Dampak Westernisasi di Kerajaan Mangkunegara
Mangkunegara
merupakan kerajaan tradisional vasal dari Kasunanan Surakarta. Meskipun
merupakan negara bawahan, pengaggeng Mangkunegaran tidak mau negerinya tetap
dibawah bayang-bayang Kasunanan sehingga dengan berbagai cara raja-raja
Mangkunegara membuat berbagai inovasi untuk menghilangkan dominasi Kasunanan
atas kedaulatan Mangkunegara.
Dimulai
Setelah negara induk Mataram Islam terpecah menjadi dua, yakni Kasunanan dan
Kasultanan, penerus Mataram Islam yakni Kasunanan juga terpecah menjadi dua.
Dengan diadakannya perjanjian politik di Salatiga sebagai dampak dari pemberontakan
Mas Said, akhirnya wilayah Kasunanan harus terbagi menjadi dua kerajaan. Dengan
begitu, di Jawa Tengah saat itu terdapat tiga sumbu kekuatan politik pribumi.
Percaturan
politik Jawa Tengah abad ke-18 merupakan perebutan hegemoni kekuasaan antara 3
kerajaan pecahan Mataram Islam. Mereka ingin eksistensinya sebagai penguasa
Jawa diakui yang menyebabkan memanasnya hubungan antar ketiga kutup politik
tersebut. Pada fase ini, posisi Sunan sebagai penerus kerajaan Mataram terancam
karena dua negara pecahannya tidak mau mengakui dirinya sebagai Kawula Sunan.
Setelah
perjanjian Salatiga, Mangkunegara mendapat hak mengatur tanahnya yang sebagian
besar berada di daerah Wonogiri. Pembagian tanah tersebut secara ekonomi kurang
menguntungkan karena sebagian wilayahnya mencakup daerah kering. Saat itu,
negara tradisional Jawa masih mengandalkan bidang agraris untuk memutar roda
perekonomian sehingga pemasukan negara tidak sebanyak negara-negara tetangganya.
Kedudukan
birokrasi dan hukum Mangkunegara tidak sekompleks milik Kasunanan karena
kerajaan ini sejatinya merupakan bawahan dari Kasunanan yang berbentuk
Kadipaten. Bahkan pada awal berdirinya negara ini hingga Mangkunegara IV, Raja
Mangkunegara secara hirarkhi derajat sosialnya berada dalam piramida sosial
masih merupakan dibawah Sunan. Dampaknya, ketika mereka menghadiri Pasowanan
Ageng, Raja MAngkunegara harus ”lampah ndodok” atau berjalan dengan jongkok
ketika akan berhadapan dengan Sunan.
Akibat
dari westernisasi di Jawa pada era Mangkunegara IV terjadi perubahan yang
mencolok yaitu pembenahan ekonomi dan pendidikan. Perubahan ekonomi ditandai
dengan pembuatan pabrik gula. Dengan dibuatnya pabrik gula, Mangkunegara
sebagai kerajaan tradisional mulai memainkan peranannya di perekonomian tingkat
dunia. Gula-gula yang dihasilkan oleh Mangkunegara kemudian dieksport ke Eropa.
Di
bidang Pendidikan westernisasi memunculkan elit baru yaitu kelompok terpelajar
pendidikan gaya Eropa. Elit baru ini sejatinya merupakan elit lama (kelompok
bangsawan). Dahulu hanya bangsawanlah yang mampu menyekolahkan anaknya ke pendidikan
gaya Eropa. Jadi meskipun dikatakan elit baru, digolongan itu tidak ada yang
berasal dari kalangan kawula (rakyat). Dengan adanya perbedaan kelas antara
kawula dan pengaggeng di bidang Pendidikan, mobilitas sosial masih tertutup dan
hanya dinikmati oleh kalangan bangsawan saja. Hal itu bukan tidak ada sebab,
karena memang pendidikan gaya Eropa memerlukan biaya yang banyak sehingga hanya
anak bangsawan sejalah yang mampu mengenyam pendidikan.
