Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi
Sejarah atau history (Inggris) merupakan padaan kata
yang diserap dari daerah Yunani. History berasal dari kata benda istoria, yang
berarti ilmu. Menurut definisi yang paling umum saat ini, kata history berarti
masa lampau manusia (Louis Gottschalk: 2008:33). Padahal, masa lampau manusia
(sejarah) tidak dapat ditampilkan kembali bahkan oleh mereka yang mempunyai
ingatan tajam sekalipun, terlebih pengalaman satu generasi yang telah lama
mati, Bila tidak sampai ke dapur sejarawan, peristiwa tersebut tidak pernah
akan diingat secara lengkap oleh generasi sesudahnya.
Sejarah membahas hal-hal yang dinamis atau genetis
(yang menjadi) maupun yang statis (yang ada atau yang terjadi). Oleh karena
itu, sejarah seharusnya menerangkan mengapa dan bagaimana peristiwa dapat terjadi
dan saling berhubungan (Louis Gottschalk: 2008:35). Sejarah tidak melulu hanya mendiskripsikan
masa lalu saja, namun harus dapat mengikuti dunia kontemporer (Frederick dan
Soeroto, 1982:5). Merujuk pada sejarah kontemporer, waktu merupakan bagian penting
di dalamnya, sehinggga pejananan waktu mempunyai hubungan dengan sebuah
kejadian masa kini. Sebuah kejadian harus dipertimbangkan faktanya. Maksudnya
adalah sebuah informasi tentang sebuah kejadian tidak boleh diterima begitu
saja. Informasi yang masih abstrak itu harus diteliti kembali. Bila informasi
itu diterima begitu saja maka tulisan sejarah akan menyesatkan. Sehingga dalam
menghhimpun informasi untuk dibuat sebuah tulisan sejarah harus dicocokan dari
berbebagi sudut pandang untuk mencari kebenarannya (Frederick dan Soeroto,
1982: 7).
Dalam proses persepsi
maupun interpretasi seorang pengarang akan berusaha melakukan seleksi terhadap
gejala yang mereka amati. Seleksi itu diarahan oleh banyak faktor dan kriteria
yang relevan. Secara lengkap faktor-faktor itu seperi: sosial, ekonomi, politik
dan kultural. Apa yang dipersepsikan sangat tergantung pada fokus perhatian
pengarangnya. Maka dari itu pengarang berusaha membuka dialog dengan masa lalu
untuk mencari penyelesaian masalah pada masa kini yang mungkin mempunyai
jawaban pada kasus yang sama atau paling tidak dapat membantu mencari jawaban.
Jika memang betul begitu, berarti pengarang sejarah selalu terpengaruh oleh
faktor kekinian (Reid & Maar, 1983: IV).
Memelihara Indonesia
dengan sejarah tidak hanya menceritakan masa lalu bangsa Indonesia sepotong
demi sepotong saja. Misalnya khusus sejarah kemerdekaan Indonesia yang hanya
diajarkan di sekolah untuk meningkatkan nasionalisme. Memang tonggak awal
berdirinya Republik Indonesia berasal dari napas sang Proklamator yang
menyatakan bahwa bangsa Indonesia sejak saat itu telah bebas dari bermacam bentuk
intimidasi bangsa Asing, namun sejarah Prokalmasi tersebut kurang memuaskan
karena tidak diikuti dengan sejarah sebelum Republik berdiri dan sesudahnya.
Oleh karena itu penting untuk dimengerti bahwa sebagai pemahaman terhadap
proses timbulnya nasionalisme bangsa Indonesia, sejarah harus dijelaskan secara
holistik, mengingat sejarah merupakan sebuah kesatuan yang saling berhubungan
antara peristiwa masa lalu, masa kini dan masa depan.
Dalam perjalanan
hidupnya, bangsa ini selalu melahirkan sesosok sejarawan yang mengulas tentang
seisi Indonesia. Meskipun tidak semuanya mempunyai pandangan serupa pada metode
dan gaya tulisan, namun semuanya berusaha untuk menyimpan dan merekam masa lalu
Indonesia melalui karyanya. Jauh sebelum Revolusi terjadi, tradisi bangsa
Indonesia adalah selalu menyimpan kekayaan sejarah yang menggambarkan kondisi
masyarakat dan alamnya di memori mereka masing-masing sehingga untuk
mencurahkannya kisah-kisahnya, mereka hanya bercerita secara lisan (dongeng)
bukan dalam bentuk tulisan. Kemudian dalam perkembangannya, melalui lantunan
syair yang indah para cendikiawan berusaha membuat gatra ungkapan lisan dan
dipersajakan. Meskipun telah dicatat namun agaknya pemikiran masa lalu itu
tidak dapat dipahami secara terperinci sehingga kebenarannya sulit untuk
dibuktikan secara detail (Frederick dan Soeroto, 1982: 87).
Penyajian sejarah
melalui dongeng dapat ditemukam pada kitab-kitab yang dibuat di jaman
Hindu-Budda hingga jaman Mataram Islam. Dalam kitab Pararaton dan Hikayat
Raja-raja Pasai, meskipun sebagian isinya tidak masuk akal dan cenderung
mendistorsikan fakta, namun kedua tulisan tersebut termasuk dalam ranah sejarah
karena dikeramatkan tradisi dan memuaskan dari segi budaya. Contoh lain adalah
Tambo Minangkabau yang menceritakan perubahan masyarakat dan kebudayaan yang
rumit sebagai tujuan pewarisan budaya kepada generasi sesudahnya. Fakta dalam
sejarah seperti itu teranyam bersama dengan bahan dongeng. Jika dilihat dengan
kacamata kekinian, bahan sejarah semacam itu kurang memuaskan karena mencakup
kegiatan-kegiatan yang “luar biasa” tidak masuk akal (Frederick dan Soeroto,
1982: 86-87).
