Buka Luwur Sebagai Sarana Pemersatu Masyarakat Pantaran, Ampel, Boyolali
Islamisasi di daerah Pantaran
Penyebaran
Islam di Pantaran, Ampel, Boyolali yang dilakukan oleh Syech Maulana Malik Ibrahim Maghribi memakai cara
damai. Sama dengan yang dilakukan para wali-wali lainnya, pengenalan Islam kepada masyarakat dengan jalan penuh
kebijaksanaan tanpa disertai peperangan.
Pada saat itu Syech Maulana Ibrahim Maghribi berhasil menyatukan kebudayaan Islam dengan kebudayaan pra Islam sehingga hidup dan berkembang menjadi budaya baru
tanpa menghilangkan unsur-umsur kebudayaan yang ada (sinkretisme budaya Islam-Pra
Islam). Secara etimologis sinkretisme berasal dari bahsa Arab, dari kata Syin dan Kretiozein
yang berarti memperpadukan unsur-unsur yang saling bertentangan. Sedangkan
dalam bahasa Inggris sinkretisme berasal dari kata syncretism yang berarti campuran, gabungan, perpaduan, dan
kesatuan. Jadi sinkretisme adalah paham atau aliran baru yang merupakan
perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari keserasian,
keseimbangan
dan sebagainya (Sutiyono, 2010: 41)
dan sebagainya (Sutiyono, 2010: 41)
Prasasti yang terletak di depan pintu masuk Makam Ki Mataram. |
Sinkretisme
Jawa Islam merupakan percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa.
Sehingga Islam tidak lagi tampil dalam wujudnya yang asli, teteapi sudah bercampur
dengan budaya Jawa. Ketika Islam datang, proses transmisi Islam berlangsung
secara damai tanpa kekerasan. Kehadiran Wali Sanga di wilayah Jawa yang
dianggap sakti dan berilmu tinggi dapat menggabungkan budaya Jawa dengan budaya
Islam. Keduanya bergabung menjadi Islam Jawa atau yang disebut Islam Kejawaen (Suwardi Endraswara, 2006: 82). Islam Kejawen kemudian berjalan selaras dengan perpaduan antara budaya Islam dan tradisi Kejawen. Keselarasan ini kemudian melahirkan tradisi baru bagi pendukungnya yaitu sebuah upacara bernama slametan (upacara keselamatan)
Biasaya,
para wali dalam memulai dakwahnya (Islamisasi) selalu diawali dengan mendirikan
masjid. Masjid digunakan untuk sosialisasi bagi masyarakat luas yang masih
terpengaruh dengan agama Hindu dan Buddha.
Oleh sebab itu, para wali dalam membuat masjid bentuk bangunannya
disesuaikan dengan bentuk bangunan bercorak Hindu (masjid dengan atap bersusun).
Syech
Maulana Ibrahim Maghribi mengajarkan
Islam tanpa ada paksaan atau kekerasan. Supaya tidak tejadi konflik dengan masyarakat setempat yang masih berpegang
teguh terhadap ajaran nenek moyangnya (pra Islam), Maulana Ibrahim Maghribi menggunakan cara yang bijaksana dan toleransi
dalam sosialisasi Islam, yaitu menyesuaikan dengan adat istiadat yang sudah
ada. Setelah penguasa Pantaran dapat di Islamkan, Syech Maulana Ibrahim
Maghribi mulai mendidik agen penyebar Islam (read: murid). Ia menggunakan
padepokan Ki Ageng Pantaran sebagai tempat berdakwah dan mencetak kader untuk
meneruskan perjuangannya dalam penyebaran Islam di luar Pantaran.
Latar Belakang Digelarnya Upacara
Buka Luwur
Dalam
rangka membina dan mengembangkan kebudayaan nasional perlu memperhatikan
kebudayaan daerah karena kebudayaan daerah berfungsi sebagai salah satu faktor
pendorong dan pengembang kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah merupakan
filter atau penyaring terhadap masuknya unsur-unsur budaya asing. Unsur-unsur
tadi tidak semuanya ditolak, tetapi hanya unsur-unsur yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa saja yang tidak diadopsi.
Makam Syeh Maulana Malik Ibrahim Mahgribi di Pantaran, Ampel Boyolali. |
Menurut
Purwadi (2005: 1), Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan
kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang dapat dimiliki oleh
masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Upacara tradisional
terdiri dari suatu rangkaian atau perbuatan yang terkait dengan aturan-aturan
tertentu menurut adat yang mengalir dalam kelompok (Koenjtaraningrat, 1980:181).
Prosesi
upacara tradisonal Buka Luwur digelar di dukuh Pantaran, Candisari, Ampel,
Boyolali. Upacara ini sudah menjadi adat yang bersifat umum. Tradisi Upacara
Buka Luwur diselenggarakan setiap tahunnya oleh masyarakat Pantaran sebagai
penghormatan terhadap jasa Syech Maulana Ibrahim Maghribi yang telah mencurahkan
perhatiannya pada bidang agama dan kesejahteraan penduduk sekitar Pantaran
sampai akhir hayatnya.
