Teori Sejarah Komparatif
Apabila
sejarah didefinisikan sebagai suatu konstruk yang menggambarkan pengalaman
kolektif suatu kelompok dalam suatu sintesis, jelaslah bahwa konstruk itu
merupakan suatu kebulatan atau suatu sistem. Oleh karena itu, pemilihan suatu
topik atau tema berkisar skitar suatu peristiwa
atau gejala-gejala sejarah yang dilukiskan sebagai suatu unit yang
modern ialah negara nasional, suatu lokalitas kecil, gerakan sosial, dan lain
sebagainya. Setiap unit sejarah senantiasa memiliki lingkup temporal dan
spasial (waktu dan ruang). Ruang lingkup temporal mempunyai batasan, yaitu awal
perkembangan gejala sejarah dan akhrinya, umpamanya, dalam biografi kelahiran
dan kematian seorang tokoh. Ruang lingkup spasial mempunyai batasannya juga:
dalam sejarah perang ialah selurhnya wilayah yang dipakai sebagai medan perang.
Untuk suatu negara dengan sendirinya ialah wilayah kekuasaannya. Sehubung dengan
soal terakhir ilmu sejarah senantiasa membutuhkan bantua geografi. Penentuan
unit sejarah di dalam berbagai jenis sejarah menurut pelbagai dimensi sudah
barang tentu menurut kriteria yang berbeda-beda dalam memdefinisikan pembatasan
unit tersebut. Unit sejarah ekonomi jaman kuno terdiri atas daerah lautan.
Sejrah peradaban secara wajar lebih luas daripada ruang lingkup sejarah nasional.
Contohnya sejarah peradaban Barat yang mencakup seluruh Eropa (Barat), sedang
sejarah nasional mengenal pembatasan menurut batas wilayah negara-negara:
Inggris,
Belanda, Prancis, dan seterusnya. Pada umumnya sejarah politik membuat
uninya sejajar dengan batasan engara. Dari segi praktis pun hal itu dapat
dipahami, tidak lain karena penyimpanan arsip dari zaman modern terselenggara
menurut birokrasi negara masing-masing. Perlu dicatat bahwa batasan-batasan
politik sering mengalami perubahan justru sebagai dampak proses sejarah. Lagi
pula, pembatasan sendiri pada hakikatnya merupakan produk proses sejarah.
Berberapa unit sejarah secara berturut-turut adalah (Sartono Kartodirdjo, 2014:
82)
1. Sejarah
Lokal
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada lokasi yang kecil, desa atau kota kecil pada umumnya, tidak
menarik perhatian karena tidak mempunyai dampak luas, jadi tidak penting. Namun
ada kalanya sejarah lokal sangat menarik oleh karena mengungkapkan soal-soal
kemanusiaan secara khusus. Di Indonesia pada umumnya menghadapi kesulitan
sumber. Sumber yang cukup lengkap dibutuhkan oleh karena biasabta sejarah lokal
berupa sejarah mikro, suatu jenis sejarah yang menuntut metodologi khusus, yaitu yang mempunyai kerangka koseptual
cukup halus agar dapat melakukan analisis yang tajam, sehingga pola-pola mikro
dapat diekstrapolasikan (Sartono Kartodirdjo, 2014: 83).
2. Sejarah
Nasional
Unit sejarah yang
menonjol dari abad ini adalah sejarah nasional. Hal yang amat wajar karena
negara nasionalah yang menjadi institusi umum bagi kehidupan kelompok dan untuk
masa yang akan datang masih akan merupakan lembaga yang dominan. Perkembangan
politik abad ke-19 dan ke-20 memang menghasilkan banyak sekali negara nasional.
Lembaga politik ini berfungsi sebagai sistem yang mencakup aspek kehidupan
kesatuan nasional, yaitu aspek ekonomi, sosial, politik, kultural, dan
lain-lain. Mengingat proses sejarah itu bersifat makro, maka sejarah lokal yang
akan diangkat menjadi sejarah nasional harus berdasarkan atas kriteria yang
relevan dengan maknanya bagi kehidupan pada tingkat nasional (Sartono
Kartodirdjo, 2014:85).