Historiografi meurpakan
rekonstruksi peristiwa masa lampau. Rekonstruksi harus disesuaikan dengan
gambaran yang sesungguhnya. Dalam penulisan sejarah tradisonal seperti Hikayat,
Babad atau Kronik tujuannya adalah untuk membenarkan legitimasi penguasa atas
eksistensi kekuasaanya. Dengan
mengidentifikasi berarti sejarawan akan tahu pembenaran. Legitimasi kekuasaan seorang
raja dalam sebuah babad merupakan sebuah pengkultusan raja. Dimana dirinya
sebagai pusat makrokosmos dan sasana religiomagis. Sehingga pandangan pada
unsur-unsur mitologi mudah dimasukan ke dalam historiografi (Reid & Maar,
1983: V). Dalam kitab Negarakertagama Raja-raja Majapahit dilukiskan sebagai
manusia super dengan kekuasaan
menyerupai Dewa. Raja-raja selalu mengunjungi daerahnya untuk mengurusi
rakyatnya. Namun ada perbedaan yang mecolok dalam Babad Tanah Jawi. Raja-raja
Majapahiit dikisahkan tidak mempunyai kewibawaan, bahkan raja Brawijaya yang
terakhir dikisahkan memiliki penyakit rajasinga.
Dalam Hikayat Raja-raja
Pasai dikisahkan bahwa Majapahit menyerang Kerajaan Pasai akibat Raja Majapahit
tidak senang hati melihat salah seorang putrinya meninggal. Dia lalu mengirim
sekitar empat ratus jung besar dikawal oleh ratusan perwira dan berada dalam
satu komando perwira tertinggi. Dengan
jumlah pasukan yang besar tersebut, akhirnya Majapahit dapat melenyapkan Pasai
dan menjarah harta-hartanya. Dalam kisah serangan Majapahit ke daerah Pasai
tersebut, pembaca kisah tersebut pasti mengira bahwa alur ceritanya
berdarah-darah dan menyudutkan Majapahit menjadi tokoh antagonis dalam pentas
sejarah tersebut. Namun pada kenyataannya tidak. Malahan sang pengarang
mengatakan bahwa Sang kaisar cinta pada keadilan. Bahkan setelah serangan itu
Majapahit tumbuh besar hampir meliputi Nusantara. Kebudayaan Majapahit juga
berkembang karena di mana-mana orang-orang selalu mendengar pukulan gong dan
kendang sambil menari-nari. Sang pengarang juga menyatakan bahwa Majapahit
mendapat upeti dari negara-negara bawahannya yang menginginkan perlindungan (Reid & Maar, 1983: 128-129).
Mitos-mitos sangat
penting bagi permulaan sebuah kerajaan. Mitos biasanya disajikan tidak berbeda
dengan fakta-fakta historis. Dalam struktur cerita sejarah Tradisional,
terdapat perpaduan antara mitos dan historia sehingga tokoh mistis ataupun
pahlawan akan muncul bersamaan dalam pentas sejarah. Mitologi akan berpengaruh
pada proses legitimasi. Karena mitos-mitos akan menambah sifat supranatural dan
sanksi-sanksi yang sakral. Kontinuitas kekeramatan berwujud pusaka-pusaka dan
berbagai tradisi. Tokoh kepahlawan atau kepemimpinan yang mempunyai kekuatan
yang luar biasa, dapat dipakai sebagai tauladan sehingga fungsi lain dari mitos
adalah sebagai sejarah teladan, yakni untuk meneladani tokoh-tokoh beserta sifatnya sebagai model kehidupan bagi
pendukungnya (Reid & Maar, 1983: VI). Dalam jaman moderen sifat dari
mitologi masih tetap dipertahankan. Terutama untuk mengidentifikasi masa kini
dengan memakai sudut pandag hitoris. Contohnya adalah pembenaran negara
nasional serta Ideologi nasionalisme negara Indonesia (Reid & Maar, 1983:
VI).
Tidak dapat diingkari
bahwa perasaan historis maupun perasaan futurologis kedunya memberikan makna teleologis
yang eksistensinya mejadi kebutuhan primordial bagi homo sapiens. Hal ini yang
akan menciptakan sebuah gejolak. Namun gambaran kontra dari rakyat tidak banyak
dikenal. Hanya ideologi kontra yang melawan dan meluap dipermukaan masyarakat
berupa protes-protes kepada penguasa. Mitos sebagai penonjolan kisah masa depan
dapat memberi semangat sebuah kelompok massa
yang berakibat pada kelompok itu memiliki sifat radikal dan revolusioner
(Reid & Maar, 1983: VII).
Tokoh Arung Palaka
digambarkan sebagai persaingan ekonomi di wilayah Indonesia bagian Barat Laut,
antara kerajaan Makassar, Goa, dan Kompeni Belanda dalam Perang Makassar
1666-1669. Goa merupakan kerajaan terbesar di wilayah itu. Pada tahun 1660
Belanda menyerang Makassar. Penyerangan itu disebabkan karena pembunuhan dan
penyitaan kapal yang sarat muatan rempah-rempah oleh pihak Goa. Akhirnya
hubungan antara Goa dan Belanda semakin melorot. Yang awalnya hanya persaingan
dagang berubah menjadi persaingan politik.