Tanggal
meninggalnya Maulana Ibrahim Maghribi tidak diketahui dengan jelas tetapi secara
turun-temurun masyarakat Pantaran menetapkan hari terakhir di bulan Syura
antara tanggal 20 sampai 25 yang jatuh pada hari Jumat sebagai khol
Maulana Ibrahim Maghribi. Masyarakat Pantaran
memperingatinya dengan upacara mengganti kelambu makam Syech Maulana Ibrahim
Maghribi.
Gotong-royong Warga Selama Prosesi
Upacara Buka Luwur
Puncak
dari prosesi upacara Buka Luwur adalah mengganti
kelambu lama yang menutup makam Syech Maulana Ibrahim Maghribi, Dewi
Nawangwulan, Ki Ageng Surya Mataram, Ki Ageng Pantaran, dan Ki Ageng Kebo
Kanigoro dengan kelambu yang baru.
Menurut
Budiono Herusatoto (1984: 98), tujuan upacara tradisional yang dilakukan oleh
anggota masyarakat baik secara bersama maupun individu adalah supaya
mendapatkan keselamatan agar dihindarkan dari segala bala (malapetaka). Upacara
tradisional yang dilakukan secara berkala dapat mengingatkan masyarakat agar
segala norma dan aturan dalam bertindak tidak menyimpang dari aturan-aturan
atau norma yang ada dalam komunitas, karena jika terjadi penyimpangan akan menyebabkan
kesengsaraan bagi masyarakat pendukung tradisi.
Sebenarnya,
Prosesi Upacara Buka Luwur sudah dimulai sejak hari Rabu dan berakhir sampai
hari Jumat. Terdapat dua panitia dalam upacara tersebut. Panita inti (kecil)
adalah panitia yang bertugas mengurusi makam. Panitia inti anggotanya berasal
dari masyarakat Pantaran yang ditunjuk untuk memelihara dan mengurusi makam
Pantaran. Ketua dari panitia inti adalah juru kunci makam. Panitia besar juga
dibentuk oleh Dinas Pariwisata Boyolali, biasanya diketuai oleh Camat Ampel.
Hari
Rabu, para pemuda Pantaran memasang janur dan tebu hitam sebagai dekorasi
disepanjang jalan menuju ke makam. Hari Kamis, Peziarah mulai banyak berkunjung
ke Makam. Peziarah kebanyakan dari luar daerah. Di sana, mereka bertirakatan di
sebuah rumah kecil di barat makam Pantaran. Di hari itu Panitia sudah disibukan
dengan banyaknya peziarah.
Narsis bersama juru kunci makam Lek Totok. hehehe |
Hari
Jumat pukul 06.00, sebelum kirab dimulai, masyarakat sekitar Pantaran terlebih
dahulu mengganti pagar (bethek) yang
mengelilingi makam umum Pantaran. Bethek
dibuat oleh masyarakat dari beberapa dukuh
di sekitar Pantaran. Sebelum pemasangan bethek,
mereka berdoa bersama (tahlilan). Setelah tahlil, bethek baru dapat dipasang.
Pukul
08.00, digelar kirab dari masjid
Pantaran dan berakhir di makam Pantaran. Kirab diarak oleh ratusan orang. Parogo-parogo kirab berasal dari
berbagai paguyuban seperti Paku Subo dan Rasa Sasmita Semarang. Mereka mengarak
kembang dan mori baru untuk mengganti
mori lama. Setelah sampai di depan makam, dilakukan serah terima dari parogo kirab berupa kembang dan mori
kepada Bupati Boyolali, setelah itu Bupati menyerahkannya lagi ke Juru
Kunci. Saat serah terima mori dan kembang, ruang ziarah yang luasnya tidak
lebih dari 8m x 8 m dikosongkan terlebih dahulu. Setelah itu, Juru Kunci masuk
kedalam diikuti dengan Bupati untuk mengganti kelambu makam. Sebelum kelambu
makam diganti, Juru Kunci membacakan
doa-doa. Kemudian setelah itu, kelambu
makam yang pertama kali diganti adalah
kelambu makam milik Syech Maulana Ibrahim Mahgribi, disusul Dewi Nawangwulan,
Ki Ageng Pantaran, Ki Ageng Mataram, dan terakhir kelambu makam milik Ki Ageng
Kebokanigoro.
Setelah
mori diganti, acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Pertama sambutan
selamat datang dari Camat disusul sambutan dari Bupati Boyolali. Setelah sambutan-sambutan
selesai, seseorang membacakan sejarah dan legenda makam Pantaran. Lalu
masyarakt melantunkan doa tahlil, kenduri, dan terakhir doa penutup untuk
keselamatan mereka.
Selain masyarakat Pantaran, kenduri juga
diikuti oleh masyarakat desa Sampetan, desa Ngargoloko, dan desa Ngadirojo,
Ampel (yang menggunakan air dari mata air Pantaran). Uniknya, warga membawa tumpeng sendiri-sendiri dan dimakan
bersama-sama.
