Sejarah Kurikulum IPS Sejarah 1975
A. Latar Belakang
Masa depan bangsa terletak pada tangan
generasi muda. Mutu bangsa di kemudian hari bergantung pada pendidikan yang dikecap
oleh anak-anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima di
sekolah. Apa yang yang akan dicapai di sekolah, ditentukan oleh kurikulum
sekolah itu. Jadi barang siapa yang menguasai kurikulum memegang nasib bangsa
dan negara. Maka dapat dipahami bahwa kurikulum menjadi alat yang begitu vital
bagi perkembangan bangsa dan negara.
Sejak timbulnya
Orde Baru, bangsa Idonesia kembali ke ideologi Pancasila dam UUD 1945. Perubahan
itu diikuti dengan perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975. Dalam
kurikulum baru ini terdapat perubahan yang mendasar yakni penyatuan mata
pelajaran yang pada awalnya berodiri sendiri-sendiri ke dalam kelompok mata
pelajaran serumpun. Meskipun saat itu mata pelajaran sejarah tergabung dalam pelajaran
IPS namun mata pelajaran ini memiliki posisi strategis bagi pemerintah yakni
sebagai wahana membentuk kepribadian siswa.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah
1. Bagaimana definisi kurikulum menurut para ahli?
2. Bagaimana perkembangan kurikulum IPS 1975?
C. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diketahui
tujuan penulisan makalah, yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi kurikulum menurut para ahli.
2. Dapat mengetahui perkembangan kurikulum IPS 1975.
PEMBAHASAN
A. Definisi Kurikulum
Di Indonesia istilah kurikulum baru populer
sejak tahun lima puluhan, yang dipelopori oleh mereka yang memperoleh
pendidikan di Amerika Serikat. Pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan
rencana pelajaran. Hilda Taba dalam bukunya Curriculum Development, Theory and
Practice mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning” yakni sesuatu yang
di rencanakan untuk pelajaran anak, yang secara tradisional terbatas pada bahan
pelajaran (Nasution, 2006:2).
Pengembangan kurikulum adalah proses yang
berkelanjutan yang harus dilakukan terus menerus. Berkat pemikiran para tokoh
pendidikan akhirnya kurikulum mengalami banyak pengembangan yang tidak lagi
fokus pada bahan pelajaran tetapi mulai meliputi hal-hal yang tidak
direncanakan namun tetap berusaha mengubah kelakuan anak (Nasution, 2006:2). Banyak tokoh memberikan
definisi yang berbeda-beda sehingga semakin sukar memastikan definisi
sebenarnya dari kurikulum itu sendiri. Berapa definisi kurikulum tersebut
antara lain (Nasution, 2006:7-9):
1. J. Galen Saylor dan William M. Alexander (1956) yang
mengartikan sebagai segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, baik
di dalam ruangan kelas, halaman sekolah maupun di luar sekolah termasuk
kegiatan ekstra-kulikuler.
2. Harold B B. Albertycs (1965) memandang bahwa kurikulum
tidak terbatas pada mata pelajaran, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain
di dalam dan di luar kelas yang menjadi tanggung jawab sekolah.
3. B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores
menyatakan bahwa kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara
potensial dapat diberikan kepada anak
supaya mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4. Wiliam B. Ragan (1966) yang mendefinisikan kurikulum
sebagai seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman
anak di bawah tanggung-jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan
pelajaran tetapi seluruh kehidupan dalam kelas, yakni hubungan sosial antara
guru dan murid, metode mengajar, dan cara mengevaluasi.
5. J. Lloyd dan Delmas F. Miller (1973) mendefinisikan
kurikulum sebagai metode mengajar dan belajar, mengevaluasi murid dan seluruh
program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan
administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah, ruangan serta
kemungkinan memilih mata pelajaran.
6. Edward A. Krug (1960) mendefiniskan kurikulum sebagai
cara atau usaha untuk mecapai tujan persekolahan yang membedakan tugas sekolah
dengan tanggung jawab yang diemban lembaga pendidikan lainnya seperti rumah
tangga, lembaga agama, masyarakat dan lain-lain.
Dari beragam definisi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa kurikulum adalah sebuah produk yang berisi program yakni alat
yang dipakai oleh sekolah untuk mecapai tujuan institusinya termasuk di dalamnya
prosedur kegiatan mengajar guru yang dapat dijadikan acuan untuk memperngaruhi perilaku
belajar siswa.
