Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Pelacuran di Kota Surabaya dan Bandung


Sejarah pelacuran di Jawa pada masa kolonial hanya sedikit yang tereksplorasi. Tidak mengherankan jika aspek kehidupan yang dianggap tidak menyenangkan (pamali/saru) tidak terungkap karena minimnya dokumen saat itu. Prostutusi merupakan fenomena besar dalam masyarakat perkotaan. Meskipun tidak eksklusif, hal itu menjadi masalah bagi penguasa karena maraknya penyeabaran penyakit kelamin di daerah koloni. Kolonialisme dan kapitalisme ditengarai sebagai sebab dari degradasi moral perempuan Indonesia. Informasi statistik tentang penyebaran dan pengobatan penyakit kelamin didapat dari Koloniaal Verslag dan majalah kedokteran. Antara tahun 1905 hingga 1914, penyelidik kesehatan Eropa dan Declining Welfare Commission, telah mempublikasikan serangkaian laporan tentang prostitusi dan penyakit kelamin dalam konteks sosial yang lebih luas.
Prostitusi dan rumah bordil yang terorganisasi sudah menjadi bagian pada masyarakat perkotaan. Masyarakat pedesaan dengan kendali sosial yang ketat, sangat mungkin untuk dimasuki prostitusi meskipun tidak terlalu terekspos dan tidak terbuka bagi masyarakat umum. Sejak era VOC, prostitusi dan penyakit kelamin sudah menyebar luas di daerah Jawa. Setelah Jawa direbut Inggris, Raffles menaruh perhatian pada pencegahan penyebaran penyakit sifilis pada penduduk pribumi. Dia memerintahkan kepada para Residennya untuk bekerja secara sistematis dalam melawan penyakit ini. Keseriusannya untuk mecegah penyebaran penyakit ini, dibuktikan olehnya dengan mendirikan rumah sakit sifilis pertama bagi para pelacur di Yogyakarta tahun 1811.
Prostitusi dan penyakit kelamin meningkat tajam pada abad ke-19, khususnya setelah tahun 1870, ketika perekonomian kolonial terbuka bagi perusahaan swasta. Perluasan perkebunan, pertumbuhan industri, dan pembangunan jalan raya/kereta api hingga ke daerah pedalaman menciptakan banyak peluang kerja bagi buruh yang menyebabkan perpindahan laki-laki ke tempat itu. Karena jauh dari keluarga, buruh-buruh itu kemudian melampiaskan napsu birahinya dengan mencari teman wanita di kota-kota terdekat. Pada tahun 1906, Residen Batavia melaporkan bahwa terjadi lonjakan prostitusi di Karawan saat pembangunan jalur kereta api antara Karawang dan Padalarang.
Perluasan Perekonomian Belanda dibarengi dengan penyebaran orang—orang eropa ke daerah pedalaman. Pada saat bersamaan banyak didatangkan wanita dari Eropa untuk memenuhi kebutuhan biologis orang Eropa yang mayoritas adalah laki-laki. Sebelum tahun 1890-an, laki-laki Eropa di daerah Koloni masih tinggal dengan gundik pribumi. Penurunan itu telihat jelas pada tahun 1890, sebagai dampaknya adalah dengan meningkatnya prostitusi. Tinggal bersama wanita Indonesia merupakan hal yang tidak dapat diterima dalam tatanan sosial masyarakat Eropa, sehingga laki-laki Eropa yang belum menikah lebih memilih mencari pelacur. Kegemaran ini dapat dilihat dengan banyaknya laki-laki muda Eropa yang senang mengunjungi kelab malam, bar dan rumah bordil di kota-kota kecil. Bahkan orang Eropa yang sudah menikahpun tidak segan-segan mengunjungi pelacur Indonesia atau Eropa.
