Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Modalitas Suharto dalam Mencapai Puncak Kekuasaan


Harold Crouch dalam artikelnya tahun 1979, berjudul “Patrimonialisme dan Kekuasaan Militer di Indonesia” dalam pandangan Jamie Mackie, mempunyai kontribusi penting kepada kita untuk memahami sistem politik Orde Baru yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun.  Yang menarik perhatian adalah adanya perlindungan dalam bentuk hubungan patron klien selama Suharto berkuasa. artikel tersebut lebih detil dalam memberi penjelasan pada masyarakat umum tentang hubungan patron-klien dibanding artikel sejenis yang dikarang oleh ahli politik lainnya. Berbagai bentuk patronase dapat ditemukan di negara-negara berkembang dan dapat diamati dengan mudah di negara tetangga Indonesia, seperti: Malaysia, Thailand, Filipina (selama dipimpin Marcos) dan juga Singapura (meskipun dengan alasan khusus yang berbeda dengan negara-negara lain). Tapi tidak satupun dari negara-negara itu yang mempunyai sistem sekomplek di Indonesia yang mengakar sampai level bawah selama dipimpin oleh Suharto. Hal itu layak dipertimbangkan untuk mengetahui karakteristik tunggal dari sistem politik Indonesia yang dapat memberi gambaran  tentang patrimonialis.
Meskipun Crouch menganalisa secara mendalam tentang modalitas rejim Suharto untuk mencapai puncak kekuasaan, ternyata Jamie tidak setuju dengan beberapa argumen Crouch. Patronase merupakan bagian terpenting dari sistem Politik Suharto. Sistem ini menjadi lebih kelihatan setelah tahun 1980, ketika otoritas Suharto tidak tertandingi lagi dan sumber keuangan negara berada dibawah kontrolnya. Pasca Suharto lengser, patronase berubah wujud menjadi “politik uang” . Patronase sudah menjadi kebiasaan sosial politik Indonesia meskipun Indonesia sudah memasuki era Reformasi dan Demokrasi. Beberapa aspek dari sitem Patrimonialis Orde Baru masih bertahan bahkan  tidak mudah untuk diperbaiki.
Kemampuan Suharto adalah memanajemen loyalitas bawahannya. Dia memanfaatkan intelijen dan elit nasional untuk mengeruk keuntungan finasial yang lebih besar daripada presiden pendahulunya, Sukarno. Kemampuan memanfaatkan elit birokrat nasional, militer dan mengelola keuangan membawa Suharto ke puncak politik yang tidak tertandingi dari tahun 1980-1998. Sistem kekuasaan yang diciptakan Suharto sebenarnya  mempunyai kemiripan dengan patrimonialisme tradisional Jawa masa kolonial Belanda, meskipun ada beberapa perbedaan yang mencolok. Dalam hal ini istilah rejim lebih cocok dipakai untuk menggambarkan patrimonialisme Orde Baru daripada istilah militeris, diktaktor, birokrasi otoriter dan sebagainya (lihat: Anderson dan Kahin, 1982).
Kata patrimonialisme belum banyak dipakai dalam istilah Indonesia sebelum tahun 1979. Namun, tahun 1972, Benedict Anderson sudah menyinggung dalam artikelnya yang berjudul “Ide Kekuasaan dalam Budaya Jawa”. Ben Anderson menyatakan bahwa konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa berbeda dengan konsepsi kekuasaan yang berlaku di Barat. Orang Jawa melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang kongkrit, homogen, konstan, dan tanpa implikasi-implikasi moral. Logika dan konsep tradisional Jawa mengenai kesaktian memerlukan suatu pemusatan, penyatuan dan penyerapan, dan  titik pusat ini biasanya dinyatakan dalam diri seorang penguasa (Eriyanto, 2000: 39).
Dalam alam pikir Jawa, kekuasaan seseorang sering diwujudkan dalam adanya pemusatan kekuatan yang diwujudkan dalam persatuan. Seruan yang sering diucapkan Suharto mengenai persatuan nasional, sebagian dipandang sebagai tanda adanya ketakutan akan memancarnya kesaktian. Di dalam kerangka pikiran tradisional Jawa, sistem banyak partai, federalisme dengan mudah dapat ditafsirakn sebagai kemunduran kesaktian Indonesia dan kesatian dirinya sendiri sebagai pusat politik. Suharto tidak menyukai adanya keragaman yang menunjukan dia tidak kuat. Begitu ada yang tidak mendukung atau tidak satu suara maka dalam konsepsi Jawa, kesaktian sudah hilang kerena ia tidak dapat lagi menyatukan kekuatan yang beragam (Eriyanto, 2000:43).