Dibawah Cornelis Speelman, akhirnya Belanda dapat menahlukan Makassar pada
tahun 1666. Di dalam aksi tersebut, ternyata ada sebuah kontingen Bugis yang
dipimpin oleh Arung Palaka yang ingin membebaskan rakyat Makassar dari
cengraman Goa dengan bantuan Belanda.
Goa dianggap sebagai
penjajah oleh penduduk Makassar. Perang yang terjadi tahun 1666-1669
menyebabkan dua suku yang berdekatan menjadi memanas. Suku Makasar menganggap
bahwa Suku Bugis itu sebagai penjajah. Namun yang membebaskan Suku Makasar dari
kerjaan Goa ternyata malah orang Bugis. Hal itu berawal dari sakit hatinya
Arung Palaka yang dahulunya diusir oleh orang tuanya sendiri. Kemaluanya “siri”
menjadi awal perjuangannya untuk menegakan kembali martabatnya. Akhirnya martabatnya dapat kembali stetelah
ia diangkat lagi menjadi kota Mahkota Bone. Kekalahan Goa dimanfaatkannya untuk memperbaiki struktur politik di
Makassar yang telah hancur. Disana ia di fatwa menjadi Raja namun sebenarnya
selama itu ia tidak mempunyai kerajaan sendiri.
Hingga pada akhirnya di tahun 1673, ia diangkat menjadi raja Bone.
Pertikaian antara raja Tunisombaya Goa yang dulunya menginginkan kekuasaan
Kompeni di Makassar berhasil diakhiri dengan mebaiknya persahabatan antara
Tunisombaya dengan Gubernur Jenderal Batavia (Reid & Maar, 1983: 139-147).
Meskipun perang Makassar telah berakhir, namun
siri nasih dipertahankan oleh pendukungnya. Masyarakat Makassar percaya jika
mereka mendapat siri karena perlakuan tidak adil, maka keharusan mereka adalah
untuk mengembalikan wibawanya. Mereka lebih baik mengorbankan dirinya daripada
mengorbankan harga dirinya dengan memaksa orang yang membuatnya siri tersebut
menghapus sirinya. Hal itu juga dilakukan oleh masyarakat Bugis. Orang Bugis
tidak mau saudaranya teraniaya sehingga mereka berusaha untuk membebaskan
saudaranya itu. Sebenararnya Pacce dan siri merupakan konsep kembar yang
menentukan individu Bugis-Makasar. Mereka memelihara keseimbangan antara malu
dan harga diri yang diilhami dari daam siri dan kesadaran ikut menanggung. (Reid
& Maar, 1983:148-150)
Sejarah tradisonal
mengalami perubahan demi perubahan secara bertahap hingga mendekati seperti
yang kita kenal saat ini. Persepsi sejarah tradisonal semakin mengarah pada
antrposentris (Reid & Maar, 1983:VIII).. Tradisi penulisan sejarah di Jawa
sebelum abad ke-19 sudah mampu menggambarkan secara menyeluruh sebuah peritiwa
secara kronologis, namun di dalamnya
masih banyak ditemui hal-hal ghaib meskipun pengaruh Islam telah berkembang di
pulau itu. Dalam babad Purwasastra yang menceritakan Kerajaan Blambangan,
penulisan sejarahnya sudah mulai mendekati metode kekinian. Kemungkinan
penulisan babad ini sudah memanfaatkan arsip, sehingga mampu menceritakan
kejadian-kejadian yang lebih struktural. Sebagaimana diterangkan disitu bahwa
VOC selalu merotasi pimpinannya setiap tiga tahun sekali dan sebab kedatangan
Inggris yang ingin merebut tanah Jawa. Babad ini memberi suatu keterangan yang
terperinci menyeluruh tentang perkembangan politk yang terbaru di Jawa. Jika
dilihat dengan membandingkan babad yang sejaman dengannya, akan kelihatan
berbeda. Sebagai contoh adalah babad Surapati. Meskipun babad Surapati juga
sama ingin menggambarkan sebuah realitas sebenarnya di Blambangan, namun
perspektif pan-Jawanya telah mempengaruhi penulisan sejarah yang serba mitos (Reid & Maar, 1983: 86-90).
Tradisonalisme dengan
etnosentrisnya menunjukan pandangan yang mencerminkan ciri masyarakat yang
menarik untuk diamati perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya (Reid &
Maar, 1983:VIII). Hal ini tercermin dari interpretasi Raja Ali Haji mengenai
bagaimana kelakuan manusia dapat berpengaruh pada sejarah. persepsi sejarah
Raja Ali Haji tidak dapat dipisahkan dari pemikiran keagamaannya yang
didasarkan pada tulisan Abu Hamid al
Ghazali (Reid & Maar, 1983: 106).
Masuknya Barat dalam masyarakat melayu pada abad ke-19 memperkenalkan pemikira
dan perubahan pandangan bahwa umat manusia berjalan untuk perbaikan moral dan
sosial. Masuknaya nilai-nilai non Islam akan menimbulkan perubahan pada adat
istiada tradisional yang berakibat kerusakan pada msayrakat yang mengikis
nilai-nilai lama yang agung (Reid &
Maar, 1983: 112) .
