Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Historiografi Sejarah Lisan dan Sejarah Lokal



A.    Latar Belakang
Sejarah atau history (inggris) merupakan padaan kata yang diserap dari daerah Yunani. History berasal dari kata benda istoria, yang berarti ilmu. Menurut definisi yang paling umum saat ini, kata history berarti masa lampau manusia (Louis Gottschalk: 2008:33). Padahal, masa lampau manusia (sejarah) tidak dapat ditampilkan kembali bahkan oleh mereka yang mempunyai ingatan tajam sekalipun, terlebih pengalaman satu generasi yang telah lama mati, bila tidak sampai ke dapur sejarawan, peristiwa tersebut tidak pernah akan diingat secara lengkap oleh generasi sesudahnya.
Sejarah membahas hal-hal yang dinamis atau genetis (yang menjadi) maupun yang statis (yang ada atau yang terjadi). Oleh karena itu, sejarawan harus berusaha interpretatif dengan menerangkan mengapa dan bagaimana peristiwa dapat terjadi dan saling berhubungan. Mereka juga dituntut untuk bersikap deskrptif yakni mampu menceriterakan apa, bilamana, dimana terjadi, dan siapa yang ikut di dalamnya (Louis Gottschalk: 2008:35).  
Sejarawan tidak boleh asal-asalan meneliti peristiwa sejarah. Agar penelitian sejarah dapat dikatakan sebagai ilmu yang dapat dibedakan dengan cerita rakyat terlebih lagi mitos, rekonstruksi sejarah harus melalui tahapan-tahapan disipliner ilmu yang disebut metode sejarah. Menurut Gottschalk (2008:39), metode sejarah adalah serangkaian proses menguji, menganalisis secara kritis rekaman dan peningalan masa lalu. Metode sejarah paling tidak mempunyai empat langkah utama yang meliputi: heuritsik, kritik atau verifikasi, interpretasi atau penafsiran dan historiografi (Priyadi. 2014: 67). Langkah heuristik mulanya data-data penompang konstruksi sejarah dikumpulkan terlebih dahulu. Data dapat diperoleh dari sumber artefact maupun dokumen. Namun potongan-potongan sumber artefak sangat minim untuk dijadikan bukti sejarah (Louis Gottschalk: 2008:35). Untuk mengetahui kebenaran-kebenaran sejarah seorang sejarawan harus mencari data primer, yakni data utama yang mencatat sebuah peristiwa. Data tersebut dapat dicari dengan cara menggali informasi dari dokumen sejaman maupun wawancara kepada pelaku atau saksi dari sebuah peristiwa. Tahap selanjutnya adalah mengkritisi data yang diperoleh dengan memilah-milah data yang penting dan bersangkut paut dengan persoalan yang diteliti. Lalu dilakukan penafsiran agar peristiwa sejarah mempunyai roh bukan hanya sebuah tulisan kosong dengan cara memasukan pisau analisis berupa teori untuk mendukung data yang telah diverifikasi. Terakhir adalah merekonstruksi data yang sudah diinterpretasikan menjadi sebuah tulisan sejarah. Proses ini disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah historiografi sejarah lisan di Indonesia?
2.      Bagaimanakah historiografi sejarah lokal?
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui historiografi lisan di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui historiografi lokal di Indonesia.

BAB II
PEMBHASAN
A.    Sejarah Lisan
Pada umumnya data sejarah berasal dari sumber tertulis seperti majalah, koran,  arsip yang sejaman dengan peristiwa sejarah. Bisa jadi, data tertulis tersebut tidak mencatat hal-hal yang berkaitan dengan sebuah peritiwa inti. Seperti halnya situasi di sebuah rapat besar menurut pandangan masing-masing individu. Hal tersebut dirasa kurang penting untuk dikisahkan karena hanya menyangkut sesuatu yang sepele. Kekurangan data penunjang tersebut membuat sejarawan sulit merekonstruksi sebuah peristiwa yang benar-benar faktual. Dengan kata lain proses rekaman sejarah ada bagian-bagian yang bolong yang membuat imajinasi sejarawan terbatas  dalam mengkisahkan peristiwa masa lampau. Menurut sejarawan Jerman Leopold von Rangke (dalam Gottschalk, 2008:39), bagian yang limit itu harus dirapatkan dengan mendekatkan sedekat-dekatnya realita sejarah dengan apa yang ditulis oleh sejarawan. Rekaman-rekaman sejarah harus berasal dari masa lampau dengan penampakan-penampakan yang sesungguhnya. Sehingga dibutuhkan sumber lain selain sumber tertulis. Berpangkal dari pengalaman tersebut, maka lahirlah metode historiografi yang sumber data utamanya berupa penuturan pelaku ataupun saksi-saksi sejarah yang mampu memberi informasi tentang sebuah peristiwa yang luput tertulis di dalam dokumen. Metode historiografi tersebut dinamakan Metode historiografi sejarah lisan.