Berkembangnya prostitusi untuk orang Eropa, Indo-Eropa dan Cina di kota, jelas menguntungkan bagi pemilik bisnis, namun tidak bagi para pekerja wanita. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan prostitusi adalah meningkatnya mobilitas buruh dan padatnya penghuni kota yang terdiri dari migran sirkuler (migran tidak tetap dimana hanya tinggal beberapa bulan dan kembali ke desa ketika dibutuhkan). Terdapat 40% migran sirkuler dari buruh perkotaan pada dekade terakhir. Kebanyakan mereka adalah laki-laki yang datang untuk mencari pekerjaan dengan meninggalkan keluarga mereka di desa. Mereka hidup bergerombol dengan orang-orang dari daerah asal. Kemudian kembali ke desa saat panen atau saat perayaan hari raya. Mereka tidur di daerah kumuh padat yang disediakan oleh mandor mereka. Lainya tinggal di kampng yang miskin. Sementara mereka yang memperbaiki hidup di sektor informal, bekerja di rumah-rumah keluarga kelas menengah, baik orang Indonesia maupun orang Eropa sebagai pelayan, tukang kebun, atau sopir. Ketika waktu senggang, mereka habiskan untuk ngobrol bersama di warung, bioskop ataupun mengunjungi pelacur kampung.
R.D.G.Ph. Simons seorang ahli dermalogi Batavia tahun 1939 menerbitkan laporan terperinci mengenai prostitusi di Hindia Belanda. Laporan ini berdasarkan pengamatannya di Surabaya. Simons menganalisis delapan kelas prostitusi berbeda di Kota itu yang ditemukan di warung-warung kopi kecil dekat pelabuhan dan kota pelabuhan, prostitusi jalanan, rumah-rumah bordil di pusat kota, rumah bordil di kampung, prostitusi Eropa di rumah bordil, prostitusi homoseksual dan waria.
Simon menggambarkan kehidupan malam di warung-warung kopi dekat pelabuhan dan kelab malam di Tanjung Perak. Para pelaut Angkatan Laut Hindia Belanda (AL) dari orang Indonesia dan Belanda sangat tertarik ke tempat-tempat itu karena gadis, joget, dan minumannya. Para gadis harus berada di tempat itu sampai dini hari untuk menyambut tamu dan menjual minumannya. Bahkan mereka membuat kesepakatan dengan pelanggannya untuk menemani mereka hingga matahari terbit. Kebanyakan dari wanita ini tinggal di pusat kota, kurang labih 10 Km dari Tanjung Perak.
Prostitusi jalanan merupakan usaha yang berbahaya, karena polisi selalu mengawasi mereka pada malam hari. Pelayanan seksual dianggap sebagai pelanggaran di seluruh kota. Hal itu bisa dilihat dari antrian di pengadilan yang dipenuhi oleh orang-orang yang ditahan pada malam harinya. Untuk menghindari penahanan, maka pelacur seringkali berjalan dengan laki-laki Indonesia untuk menawarkan jasanya yang disebut dengan mucikari. Kebanyakan Pelacur tinggal di kanal Banyu Urip. Disepanjang jalan Banyu Urip, para wanita tersebut berdiri disamping jembatan kecil dan bersiul kepada orang-orang yang lewat atau memanggil mereka dengan beberapa kata khas mereka dalam bahasa Belanda. Rumah-rumah kecil didirikan di taman yang gelap dan sebagian rumah tersebut terdiri dari tiga ruangan kecil. Masing-masing wanita mempunyai ruangan untuk menerima tamu. Tidak ada parabotan di ruangan-ruangan tersebut kecuali tempat tidur. Hal yang istimewa adalah sikap santai dan tutup mulutt para wanita ini. Tarif mereka adalah sekitar 1 Gulden.
Kemudian ada rumah bordil Cina untuk pelanggan Cina. Bagi warga non Cina hanya diteruma jika diperkenalkan langsung oleh seorang Cina. Pelacur Cina dibawa ke hotel-hotel kecil. Sang pemilik disamarkan sebagai penjaga rumah bordil. Wanita-wanita itu ditempatkan di kamar-kamar terpisah sehingga para tamu dapat melihat-lihat wanita untuk menentukan pilihannya. Kebanyakan wanita yang bekerja disina masih muda, bahkan ada yang berusia dibawah umur. Tarif biaya sewa sekitar 2 Gulden 5 sen.