Karya Raja Ali Haji
mengidentifikasi produk jaman. Ia sangat memperhatikan akibat perubahan sosial
yang dialami oleh Melayu pada abad ke-18 hingga ke-19. Wilayah kerajaan Johor
yang luas, akhirnya terpecah-pecah menjadi se wilayah Karisidenan Riau. Sultan
yang memerintah akhirnya melarikan diri. Hingga dia mampu merebut kembali
singgasananya dengan bantuan orang Bugis. Orang Bugis yang telah berjasa diberi
jabatan Yang Dipertuan Muda. Orang-orang Melayu tidak suka dengan mereka,
seakan orang Bugis berusaha mengatur segalanya. Akhirnya ketidakselarasan itu
dapat dihilangkan tatkala Sultan Mahmud menyerahkan kerajaan Riau kepada orang
Bugis dan membangun sendiri kerajaannya di Pulau Lingga. Pertentangan terjadi
sehubungan dengan pergantian tahta pada tahun 1812. Sekelompok orang Bugis dan
Melayu masing-masing mendukung calon yang berbeda bagi tahta Kasultanan.
Konflik mencapi kuminasinya pada 1819 ketika Raffles menempatkan seorang yang
mengklaim dirinya sebagai Sultan Singapura. Sedangkan Beanda beraksi dengan
menempatkan orangnya sebagai Sultan Lingga. Terlibatnya orang-orang Eropa dalam
konflik intern ternyata membuat perubahan kenyataa pada bidang politik dan
ekonomi d Kepulaan Melayu. Dengan dibaginya kekuasaan antara Belanda dan
Inggris berarti terjadi pemisahan antara saudara sekawan Melayu antara dua
kerajaan Johor lama. Perbedaan yang mencolok adalah gaya hidup. Ketika
Singapura berusaha mengikuti perkembangan gaya hidup yang diadopsi dari Eropa,
Riau tetap memepertahankan tradisi, adat, dan agamanya (Reid & Maar, 1983: 99-100).
Raja Ali Haji tidak
hanya menulis perubahan sosial di Melayu, tetapi juga menulis panduan-panduan
sebagai raja yang bersifat nasehat. Seperti tulisannya yang berjudul Thammarat
al Mahammah, dia menulis sebuah konsep kepemimpinan yang ideal dalam politik praktis.
Raja yang jelek dapat dilihat dari sikapnya yang congak, iri hati, jahat,
serakah, menghambur-hamburkan uang, tidak acuh terhadap administrasi, penipu,
tidak memililiki humor, dan bersikap
penghambat. Semasa pemerintahannya tidak ada biaya untuk menghimpun ahli-ahli
agama, sekolah-sekola tidak diadakan. Rakyatya bodoh tidak tahu sopan santun
dan amoral yang melahirkan banyak pencuri dan perampok. Sebaliknya raja yang
baik, pantang hal-hal yang mengacu pada keuniawian seperti minum arak, berjudi,
sambung ayam. Namun ia mencurahkan pada perhatiannya dalam pembangunan masjid,
asrama bagi musafir, jembatan, jalan umum, kota, dan kantor polisi. Jika
kedengkian, kebencian menghampiri kehidupan kerajaan yang harmonis, raja yang
baik akan menentramkannya, mencari solusi dengan penyelidikan atas isu-isu dan
melakukan tindakan hukum untuk tidak terjadi pertentangan. Dibawa raja yang
baik negaranya menjadi sejahtera (Reid
& Maar, 1983: 106-107)
Pembagian sejarah Indonesia ke dalam kelompok
kontemporer dimulai dari sejarah permulaan politik Republik Indonesia. Yaitu
dimulai sejak saat negara Indonesia masih menjadi konsep atau belum menjadi
Republik (Frederick dan Soeroto, 1982: 18-19). Sejarah kontemporer banyak
didekati oleh kaum nasionalis. Sehingga pandangan sejarah mengalami penyempitan
dengan pembatasan diri pada aspek tertentu saja. Pembatasan itu berupa
penulisan aspek sejarah yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai
pemerintah (Frederick dan Soeroto, 1982: 20-22).
Sejak tahun 1908,
bangsa Indonesia mulai sadar bahwa mereka sedang dijajah dan berusaha untuk
bangkit menyelamatkan dirinya dari kungkungan imperialisme yang menyebabkan
kesengsaraan di mana-mana. Kesadaran itu harus dimengerti oleh pemerintah pasalnya
pergerakan Bumiputera merupakan refleksi terhadap hasil pemikiran orang-orang revolusiner
Barat. Propaganda-propaganda yang dibuat Bumiputra tidak bisa lagi ditindas
dengan kebijakan-kebijakannya dengan mengerahkan polisi maupun justisi. Sebab,
kondisi itu merupakan respon dari keadaan-keadaan masyarakat dan
perubahan-perubahan yang dialaminya yang membuat mereka melawan. Meskipun tak
seorangpun revolusioner Barat menginjakan kakinya ke Indonesia, tetapi hasil
pemikirannya akan dipelajari dan akan tumbuh terus walau pemimpin dan ajarannya
diberangus oleh yang berkuasa (Frederick dan Soeroto, 1982: 30-31).
Sukarno merupakan
sesosok yang Revolusioner dengan ambisinya melawan habis-habisan kolonialisme. Ia
selalu berusaha menebar benih dan menyuburkan nasionalisme rakyat Indonesia
dengan mengangkat sejarah masa lalu bangsa ini sebelum Belanda menguasainya,
dimana bangsa Indonesia dulu hidup damai dan berjaya di negerinya sendiri.
