Tengaran : Masyarakat dan Mata Airnya
Tengaran adalah salah satu nama Kecamatan yang berada di bawah kontrol Pemerintah Kabupaten
Semarang. Sejak jaman dahulu daerah ini terkenal dengan landmark-nya yakni mata air Senjoyo (Sanjaya ?). Selain Senjoyo ada juga Kalitanggi, yaitu hulu sungai Serang yang berpangkal di Lereng Gunung Merbabu. Sehubungan dengan adanya landmark tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah mulai kapan masyarakat mendiami daerah ini?
Tengaran sebagai daerah sumber air setidaknya
telah tercatat dalam babad Tanah Jawa. Di dalam babad tersebut, Sejoyo diyakini sebagai
tempat di mana Karebet berlatih memperdalam ilmu kanuragannya. Karena kedisiplinannya dan keuletannya akhirnya Karebet atau yang dikenal dengan Jaka Tingkir itu berhasil menjadi petinggi kerajaan Islam terbesar di
Tanah Jawa setelah berhasil menggulingkan tahta Adipati Jipang Arya
Penangsang melalui kekuatan militer. Sesaat setelah menjadi Raja Demak karena alasan kosmis dan geopolitik akhirnya Karebet memindahkan
pusat kerajaannya dari pesisir ke pedalaman Pajang. Sebagai dampak
pindahnya ibukota ke pedalaman terhadap daerah Tengaran, maka daerah yang mulanya sepi ini karena banyak dilalui pedagang yang hendak menuju ibukota maka kian hari penduduknya semakin ramai.
Meskipun
kurang memiliki bukti kuat terkait bermukimnya penduduk karena faktor melimpahnya air, setidaknya penemuan Candi di Klero
telah menujukkan sedikit jawabannya. Berdirinya bangunan suci agama
Hindu
yang terkenal dengan nama Candi Tengaran/Candi Klero tersebut sangat
dipengaruhi oleh banyaknya material yang tersedia di sekitarnya. Konon,
bahan material Candi tersebut didapat dari
Kalitanggi. Logis memang sebab di sepanjang aliran Kalitanggi batu
sangat melimpah dengan kualitas kekerasan yang baik. Sehingga tidak
mengherankan bila masyarakat saat itu mendirikan candi di daerah
ini
Menjawab sejak kapan masyarakat mulai menetatp di daerah Tengaran belum ada penelitian yang berhasil mengungkapnya. Namun bila kita menengok candi Tengaran diperkirakan masyarakat
sudah mendiami daerah ini sejak abad ke IX-X. Sedangkan bila kita menengok angka
yang lebih tua, maka angka tahun diperoleh dari prasasti Plumpungan yang menyebutkan disebuah
kawasan Salatiga sudah berdiri sebuah desa Hampran pada 750
masehi. Jika kita kritisi terkait letak prasasti Plumpungan dengan Candi Klero, maka
kita akan mendapati jarak tidak kurang dari 7 KM, sehingga sangat dimungkinkan
antara masyarakat kedua wilayah ini sudah saling berinteraksi yang artinya bahwa masyarakat sudah menghuni daerah Tengaran sejaman dengan tahun Plumpungan.
Baru-baru
ini juga diperoleh bukti yang menunjukkan angka tahun yang lebih tua dari ditemukannya Lumpang
Megalitikum di dukuh Genengsari, desa Ngargosari, Kecamatan Ampel. Posisi Kecamatan Ampel berbatasan langsung dengan Kecamatan Tengaran yang sekaligus menjadi batas Kabupaten Boyolali dengan Semarang, sehingga bila kita merujuk pada pendekatan geografis ini maka indikasi adanya interaksi masyarakat Tengaran dengan masyarakat daerah Ampel diambil dari tahun yang paling muda sudah berlangsung sejak tahun 100 SM.
Penemuan lumpang jaman megalitikum mengarahkan perhatian kita pada artefak lumpang yang juga menjadi salah satu
ikon dari Candi Klero. Entah kebetulan atau tidak bentuknya mirip namun beda ukuran saja. Dari penemuan tersebut setidaknya bisa kita simpulkan sementara bahwa masyarakat Tengaran dahulunya
adalah petani, sehingga bagi petani mata air menjadi barang yang berharga bagi mereka. Kemudian dari tinggalan bangunan Candi kita juga dapat mengetahui mentalitas masyarakat Tengaran sejatinya yaitu masyarakat yang religius dan dari temuan lumpang di Ampel kita bisa memperkirakan bahwa masyarakatsudah menetap di Tengaran sejak tahun 100 SM.
Post a Comment