3. Biografi
Biografi sudah barang
tentu merupakan unit sejarah yang sejak jaman klasik telah ditulis, antara lain
oleh historigraf Tacitus. Untuk menokohkan seseorang pelaku, biografi menjadi
alat utama. Biografi ditulis secara baik sangat mampu membangkitkan ispirasi
pembaca, jadi dipandang dari sudut ini biografi mempunyai fungsi penting dalam
pendidikan. (Sartono Kartodirdjo, 2014: 87)
4. Sejarah
Komparatif
Bertolak dari konsep sejarah dalam
sejarah naratif, sebenarnya suatu perbandingan sukar, bahkan tak mungkin
dilakukan. Penjelasannya adalah sejarah dikonsepsikan sebagai pengungkapan
peristiwa-peristiwa unuk, yaitu yang terjadi hanya sekali dan tak terulang
kembali. Keunikan itu tidak memungkinkan perbandingan oleh karena memang tidak
ada yang menyamainya. Namun demikian, sesungguhnya pemikiran lebih lanjut
menimbulkan pertanyaan, apakah pada dasarnya untuk menyatakan bahwa sesuatu
tidak ada persamaannya kalau memang tidak pernah dibandingkan dengan kasus
lain. Dari keterangan tentang generalisasi di bagian lain menjadi jelas bahwa
sejarah dengan pendekatan ilmu sosial serta kerangka konseptualnya mampu
mengektarpolasikan pola, struktur, kecenderungan dari proses sejarah dan dengan
demikan membuka kesempatan untuk melakukan perbandingan berdasarkan pola,
struktur dan tendensi tersebut. Tidak perlu dijelaskan bahwa selama penulisan
sejarah terbatas dari narasi dan deskripsi belaka, tidak ada kemungkinan
membuat komparasi. Memang peristiwa yang diceritakan sebagaimana terjadinya
menggambarkan proses terjadinya, termasuk apa, siapa, kapan, dan di mananya.
Informasi lengkap dan tidak membutuhkan penggarapan lagi sudah memuaskan pihak
yang ingin tahu tentang peristiwa itu. Pertanyaan “mengapa”-lah yang
mengharuskan orang melacak sebab-sebab atau kausalitasnya, maka dengan
sendirinya ada tuntutan untuk menganalisis (Sartono Kartodirdjo, 2014: 88).
Sejak
dahulu komparasi selalu menduduki posisi sentral dalam teori sosial. Memang,
seperti dikatakan Dukheim, “sosiologi komparatif bukanlah cabang khusus
sosiologi, melainkan sosiologi itu sendiri. Ia menekankna bahwa kajian tentang
variasi konkomitan (selaras) sama nilainya dengan eksperimen tidak langsung,
yang memungkinkan sosiologiwan hijrah dari pendeskripsian masyarakat ke
penganalisisan hal-hal yang mempengaruhi bentuk suatu masyarakat (Peter Burke,
2003: 31).
Di
bidang sejarah politik, studi komparasi tentang revolusi menjadi perhatian
besar. Di antara karya-karya yang paling ternama dalam genre ini adalah analisis Barringron Moore tentang latar belakang
sosial kediktatktoran dan demokrasi, mulai dari Inggris abad ke-17 hingga
Jepang abad ke-19. Moore menggunakan metode komparatif secara sangat effektif
sebagai alat untuk menguji penjelasan-penjelasan umum (ia tertarik pada hal
yang tidak selaras, sebagaimana Weber tertarik pada hal yang tidak ada. Dia
mengatakan “Komparasi dapat berfungsi sebagai alat sederhana untuk memeriksa
hal-hal negatif di dalam penjelasan-penjelasan sejarah yang telah di terima.
Setelah mempelajari resiko-resiko yang membahayakan demokrasi sebagai akibat berkoalisinya
elit pertanian dan elit industi di Jerman pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
yang banyak disebut sebagai perkawinan antara logam dan gandum-orang jadi
bertanya-tanya mengapa perkawinan serupa antara logam dan kapas tidak mampu
mencegah terjadinya perang Saudara di Amerika Serikat (Peter Burke, 2003: 35).