Kemudian lewat mulutnya uraian-urian kegemilangan nenek moyang bangsa Indonesia
tempo dulu, ia buat pembanding antara kondisi masa lalu yang serba kecukupan
dengan kondisi saat itu yang penuh kesengsaraan akibat pemerasan bangsa Asing. Dengan
memupuk kesadaran sejarah, ia mampu melahirkan semangat rakyatnya untuk
berjuang demi mengulang kegemilangan masa lalu bangsa Indonesia di masa depan (Frederick
dan Soeroto, 1982:34). Dalam kasus di atas Sukarno berusaha membangkitkan
pengalaman koleketif bangsa Indonesia untuk membakar jiwa kebangsaan rakyat
Indonesia atau istilah lain adalah Nasionalisme. Nasionalisme adalah kesadaran
diri yang diwujudkan pada sikap kecintaan pada negeri dan bangsanya sendiri.
Dasarnya adalah suatu kejayaan bersama pada masa lampau. Penderitaan atau
kesengsaraan, menjadi sebab timbulnya
kewajiban-kewajiban yang mendorong ke arah adanya usaha bersama. Hal itu akan
membentuk suatu perasaan bersama menjadi bangsa (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 42-44).
Pada faktanya kesadaran
sejarah mampu menggerakan sanubari bangsa Indonesia untuk menyadari keadaan
bangsanya. Sehingga kondisi itu mampu dimanfaatkan Sukarno untuk menggerakan
rakyat Indonesia untuk membebaskan dirinya sendiri dari penjajahan. Fungsi sejarah
menurut Sukarno adalah untuk memperbaharui jaman (revolusi), bukan untuk
mengembalikan rakyat ke era feodal maka Revolusi tidak dapat dihindarkan pada sebuah
masyarakat yang sedang berjuang. Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986:
5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus
kekuasaan nasional. Hal itu tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses
pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi
sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Unsur-unsur
adanya revolusi adalah adanya perubahan yang cepat mengenai dasar-dasar atau
sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang
terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu
maupun tanpa ada perencanaan (Soekanto, 1982 317). Sebab-sebab revolusi
tidak hanya dipahami sebagai peristiwa temporer atau frustasi marjinal saja.
Revolusi terjadi karena adanya anomali (pergeseran) sosial atau ketimpangan
yang sangat fundamental. Pengaruhnya adalah perubahan secara kekerasan terhadap
rezim politik yang ada dengan didasari oleh legitimasinya sendiri. Misalnya
adalah: pergantian elit politik atau kelas yang sedang berkuasa, perubahan
secara mendasar pada bidang kelembagaan utama dan pemutusan secara radikal
segala hal yang telah lampau yang akhirnya akan membentuk sebuah gagasan atau
ideologi (Eisenstadt, 1986: 3).
Dalam sejarah Indonesia
perang telah melahirkan revolusi dan revolusi telah melahirkan perang. Revolusi
Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan dunia internasional. Saat itu
pihak Sekutu yang telah memenangkan perang tidak mengira bahwa Bom Atomnya
telah mengahiri Perang Dunia II lebih cepat daripada dugaan (Frederick dan Soeroto,
1982: 83). Kekalahan Jepang atas Sekutu tidak dibarengi dengan kesiapan masuknya
Sekutu sebagai administrator baru di Indonesia. Jepang yang tidak berdaya harus
dihadapkan kepada kenyataan bahwa bangsa Indonesia telah lahir menjadi kekuatan
baru di negerinya sendiri. Proklamasi yang digemakan Sukarno nampak sebagai
energi baru yang siap membabat musuh-musuh bangsa Indonesia. Memang setelah
Proklamasi, tuan yang terusir dari tanah jajahannya kembali lagi. Mereka yang
kembali adalah bangsa Belanda yang tidak terima bila budaknya mengambil
kekayaannya yang pernah mereka miliki dan akhirnya harus ditinggalkan setelah
dirampas oleh serdadu Jepang. Revolusi Indonesia memantapkan kedudukan
Indonesia di mata internasional. Melalui perang dan diplomasi akhirnya nama
Indonesia diakui sebagai negara merdeka. Jalan yang dipilih bangsa Indonesia
akhirnya menjadi rentetan panjang lahirnya negara-negara merdeka baru di
seluruh dunia (Frederick dan Soeroto, 1982: 83).Pengakuan hanyalah pengakuan,
berarti masih ada kelanjutan yang lebih penting lagi daripada itu, yaitu
memelihara bangsa Indonesia.
Perkembangan metode penulisan
sejarah mulai berubah sejak abad ke-19 dimana sejarah benar-benar diceritakan
hampir mengarah pada ukuran saat ini. Namun sebelum abad itu, ada sebuah syair
atau sejenis babad dan hikayat yang penulisannya mendekati dengan fakta
sebenarnya. Mengambil contoh dari Sjair Perang Mangkasar, bila dicocokan dengan
sumber Belanda, syair ini isinya mendekati kesamaan isi dari pemberitaan
Belanda yang menyangkut detail kesamaan
peristiwa perang Makasar. Penulisnya cukup teliti mengungkap fakta-faktanya.
Berbeda dengan tulisan sejaman yang masih campur aduk antara mitos dan fakta
juga waktu terjadinya peristiwa. Penulis syair ini benar-benar memperhatikan
jalan cerita karyanya pada kesamaan realita yang ada dengan didasarkan pada
kabar angin, saksi mata dan bukti lainnya (Frederick dan Soeroto, 1982: 88).