Setelah
acara kenduri berakhir, masyarakat diperbolehkan masuk ke ruang ziarah untuk
melakukan sungkem (berdoa di depan makam). Setelah itu dilanjutkan pembagian takir dan kain mori oleh panitia. Kain
mori penutup makam dipotong kecil-kecil supaya menjadi banyak. Tiap warga yang
beruntung, mendapat kain mori dengan lebar sekitar 1cm dan panjang sekitar 1m.
Pembagian mori berlangsung hingga sore hari, tetapi harus dihentikan sementara
karena diselingi sholat Jumat berjamaah di masjid Pantaran.
Perlengkapan
upcara Buka Luwur sangat sederhana. Alat-alat yang disediakan oleh panitia
yaitu kitab bacaan untuk tahlil dan surat yasin. Alat tersebur disediakan
dengan maksud agar dapat digunakan oleh para peziarah yang lupa/tidak membawa kitab
tahlil/yasin. Sebab, bacaan bacaan-bacaan dari kitab suci tersebut merupakan
sarana bagi masyarakat utuk mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu
juga dipersiapkan alat-alat lainnya untuk membongkar kelambu makam, antara lain
gunting dan mori baru.
Kehidupan
manusia adalah sebuah dinamika. Dinamika ini tidak pernah berhenti, melainkan
tetap terus aktif. Dinamika manusia inilah yang memadukan antara manusia dengan
sesamanya dan dengan dunia lingkungannya (Nursid Sumaatmadja, 1986: 22).
Dinamika ini merupakan ungkapan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal
budi dan sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial yang hidup seiring
dengan perkembangan jaman, akan melahirkan masyarakat gotong royong. Gotong
royong dapat diterapkan dalam hal kematian, pekerjaan sekitar rumah tangga,
pesta-pesta (perkawinan, hajatan lain) dan hal pekerjaan untuk kepentingan
bersama atau umum (Koentjaraningrat, 1977: 77).
Konsep gotong royong merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya
dengan kehidupan rakyat sebagai petani dalam masyarakat agraris. Dalam
kehidupan masyatakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem
penyerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan
tenaga pada masa-masa sibuk (Koentjaraningrat: 1992: 56)
Prosesi
upacara Buka luwur dapat mencerminkan sikap kegotong-royongan masyarakat
Pantara. Kegotong-royongan pada kegiatan Upacara Buka Luwur merupakan hal yang
sangat penting dan patut kita banggakan karena ada semangat kebersamaan,
keakraban, tolong-menolong dan sebagainya sebagai modal persatuan Indonesia.
Akhir
dari prosesi upacara Buka Luwur di Pantaran adalah sadranan. Masyarakat Pantaran membuka pintu rumah mereka untuk semua
tamu yang berziarah ke makam Pantaran. Meskipun mereka tidak mengenal siapa tamunya,
mereka dengan senang hati menyuguhi tamu mereka dengan makanan seadanya sesuai
dengan kemampuan mereka.
Solidaritas
masyarakat mengandung pengertian sifat rasa senasib atau perasaan setia
kawan dalam sebuah masyarakat (Fuad
Hasan, 1988: 853). Dengan diadakannya Prosesi Upacara Buka Luwur, kegiatan
ibu-ibu yang memasak untuk suguhan kenduri di makam, para pemuda yang mengamankan
lingkungan, bapak-bapak yag membongkar dan membagikan kelambu kepada warga, dan juga warga sekitar yang suka rela
memberikan sumbangan dana baik berupa uang maupun benda dapat dikatakan sebagai
wujud solidaritas masyarakat.
Jika
digali dalam-dalam, sebenarnya prosesi Upacara Buka Luwur yang diadakan oleh masyarakat
Pantaran dapat dijadikan proyek percontohan untuk daerah lain dalam mengamalkan
telos Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima
tersebut mengandung arti bahwa seyogyanya pembangunan kesejahteraan bangsa ini dilakukan
dengan cara bergotong-royong. Nilai pembangunan dari sila ke-5 ini jugalah yang menjadi motor penggerak bagi para
Pendiri bangsa duhulu untuk berjuang memerdekakan bangsa ini dari ketidakadilan demi satu keinginan mulia, yakni untuk melihat
bangsa Indonesia di masa depan, hidup sejahtera tanpa ada diskriminasi. Namun pada kenyataannya, saat ini apa yang terjadi? Hanya anda yang mampu
menjawab (dengan hati).
Sumber:
- Wawancara Kuncen Makam Pantaran (Lek Totok)
- Soekmono, R., 1973 .Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III. Yogyakarta: Kanisius.
- Budiono Herusatoto. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
- Fuad Hassan. 1988. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
- Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
- ______________. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustka Utama.
- _______________. 1980. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
- Nursid Sumaatdja. 1986. Pengantar Studi Sosial. Bandung: Alumni.
- Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam Puritan dan Sinkretisme. Jakarta: Kompas.
- Suwardi Endraswara. 2006. Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Post a Comment