Metode dan historiografi sejarah Lisan sangat erat kaitannya dengan Sumber Lisan. Sumber lisan menurut Garraghan (1957: 103-142; dalam Suhartono: 2010:32) dapat diperoleh melalui dua sumber, yang pertama adalah sejarah lisan, yaitu melalui ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan kepada sejarawan dan yang kedua adalah tradisi lisan yaitu melalui cerita-cerita masyarakat yang dituturkan dan diturunkan lebih dari satu generasi.
Sejarah Lisan merupakan usaha untuk merekam seluruh kenangan dari si pelaku sejarah, agar semua aktifitas yang dilakukannya, yang dilihatnya dan dirasakannya dapat terungkap melalui proses wawancara dengan segala nuansa yang muncul dari aspek peristiwa sejarah. Wawancara sejarah lisan agak berbeda dengan wawancara jurnalistik, sebab ada persiapan metodologis yang secara kritis dilakukan, pemilihan topik-topik tertentu, kajian pustaka dan dokumen-dokumen yang terkait serta pedoman wawancara. Termasuk juga seleksi yang ketat terhadap orang yang akan diwawancarai (pengkisah) dan terhadap apa-apa yang diceritakannya.
Banyak peristiwa sejarah yang tidak terkdokumentasikan. Sehingga kedudukan sejarah lisan dapat dipakai sebagai metode untuk mengumpulkan sumber sejarah (Suhartono: 2010:87). Sumber data yang dikumpulkan dalam sejarah lisan identik berasal dari penuturan manusia. Sehingga yang dilakukan oleh sejarawan untuk mengumpulkan data adalah dengan berkomunikasi, yakni  melakukan tanya jawab dengan informan. Dahulu sebelum teknologi belum mengenal alat recorder, sejarawan masih direpotkan dengan mencatat semua informasi dalam kertas. Namun saat ini kegiatan wawancara menjadi lebih praktis karena teknologi seperti alat recorder dan kamera sudah ada sehingga si pewawancara lebih mudah dalam menyimpan informasi. Meskipun demikian semua data yang tersimpan dalam  alat recorder, harus disalin dan disunting ulang supaya tampilannya lebih halus dan menarik untuk disajikan.
Sumber ke dua dalam sejarah lisan diperoleh dari tradisi lisan (oral tradision) yaitu kisah masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut (dongeng) yang berlangsung selama beberapa generasi. Bermacam-macam judul dongeng (cerita rakyat) bertebaran di seantero Indonesia. Hal itu terjadi karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang tidak peduli mengabadikan kisahnya dalam bentuk tulisan. Mereka cenderung mengisahkan kisahnya dengan hanya mengandalkan ingatan saja yaitu dengan menggali ingatan kolektif masa lampau untuk diceritakan kembali kepada orang lain. Sehingga meskipun yang diceriterakan adalah kisah yang sama, karena keterbatasan memori, kisah itu akan mengalami bermacam-macam perubahan dari masa ke masa yang nantinya akan mengarah pada mitos. Sebagai contoh cerita rakyat yang berbau mitos adalah kisah Baru Klinting di Salatiga dan Ambarawa.
Dalam mengungkapkan sumber sejarah lisan tetap digunakan prosedur dan kerangka teoritis/ metodologis dari penelitian sejarah, yaitu dengan proses evidensi dan sintesis termasuk kritik sumber. Dengan demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses penelitian dengan menggunakan metode sejarah lisan, yakni:
1)      Terhadap sumber sejarah lisan (pengkisah) diperlukan seleksi kritis agar memperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu perlu diteliti lebih dahulu kondisi pribadi dan mentalitas sumber, mungkin lemah ingatan atau pribadi pembual, sekaligus memperhatikan usia pengkisah yang disesuaikan dengan kurun waktu dari topik yang dipermasalahkan.