Historiografi Indonesia
mengalami kemuduran sejak Indonesia dijajah bangsa Barat. Pengaruh Belanda yang
sangat dalam di otak budaknya menyulitkan sejarawan asli Indonesia untuk
menyebarkan sejarah asli leluhurnya. Sebut saja Sejarawan Jawa, Ronggowarsito
(1802-1873). Ia berusaha menyelamatkan masa lampau masyarakat Jawa selama
krisis budaya. Ia dihadapkan pada gempuran bangsa Asing terutama budaya, di
mana bangsa Asing ingin menguasai bukan hanya melalui desakan ekonomi dan
politik namun lebih lanjut lagi adalah merasuki otak generasi Indonesia dengan
budaya mereka. Kekacauan yang ditimbulkan oleh bangsa Asing tersebut adalah
mencuci otak generasi muda Indonesia sehingga budaya asli nenek moyangnya sengaja
dihapus diganti dengan budaya mereka, sehingga dengan bangga generasi muda
Indonesia melupakan warisan nenek moyangnya mencakup nilai dan budaya luhur
yang dianggapnya sudah tidak cocok lagi diterapkan di era kekinian (Frederick
dan Soeroto, 1982: 88-89).
Era Revolusi dimulai
tahun 1945 dan berakhir pada tahun 1949. Akhir Revolusi juga dikenal dengan
jaman baru penulisan sejarah. Hal itu ditandai dengan terbukanya jalan
pemikiran sejarawan pasca Revolusi untuk menemukan pembuktian-pembuktian baru
sejarah Indonesia yang tidak terkontaminasi dengan pengaruh sejarah bercorak
Nerlandosentris. Memang pada saat itu Sejarawan pasca Revolusi merupakan hasil
didikan Sejarawan era Revolusi, dimana mereka adalah mata rantai hasil didikan
dari Sejarawan era Belanda sehingga karya-karyanya punya kedekatan sudut
pandang dengan karya-karya sejarawan Nerlandosentris. Meski ada kesamaan, namun
setidaknya Sejarawan Revolusi mampu mengisi kekosongan dalam garis sejarah
bangsa Indonesia. Kontribusinya itu kemudian menjadi tantangan baru bagi
Sejarawan pasca Revolusi untuk membuat karya yang benar-benar murni sudut
pandang orang Indonesia atau istilahnya Indonesiasentris dengan membuat
perlawanan-perlawanan fakta yang menunjukan kebenaran keindonesian. Tujuan
perlawan tersebut tidak lain adalah menemukan kembali akar-akar kepribadian
bangsa Indonesia yang muncul bersamaan dengan Revolusi Indonesia (Frederick dan
Soeroto, 1982: 175).
Sejarawan era pasca
Revolusi lebih teliti dalam menyikapi karya-karya “licin” yang mengungkap
sejarah Indonesia. Adanya fakta dalam sebuah karya sejarah tidak selalu
diterimanya begitu saja. Namun mereka akan selalu mencari kebenarannya agar
tidak menimbulkan simpang siur. Sebuah kejadian dalam sejarah harus ditelusuri
sebab-musababnya. Hal itu penting karena sejarah dituntut untuk menggambarkan secara
jelas, kapan, bagaiman dan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi (Frederick
dan Soeroto, 1982: 12). Mengambil contoh dari sejarah warna “Merah-Putih” yang
dipakai sebagai dasar warna sang Dwi Warna. Jauh hari sebelum Fatmawati
menjahit bendera Indonesia, Bangsa Astronesia sudah terlebih dahulu menyakralkan warna ini. Merah-putih mempunyai
makna reliji yang merupakan simbol hubungan mikro dan makro kosmos yaitu penyembahan
manusia pada benda-benda yang berterbangan di angkasa. Pada kenyataannya memang
warna tersebut berasal dari sinar Matahari (ra) dan sinar Bulan yang tertinggal
pada panca indera manusia. Ditarik ke era yang lebih baru, yakni Revolusi,
warna Merah-Putih berubah simbol menjadi simbol perjuangan bangsa. Sehingga
dalam kaitan warnannya, merah disamakan dengan darah dan putih disama artikan
dengan tulang. Hal itu bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan semangat
berjuang membela bangsa yang telah merdeka. Dengan mempelajari sejarah warna
Merah-Putih, setidaknya Sejarawan Modern pasca Revolusi mampu memberi kesan
yang berbeda dalam karyanya yang mengaitkan hubungan sebab-musabab lebih detail
(Frederick dan Soeroto, 1982: 183-191).
Bagi negara baru
seperti Indonesia, sejarah dapat dipakai untuk menemukan ideologi politiknya.
Menurut sudut pandang Yamin, kesatuan sejarah menjalankan suatu pengaruh pada
pembetukan sebuah bangsa. Suatu bangsa lebih seperti roh daripada tubuh yang
dapat ditelusuri pada masa lalu yang akan dikenang pada masa sekarang dan
nanti. Sehingga apa yang diucap Yamin tentang sejarah mempunyai arti masa lalu
yang berciri heroisme dan kejayaan sebuah bangsa. Termasuk sejarah bahasa dan
hukum adat, sejarah Indonesia pada umumnya merupakan sebuah yang tunggal
sebelum menjadi daerah kolonial dan kembali merdeka setelah tahun 1945.
Sehingga bila dilihat secara keseluruhan maka, tidak ada sejarah Jawa,
Kalimantan Sulawesi yang terpisah-pisah (Reid & Maar, 1983: 42). Nampaknya
Yamin lebih memuja kerjaaan pra-Muslim, yakni Majapahit. Ia mengankat kerajaan
itu karena kegemilangan politik dan kultural pada masanya dulu. Hal ini membuat
sebagian masyarakat berpikit, bahwa ego Yamin adalah menjawakan Indonesia
dengan mengangkat simbol-simbol kejayaan Majapahit.
