Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Sejarah Jalan Tol Ampel Boyolali


Jauh hari sebelum Pemerintah berencana membuka jalur tol di kecamatan Ampel yang menghubungkan dua kota yakni Semarang dan Solo (2014-?), ternyata dahulu jalan tol sudah ada di daerah ini sebelum tahun 1830. Sejarahnya pada waktu itu gerbang tol Ampel dikelola oleh Pemerintah Belanda untuk menarik pajak barang bawaan yang akan diperjual belikan di daerah Surakarta maupun Semarang. Namun karena terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh Pemerintah Belanda, maka akhirnya mereka menjual hak pengelolaan (pacht)-tolnya kepada orang-orang Cina. Otomatis sejak Pemerintah Belanda menjual pachtnya pengelola gerbang tol jatuh ke tangan orang Cina.
Menurut laporan Nahuys van Burgst tertanggal 29 Mei 1830, untuk tarif retribusi masuk di gerbang tol ini untuk sepikul beras (61,175 kg) adalah 44 sen. Suatu harga yang tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain misalnya Ponorogo Jawa Timur sebesar 15 sen atau di Pacitan Jawa Timur sebesar 8 sen. Mahalnya tarif masuk tol di daerah ini dikarenakan oleh tingginya tingkat kemakmuran ekonomi penduduk yakni melebihi rata-rata penduduk daerah lain, sehingga pajak yang dikenakannyapun juga lebih tinggi. Tarif tersebut merupakan harga normal (untuk Orang Jawa), sedangkan untuk tarif  Pedagang Cina nominalnya jauh lebih tinggi tiga kali lipatnya.
Pada umumnya meskipun Orang Cina diwajibkann membayar dengan harga khusus namun dalam praktiknya tidaklah seperti demikian. Penjaga tol yang sama-sama sebangsa dengan mereka sering bermain kongkalikong untuk meringankan biaya masuk, sehingga pada gilirannya membayar, tarif yang mereka bayar tersebut tidak sesuai ketentuan yang dibuat Pemerintah Belanda.
Berbeda dengan Masyarakat petani Jawa yang umumnya buta aksara, mereka sangat dirugikan akibat adanya pungutan di gerbang tol itu. Seorang pejabat Belanda menggambarkan bagaimana Petani Jawa wajib menunggu selama berjam-jam sebelum barang bawaan mereka diperiksa. Kendati sudah menunggu lama, saat diperiksa tidak jarang Bandar tol menggertak sambil mengancam agar mereka mau membayar tarif dengan presentase yang lebih tinggi daripada ketentuan. Apabila situasi sudah mulai riuh tak terkendali para petani hanya bisa pasrah dengan memohon “Ampun Tuwan, keluarga saya miskin, tuwan!”.
Namun permohonan tetaplah permohonan. Mereka tetap diwajibkannya untuk membayar dan apabila menolak maka barang yang dibawanya itu akan disita oleh para pachter...
Rujukan Pustaka: Carey, Peter. 2008. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825. Jakarta: Komunitas Bambu.


No comments

Powered by Blogger.