Di
bidang sejarah sosial, studi komparatif tentang feodalisme yang diilhami oleh
Marc Bloch terus tumbuh dengan subur dengan bahasan tentang India dan Afrika
serta tentang Afrika dan Jepang. Pendapat yang mengatakan bahwa lalat tse-tse yang menyerang kuda,
sesungguhnya mencegah berkembangnya sesuatu sepertu feodalisme di Afrika Barat
adalah salah satu dari hasil studi yang mencengangan terntang sesuatu yang
hilang, sebagai mana dikatakan Weber. Pola-pola komparatif perkawinan merupakan
salah satu subjek penelitian terkenal Jhon Hajnal. Dalam penelitian itu, sistem
kawin telat di Eropa Barat, yang dikaitkan dengan pengembangan rumah tangga
mandiri bagi mempelai baru, dibandingkan dengan praktik-praktik yang dilakukan
di negara-negara lain pada gilirannya, Hajnal telah merangsang munculnya stidi
komparatif lain, terutama esai Jack Goody yang mengemukakan bahwa sistem Eropa
Barat tersebut adalah ciptaan gereja agar gereja lebih berpeluang mendapat
warisan dari orang-orang yang tidak kawin (Peter Burke, 2003: 36). Sejarah
komparatif mencatat sejumlah prestasi substansial. Kendati demikian, ia juga
mengandung bahaya. Berbahaya jika terlalu mudah mendapat asumsi bahwa
masyarakat berevolusi lewat serangkaian tahapan wajib. Inti metode komparatif
yang dikembangkan oleh Marz, Comte, Spencer, Dukheim, dan para sarjana abad ke-19
pada dasarbta rerketak pada pengidentifikasian tahapan tertetun yang telah
dicapai oleh masyarakat tertentu, yaitu dengan menentukan posisinya pada urutan
tahapan evolusi sosual. Bagi kebanyakan sarjana masa kini, asums ini tampak
tidak dapat tertahankan lagi. Masalah kemudian, bagaimana melahirkan
analisis-analisis komparatif yang tidak bersifat evolusionis dan tidak pula
statis, seperti yang dicenderungi Weber- tetapi memberi perhatian kepada
berbagai jalur yang mungkin dilalui oleh suatu masyarakat. Bahaya etnosentris,
mungkin terlihat ganjil bila itu dikatakan bahaya sebab analisis komparatif ini
sudah lama dikaitkan orang dengan semakin meningkatnya kesadaran akan budaya
non barat di kalangan sarjana Barat. Namun sering kali para sarjana ini memakai
nama Barat sebagai patokan dalam melihat ketidaksesuaian budaya-budaya lain
dari budaya Barat. Feodalisme misalanya sebagaimana kapitalisme, adalah konsep
yang dirumuskan menurut pengalaman barat. Jelas berbahaya jika dicoba
memaksakan sejarah bangsa lain ke dalam konsep sejarah kategori Barat. Kasus
feodalisme di kerajaan Rajasthan India misalnya, adalah kabar kasuistik yang
perlu diinat betul oleh para calon sejarawan komparatif. Pada tahun 1829, James
Tod menampilkan kepada publik apa yang dinamakan dengan “Sketsa Sistem Feodal
di Rajasthan”, mengandalkan diri kepada karya terbaru Henry Hallam, View of the State of Europe during the
Middle Ages (1818), Tod menekankan analogi yang relatif dangkal tentang dua
masyarakat. Memakai perspektif Hallam, Tod gagal mengamati pentingnya hubungan
kekeluargaan antara “tuan” dengan “hamba”
dalam kasus India tersebut (Peter Burke, 2003: 37).