2)      Persiapan peneliti terhadap topik yang akan diteliti, dengan mengadakan kajian pustaka yang lengkap dan komprehensif, membuat kerangka permasalahan yang akan dikerjakan. Setelah itu buat pedoman wawancara yang disesuaikan dengan masalah yang akan diteliti.
3)      Teknis peralatan wawancara meliputi perangkat yang dibutuhkan untuk wawancara sejarah lisan antara lain ; tape recorder, kaset, peralatan tulis, buku catatan dan juga peralatan lainnya seperti kamera, film, baterai dan lain-lain.
4)      Persiapan lapangan perlu diperhatikan dengan seksama, karena harus disiapkan observasi awal untuk mengetahui kondisi lokasi agar sesuai dengan topik wawancara. Kemudian menghubungi sumber (pengkisah) untuk menentukan waktu wawancara dan tempat wawancara, termasuk juga persiapan izin dari yang berwenang jika diperlukan. Hal-hal lain yang diperlukan antara lain fokus wawancara, pengetahuan bahan-bahan tertulis dan penggunaan bahasa, sikap pewawancara dan suasana lingkungan yang penuh keakraban, simpati serta penuh perhatian terhadap apa saja yang diceritakan. Dalam proses sejarah lisan lebih banyak memberikan kesempatan kepada pengkisah untuk berbicara dan jangan sekali-sekali memotong pembicaraan.
Posisi Sejarah Lisan dalam Metodologi Sejarah adalah sebagai salah satu teknik atau metode pengumpulan data sejarah, namun bersumber pada informasi lisan bukan sumber tertulis. Pendekatan/ teknik pengumplan data sejarah dengan lisan tergolong baru untuk kajian-kajian sejarah modern, namun sesungguhnya historiografi tradisional sudah lama memakai sumber dari tradisi lisan. Pada dasarnya teknik/ metode sejarah lisan tidak berbeda dengan teknik/ metode sejarah yang menggali sumber-sumber sejarah tertulis dengan kritik intern dan ekstern. Rekonstrusi sejarah diperoleh melalui proses penyusunan kembali fakta-fakta sejarah sebagai aktualitas yang sebenarnya menjadi sejarah yang ditulis atau disusun secara tertulis, yang selama ini kita kenal dengan Historiogarafi.
Sejarah lisan mampu memperluas cakrawala pandang sejarah modern. Biasanya sejarah lokal digarap secara prosesual, akan tetepi sejalan dengan perkembangan ilmu sosial maka sejarah sejarah dapat digarap dengan menambahkan unsur struktural. Problem sosial seperti kekuasaan, birokrasi, pembunuhan, kerusuhan dan korupsi dapat dijelaskan melalui ilmu bantu sosial yang dikombinasikan dengan ilmu sejarah. Sejarah sebagai rekonstruksi masa lampau sebenarnya hanya parsial saja. Oleh karena itu untuk menjaga timbulnya kesenjangan antara teori dan data yang harus diisi sejarawan, mereka menggunakan sejarah lisan, sehingga sejarah dapat disajikan dengan apa yang seharusnya terjadi (Suhartono: 2010:89).
B.     Sejarah Lokal
Di indonesia sejarah lokal bisa disebut pula sebagai sejarah daerah. Sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatu lokalitas tertentu. Keterbatasan lingkup itu biasanya dikaitkan dengan unsur wilayah (unsur spatial). Menurut Taufik Abdullah (1982:15) sejarah lokal adalah peristiwa masalalu dari sebuah kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada geografis terbatas. Sejarah lokal sangat bergantung pada suatu locality dimana batasannya ditentukan oleh penulis. Batasan geografisnya dapat berupa suatu tempat tinggal suku bangsa yang mencakup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau satu (kabupaten atau profinsi) dan dapat pula sebuah kota atau desa. Sehingga daerah sekecil itu terdapat kompleksitas peristiwa sejarah dan punya pola kelakuan khas yang dapat dibandingan dengan tempat lain. Untuk menjembatani kekacauan konsensus terhadap unsur ruang atau spatial dalam sejarah lokal, maka ada tiga pengertian, di antaranya : (1) unit administratif politis, (2) unit kesatuan etniskultural, dan (3) daerah administratif politis bisa merupakan kumpulan etniskultural, perlu dipertimbangkan.