Berbeda dengan Yamin,
Hamka mengartikan nasionalisme sebagai humanisme dengan meninggikan kehendak
Allah yang mampu menghindari Chauvinisme. Pengalamannya menjelajah Nusantara,
membuka cakrawala ke Indonesiaannya dengan melihat kenyataan persatuan antar
suku yang hidup damai di sekitarnya dengan menjunjung Islam. Ia setuju bahwa
nasionalisme dapat diselaraskan dengan Pan-Islamisme. Karena dalam sejarah
Indonesia, umat Islam juga berpartisipasi berjuang melawan Belanda untuk mencapai
kebebasannya di tanah airnya sendiri. Seperti perlawanan Diponegoro, Imam
Bonjol, Tengku Cik di Tiro, Hasanudin dan Untung Surapati, mereka mewakili
nasionalisme pan-Islam. Hamka tidak menyembunyikan perasaannya yang menjunjung
ciri kedaerahan saat membicarakan kesatuan bangsa Indonesia. Ia bahkan yakin
bahwa keseluruhan tergantung pada bagian-bagian dan bagian-bagian bergantung
pada keseluruhan meskipun Yamin terlihat masih tetap memaksakan kegemilangan
Majapahit (Reid & Maar, 1983: 44-46).
Menulis sejarah
terutama sejarah nasional bukan hanya sekedar kegiatan intelektual atau
akademis, tetapi juga kegiatan yang bermuatan politis. Berbagai klaim mengenai
asal usul kedaulatan wilayah, legitimasi pemegang kekuasaan, status pahlawan
nasional dan siapa musuh menjadi klaim kebenaran tentang masa lampau (Henk
Schulte Nordholt, dkk., 2013: 1). Hal ini selanjutnya menyadarkan sejarawan
akan pentingnya peranan mereka dalam penulisan sejarah. Pada era Orde Baru dibawah
Presiden Soeharto (1966-1998) diperkenalkan pendekatan pembangunan yang
otoriter. Tujuannya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dan
stabil. Negara menjadi pemegang kendali yang sah selama proses pengembangan
kemajuan. Dalam penulisan sejarah era ini Mimpi Orde Baru menjadi pencapaian
akhir sejarah yang mencirikan bahawa Suharto diwujudkan sebagai pemimpin bangsa
yang besar dimana selama kepemimpinannya rakyat Indonesia hidup bebas tanpa ada
kejadian-kejadian yang mengganggu. Periode masa dalam penulisan sejarah era ini
hampir sama dengan Masa Sukarno dimana keaggungan bangsa Indonesia
diidentifikasikan melalui masa kejayaan negara-negara tradisional seperti
Majapahit dan Sriwijaya yang mampu meyatukan Nusantara. Namun setelah runtuhnya
Majapahit dan mulainya kolonial bangsa Barat, bangsa Indonesia memasuki frase
baru yang diidentifikasi sebagai masa kesengsaraan, berlangsung hingga
kemerdekaan Republik Indonesia, dimana bangsa Indonesia yang sudah punya sebuah
negara masih dalam masa kritis. Munculnya Suharto ke panggung politik dengan
rejimnya Orde Baru mengidentifikasikan dirinya sebagai penyelamat bangsa. Mulai
dari berhasil menumpas kudeta 30 September yang membahayakan negara dan
berlangsung hingga keberhasilannya memimpin bangsa Indonesia menuju kemakmuran
(Henk Schulte Nordholt, dkk., 2013:11).
Pemerintah Suharto
memang tidak suka dengan sejarah versi orang lain. Korban pembunuhan intelektual
rejim ini salah satunya dialami oleh
Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya merupakan novelis sekaligus sejarawan yang
mengulas sejarah dengan sisi keindahan. Tulisan-tulisan Pramodya tidak disukai
pemerintah Orde Baru pasalnya cenderung
dekat dengan kaum Kiri. Kedekatan Pramoedya dengan kaum kiri mulai nampak pada
tahun 1957 dimana tulisannya pertama kali diunggah dalam jurnal toeri PKI, Bintang Merah (Henk Schulte Nordholt,
dkk., 2013: 85). Meskipun secara sosial Pramoedya adalah kalangan intelektual
yang tidak terkait dengan partai tertentu, kegiatannya sebagai jurnalis dan
redaktur menyeretnya pada situasi yang kurang menguntungkan bagi karyanya (Henk
Schulte Nordholt, dkk., 2013:83).Bukan hanya penulisnya tetapi juga orang-orang
yang membaca, memperjual belikan, ataupun membedah buku karyanya melalui
diskusi dianggap kejahatan. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga anggota dari sebuah
kelompok studi terpaksa ditangkap militer karena menjual belikan Rumah Kaca. Saking terlarangnya karya
Pramodya, sampai-sampai pihak kampus menjadi wakil kekuasaan dari Pemerintah
untuk membersihkan kampus dari “pikiran beracun” (Henk Schulte Nordholt, dkk.,
2013:80). Terlepas dari pembunuhan intelektual yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Orde Baru, ada sisi menarik dari karya-karya Pramoedya yaitu adanya
pemisahan antara sastra, sejarah, dan politik yang diperkuat dari obsesi akan
objektivitas yang terungkap dari konsep ilmu sejarah. Jika melihat tulisan
Pramodya seperti karya Pulau Buru, sama
sekali dia tidak menekankan kaidah metodologi penulisan sejarah. Sekalipun
tidak membuahkan hasil batang peristiwa yang utuh namun di dalam tulisan
Pramoedya berusaha menjelajahi sejarah negerinya sendiri dalam dialog dan
pemikiran lain yang tumbuh saat itu.Pengaruhnya bagi historiografi Indonesia
yaitu adanya dekolonisasi pemikiran dan penulisan sejarah Indonesia (Henk
Schulte Nordholt, dkk., 2013:81-82).