Kesatuan adalah salah satu konsepsi penting pikiran Suharto. Karena kekuasaan bagi dirinya berarti tidak ada seorangpun yang melawan atau menentangnya. Dalam buku otobiografinya, Suharto mengatakan di Indonesia tidak dikenal adanya oposisi, karena oposisi adalah konsepsi barat. Pemerintah memang dapat dikontrol, tetapi menurut Suharto, semua harus didasarkan aras kesepakatan yang telah ditentukan bersama. Perbedaan pendapat diperbolehkan tetepi setelah itu harus tercapai kesepakatan bersama.. Dengan pikiran yang sama, prinsip penyatuan dan penyeragamana ini adalah cita-cita politik Suharto. Dari penyatuan partai politik, organisasi sosial dan kemasyarakatan, organisasi korparatis profesi sampai pemberlakuan asas tunggal, semuanya mencerminkan hasrat penyeragaman (Eriyanto, 2000:44).
Melihat argumen Crouch tentang penerapan patrimonialisme tradisional pada politik Indonesia, dia mengidentifikasi secara akurat kunci dinamika politik Orde Baru pada akhir tahun 1970-an. Bentuk patrimonialisme modern rejim Suharto disokong dengan dasar-dasar patrimonial tradisional. Sebagaimana yang akan kita lihat, Suharto berusaha melindungi posisi relasinya sebagai imbalan atas kesetiaan. Ia menjadi figur karena mampu mengontrol semua aspek kunci dalam pemerintahannya. Dengan demikian, pemerintahannya  dapat berumur panjang.
Ada perbedaan bentuk patronase dan sistem politik modern pasca 1979. Beberapa segi dari sistem politik pasca Suharto (1998) masih mempunyai kesamaan dengan sistem politik Suharto (1979) yaitu tujuannya sama-sama mecari keuntungan pribadi dan kelompok melalui jabatan resmi. Namun bedanya setelah Reformasi dan Demokrasi, muncul fenomena baru yaitu politik uang yang umum ditemukan baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Namun sisa-sisa patrimonialisme tradisional masih bertahan dan mungkin tidak bisa hilang selama bertahun-tahun.
Patronase dan Patrimonialisme
Patronase dan patrimonialisme itu berbeda tetapi masih satu konsep. Patronase adalah istilah yang mengacu pada hubungan timbal balik, biasanya antara patron (yang berkuasa/punya modal) dan klien (yang membutuhkan). Hubungan seperti ini masih dapat dilihat dalam masyarakat tradisional Asia Tenggara, termasuk pada masyrakat Indonesia. Sedangkan istilah patrimonialisme mengacu pada sistem sosial politik dengan hubungan yang menggunakan patronase. Patrimonialisme yang digunakan di sini meliputi pokok sistem, yang pertama berdasarkan hubungan patron-klien yang luas, kedua pemberian jabatan untuk anak buah, dan ketiga loyalitas sesorang dikarenakan pengaruh figur yang berkuasa.
Anderson pernah menulis pada awal masa Orde Baru, tentang hubungan konsep politik tradisional Jawa  dengan struktur dan kebiasaan negara patrimonialis. Dia mengatakan bahwa negara-negara Jawa pra kolonial sangat cocok dengan teori Max Weber mengenai model negara patrimonialis, yaitu adanya perpanjangan tangan dari penguasa ke daerah melalui pejabat daerah. Dalam hal ini ada keuntungan bersama, yaitu pejabat dapat mempertahankan posisi mereka dan penguasa dibayar dalam bentuk loyalitas. Adapaun karakter dari pemerintah patrimonial adalah pejabat dianggap sebagai perpanjangan tangan dari penguasa, sehingga pejabat menghormati penguasa. Munculnya model patrimonialis di Indonesia pada pertengahan 1950 disebabkan oleh jatuhnya birokrasi Belanda ke tangan Indonesia sehingga muncul ide-ide pemerintahan tradisional yang sejalan dengan patrimonialisme.