1. Unit Administratif Politis
Adalah sebuah konsep yang diterima sebagai ruang sejarah lokal  dimana penelitian dan penulisan sejarah itu berkaitan dengan sejarah politik yang menyangkut wilayah lokal, seperti provinsi, karesidenan, kabupaten, kawedanan, dan kecamatan, serta kelurahan. Konsep yang pertama bisa juga dilakukan terhadap sejarah masa kini atau sejarah kontemporer. Contohnya: Konsep mancanegara kilen lebih tepat dari pada karesidenan Banyumas. Ketika palihan nagari pada 1755, Banyumas menjadi daerah mancanegara kilen Surakarta. Negara Daerah paguhan lebih tepat diposisikan sebagai wilayah Majapahit.
2. Unit Etniskultural
Merupakan sebuah konsep keruangan yang digunakan sebagai lahan sejarah lokal dimana penulisannya berkaitan dengan sebuah wilayah yang mempunyai etnis dan kebudayaan khas. Contohnya adalah Sungai Serayu sebagai symbol kebanyumasan, yang wilayahnya meliputi wilayah yang sama seperti Karesidenan Banyumas. Sepanjang Sungai Seraayu atau Daerah Aliran Sungai serayu merupakan ruang yang rasional untuk menyebut Banyumas masa lampau.
3. Unit Administratif sebagai Kumpulan Etniskultural
Konsep yang ketiga adalah unit administratif sebagai kumpulan etniskultural. Konsep yang ketiga ini sering tidak disadari bahwa dalam ruang tertentu terdapat dua atau berbagai etnis. Contohnya pada penulisan sejarah kontemporer, di kabupaten seperti Cilacap terdapat sejarah etnis-etnis, baik Jawa maupun Sunda. Kabupaten Cilacap sendiri secara administratif politik baru hadir pada dua pertiga abad ke-19, sedangkan pada masa sebelumnya memang ada kabupaten Majenang yang dihapuskan tahun 1832 stelah Raden Tumenggung Prawiranegara dibuang ke Padang. Kemudian Majenang digabungkan dengan Kabupaten Ajibarang.
Secara umum sejarah lokal mempunyai dua aspek kesejarahan yaitu, bersifat “lisan dan tulisan”. Akan tetapi di Indonesia sendiri studi sejarah lokal tidak bisa lepas dari sumber-sumber sejarah yang berasal dari lisan. Kenyataan ini sempat untuk menulis dan hanya mengingat-ingatnya saja. Ini lah yang menimbulkan bidang studi sejarah lisan (oral story) yang sangat terkait dengan studi sejarah lokal karena banyak objek sejarah lisan terutama peristiwa-peristiwa di suatu lingkungan terbatas atau lokal tertentu.
Penyusunan Sejarah lokal di Indonesia di bedakan menjadi 5 jenis penulisan:
1. Sejarah lokal tradisional
Merupakan hasil penyusunan sejarah dari berbagai kelompok etnik dari seluruh Indonesia yang sudah bersifat tertulis. Sejarah lokal tradisional boleh dikatakan merupakan tipe sejarah lokal yang baru pertama kali muncul di Indonesia. Sifat uraian kitab-kitab tradisional di Indonesia bisa dibandingkan dengan kitab modern karena yang dipentingkan adalah tujuan untuk mengabdikan pengalaman kelompok masyarakat tersebut sesuai dengan alam pikiran masyarakat tersebut.
Penyusun sejarah lokal tradisional ini diduga adalah tokoh-tokoh intektual tradisional yang tidak bisa dibandingkan dengan sejarahwan profesional, karena latar belakang pendidikan yang khusus. Di lain pihak bagi sejarawan lokal modern, sejarah lokal tradisional mempunyai nilai tersendiri bagi sumber sejarah.