Sebagai
sejarawan merasa tidak punya urusan dengan model serta bersiteguh dengan
pendirian, bahwa tugas mereka adalah mengkaji hal-hal khusus, terutama
persitiwa-peristiwa yang unik, bukan yang umum. Namun, dalam praktiknya,
kebanyakan dari mereka memkai model sebagaimana Monsiuer Jourdain menggunakan
prosa dalam cerita Moliere, tanpa
menyadari bahwa mereka melakukan itu. Mereka sering membuat
peryataan-pernyataan tentang masyarakat tertentu. Esai terkenal Burkchardt
tentang Renainsans Italia ternyata melihat hal-hal yang berulang, konstan, dan
tipikal. Sir Lewis Namier mengkaji mengapa laki-laki menjadi anggota Parlemen
di Inggris pada abad ke-18. Marc Bloch menulis studi umum tentang masyarakat
feodal yang di situ dia tegaskan ciri-ciri utama masyarakat feodal, yang disitu
dia tegaskan ciri-ciri utama masyarakat ini (pertanian paksa, dominasi
prajurit, hubungan pribadi atasan-bawahan, desentrasi politik dan
sebagaimananya. Satu-dua abad lalu, para sejarawan mengalami kesulitan
menghindari istilah-istilah umum seperti feodalisme dan kapitalisme, Renaisans
atau Pencerahan. Menghindarii kata model, sejarawan rela membicarakan tentang
sistem-frase “sistem feodal” mengacu ke abad ke-18, atau tentang bentuk klasik
atau bentuk textbook permukiman elit abad pertengahan (Peter Burke, 2003: 41).
Sejarawan
sering mencoba membuat generalisasi tetang perubahan-perubahan kelembangaan di
negara-negara bertetangga pada suatu periode tertentu, dengan membuat
frase-frase seperti : monarki baru, revolusi Tudor di pemerintahan, bangkitnya
absolutisme, revolusi pemerintahan abad ke-19, dan seterusnya. Dari sudu
pandang komparasi, semua perubahan ini tampak lebih sebagai contoh-contoh lokal
tentang tahap-tahap peralihan dari tipe pemerintahan yang disebut Max Weber
“patrimonial” ke tipe yang lain disebut “birokratis” Perbedaan yang dibuat
Weber ini telah mengilhami banyak sekali penyelidikan sejarah di berbagai
kawasan, dari Amerika latin ke Rusia. Perbedaan tersebut dapat dirumuskan ke
dalam lima atribut yang berlawanan sebagai berikut (Peter Burke, 2003: 44):
Sistem
Patrimonial
|
Sistem Birokrasi
|
1.
Wilayah yuridikasi tidak
ditentukan
|
Daerah Yuridiksi jelas
|
2.
Hierarki informal
|
Hierarki formal
|
3.
Pelatihan dan pengujian informal
|
Pelatihan dan pengujian formal
|
4.
Pejabat paruh waktu
|
Pejabat tetap
|
5.
Perintah lisan
|
Perintah tertulis
|
Sejarah
sosial dan sejarah budaya juga memakai model sejarah sosial, contohnya sering
memakai istilah “kelas” untuk membandingkan masyarakat berkelas dengan
masyarakat awam. Manggunakan model tanpa mengakui penggunaannya atau tidak
menyadari status logikanya kadang-kadang mengakibatkan sejarawan terjebak ke
dalam kesulitan yang tidak perlu. Sejarawan sering menuduh bahwa bahasan dan
tulisan teoritisi sosial cuma berisi jargon yang tidak bisa dimengerti. Setiap
perbedaan dari bahasa yang biasa dipakai membutuhkan justifikasi, sebab bahasa
yang lain itu akan mempersulit komunikasi dengan pembaca yang umum. Meski
begitu, istilah teknis teori sosial tetap saja sedikit yang masuk ke dalam
pertimbangan sejarawan untuk diadopsi. Beberapa istilah itu tidak ada
padanannya dalam bahasa biasa. Sementara, tanpa kata yang cocok, bisa jadi
orang gagal mencermati aspek-aspek kehidupan sosial tertentu. Istilah-istilah
dalam bahasa lain itu memiliki definisi yang lebih pas dibanding padanannya
dalam bahasa biasa, sehingga memungkinkan untuk mengungkap perbedaan yang lebih
halus dan melakukan analsis yang lebih tegas (Perte Burke 2003: 64).
Apa
yang dinamakan “hukum” dalam ilmu ekonomi klasik, belum tentu berlaku universal.