Weber menganalisis berbagai bentuk Herrschaft (otoritas, dominasi dalam pemerintahan) seperti sistem patriakhi, kerajaan, negara kota, dan patrimonialisme dalam studinya tentang Ekonomi dan Masyarakat. Ia memperkenalkan patrimonialisme pada bagian bab yang berjudul Otoritas Tradisional. Di situ disebutkan bahwa “Gerontokrasi, Patriakhi dan Patrimonialisme” sebagai dasar dominasi tradisional, dimana hanya seseorang (pangeran) yang berkuasa mengatur kekuasaan politiknya.  Patrimonialisme  (dan yang paling ekstrim sultanisme) muncul ketika dominasi tradisional mengembangkan administrasi dan kekuatan militer sebagai instrumen politik. Awalnya “administrasi patrimonial” pengelolaan negara diputuskan sendiri oleh penguasa. Namun, dalam masyarakat yang lebih komplek, seperti negara kota di Italia pada abad pertengahan, penguasa patrimonial harus mengambil posisi istimewa dimana tentara berada dibelakang mereka.
Penerapan analisis patrimonialisme Weber ke dunia modern, ada yang perlu dihindari dari pemikiran beberapa bagian khas fundamental Herrschaft. Dalam analisis Crouch (menurut pendapat Jamie) tentang rezim Suharto, pemerintahan Suharto menjadi lebih Patrimonial di akhir-akhir pemerintahannya. Kuncinya meliputi kewenangan pribadi sebagai penguasa dimana otoritasnya mencakup dari kalangan atas hingga kalangan bawah yang menunjukan hubungan patron-klien. Penguasa tradisional harus berusaha memaksimalkan pengaruh pribadinya kepada bawahan untuk memiliki kendali penuh.
Patrimonialisme di Indonesia menurut Crouch
Sebelumnya ia telah banyak membuat referensi tentang praktek patronase  baik di era Sukarno maupun Suharto dalam bukunya yang berjudul “Tentara dan Politik Indonesia”. Meskipun di dalamnya tidak ada istilah patronialisme, tetapi ia menganalisis politik Indonesia dengan membandingkan patrimonial dan neo-patrimonial Weber yang ada dalam buku karya Roth dan Eisentadt tentang negara-negara modern baru. Namun Crouch malah terjebak pada kompleksitas teoritis pemikiran Weber karena dijadikan subjek perbandingan. Fokusnya lebih pada segi politik tradisional dalam politik modern dan seberapa jauh politik modern dapat mengubah atau memodifikasi dasar sistem politik setelah Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar. Partai Komunis Indonesia sebagai kekuatan politik tahun 1960-an mampu menghimpun dukungan dari masa yang jumlahnya banyak. Pemerintahan Sukarno dan Suharto masih menggunakan sistem politik tradisional yang sama yaitu menggunakan sistem politik tradisional kerajaan Jawa.
Artikel Crouch tahun 1979 lebih fokus pada patrimonialisme Indonesia jaman modern.  Alokasi kebijakan presiden Sukarno dan Suharto adalah untuk menghipun kekuatan. Bahkan, kewenangan Suharto sangat luas,dia memanfaatkan kapasitasnya sebagai penguasa untuk memaksa kelompok yang menolak kebijakannya, namun sarana utamanya tetap melalui penyebaran relasi ( memperluas patronase).
“dia menghargai pendukung yang setia kepadanya dan memberi hadiah materi kepada pejabat-pejabat yang berpotensi melakukan pembangkangan... Dia mampu mengontrol mesin patronase.. Itulah kunci kemenangan dan tetap mendapat dukungan dari angkatan senjata selama kepemimpinannya.”
Kata Crouch, isolasi politik pada masyarakat pendukung PKI selama Orde Baru adalah faktor yang menguntungkan untuk memunculkan sistem patrimonial baru dan dengan politik patrimonial, Suharto berusaha merebut hati para elit politik. Ketika PKI dieliminasi dan masa PKI tidak dimasukan dalam kegiatan politik selama proses depolitisasi tahun 1970an, politik patrimonialis masih digunakan oleh Suharto dalam menggandeng elit politik melalui distribusi patronase. Persaingan politik dikalangan elit sudah tidak berebut lagi dalam bentuk kebijakan tetapi dalam kekuasaan. Oleh karena itu, rejim baru memiliki kemiripan dengan model patrimonial.
