwung. Oh iyaa.. meskipun Cetho identik dengan Hindunya, tetapi banyak juga lho saudara Muslim kita yang tingga di sana. Di sana juga jarang terjadi konflik antar warga. Tentu saja, kuncinya adalah memperkuat tali persaudaraan lewat kegiatan Dusun.
Ngomongin tentang oleh-oleh khas Cetho, ada oleh-oleh langka yang terbuat dari kayu Liwung. Kayu Liwung dipercaya sebagai penangkal balak (penyakit). Bagi yang percaya, tidak ada salahnya untuk membeli oleh-oleh langka ini.
Oh ya, masyarakat Cetho punya resep sendiri lho untuk menangkal balak, untuk kesehatan dan untuk lain-lainnya. mereka menggunakan beragam kayu sesuai keperluan. semisal kayu A untuk balak, kayu B untuk rejeki, kayu C untuk kesehatan. yahh itulah kekayaan budaya di sana.

Saya tidak tahu nama mesin yang sedang membuat tongkat komando dari bahan kayu Liwung ini. Namun sekedar informasi, Tongkat komando Presiden pertama kita Soekarno, katanya juga terbuat dari kayu Liwung.
Pohon Liwung merupakan tanaman endemik Gunung Lawu, namun sayang  sekarang sudah langka keberadaannya. Tapi jangan cemas, meskipun sudah langka, tanaman ini bisa dibudidayakan kok. Kayu Liwung hasil budidaya tumbuh besarnya memerlukan waktu lama, sehingga masyrakat harus bersabar hingga puluhan tahun agar dapat memanen kayu in
Satu yang selalu aku ingat ketika mengunjungi tempat-tempat bersejarah "Ambillah nilai-nilai kebesarannya."Aku cuma berharap dan berdoa, supaya di sekitar Candi Cetho (Dusun) tidak dibangun tempat karaoke, karena akan berdampak pada kesakralan Candi itu. :)

Trimakasih atas foto-fotonya Mbak Titik Pardaningsih.... :)

No comments

Powered by Blogger.