B. Landasan Kurikulum
Secara umum landasan dapat dikategorikan
menjadi tiga hal. Pertama, sebuah
fondasi yang dibangun di atas sebuah bangunan. Kedua, pikiran-pikiran abstrak yang dijadikan titik tolak atau
titik berangkat bagi pelaksanaan segala sesuatu, Ketiga, pandangan-pandangan abstrak yang telah teruji untuk
membangun sebuah konsep, pelaksanaan konsep dan evaluasi konsep. Terkait dengan
pengertian landasan di atas maka yang mendasari sebuah kurikulum adalah
(Eveliner Siregar dan Hartini Nara, 2014: 63-64):
1. Filosofis
Merupakan
pandangan hidup yang dianut oleh suatu masyarakat yang berkenaan dengan tujuan
pendidikan. Pada hakikatnya pandangan tersebut ditentukan oleh nilai-nilai,
cita-cita atau filsafat yang dianut oleh sebuah negara. Sekolah merupakan
institusi sosial yang mengemban tugas mempersiapkan para siswa menjadi warga
masyarakat. Sehinggga pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan untuk
membentuk manusia (Oemar Hamalik, 1990:33).
2. Psikologis
Berkaitan
dengan faktor penyesuaian kurikulum pada tahapan perkembangan dan kebutuhan
belajar anak. Dimaksudkan agar dalam penyusunan kurikulum patut diperhatikan
hal-hal yang berkenaan dengan karakteristik peserta didik. Sebagaimana
diketahui bahwa karakteristik peserta didik dalam realitasnya sangatlah beragam
dan memiliki tingkat perkembangan yang berbeda disetiap jenjang pendidikannya.
3. Sosiologis
Berkaitan
dengan keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya. Maksudnya
pembelajaran yang dajarkan nanti tidak akan terpisah dari keadaan lingkungan
sosial. Sejatinya lembaga pendidikan dibentuk oleh masyarakat dan dihidupi oleh
masyarakat karenanya pendidikan harus memberi kebermanfaatan kepada masyarakat
sehingga kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
4. Organisatoris
Merupakan
pertimbangan bentuk dan pengorganisasian bahan pelajaran yang akan disajikan.
Pengorganisasian yang tepat akan mampu membawa perubahan yang positif terhadap
peserta didik.
C. Sejarah Kurikulum IPS 1975
Dibuatnya
Kurikulum IPS 1975 tidak terlepas dari pengembangan kurikulum 1968. Diberlakukannya
kurikulum 1968 sangat berkaitan erat demgan situasi politik Indonesia pasca peristiwa G.30.S/PKI
di mana masyarakat menuntut untuk dihapuskannya unsur-unsur komunis dalam
kehidupan berbangsa termasuk dalam pendidikan. Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah 11 Maret Supersemar) yang
memberikan wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk mengamankan ajaran Panglima
Besar Revolusi. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Mayjen Soeharto kemudian membubarkan PKI,
sesuai dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura).
Sehingga pada saat itu juga Nasakom
tidak lagi menjadi ideologi negara (Hamid Hasan, (tt):18).
Sehubungan
dengan pelarangan ajaran komunis dalam kehidupan berbangsa maka pada tahun
1966, MPRS menetapkan kebijakan pendidikan untuk menghilangkan pengaruh Komunis
dan melarang ajarannya melalui TAP MPRS XXVI
tahun 1966 . Dalam TAP tersebut mencantumkan tujuan pendidikan yang diarahkan pada (Hamid
Hasan, (tt):18):
1.
Mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan
memperkuat keyakinan beragama.
2.
Mempertinggi
kecerdasan dan ketrampilan, dan
3.
Membina/
memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Sehingga
untuk menindaklanjuti isi TAP tersebut maka dibuatlah kurikulum 1968. Sejak diberlakukannya
kurikulum 1968 terjadi perubahan mendasar pada pendidikan Indonesia. Untuk
kurikulum SMA, kelompok mata pelajaran yang dulunya dinamakan Perkembangan
Moral diganti dengan
Pembinaan Jiwa Pancasila. Hal itu
dikarenakan peerbedaan tujuan pendidikan di mana selama Demokrasi Terpimpin
pendidikan nasional diarahkan untuk membentuk manusia yang revolusioner sesuai
dengan semangat Nasakom. Oleh karena itu Pembinaan Jiwa Pancasila oleh
Pemerintah Baru bertujuan untuk meningkatkan semangat Pancasila yang bebas dari Nasakom (Hamid
Hasan, (tt):18).
Sidang MPR pada tahun 1973 menghasilkan TAP
MPR Nomor IV/MPR/1973. Hasil sidang tersebut merupakan cikal bakal dibentuknya
kurikulum 1975. Dalam TAP ini tujuan pendidikan dirumuskan untuk ”membentuk
manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan Manusia Indonesia yang sehat jasmani
dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan
kreativitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh
tenggang rasa, dapat mengembangkan
kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,
mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang
termaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Hamid Hasan, (tt):19).