Meskipun PKI sudah dihapuskan, Patrimonialisme bukanlah hal yang baru dalam pembangunan Indonesia. Selama demokrasi terpimpin (1956-1965,) Sukarno telah mempertahankan  rejim patrimonial selama bertahun-tahun. Selama demokrasi terpimpin, perwira tentara dan pejabat menggunakan posisi resmi mereka untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka juga berperilaku sama setelah dipimpin oleh Suharto. Dalam pandangan Crouch, Sukarno sangat bergantung pada bantuan bawahannya untuk menjaga keseimbangan politik karena ia tidak mampu menegakan kekuasaan dengan cara paksa kepada bawahanya seperti Sultan di negara patrimonial.
Crouch berkeyakinan ritual patrimonialisme dan pembagian kekuasaan tidak dapat menjamin untuk mempertahankan sebuah pemerintahan yang di dalamnya ada kubu yang berseberangan. Runtuhnya rejim Nasakom Sukarno setelah gestapu tahun 1965, tidak ada hubungannya dengan patrimonialisme, melainkan rusaknya keseimbangan politik antara kekuatan PKI dengan kekuatan anti PKI yang diwakili oleh Angkatan Darat.
Crouch melihat ada kesamaan antara rejim Suharto dan Sukarno dalam segi patrimonialis yang memprediksi bahwa rejim Suharto akan mengalami nasib yang sama seperti Sukarno yaitu adanya benturan dari sistem politik modern dan tradisional. Namun ia tidak menegaskan secara blak-blakan bahwa Orde Baru adalah sistem partrimonialis. Sebaliknya ia menyebutkan bahwa pemerintahan baru ini akan menjadi rejim baru yang memiliki kemiripan yang kuat dengan model patrimonialis Weber.
“Pemerintah Orde Baru sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Sehingga memerlukan sistem administrasi yang teratur. Hal itu sangat berbeda dengan sistem Patrimonial tradisional.”
Crouch menegaskan bahwa bencana ekonomi di Pertamina dan Bulog antara 1974-1975, menyebabkan kedudukan Suharto mendapat ancaman dari bawahaannya. Para teknokrat yang berideologi reformis menginginkan adanya rasionalisasi struktur hukum dan administrasi. Hal ini bertentangan dengan para petinggi Militer yang setia dengan Suharto karena ide tersebut menguntungkan bagi paham kapitalisme yang berorientasi pada produksi. Konflik tersebut nampaknya mengganggu stabilitas politik patrimonial Suharto. Oleh karena itu kesimpulannya adalah stabilitas patrimonial gaya lama tidak dapat mempertahankan pemerintahan, sehingga dibutuhkan ancaman (tekanan) pada kelompok yang membangkang penguasa. Dalam hal ini Sistem tidak dapat bertahan hidup atas dasar pilihkasih.
Namun, setelah 1980an prediksi itu tidak dapat dibenarkan karena setelah 20 tahun Crouch menulis artikelnya rejim itu tetap berkuasa. Mungkin jika tidak ada krisis ekonomi di Asia yang berdampak pada penarikan modal asing jangka pendek dari Indonesia, rejim Suharto masih berkuasa. Kemudian ada faktor lain yaitu lemahnya struktur politik pada tahun 1997-1998 yang menyebabkan dia mudah digulingkan. Mundur dari jabatan adalah satu-satunya pilihan Suharto untuk meredam kerusuhan pada Peristiwa  Mei 1998.
Pandangan Crouch tahun 1970an mengenai dinamika politik tradisional yang masih dipertahankan pada politik modern, nampaknya tidak tepat. Karena sekarang ini, organisasi politik yang menggerakan masa (1965), ideologi modern, dan pengaruh pemimpin militer, kini sudah menjadi sistem politik modern dan tidak ada lagi tempat bagi pemerintah patrimonialis. Dan Suharto telah mempertahankan sistem patrimonial hingga tahun 1998.
Kubu yang Berada di Sistem Patrimonial setelah Tahun 1979
Judul artikel Crouch tahun 1979 tidak digunakan untuk menggambarkan pada otoritas pribadi Presiden Suharto atau pemerintahannya. Bahkan, dia tidak berbicara banyak mengenai sosok Suharto dalam membangun pemerintah Orde Baru (sebelum tahun 1979). Jamie mengira bahwa sebelum tahun 1980, Suaharto belum mencolok perhatian dengan sistem patromonialnya. Karena pada tahun 1975-1978 posisinya belum aman. Beberapa tahun kemudian ketika para Perwira Senior sudah dibawah kendalinya, otoritas Suharto mulai tidak tertandingi.