Sepeninggal
Mangkunegara IV, Kerajaan ini mengalami kebangkrutan. Adapun sebab dari
kebangkrutan tersebut adalah adanya proteksi terhadap industri gula bit di
Eropa yang menyebabkan harga gula dunia anjlok. Anjloknya harga tersebut
menyebabkan Kerajaan ini mulai mengalami krisis karena Industri gula menjadi andalan
pemasukan defisa bagi Mangkunegara. Pengganti Mangkunegara IV memang kurang
cakap dalam mengelola perekonomian istana. Dengan tidak adanya kontrol ketat
pengeluara keuangan dan pemisaha antara keuangan kerajaan dan keuangan istana,
Kerajaan ini akhirnya bangkrut. Kebangkrutan ini tidak hanya bersumber dari
kesalahan administrasi keuangann negara dan turunnya harga gula di pasar dunia,
tetapi juga rusaknya perkebunan milik negara dan tidak berjalannnya sektor
bisnis seperti hotel, penggilingan padi dan pabrik kopi.
Mangkunegara
VI sebagai raja baru segera memperbaiki ekonomi Mangkunegaran yang masih bangkrut
sepeninggal kakaknya. Langkah yang diambil adalah dengan menghemat anggaran
pengeluaran negara. Kemudian dia berusaha mengubah pola kultur Jawa yang sudah
lama dikembangkan di Kasunanan dengan alkulturasi antara budaya Jawa dan Barat
yang melahirkan inovasi budaya baru.Mangkunegara VI mampu membawa perkonomian
Kerajaan ini bangkit kembali. Tetapi karena kebijakan penghematan yang
dicetuskan itu, membuat dirinya terdupak dari kursi kekuasaan. Dia dituduh oleh
putra sentana dari pendahulunya yang merasa dirugikan dalam bidang finasial
karena dikurangi gajinya sebagai raja tidak syah. Hasutan tersebut akhirnya
dipercaya oleh Belanda. Akhirnya dengan perasaan malu, Mangkunegara VI turun
keparambon. Sepeninggalnya, keuangan Mangkunegaran sudah sehat dengan
meninggalkan kas negara 6 juta gulden.
Pembangunan
kota Solo modern (Mangkunegaran) ternyata terinspirasi dari kekaguman Suparto
tentan keindahan kota Padang. Dia membandingkan antara kondisi infrastruktur
kerajaannya dengan kota Padang, di mana jalan-jalan kota Padang sudah diaspal
dan tertata rapi. Kemudian setelah di Eropa, dia membandingkan kemajuan masyarakat
Eropa dengan masyarakat Mangkungaran. Hal itu bukan suatu kebetulan, karena
pada saat dia masih menjadi anak angkat Mangkunegara VI, dia tidak bisa
melanjutkan pendidikan ke Eropa, sehingga dia mencari dana sendiri untuk
belajar ke sana. Dari pengalaman mengelilingi Jawa untuk mendapat dana
pendidikan ke Eropa, dia banyak belajar mengenai potensi dan kekurangan daerah
Jawa, sehingga kedepannya dia mampu membuat program untuk rakyatnya.
Setelah
kembali dari Eropa, dia diangkat menjadi Mangkunegara VII. Program-program pro
rakyat mulai di jalankan dengan mendirikan/membangun waduk untuk keperluan
sawah, jalan raya, sekolahan, rumahsakit/klinik. Keberhasilan program pro
rakyat Mangkunegara VII membuat iri penguasa Kasunanan. Meskipun hak politik
Sunan dibatasi Belanda, melalui organisasi-organisasi kebangsaan yang
berkembang pada awal abad ke 20, dia memainkan politik tersembunyinya. Memang
saat itu, Mangkunegara diapit oleh dua kekuatan besar yakni kekuatan
Nasionalisme Indonesia dan Kekuatan Belanda. Sehingga dalam menentukan arah
kebijakannya masih mengambang antara mendukung pergerakan Indonesia dan
Belanda. Sehingga Sunan mampu
memanfaatkan organisasi pergerakan kebangsaan saat itu untuk mengkritik
program-program Mangkunegara.
Pembaharuan
tradisi mulai diterapkan pada masa Mangkunegara VII. Tradisi sungkem ketika
para bawahan akan menghadap Raja yang menjadi ciri khas Kasunanan mulai
dirampingkan sehingga lebih praktis dan efisen. Bahkan ketika Raja menerima
tamu, jika disekitarnya ada tempat duduk, tamu boleh langsung duduk, tidak
bersila seperti tradisi dahulu. Dalam memberi penghormatanpun tidak sesering
tradisi dahulu, semisal ketika ada bawahan akan mengemukakan pendapat hanya
sekali saja memberi penghormatan yaitu pada awal. Jika dahulu, ketika bawahan
akan menghadap dan tiap kali akan mengemukakan pendapat harus ijin dan memberi
hormat sehingga saat berkomunikasi tidak effektif. Tradisi feodal Jawa, seorang
bawahan harus “laku ndodok” tetapi saat Mangkunegara VII berkuasa, tidak perlu
laku ndodok, tetapi boleh langsung berjalan. Dan ketika sudah dihadapan Raja,
baru mereka membungkukan badan dengan sikap sopan sebagai penghormatan.