Alexander Chayanov menyatakan bahwa teori marginal
utility(nilai guna marginal) tidak relevan untuk keluarga petani, yang
tetap saja menggarap lahan-lahan marginal walaupun hasilnya semakin menurun,
selama belum tercukupi
kebutuhan-kebutuhan mereka. Argumen yang sama bisa ditemukan dalam buku yang
ditulis seorang pakar sejarah ekonomi terkemukaberkebangsaan Polandia, yaitu
Witold Kula. Dalam buku “Economic Theority of the Feudal System”, yang pertama
kali diterbitkan pada tahun 1962, mengkaji tentang daerah pertanian besar milk
para bangsawan Polandia di abad ke 17. Di buku itu, yang merupakan contoh
emplisit yang tidak lazim mengenai pembentukan dan pengujian model sejarah,
Kula menunjukan bahwa hukum-hukum ekonomi klasik tidak jalan pada kasus
tersebut. Ketika harga biji gandum naik, produksi malah turun, dan ketika harga
turun, produksi malah naik. Untuk menjelaskan pengeculian tersebuut, Kula
menekankan pada dua faktor: mentalitas aristokratik dan keberadaan perbudakan.
Para aristokrat abad ke-17 tidak tertarik pada laba yang semakin meningkat,
tetapi pada kesetabilan pendapatan yang memungkinkan mereka menjalani hidup
sebagaimana biasa mereka jalani. Di saat harga biji gandum turun, mereka harus
menjual lebih banyak untuk mempertahankan standar hidup, dan diduga mereka
memerintahkan para pengawas agar menyuruh para budak bekerja lebuh keras.
Ketika harga biji gandum naik, mereka pun bersantai.Penafsiran ulang terhadap
sejarah ekonomi Polandia ini tentu saja amat kontroversial, akan tetapi hal itu
merupakan suatu pencapaian yang luar biasa sekaligus tantangan atas
asumsi-asumsi tradisional (Perter Burke, 2003:67).
Salah
satu konsep sosiologi yang paling sentral adalah “peranan sosial” yang didefinisikan dalam
pengertian pola-pola atau norma-norma perilaku yang diharapkan dari orang yang
menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sosial. Banyak yang bisa
didapatkan para sejarahwan dengan memakai konsep peranan secara lebih tepat dan
lebih sistematik. Hal ini akan mendorong para sejarawan utuk mengkaji bentuk-bentuk
perilaku yang telah umum mereka bicarakan dalam artian individual atau moral
ketimbang sosial, dan yang mereka cela dengan begitu mudahnya serta secara
etnosentris (Peter Burke 68).
Orang-orang
kesukaan raja biasanya hanya dianggap sebagai orang-orang jahat yang membawa
pengaruh buruk pada raja-raja yang lemah seperti Edward II dari Inggris dan
Henri III dari Perancis. Tetapi, lebih terang lagi jika kita pandang orang
“kesukaan” ini sebagai suatu peranan sosial yang mempunyai fungsi yang jelas
bagi masyarakat istana (mungkin dapat ditambahkan bahwa kedudukan tersebut
masih bertahan hingga abad sekarang ini, seperti terlihat pada karir Philip
Eulenburg di istana Kaisar Wilhelm II). Para raja sebagaimana orang-orang lain
juga butuh teman. Tidak seperti orang-orang lain, mereka butuh penasehat tak
resmi, utamanya dalam masyarakat yang memandang bahwa hak memeberi saran
hanyalah hak anggota keluarga istana. Mereka juga butuh kiat-kiat untuk
mengambil jalan pintas dari birokrasi formal pemerintahan. Raja memerlukan
seseorang yang bisa dipercaya, yang bukan dari kalangan bangsawan atau
pejabat-pejabat disekelilingnya, sebab posisi raja bergantung sepenuhnya pada
loyalitas tersebut dan tidak jarang pula, orang itu dijadikan sebagai tempat
pelampiasan kemarahan ketika terjadi ketidakberesan. Seorang kesukaan raja
tertentu seperti Pires Gaveston semasa pemerintahan Edward II atau Duke of
Buckingham di jaman pemerintahanJames I dan Carles I, mungkin merupakan becana
politik. James I meyurati Buckingham dengan panggian “anak dan istriku yang
manis”. Meskipun begitu, seperti para kasim di istana Bizandtium atau China,
kekuasaan orang-orang kesukaan raja tersebut tidak dapat dijelaskan dalam
pengertian lemahnya sang raja saja. Ada posisi tertentu dalam sistem istana yang
harus diisi oleh teman akrab raja serta pola perilaku yang terkait dengan
peranan itu (Peter Burke, 2003: 77).