2. Sejarah lokal diletantis.
Karakteristik yang menonjol dari tipe sejarah ini adalah tujuan penyusunan umumnya terutama untuk memenuhi rasa estetis individual melalui lukisan peristiwa masa lampau, Maka sejarah lokal dilentatis ini lebih bersifat memenuhi tuntutan keingintahuan pribadi. Kalangan yang mengembangkan diri sebagai sejarawan dilentatis adalah mereka yang terdidik baik tradisional maupun modern di lingkungan masyarakatnya, karena itu mempunyai pandangan yang luas dan mampu membaca sumber-sumber sejarah terutama berupa dokumen, dan melukiskan lukisan sejarah dengan baik. Hanya saja mereka umumnya tidak mendapat pendidikan khusus kesejarahan.
Namun gambaran sejarah lokal yang dihasilkan mereka biasanya bersifat naratif kronologis dengan sedikit bumbu emosional yang mencerminkan patriotisme lokal.
3. Sejarah lokal edukatif inspiratif
Merupakan jenis sejarah yang memang disusun dalam rangka mengembangkan kecintaan sejarah, terutama pada sejarah lingkungan. Penjelasan sejarah lokal di atas tercermin pada kata edukatif dan inspiratif, yang merupakan aspek penting mempelajari aspek sejarah. Yang dimaksud edukatif dari sejarah berarti menyadari makna sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lampau yang penuh arti. Yang berarti nilai-nilai sejarah berupa ide maupun konsep-konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah masa kini dan merealisasikan masa depan.
4. Sejarah lokal kolonial.
Sejarah lokal kolonial ini mempunyai kategori yang khas pada tipologi sejarah lokal. Karakteristik yang pertama adalah sebagian besar dari penyusunannya oleh para pejabat atau kolonial seperti Residen, Asusten Residen, Kontrolir, atau oleh pejabat pribumi tapi atas dorongan pejabat kolonial Belanda. Kedua adalah sebagian besar tulisan ini berupa laporan dari pejabat-pejabat kolonial di daerah-daerah, laporan itu bisa berupa memori serah jabatan, atau laporan khusus kepada pemerintah pusat tentang perkembangan yang terjadi. Sejarah lokal jenis ini memang merupakan hasil studi yang dalam dan bersifat akademis dan bersifat sebagai arsip laporan.
5. Sejarah lokal kritis analitis
Sifat uraian tipe ini telah menggunakan pendekatan metodologis sejarah yang bersifat ketat. Mulai dari pemilihan objek sejarah sampai konsep dan susunan penulisan laporan. Yang mudah dikenali ialah bahwa pelaksanaan penelitian ini umumnya ditangani oleh sejarawan profesional. Profesional di sini bukan saja dilihat dari latar belakang pendidikan, tetapi juga dari keterampilan di lapangannya.
Taufik Abdullah membedakan empat corak penulisan pada tipe ini karena, dilihat dari fokus serta metodologinya.  Corak yang pertama di sebut sebagai, “studi yang di fokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi peristiwa khusus atau disebut ‘evenemental l’evenemental’), sepert contoh tentang pemberontakan petani di Banten 1888, karya Sartono Kartodirdjo. Penulisan semacam ini tidak bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural, cenderung holistik. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
 Corak kedua dari tipe ini adalah, “studi yang lebih menekankan pada struktur” sebagai contoh suatu kota kecil di Jawa Timur karya Clifford Geertz. Geertz melukiskan bahwa kota Mojokuto yang ditelitinya berdiri pada abad ke-19 di jalan di mana perusahaan-perusahaan pertanian mulai beroperasi. Kota ini dapat menjadi contoh bagi banyak kota di ujung Jawa Timur, yang merupakan wilayah frontier yang baru dibuka bersamaan dengan pembukaan perkebunan. Penduduk kota-kota itu adalah migran dari tempat-tempat lain yang tenaga kerjanya mengalami tekanan karena Tanam Paksa.
Corak ketiga adalah “studi yang mengambil perkembangan tertentu dalam kurun waktu tertentu (studi tematis) dari masa ke masa”. Di sini ditekankan pada pembahasan suatu aspek dan proses sosial tertentu yang kemudian dicarikan penjelasan dan kaitannya pada struktur yang lebih luas yang dianggap sebagai pangkal bagi aspek serta proses sosial yang teliti. Seperti contoh : studi Mitzue Nakamura tentang sejarah sosial kota Gede di Yogyakarta. Ini termasuk sejarah keluarga. Dengan melacak sebuah keluarga yang banyak anggotanya dan dalam waktu yang relatif panjang, setidaknya kita perlu berharap menjangkau empat generasi. Dengan empat generasi itu kita akan dapat gambaran mengenai kota Gede, terutama soal bagaimana orang tumbuh.