Pegawai
Mangkunegara sudah tidak lagi dibayar dengan hasil tanah lungguh (apanse)
tetapi dengan gaji bulanan. Sebagai contohnya adalah Polisi Pangreh Raja sudah
mendapat gaji bulanan. Kemudian Rodi
juga dihapuskan menjadi tenaga bebas yang dibayar. Dahulu sebelum Mangkunegara
VII berkuasa, jalan-jalan besar yang menghubungkan daerah dengan Pusat masih
sederhana dan tidak terawat. Perawatan jalan semula hanya dilakukan oleh
pekerja Rodi. Namun setelah Rodi dihapuskan, jalan mulai dibenahi dengan
anggaran perbulan f.10.000.
Administrasi
keuangan Mangkunegara dikelola dengan kontrol ketat dengan satu pintu keluar
masuk uang. Dana Milik Mangkunegaran sebagai Badan usaha milik Kerajaan membawahi
perusahaan-perusahaan negara sehingga tiap sektor dapat dikontrol dengan baik.
Artinya Raja tidak perlu mengontrol ke bawah karena sudah ada yang membawahi.
Kemudian Dana Milik ini bertugas melaporkan penghasilan dan pengeluaran
perusahaan-perusahaan ke Raja langsung. Badan Milik juga membawahi kementrian
umum yang tugasnya membangun prasarana penunjang ekonomi istana maupun
kesejahteraan rakyat. Irigasi untuk mengairi tebu dan sawah mulai dibangun.
Pada masanya, Waduk Cengklik digunakan sebagai pengairan tebu, kemudia waduk
Jombor untuk pengairan sawah. Kemudian dengan dana patungan Kasunanan dan
Belanda, Pembangunan pipa air bertekanan tinggi sebagai sumber air bersih untuk
rakyat di kota Surakarta pun dilaksanakan. Untuk mengurangi persebaran penyakit
mematikan seperti pes, juga dibangun rumah-rumah layak huni di kota itu. Tenaga
kesehatan juga ditambah hingga pelosok-pelosok desa sehingga kesejahteraan
rakyat terjamin. Sekolah-sekolah desa juga dibangun untuk memajukan sumber daya
manusia warga Mangkunegaran. Selain itu rakyat juga dapat membaca buku di Sono
Pustaka untuk memperdalam ilmu pendidikannya.
Westernisasi
berdampak pada kemajuan di sektor pendidikan. Di jaman Mangkunegara VII ini,
banyak bangsawan yang disekolahkan di sekolah Eropa. Namun, anak-anak bangsawan
yang di sekolahkan di Eropa ini tidak
mampu menularkan ilmunya kepada rakyat dengan bahasa Jawa. Kemudian
dilaksanakanlah Konverensi Budaya Jawa yang mendatangkan tokoh-tokoh Jawa dan
tokoh-tokoh kebudayaan Eropa. Mereka membahas perkembangan budaya Jawa yang
semakin ditinggalkan oleh pendukung budaya tersebut. Mangkunegara VII mengupas
tentang filsafat wayang kulit, yang menunjukan bahwa Mangkungara VII tidak
hanya mengerti budaya barat tetapi juga memahami budaya Jawa. Untuk
menyelamatkan budaya Jawa dari gerusan Barat, di Mangkunegara didirikan
Javanesse Institut di dalam Pura Mangkunegara.
Mangkunegara
VII dengan pemikiran Barat tetapi dalam kesehariannya masih tradisional, mampu
melihat realitas sosial rakyatnya yang masih miskin dan bodoh. Dia berusaha
mendobrak kebiasaan lama yang hanya menguntungkan istana menjadi menguntungkan
rakyat dan istana. Sehingga pada saat kepemimpinannya, Mangkunegaran menjadi
cahaya Jawa karena mampu menandingi negara-negara tetangganya meskipun
wilayahnya sempit.
Daftar
Pustaka
Wasino. 2014. Modernisasi di Jantung Budaya Jawa
Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Kompas
.
Post a Comment