Lembaga
yang terdiri dari sekumpulan peranan yang saling tergantung dan saling
melengkapi adalah keluarga. Dalam buku klasik sosiologi, “L’organisation de la
famille (1871), Federic Le Play membedakan tiga tipe keluarga. Ada tipe
patriakhal yang sekarang ini dikenal dengan keluarga patungan dimana anak
laki-laki yang telah menikah tetap tinggal serumah dengan orang tua, tipe “tak
stabil” atau keluarga inti dimana anak laki-laki yang telah menikah pindah dari
rumah orang tua dan tipe “keluarga akar” dimana hanya ada satu anak laki-laki
yang sudah menikah saja yang masih tinggal bersama orang tua (Peter Burke,
2003:78). Mobilitas sosial adalah suatu pergerakan naik dan turun tangga
sosial. Studi tentang mobilitas sosial ke bawah sering diabaikan. Penarikan
garis pembeda antara mobilitas individu dan mobilitas kelompok tidak cukup
jelas. Ada yang mengatakan bahwa kebangkitan kaum petani di Inggris menajdi
kaum semi bangsawan (1540-1640) tampil dalam bentuk kekayaan, status dan
kekuasaan. Ada juga yang membedakan kenaikan status individu –individu tertentu
dari strata yeomanry (tentara, kavaleri yang direkrut dari kalangan petani ke
strata semi bangsawan baru). Kenaikan dari strata individu-indivudu lain dari
semi bangsawan ke peerage (bangsawan
baru) dan kenaikan status sosial semua kaum semi bangsawan baru dibanding
dengan kelompok sosial lainnya kesannya tertutup. Meski kaisar Byzantium pernah
mengeluarkan keputusan bahwa semua anak laki-laki mewarisi pekerjaan ayahnya,
tidak mungkin sebuah masyarakat yang berkelas-kelas tidak memilik mobilitas
sosial sama sekali, yang berarti bahwa semua anak, baik laki-laki maupun
perempuan, menikmati (merasa merana) dengan status yang sama dengan orang
tuanya. Tak kalah penting, ada satu perbedaan yang perlu ditegaskan antara apa
yang disebut mobilitas nyata (visible) kaum pria pada masyarakat patrilineal
dan mobiltas tersembunyi (ivisible) kau perempuan lewat perkawinan yang
memungkinkan mereka mengganti nama. Kajian mobilitas sosial juga terdapat dalam
studi Cina masadinasti Ming (1368-1911) dimana masyarakat Cina lebih terbuka
daripada masyarakat Eropa. Bukti akan tingginya mobilitas sosial disana dapat
dilihat dari para calon-calon yang lulus dalam ujan penerimaan pegawai
kerajaan, yang berisi informasi tentang asal-usul calon pegawai mandarin.
Dengan diilhami oleh reformasi pegawai kerajaan di Inggris pada abad
pertengahan ke-19 merupakan salah satu upaya yang amat canggih dalam perekrutan
pegawai berdasarkan prestasi yang dikembangkan oleh suatu pemerintah zaman pra
Industri.
Kesimpulan
Untuk
mengkaji sebuah peristiwa sejarah, diperlukan ilmu bantu untuk memudahkan
penulis dalam menganalis fakta-fakta sejarah. Pendekatan ilmu sosial dalam
metodologi sejarah merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi sehingga alur
cerita sejarah tidak monotone.
Daftar Pustaka
Burke,
Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial.
Jakarta: Yayasan Obor.
Kartodirdjo.2014.
Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Post a Comment