Surabaya dikenal sebagai pangkalan Angkatan Laut juga dikenal sebagai tempat prostitusi yang sangat luas pada abad ke 19. Ketika kapal barang dan kapal angkatan laut bersandar ke pelabuhan terluar, dengan cepat mereka dikelilingi oleh armada-armada kecil yang berisi pelacur untuk mencari pelanggan. Sampai pertengahan abad ke-19 prostitusi masih diijinkan di atas kapal perang sebagai keyakinan bahwa lebih baik menjaga para pelaut tetap berada dalam pengawasan daripada dilepas liar di kota.
Pada tahun 1864, di kota Surabaya terdapat 228 pelacur yang dipekejakan di 18 rumah bordil resmi. Rumah bordil tersebut membayar pajak sebesar 2 gulden per pelacur kepada pemerintah. Masing-masing rumah bordil mempekerjakan paling sedikit satu wanita dan paling banyak adalah 70 wanita.
Meskipun untuk menyalurkan hasrat laki-laki Eropa dapat menyalurkannya ke para pelacur ataupun gundik Indonesia, kelihatannya mereka kurang bisa menyesuaikan diri dengan pelacur Eropa. Terdapat keyakinan kuat di masyarakat kolonial terhadap pembatasan ras. Pelacur Eropa yang menjajakan diri pada orang non Eropa telah menodai derajat orang eropa sendiri. Pada tahun 1869, Residen Surabaya mengakui bahwa ada wanita eropa yang bekerja sebagai pelacur secara diam-diam. Kemudian pada abad ke-19, di Surabaya terdapat dua rumah bordil terkenal milik orang Eropa yang mempekerjakan pelacur Eropa.
Meskipun kejengkelan-kejengkelan diperlihatkan oleh para pejabat dan penduduk kota terhadap sikap moral para pelacur, sebenarnya kejengkelan itu lebih ditekankan pada pertimbangan kesehatan daripada moral. Ketakutan terhadap penyakit kelamin menular membuat pegawai kesehatan pemerintah melakukan pemeriksaan rutin terhadap para pelacur di Batavia, Surabaya, Yogyakarta, Bogor, Madiun dan Kediri awal 1830-an. Tahun 1853, diwajibakan bagi setiap Karisidenan membuat peraturan untuk mengendalikan prostitusi sebagai upaya mencegah penyakit yang berasal dari prostitusi. Para pelacur harus mendaftar kepada polisi dan wajib mendapat kartu identitas yang harus dibawa setiap saat. Para pelacur yang bertempat di perkotaan harus memeriksakan kesehatannya setiap minggu ke pusat Karisidenan sedangkan para pelacur yang bertempat tinggal dipedalaman harus periksa kesehatan setiap bulan. Untuk pelacur yang terjangkit penyakit, kartu identitasnya ditahan sampai pelacur tersebut sembuh dari penyakitnya. Rumah bordil juga diperiksa setiap dua minggunya. Ada pembedaan hukum yang mengatur bahwa rumah bordil militer dan sipil harus dipisahkan untuk alasan kedisiplinan. Rumah bordil juga tidak boleh dekat dengan sumber kesenangan lain misalnya dengan pondok opium.
Peraturan ini diimplementasikan di seluruh Jawa, meskipun tidak efektif karena minim antusiasme. Residen Surabaya dalam upaya mengawasi penyebaran penyakit kelamin pada tahun 1952 membangun tiga rumah bordil di kampung terpisah. Para pelacur diwajibkan hanya bekerja di kampung-kampung ini jika tidak ingin ditahan. Semua pelacur yang bekerja di kampung-kampun ini harus terdaftar dan juga memeriksakan kesehatannya. Di kampung Bandaran ada 351 pelacur bekerja di sana. Kampung Bandaran paling sering dikunjungi oleh pelaut karena dekat dengan Pangkalan Angkatan laut dan mengarah langsung ke Kali Mas. Sedangkan kampung Sawahan dan Nyamplungan dengan 93 dan 11 pelacur yang sudah terdaftar, jarang dikunjungi oleh Pelaut karena jaraknya yang jauh.