Hal itu disebabkan karena artikel Crouch dibuat setelah 1979, yang fokus pada pergantian struktur birokrasi (changing gears) dengan patrimonialis, mempunyai kekuasaan penuh bahkan pemimpinnya melebihi kuasa seorang Sultan. Setelah tahun 1980-1981, Suharto mempelajari bahaya dari bawahannya seperti yang terjadi tahun 1975-1976 ketika kebijakannya dilawan. Agar tidak terulang kembali, dia mengkebiri kelompok jenderal senior yang tergabung dalam Petisi 50. Kemudian menteri Pendidikannya, Daud Yusuf melalui peraturan pendidikan menerapkan disiplin ketat bagi mahasiswa (tidak boleh mengkritik kebijakan pemerintah). Kemakmuran Indonesia (pertumbuhan ekonomi sehat) dia bagikan untuk mendukung kekuasaannya kepada bawahannya yang loyal tetapi untuk bawahannya yang membangkang, akan dihukum. Kemudian dia menempatkan (memberi keududukan strategis) kepada jenderal sainganya untuk membangun AKMIL dengan pengalaman revolusi sebagai upaya pembangunan taruna militer yang berdaya juang tinggi. Kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjulukinya sebagai “bapak pembangunan” dan mendapat penghargaan dari FAO pada tahun 1984 karena berhasil memajukan Indonesia dengan bersewasembada beras. Meskipun tahun 1970an program “Revolusi Hijau”nya gagal karena serangan wereng dan awal tahun 1981-1982 dan 1986 perekonomian sempat anjlok karena harga minyak dunia turun, tetapi karena kesetiaan para mentri (teknokrat), keadaan ekonomi mampu dipulihkan.
Bagian yang mencolok dari sistem pemerintahan patrimonial yang dibangun tahun 1980an tidak hanya terlihat dalam hubungan loyalitas antara patron dan klien, tetapi juga memastikan bahwa pejabat dan pegawai negeri sipil mempunyai ketergantungan pada patron dengan gaji dan tunjangan rendah. Hal itu terjadi karena sebelum tahun 1978, pemerintah Indonesia memang tidak mempunyai dana untuk menggaji layak mereka. Namun berbeda pada akhir tahun 1980an, ketika Pemerintah Indonesia mempunyai dana besar, sebenarnya mampu membayar mereka dengan gaji yang mewadai tetapi tidak dilakukan. Menurut Jamie, bayaran untuk PNS dibuat kecil supaya ketergantungan kepada Penguasa semakin tinggi.
Politik Suharto mulai tumbuh besar sejak tahun 1980an yang dilandasi pada stabilitas dan peningkatan perekonomian (lepas landas Revolusi Hijau dan pengembangan perindustrian)  yang dapat membantu rejim Suharto untuk menghadapi terpaan krisis. Dengan munculnya perusahaan-perusahaan besar milik “kroni kapitalis” yang sebagian besar dimiliki oleh etnis Sino-Indonesia, mulai terlihat jelas aspek patrimonialisme dalam Orde Baru ketika kroni kapitalis tersebut mempunyai hubungan baik dengan istana. Dominasi mutlak oleh presiden kepada perusahaan-perusahaan tersebut menghasilkan sumberdaya keuangan besar bagi pemerintah dari pendapatan minyak dan pajak yang mengubah sistem pendapatan fiskal negara tahun 1983. Presiden dapat memberi izin, konsesi, dan hak istimewa kepada pengusaha swasta dengan cara disuap. Kontrol politik dan ekonomi menempatkan Suharto ke puncak sistem politik. Hal itu tidak dikenal sebelumnya, bahkan ketika pemerintah kolonial berkuasa, gubernur Belandapun tidak punya kontrol kuat seperti Suharto. Jadi, Suharto memberi upeti kepada bawahannya yang paling setia, baik sipil maupun militer. Siapa yang igin kaya, harus menjadi tangan kanan Suaharto, tetapi jika berani mengkritik harus siap hilang (mungkin dibunuh).Kedekatan konglomerat  kaya dengan istana hanyalah sebagai perlindungan politik atas usahanya. Ketika para pengusaha menjaga jarak dengan istana, usahanya akan terancam. Tidak seperti pada saat era Sukarno ketika sistem pemerintahannya masih pluralisme, era Suharto mampu mempengaruhi ketergantungan jalannya bisnis pada pengusaha kaya dari suku apappun.