Bagi Pemerintah Orde
Baru sejarah militer yang menampilkan patriotisme dan tidak berseberangan
dengan cita-cita Pemerintah Suharto merupakan bacaan wajib yang harus diberi
tempat untuk diketahui publik. Ciri khas dari penulisan sejarah ini adalah
pemeranan tokoh yang selalu aktif berada di barisan terdepan dengan berusaha
sekuat mungkin memperjuangkan bangsa. Sejarah militer memiliki usia yang sangat
panjang dan sudah ada pada jaman Thucydide abad ke 5. Sejarah militer yang
berasal dari “dapur” foyer militer tertentu menekankan pada stabilitas dan
keamanan negara. Tidak masalah kalaupun toh sejarah militer ditujukan pada
kalangan sendiri. Permasalahan muncul ketika sejarah militer harus diajarkan di
sekolah. Dengan kata lain, pembelajaran di sekolah mementingkan peranan operasi
militer, sehingga dapat dikatakan bahwa sejarah masuk ke lingkup spesial yaitu
“militerisasi sejarah” (Henk Schulte Nordholt, dkk., 2013:112). Upaya rekayasa
sejarah militer di Indonesia dilakukan pada awal kekuasaan hingga jatunya Suharto.
Dalam hal ini Nugroho Notosusanto berperan besar dalam militerisasi sejarah.
Dimulai dari karyanya pertama tentang percobaan kudeta 1965 dan teori lahirnya
Pancasila. Kemudian dimasukannya Sejarah
Perjuangan Bangsa merupakan langkah untuk mengangkat citra sejarah militer
(Henk Schulte Nordholt, dkk., 2013: 114). Dibalik Percobaan Kudeta 1965, diyakini bahwa inisitaor penulisan sejarah
tersebut adalah A.H Nasution. Nasution merupakan orang ke dua setelah Sukarno
pada pertengahan tahun 1950. Dia banyak menorehkan rumusan tentang kemiliteran
sebagai mana peran militer dalam perpolitikan sebagai fungsional yang
berdasarkan pada UUD 1945. Hingga akhirnya keluar dekrit presiden 5 Juli 1959
dimana militer berhasil masuk ke ranah politik fungsional. Setelahnya Ia
memasukan militer ke dalam tempat yang strategis di mana tentara ditempatkan di
tengah. Hal ini berbeda dengan tempat tentara di Barat dimana mereka dibelakang
kaum sipil ataupun di Amerika Latin yang berada di depan. Konsep inilah yang
melahirkan inti dari Dwifungsi ABRI (Henk Schulte Nordholt, dkk., 2013:121).
Perkembangan
kesadaran politik kebangasaan di Indonesia sebagai reaksi terhadap kolonialisme
sejak awal abad ke 20 menentukan wacana dominan dala historiografi Indonesia
pasca kolonial. Tradisi historiografi nasionalistik tersebut berkembang seiring
dengan fungsinya untuk menyadarkan bangsa Indonesia yang terjajah berabad-abad
sehingga perlu adanya pengetahuan bagi bangsa Indonesia tentang pencapaian dari
usaha memperjuangkan kemerdekaannya dari waktu ke waktu. Cara pikir seperti itu menunjukan bahwa
sejarah Indonesia dibangun sebagai
reaksi terhadap cara pandang dan sejarah orang Barat yang menguasai Indonesia
sehingga tidak disenangi namun tidak melihat dengan cermat konteks waktu,
tempat dan aktor dari masa lalu itu sendiri. Akibatnya terjadi anakronisme dan
intersubjektivitas yang melekat pada sejarah dimana ditujukan untuk kepentingan
melakukan justifikasi dan legitimasi terhadap sebuah ide besar. Dibawah
pemikiran historiografi yang dominan itu, Sartono Kartodirdjo berusaha
memperkenalkan wajah baru historiografi Indonesia dengan mengangkat “wong
cilik” sebagai bahan kajiannya yang sebelumnya didominasi oleh kisah-kisah raja
dan kerajaannya, orang besar dan pahlawan yang menunjukan keagungan sebelum
orang barat datang ke Indonesia. Sumbangan Kartodirdjo pada tahun 1966 terhadap
sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial di Indonesia merupakan penerjemahan
dari tradisi socia-science history yang berkembang di kalangan sejarawan dunia
saat itu dimana konstruksi sejarah
memiliki dioperasionalkan secara ilmiah dengan subjektivitas yang tinggi. namun
tetap saja persoalan utama dalam historiografi Indonesia bukan hanya bersumber
dari tekanan politik penguasa seperti Orde Baru tetapi juga pada keterbatasan
dan kerancuan metodologi dan epistemologi (Henk Schulte Nordholt, dkk., 2013:
264-267).
Sumber Pustaka.
Eisenstadt, S.
N., 1986. Revolusi dan Transformasi
Masyarakat. (Terjemaah oleh Candra Johan).
Jakarta: CV. Rajawali.
Frederick,
Wiliam H. Dan Soeroto, Soeri. 1982. Pemahaman
Sejarah Indonesia: Sebelum & Sesudah
Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Gottschalk,
Louis. 2008. Mengerti Sejarah.
(Terjemaah oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta:UI-Press.
Nordholt, Henk
Schulte, dkk., 2013. Persepektif
Penulisan Baru Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI,
KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan.
Reid, Anthony
dan Marr, David. 1983. Dari Raja Ali Haji
Hingga Hamka. Jakarta: Grafiti Pers.
Suhartoyo
Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Soerjono
Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: CV. Rajawali.
Post a Comment