Pengendalian prostitusi di Surabaya hanya berdampak sedikit. Tahun 1867 Pegawai Senior Angkatan Laut di Surabaya mengeluh pada Pelayanan Kesehatan Surabaya bahwa penyebaran sipilis terus meningkat, dari angkat tahun itu, Surabaya dikawatirkan akan menjadi Yokohama kedua. Surabaya merupakan pelabuhan yang sering dikunjungi pelaut. Sang Pegawai AL tersebut menyarankan agar di Bandaran ditempatkan pengawas permanen sehingga pelaut dapat diperiksa sebelum masuk ke tempat pelacuran. Tetapi Pelayan Kesehatan menyarankan agar Komandan AL memberi perintah kepada pelautnya untuk menggunakan pelacur yang sudah terdaftar sehingga aman.
Kemudian Residen Surabaya memperkerjakan 30 polisi di Bandaran untuk melaksanakan peraturan tentang pelacuran. Para wanita manapun yang akan bekerja di kampung itu harus melalui pemeriksaan kesehatan. Jika ada polisi yang mampu membawa pelacur yang terinfeksi akan mendapat hadiah sepuluh Gulden. Setelah melalui pemeriksaan kesehatan, para pelacur yang bekerja di rumah bordil harus menempelkan sertifikat kesehatannya di depan tempat tidurnya.
Memeriksa kesehatan rutin kepada para pelacur merupakan usaha sulit. Para pelcur banyak yang mengacuhkan hukum tersebut dengan tidak rajin datang memeriksakan diri. Tidak ada data statistik untuk mengetahui berapa banyak yang dihukum atau dikenai denda. Risiko penangkapan karena tidak mempunyai dokumen sangat tinggi karena banyak pelacur banyak yang mendaftar.
Tahun 1912, Tjipto Mangunkusumo meperkirakan bahwa prostitusi di Bandung mengalami peningkatan karena banyak pekerja prostitusi ilegal di kota tersebut.Hal itu mungkin dibesar-besarkan. Pada pertengahan abad ke 19, Residen dan pegawai kesehatan mengindikasi meningkatnya pertumbuhan prostitusi ilegal. Awal mulanya pejabat membiarkan adanya prostitusi ilegal, tetapi semenjak ditemukan pelacur yang terinfeksi penyakit kelamin, Pemerintah kolonial mendapat masalah dalam menyediakan obat. Tahun 1850-an, pelacur yang terinfeksi di kota-kota kecil diisolasi di penjara sampai mereka terbebas dari penyakitnya. Namun di Rembang tahun 1859, para pelacur yang terinfeksi sudah dirawat di rumah sakit meskipun harus dijadikan satu dengan penderita lepra. Penjara Surabaya tahun 1851 menampung 180 pelacur. Mereka dipenjara di sebuah ruangan berukuran panjang  24 kaki dan luas 18 kaki hingga berbulan-bulan dan dilepas ketika dinyatakan bersih. Meskipun sudah diisolasi namun fasilitasnya jauh dari batas kewajaran. Inspektur Kesehatan wilayah sudah menetapkan bahwa seharusnya dalam ruangan seukuran itu hanya boleh menampung 15 pasien.
Secara bertahap, bangsal-bangsal di rumah sakit mulai merawat pelacur yang terinfeksi, meskipun dalam pelayanannya jauh dari kata ideal. Para pelacur hanya dianggap sebagai prioritas rendah sehingga pihak rumah sakit memfasilitasi penampungan terburuk. Mereka ditempatkan di pondok bambu tanpa penerangan, tanpa ubin, dan atapnya bocor ketika turun hujan. Setiap sabtu, dokter melakukan pemeriksaan kepada mereka, tetapi tidak maksimal karena kekurangan meja untuk memeriksa.