Kurikulum
1975 ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb
(1973-1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah: (1) Sifat: integrated
curriculum organization (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9
bidang studi; (3) pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) (4) pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika (5) jumlah
mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi (6) penjurusan SMA dibagi
tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester II kelas 1 (Haryanto,
2012: 4).
Kurikulum
1975 untuk SMA dikembangkan berdasarkan
filosofi yang berbeda dari kurikulum sebelumnya. Pandangan filosofis esensialis digantikan oleh
pandangan filosofis perenialis yang memperkenankan pengemasan pendidikan
disiplin dalam bentuk integrasi. Walaupun
pendekatan integratif bukan sesuatu yang baru dan telah digunakan pada
kurikulum 1964 dan 1968 tetapi bentuk integratif yang digunakan bagi pendidikan
disiplin ilmu merupakan suatu pendekatan
baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Mata pelajaran Biologi, Fisika, dan
Kimia dikemas dalam suatu organisasi baru dengan nama mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Mata pelajaran Sejarah, Geografi,
Ekonomi, Sosiologi, dan Politik yang semulanya berdiri sendiri diorganisasikan
sebagai suatu mata pelajaran yaitu Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Kelompok-kelompok mata pelajaran yang
dulunya dikenal dengan nama Ilmu Ukur dan Aljabar diorganisasikan dalam mata
pelajaran Matematika (Hamid Hasan, (tt):21).
Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang disiplin ilmu
sosial seperti misalnya : sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi,
politik, psikologi, dan sebagainya. Alasan diintergrasikannya disiplin ilmu
tersebut karena masing-masing disiplin ilmu mempunyai keterpaduan yang tinggi.
Sebagai contoh geografi memberikan wawasan yang berkenaan dengan
wilayah-wilayah, sejarah memberikan wawasan tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lampau, ekonomi memberikan wawasan tentang berbagai macam
kebutuhan manusia dan sosiologi atau antropologi memberikan wawasan yang
berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur social, lalu ilmu politik
lebih kepada mengkaji hubungan antara warga dengan warga negaranya, serta
negara dengan negaranya, dan psikologi membahas mengenai kondisi kejiwaan
seseorang atau manusia.
Di
kurikulum 1975 dikenal istilah Garis Besar Program Pengajaran yaitu dasar
keseluruhan program pngajaran yang terdiri atas tujuan kurikuler, tujuan
instruksional umum, dan ruang lingkup bahan pengajaran yang diatur dan disusun
secara berurutan menurut semester/catur wulan dan kelas yang dimaksud sebagai
pedoman bagi para petugas/pengawas, kepala sekolah, dan guru dalam rangka
pelaksanaan tugas kegiatan belajar-mengajar di sekolah untuk mecapai tujuan
pendidikan. Pendekatan baru yang
digunakan dalam pengembangan kurikulum 1975 adalah prose pembelajaran yang menggunakan
pendekatan siswa belajar aktif, penerapan instructional technology, dan
penerapan butir soal objektif untuk asesmen hasil belajar. Pendekatan baru yang
digunakan dalam proses pembelajaran menempatkan peserta didik dalam posisi
aktif dalam belajar dan dinamakan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pemikiran yang ada dalam model ini
adalah peserta harus aktif
mencari, menemukan, dan
mengkomunikasikan hasil belajarnya sedangkan guru bertugas memberikan
fasilitasi untuk belajar.
Sayangnya, model kurikulum
yang digunakan dan
definisi konten kurikulum
yang digunaka tidak disesuaikan
dengan pendekatan ini. Model kurikulum yang berorientasi pada proses (process curriculum
model) yang menghendaki
adanya penguatan (reinforcement) tidak digunakan, model kurikulum yang
digunakan adalah “content-based
curriculum”. Definisi konten kurikulum juga
terbatas pada konten substantif
sehingga proses tida dikembangkan
dan diajarkan sebagai konten (Hamid Hasan, (tt):21).
D. Kurikulum Sejarah
Sejak
zaman kolonial Belanda pendidikan sejarah
telah memegang peran penting dalam kurikulum di Indonesia. Suatu kenyataan yang ada bahwa
dalam setiap perubahan kurikulum
mata pelajaran sejarah
selalu tercantum sebagai suatu
mata pelajaran wajib. Memang
dalam organisasi kurikulum terjadi
perbedaan, misalnya sebelum
kurikulum 1975 di
mana sejarah merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri kemudian
disatukan ke dalam bidang studi IPS sesudahnya tetapi dalam organisasi
kurikulum semacam itu pun kedudukan sejarah tetap penting. Pasalnya mata
pelajaran ini berfungsi untuk membentuk kepribadian siswa sehingga mempunyai
nilai strategis bagi pemetintah dibanding rumpun-rumpun ilmu sosial lainnya.