Karakter sistem politik patrimonial Suharto mampu mengontrol sampai ke politik tingkat bawah (gubernur, bupati, camat, kepala desa, sampai bawahannya).  Berbeda dengan saat awal ia berkuasa (1966-1967), ia hanya mengontrol pada batasan tertentu (menempatkan saingannya di militer ke posisi yang langsung dapat dikontrolnya). Bahkan dengan UU tahun 1974, dia mampu mengontrol kendali ketat keuangan daerah. UU tersebut meminimalkan peran daerah dalam mengurus dirinya (meminimalkan otonomi daerah), sehingga kecenderungan daerah bergantung pada pemerintah pusat menjadi tinggi. Dengan demikian, Suharto mampu mengontrol pemerintah daerah sampai seperempat abad setelah UU tersebut dibuat.
Adam Schwarz menyebut “gaya kepemimpinan patrimonial Suharto” berkaitan dengan persaingan antara kaum kapitalis Cina dengan pengusaha pribumi.
“Pengusaha Cina (sekuat apapun) tidak menjadi ancaman politik bagi Suharto karena mereka hanya berasal (mewakili) dari etnis minoritas. Tetapi pengusaha besar pribumi yang tidak menggantungkan hidupnya (bantuan) dari pemerintah, akan menjadi cerita yang berbeda. Karena akan menjadi ancaman jika mampu membuat faksi politik” (Schwartz, 1986: 127)
Dengan membandingkan antara sistem politik Indonesia dengan tiga negara tetangga (Thailand, Malaysia dan Filipina) selama beberapa dekade terakhir ini, akan menunjukan mengapa rejim Suharto dapat dicirikan sebagai sistem patrimonial, sedangkan ketiga negara lainya tidak. Sejak 1970, Suharto menggalang dukungan dari bawahannya dan menyingkirkan rival politiknya sehingga kedudukannya tidak terancam. Sedangkan pemimpin ketiga negara tersebut masih mempunyai rival politik di dalam pemerintahannya yang dapat mengancam kedudukan penguasa. Seperti halnya Mahatir Muhammad, meskipun pemerintahannya berumur panjang, tetapi ia mendapat tantangan serius dari rival politiknya (Anwar Ibrahim) di Organisasi Nasional Perserikatan Bangsa Melayu (United Malays National Organisation: UMNO). Sedangkan di Thailand, perdana menteri mampu membangun relasi antara partainya dengan pengusaha Sino-Thailand dengan menempatkan pengusaha Sino-Thai ke dalam pemerintahan, berbeda dengan Suharto melalui patronase dia membangun relasi dengan konglomerat Sino-Indo tanpa dimasukan ke pemerintahannya. Itu yang membedakan antara dominasi (ketat) politik Suharto dengan dominasi (longgar) politik penguasa Thailand dan Malaysia. Berbeda dengan Filipina sejak awal kemerdekaan, di negara tersebut terdapat 200 keluarga yang mempunyai pengaruh kuat dalam dunia perpolitikan. Saat menjadi presiden, Marcos tidak dapat menentang langsung kepentingan-kepentingan mereka meskipun saat diberlakukannya Darurat Militer 1972, tetapi dalam usaha mempertahankan kedudukannya itu, ia harus menampung dan memanipulasi kepentingan para pemilik tanah. Meskipun rejim Marcos lebih korup dan diktaktor daripada Suharto, pertanyaan mengenai patronase tidak dapat digambarkan sama persis dengan patrimonialisme.
Sejak Perang Dunia II, terdapat hal yang mencolok dalam pembangunan struktur sosial-politik dan ekonomi di negara Thailand, Malaysia dan Indonesia, yaitu terdapat pemisah antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi di negara-negara itu. Begitu juga di Singapura meskipun berbeda karena kekuatan ekonomi lebih didominasi oleh pengusaha etnis Cina, sehingga mereka dapat memberi pengaruh pada politik Singapura (ada persamaan dengan Thailand sejak tahun 1980- dimana Sino-Thai banyak mendapat kedudukan di kementrian daripada orang-orang asli Thailand sendiri). Meskipun situasi tersebut dapat mengantarkan ke sistem politik patrimonial atau sultanis,  hal itu tidak terjadi di Malaysia dan Thailand karena di kedua negara tersebut, etnis lokal masih menempati piramida politik yang lebih tinggi daripada minoritas etnis Cina. Menurut Jamie patronase akan menjadi bagian dari sistem pemerintahan Thailand, Malaysia dan Indonesia, khususnya Indonesia, dimana kelas pribumi akan mencari ide untuk memainkan kedudukannya dengan dasar hubungan patron-klien.