Untuk mengendalikan laju prostitusi dibutuhkan biaya besar untuk mendanai pengobatan penyakit kelamin dan gaji polisi penjaga lokalisasi, sehingga Pemerintah tidak mau rugi dalam hal ini. Pada 1871, Dewan Hindia sadar akan kewajibannya untuk mengurangi penyebaran penyakit sifilis. Usulan dari pemerintah tentang biaya pengobatan pelacur yang terinfeksi sifilis oleh pemilik masing-masing rumah bordil diabaikan oleh semua Residen. Pemilik rumah bordil akan keberatan karena tidak bisa membayar biaya tersebut, sehingga pelacur yang terinfeksi tidak akan mendapatkan pengobatan. Pada januari 1874 muncul peraturan baru untuk memberantas prostitusi. Peraturan 1874 menekankan pada perubahan tanggung jawab dalam biaya pembasmian prostitusi dari tangan pemerintah pusat ke pemerintah regional. Kebanyakan Residen, termasuk Residen Surabaya menerapkan peraturan tersebut karena mereka sadar luasnya prostitusi di Surabaya. Kegagalan pemerintah Hindia Belanda dalam pencegahan dan mengendalikan prostitusi membuat Gubernur Jenderal menghapus pemeriksaan kesehatan pelacur oleh pegawai kesehatan pemerintah. Hukum kesusilaan masyarakat yang mengatur tentang prostitusi juga dihapus pada September 1913. Selanjutnya masalah prostitusi dilimpahkan kepada polisi, Rumah Sakit Kota dan Pemerintah Regional.
Pada tahun 1904 hingga 1906, Declining Welfare Commission melakukan survei mengenai luasnya prostitusi di Jawa. Terdapat peningkatan prostitusi di 41 distrik, kemudian penurunan di 12 ditrik dan yang tidak berubah (tetap) berada di 27 distrik. Para pejabat mengakui bahwa peningkatan disebabkan oleh peningkatan mobilitas buruh pabrik dan perkebunan dari luar wilayah yang didominasi laki-laki, kehadiran garnisun militer dan keadaan ekonomi sulit yang memaksa para gadis mencari pekerjaan dari sektor apapun. Banyak responden berargumen bahwa peningkatan prostitusi mencerminkan karakter moral penduduk pribumi. Residen Priangan berargumen bahwa meluasnya prostitusi di wilayahnya merupakan akibat dari berdiamnya wanita-wanita Sunda. Sudah menjadi hasrat bagi wanita bahwa mereka ingin memakai pakaian yang indah. Para pejabat tidak menyetujui bahwa meluasnya prostitusi merupakan akibat dari keadaan ekonomi karena ada pelacur (khususnya di antara orang-orang Sunda) berasal dari latar belakang baik. Komisi juga melaporkan bahwa komunitas Islam dan Kristen menantang prostitusi atas dasar spiritual. Laporan Komisi hanya mengacu angka kasar. Masalah utamanya adalah angka tersebut hanya merujuk pada pelacur yang bersertifikat sedangkan pelacur ilegal hanyalah dugaan saja. Misalnya di Karawang dalam populasi 200.000 orang terdapat 70 pelacur terdaftar tahun 1906. Angka tersebut hanyalah perkiraan pejabat setempat saja karena mereka tidak memberi perhatian khusus pada pengawasan pelacur. Kemudian di Probolinggo mengalami penurunan jumlah pelacur. Pada tahun 1902, di Daerah itu ada 68 pelacur kemudian menyusut jumlahnya sampai 33 orang pada tahun 1904. Komisi tidak memeriksa latar belakang sosial para pelacur dan hanya mempunyai sedikit data mengenai hubungan penari ronggeng dengan pelacuran atau hadirnya kaum waria (banci). Rafles dalam History of Java, menjelaskan bahwa secara umum gadis penari ronggeng bukanlah seorang pelacur. Hadirnya kaum banci karena faktor pekerjaan. Berberapa banci memiliki pekerjaan yang lebih terhormat seperti: memasak, penjahit, tukang cuci. Mereka berdandan mengenakan sarung dan kebaya dan berjalan layaknya perempuan (gemulai).