Corak keempat adalah, “studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (provinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa”. Sifat populer dari sejarah lokal jenis ini ialah ditunjukan dengan corak uraian yang kronoligis. Maka studi sejarah lokal jenis ini memang lebih cocok dimasukan dalam kategori edukatif inspratif. Contoh William H Frederick melakukan penulisan kembali mengenai Sejarah Indonesia yang berjudul Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Pada pemaparan dijelaskan mengenai keberadaan kelas, golongan, peran pemuda, sistem ekonomi, pemerintahan, perebutan kekuasaan yang terlihat pada kedatangan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Seluruh aspek yang menyangkut tatanan kehidupan diuraikan pada buku ini, namun demikian di antara hal yang diuraikan respons masyarakat Surabaya atas kemerdekaan Indonesia lah yang merupakan bagian terpenting. Di mana semangat kemerdekaan yang ada kemudian akan terwujud pada peristiwa 10 Nopember yang sampai saat ini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Adapun hal yang menjadikan semangat masyarakat Surabaya berkobar-kobar karena kaum terpelajar Surabaya menekankan bahwa tanggung jawab atas kemerdekaan itu sangatlah berat. Pada masa itu terdapat golongan kampung Surabaya yang melawan perusahaan Belanda. Adapun golongan tersebut ada yang berprofesi sebagai buruh kereta api, kuli pelabuhan dan sebagainya. Bahkan pada tahun 1931 terjadi kerusuhan besar di kampung karena terdapat pertentangan dengan pemerintah.
Menurut Sartono (2014:84), sumber untuk penulisan sejarah lokal di Indonesia sangat minim. Oleh karena itu dibutuhkanlah suatu jenis sejarah yang menuntut metodologi khusus, yaitu mempunyai kerangka konseptual yang cukup halus untuk menganalisis sebuah pola sehingga dapat diektrapolasikan. Langkahnya adalah menghubungkan konteks mikro dengan lingkup makro, karena biasanya apa yang terjadi di lingkup mikro selalu mempunyai pola, kecenderungan, dan struktur yang hampir sama dengan lingkup makro ataupun sebaliknya, maka dengan relasi semacam itu dapat dibuat sebuah generalisasi.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Metode dan historiografi sejarah Lisan sangat erat kaitannya dengan Sumber Lisan. Sumber lisan menurut Garraghan (1957: 103-142; dalam Suhartono: 2010:32) dapat diperoleh melalui dua sumber, yang pertama adalah sejarah lisan, yaitu melalui ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan kepada sejarawan dan yang kedua adalah tradisi lisan yaitu melalui cerita-cerita masyarakat yang dituturkan dan diturunkan lebih dari satu generasi.
Sejarah lokal adalah peristiwa masalalu dari sebuah kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada geografis terbatas. Sejarah lokal sangat bergantung pada suatu locality dimana batasannya ditentukan oleh penulis. Batasan geografisnya dapat berupa suatu tempat tinggal suku bangsa yang mencakup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau satu (kabupaten atau profinsi) dan dapat pula sebuah kota atau desa. Sehingga daerah sekecil itu terdapat kompleksitas peristiwa sejarah dan punya pola kelakuan khas yang dapat dibandingan dengan tempat lain. Untuk menjembatani kekacauan konsensus terhadap unsur ruang atau spatial dalam sejarah lokal, maka ada tiga pengertian, di antaranya : (1) unit administratif politis, (2) unit kesatuan etniskultural, dan (3) daerah administratif politis bisa merupakan kumpulan etniskultural.
 
Sumber Pustaka
Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. (Terjemaah oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta:         UI-Press.
Kartodirdjo, Sartono. 2014: Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta:        Ombak.
Pranoto, Suhartono W., 2010. Teori dan Metodologi Sejarah.  Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugeng Priyadi. 2014. Sejarah Lokal, Konsep, Metode, dan Tantangan. Yogyakarta: Ombak.
Taufik Abdullah. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

No comments

Powered by Blogger.