Apakah sistem patrimonial Orde Baru Suharto dapat berkontribusi untuk memperthankan kedudukannya hingga waktu lama? Atau sebaliknya, sebagai penyebab runtuhnya kekuasaan pada tahun 1998? Atau menjadi penyebab kedua-duannya?.
Menurut Jamie, patrimonial berkontribusi untuk mempertahankan loyalitas anak buah Suharto tanpa cara kekerasan. Tidak ada elit politik oposisi yang berani kepada Suharto sebelum krisis 1998. Selain itu yang membuat pemerintahannya dapat berkuasa lama adalah kecakapan dia dalam mestabilkan politik Indonesia setelah terjadi kekacauan politik dan ekonomi di akhir era Sukarno. Bahkan Suharto mampu membawa kemakmuran kepada masyarakat, di mana hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1990-an. Kemakmuran itu mampu menciptakan kelas menengah di perkotaan yang menuntut adanya demokrasi. Kebebasan berpendapat yang berlangsung tahun 1991-1994 berakhir dengan pelarangan majalah Tempo dan Editor, setelah itu masyarakat tidak ada yang berani mengambil risiko untuk mengkritiknya.
Apa bisa karakter patrimonial menyebabkan rejim Suharto runtuh tahun 1998?. Menurut Jamie hal itu sangat mungkin karena pada tahun itu Suharto mengankat anak-anaknya di pemerintahannya, tetapi itu bukan sebagai penyebab utamanya. Yang menjadi penyebab utamanya adalah kekecewaan masyarakat karena bencana krisis moneter yang melanda Indonesia. Kekecewaan masyarakat tersebut kemudian berubah menjadi gelombang besar demo penolakan terhadap dipilihnya kembali Suharto sebegai presiden hingga puncaknya pada bulan 12 Mei 1998, yaitu tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Setelah kerusuhan itu, otoritas dan legitimasi Suharto hancur, sehingga tidak ada kaitan langsung antara patrimonialisme dengan hancurnya rejim Suharto.
Kesimpulan
Penjelasan Crouch mengenai karakteristik patrimonial Orde Baru banyak memberi pengaruh pada penulisan tentang studi pembangunan negara-negara berkembang era 1960-an. Pengaruh tersebut dapat ditemukan pada tulisan Herb Feith dimana tulisannya banyak kehilangan daya tarik teoritis. Sehingga ada kekosongan teoritis yang menunggu untuk diisi. Mortimer sebelumnya juga telah membuat sebuah kasus yang kuat untuk membawa kembali “teori kelas” dalam menjelaskan dinamika sosial politik Indonesia pertengahan tahun 1960-an. Tetapi pendekatan kasusnnya tersebut tidak dapat diinterpretasikan degan model teori ketergantungan dan neo-kolonial setelah modal transnasional masuk ke Indonesia tahun 1970-an yang menjadi dasar struktur kekuasaan Suharto (Mortimer, 1973: 54-68, Mortimer, 1982). Benedict Anderson kemudian mengubah pendekatan di atas dengan “membawa negara kembali pada beberapa tahun terakhir” dengan menekankan pada otonomi kelas tertentu (Anderson, 1983). Menurut Jamie, penafsiran otoritas Pemerintah Orde Baru tahun 1980-an dengan pendekatan struktur alternatif dan fungsional juga tidak mampu menjelaskan kekuasaan Suharto selama dekade terakhir kepemimpinannya. Tetapi meskipun begitu, Crouch telah memberi pengetahuan yang luas tentang dasar rejim Suharto.



Daftar Pustaka
Aspinall, Edward., dkk. 2010.  Soeharto New Order and Its Legacy; Essays in Honour of  Harold Crouch. Camberra: ANU E press.
Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni  (Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto). Yogyakarta: INSIST.

No comments

Powered by Blogger.