Partai-partai nasionalis banyak yang mendeklarasikan kampanye anti prostitusi. Sarekat Islam (SI) selama kejayaannya merupakan kelompok yang kuat menolak prostitusi sejak tahun 1912. Kehadiran SI di daerah-daerah berdampak pada berkurangnya perjudian, minuman keras dan prostitusi. SI juga membentuk kelompok anti prostitusi bernama Madjoe-Kemoeliaan di Bandung pada 30 April 1914 yang mayoritas anggotanya adalah perempuan Indonesia. Dengan propaganda melalui surat kabar, organisasi ini mendesak terciptanya pendidikan yang lebih baik untuk pemuda sehingga mereka akan mengetahui dampak negatif dari pelacuran. Kemudian mereka mendesak agar dipromosikan kerajianan tangan sebagai jalan alternatif untuk mencari nafkah.
Sarekat Islam mungkin gagal dalam memerangi pelacuran dalam jangka waktu panjang, tetapi berkat tekanan dari SI maupun parati-partai nasionalis lainnya di media cetak berbahasa Indonesia, akhirnya Dewan Regional dan Kota mengeluarkan hukum baru pelarangan prostitusi jalanan. Mungkin peraturan itu dibuat karena adanya pertimbangan Dewan mengenai timbulnya kemarahan orang-orang Eropa dan kalangan menengah Indonesia terhadap praktik pelayanan seksual di jalanan. Dampak dari diterapkannya peraturan itu adalah penangkapan pelacur jalanan oleh polisi yang mengakibatkan penuhnya pengadilan setempat yang menyidangkan pelacur.
Kampanye positif di kota-kota besar sedikit yang berhasil. Pada akhir tahun 1920, bupati Bandung melalui organisasi pemberantasan pelacur telah membujuk 900 pelacur agar meninggalkan Bandung. Kemudian tahun 1929, pemerintah lokal Purwokerto berhasil menutup 32 rumah bordil dan mengembalikan 68 pelacur ke asalnya. Sebelumnya tahun 1927, Pemerintah sudah menetapkan denda bagi pelanggar peraturan sebesar 20 Gulden 50 Sen. Kemudian si pelanggar dikembalikan ke kampung halamannya masing-masing. Tetapi usaha itu gagal, karena si pelanggar akan kembali ke rutinitas pekerjaan sebelumnya. Menurut koresponden harian berbahasa Belanda, sebenarnya sistem denda ini merupakan semacam pajak prostitusi.Justru pada tahun 1939, prostitusi di perkotaan semakin berkembang menurut laporan Simons.
Untuk menekan perluasan penyakit kelamin Pemerintah Hindia Belanda menganjurkan masyarakat Indonesia agar berpoligami. Poligami digunakan untuk menekan angka perceraian dan tingkat hubungan seksual baik sebelum menikah ataupun sesudah menikah. Angka prostitusi di daerah kolonial meningkat sejak abad ke-19 hingga akhir kolonial. Hal itu yang menjadi faktor penting menyebarnya penyakit kelamin. Pada tahun 1941, Simon memperkirakan setidaknya 15 % populasi di kota-kota besar Koloni mengidap penyakit kelamin. Angka itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi di kota-kota besar Eropa. Laporan kesehatan pada tahun 1885, mengindikasi perbandingan pengidap kelamin antara orang Eropa dan Pribumi adalah dua pasien Eropa banding satu pasien Pribumi. Sangat sedikit orang Pribumi yang mencari pengobatan di rumah sakit sehingga jumlah laporan penyakit kelamin orang Eropa yang dirawat di rumahsakit lebih besar daripada orang Indonesia karena orang Indonesia lebih suka mencari pengobatan tradisional daripada ke rumah sakit. Terdapat korelasi antara wilayah tempat prostitusi dan munculnya penyakit kelamin. Juga terdapat korelasi antara pelacuran atau penyakit kelamin dengan penumpukan buruh sirkuler atau adanya barak militer di sebuah daerah. Di daerah Prianganpenyakit kelamin lebih merajalela dibandingkan di dawerah Jawa lainnya. Antara 1867 hingga 1869, proporsi jumlah pasien wanita yang di rawat di rumah sakit semuanya adalah orang Indonesia. Di Sukapura terdapat 24 pasien menjadi 36, di Bandung terdapat 800 pasien menjadi 841 pasien.