Selama
Orde Baru berkuasa, kontroversi
dalam meteri sejarah
tidak dipersoalkan. Hal itu bisa
dimaklumi karena Orde Baru termasuk pemerintahan yang otoriter, yang
tidak memberikan celah
adanya kebebasan berpendapat.
Sehingga saat itu hanya boleh ada satu
versi sejarah (resmi) dan yang berbeda
akan dilarang. Kontroversi
sejarah sebenarnya sudah dimulai pada
bulan Desember 1965. Saat itu untuk mendiskreditkan PKI Jenderal Abdul
Haris Nasution mengerahkan
dosen UI
dan asisten dosen sejarah
UI untuk membuat program buku ”40 hari kegagalan
G30S”. Sejarah versi tentara ini
kemudian dijadikan sebagai pelajaran wajib oleh Pemerintah. Padahal materi
sejarah yang ada belum diteliti kebenarannya. Sejarah versi pemerintah tersebut
lalu disempurnakan uraiannya oleh Nugroho Notosusanto pada buku Sejarah
Nasional Indonesia jilid 6 yang dikemudian hari dipakai menjadi bahan bacaan
wajib bagi siswa SMP dan SMA pada kurikulum 1975 (Artha, 2012: 159).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sidang
MPR pada tahun 1973 menghasilkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1973. Hasil sidang
tersebut merupakan cikal bakal dibentuknya kurikulum 1975. Dalam TAP ini tujuan
pendidikan dirumuskan untuk ”membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila”.
Kurikulum 1975 untuk SMA dikembangkan berdasarkan filosofi yang
berbeda dari kurikulum sebelumnya. Pandangan
filosofis esensialis digantikan oleh pandangan filosofis perenialis yang
memperkenankan pengemasan pendidikan disiplin dalam bentuk integrasi. Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang disiplin ilmu
sosial seperti misalnya: sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi,
politik, psikologi, dan sebagainya. Alasan diintergrasikannya disiplin ilmu
tersebut karena masing-masing disiplin ilmu mempunyai keterpaduan yang tinggi.
Di kurikulum 1975 mulai dikenal istilah
Garis Besar Program Pengajaran yaitu dasar keseluruhan program pngajaran yang
terdiri atas tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan ruang lingkup
bahan pengajaran yang diatur dan disusun secara berurutan menurut
semester/catur wulan dan kelas yang dimaksud sebagai pedoman bagi para
petugas/pengawas, kepala sekolah, dan guru dalam rangka pelaksanaan tugas
kegiatan belajar-mengajar di sekolah untuk mecapai tujuan pendidikan.
Pendekatan
baru yang digunakan dalam pengembangan kurikulum 1975 adalah prose pembelajaran
yang menggunakan pendekatan siswa belajar aktif, penerapan instructional
technology, dan penerapan butir soal objektif untuk asesmen hasil belajar.
Pendekatan baru yang digunakan dalam
proses pembelajaran menempatkan
peserta didik dalam posisi aktif dalam
belajar dan dinamakan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pemikiran yang ada dalam model ini
adalah peserta harus aktif
mencari, menemukan, dan mengkomunikasikan
hasil belajarnya sedangkan guru bertugas memberikan fasilitasi untuk belajar.
Pendidikan sejarah merupakan wahana
untuk mendoktrinasi paham Pancasila pada siswa. Saat itu mata pelajaran sejarah
disisipi materi pemberontakan G 30S/PKI sebagai bahan bacaan wajib bagi siswa
SMP dan SMA. Sehingga mata pelajaran sejarah memiliki posisi strategis jika
dibandingkan dengan disiplin ilmu rumpun sosial lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arta, Ketut
Sedana. 2012. Kurikulum dan Kontroversi
Buku Teks Sejarah dalam KTSP. Jurusan Pendidikan
Sejarah FIS UNDIKSHA.
Eveline Siregar
dan Hartini Nara. 2014. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Haryanto. 2010. Diktat Bahan Kuliah Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Luar Biasa. Yogyakarta:
Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Fakultas Pendidikan, UNY.
Hasan, S. Hamid.
(tidak tercantum). Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950-2005), makalah,
(online). www.Geocities.ws/konferensinasionalsejarah/s_hamid_hasan.pdf. Diunduh pada 10/05/2015.
Oermar Hamalik.
1990. Pengembangan Kurikulum (Dasar-dasar
dan Perkembangannya). Bandung:
Mandar Maju.
S.
Nasution.2006. Asas-asas Kurikulum Edisi
Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Post a Comment