Pada tahun 1914 penyakit sipilis merupakan penyakit tertinggi ke-3 yang diderita oleh pejabat Eropa dan tertinggi ke dua di kalangan pejabat Pribumi. Tahun 1941 penyakit sipilis mengalami peningkatan. Dalam data yang lebih detail di Bandung, diperkirakan dari 1,2 populasi penduduk kota itu terdapat 250.000 penduduk yang terjangkit sifilis. Data yang lebih tepat dicatat oleh garnisun Angkatan Darat dan Angkatan Laut di kota-kota besar Hindia Belanda. Barak bagi prajurit Indonesia dan Eropa menjadi tempat bagi gundik. Pada akhir 1911, dari 10.320 prajurit AD Eropa, sebanyak 2.372 memiliki gundik dan hanya 1.005 saja yang menikah.
Menurut Hanneke Ming, musuh utama angkatan bersenjata adalah alkohol dan penyakit kelamin. Setiap minggu, para prajurit dicek kesehatan kelaminnya. Upaya penanggulangan penyakit kelamin sudah terlebih dahulu dilakukan oleh Angkatan Laut. Sehingga jumlah prajurit yang terinfeksi sifilis lebih sedikit daripada angkatan Darat. Untuk menghindari meluasnya penyakit kelamin di Angkatan Darat, komandan Angkatan Darat memberi hak memiliki gundik kepada prajurit di barak militer. Jumlah pasien (prajurit Eropa) yang berobat lebih banyak daripada prajurit Indonesia. Perwira wajib militer jumlah penderitanya lebih banyak daripada tentara sukarela. Hal tersebut karena prajurit perwira wajib militer mayoritas terdiri dari pemuda yang belum menikah sehingga mereka sering berganti-ganti pasangan, sedangkan tentara sukarela sudah memiliki kehidupan seks yang cenderung permanen dengan memelihara gundik dari orang Indonesia maupun Indo-Belanda ataupun sudah berkeluarga resmi. Di Batavia dan Cimahi pasien kelamin dari angkatan bersenjata mengalami penurunan jumlah pada 1923 sebanyak 230.592 menjadi 123.048  pada 1931. Namun, dari pola penurunan tersebut terdapat peningkatan pada tahun 1927 hingga 1929 karena masuknya wajib militer muda untuk mengatasi pemberontakan PKI pada November 1926 dan Januari 1927. Penyumbang angka sifilis tertinggi itu berasal dari prajurit Bataliyon-bataliyon yang berada di daerah Priangan.
Penderita sifilis di kota-kota besar di Kabupaten Bandung lebih besar daripada di pedesaan. Angka yang lebih tepat di dapat dari thesis seorang doktor dari Sekolah Kedokteran Batavia. Perbandingan jumlah penderita sipilis antara kota dan desa adalah 34% banding 14,4 % (lihat tabel 2, hal. 234). Dengan demikian, Tio menyimpulkan bahwa kota-kota besar merupalan sumber utama infeksi sipilis di Kabupaten Bandung. Transportasi yang memudahkan penduduk desa Banjaran ke kota untuk menjual hasil pertanian merupakan pendukung dari peningkatan infeksi sipilis di pedesaan. Karena kebiasaan laki-laki desa tersebut menginap di kota selama tiga hari. Sedangkan untuk wanita, infeksi disebabkan karena kebiasaan kawin-cerai dan pergantian status dari pelacur ke kehidupan normal.
Pelacuran nampaknya merupakan hal yang lumprah di Bandung. Banyak berdiri rumah bordil eksklusif di daerah itu. Pelanggan rumah bordil tidak menginginkan pelacur profesional tetapi menginginkan perempuan yang baru cerai yang diambil dari desa-desa untuk melayani napsu buas mereka. Kebiasaan perempuan daerah itu adalah kawin-cerai. Ketika bercerai mereka akan meninggalkan desanya, kemudian bekerja di pelacuran. Setelah menikah kembali, masyarakat membolehkan mereka kembali ke desa asalnya.
Sumber:
Ingleson, Jhon. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu.

No comments

Powered by Blogger.