Lahirnya Kapitalis Bumiputera - Agus Muhsin Dasaad
Latar Belakang
Sudah
banyak hasil penelitian yang menyajikan dampak kolonial Jepang terhadap perekonomian
di wilayah Asia Timur. Namun sedikit diketahui tentang dampak kolonial Jepang
di Koloni Barat misal: Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Indonesia.Termasuk dampak yang mereka bawa yaitu lahirnya para kapitalis Bumiputera.
Adat Kewirausahaan Masa Kolonial Belanda
Adat Kewirausahaan Masa Kolonial Belanda
Pembagian
kelas perekonomian masyarakat di pulau Jawa pada abad ke-19 dapat digambarkan
dalam piramida ekonomi bertingkat berdasarkan peranan etnis. Lapisan teratas
yang identik dengan ekonomi padat modal diduduki oleh orang-orang Belanda. Di
lapisan berikutnya ditempati oleh orang-orang Cina dan berangsur ke tingkat
menengah lebih rendah oleh orang Arab dan India. Sedangkan dilapisan paling
bawah diduduki Pribumi yang berkeja dan mencari nafkah pada lahan pertaniam,
perdagangan kecil dan produksi kerajinan. Posisi Pribumi pada dasar piramida
perekonomian tersebut bukan terkait dengan dugaan kurangnya “semangat kapitalis”
Pribumi dalam mengembangkan perekonomian pedesaan tetapi lebih pada
keterpihakan Pemerintah Belanda yang menyerahkan harga pasar kepada orang-orang
Cina.
Hingga abad ke-20 saat diberlakukan kebijakan etis, monopoli pada perdagangan tersebut masih terus berjalan. Meskipun begitu masyarakat Pribumi masih mampu menemukan celah untuk mengembangkan modal mereka. Pedagang pribumi dari Kudus, pedagang batik dari Solo dan pedagang kaya dari Kota Gede Yogyakarta berekspansi luas ke daerah Banyumas. Bahkan pedagang kain dari Bawean mampu berekspansi sampai Batavia, Semarang dan membangun relasi perdagangan dengan kamar dagang Eropa di tiga pelabuhan utama di Jawa. Meskipun para pedagang Pribumi berhasil mengembangkan modal dengan baik, namun kenyataannya masih diremehkan oleh Pejabat Belanda yang menganggap mereka sebagai kelompok bisnis kapitalis yang gagal. Ada dua hambatan yang mempengaruhi pandangan itu yaitu penekanan pada hambatan budaya dan kekangan kelembagaan.
Hingga abad ke-20 saat diberlakukan kebijakan etis, monopoli pada perdagangan tersebut masih terus berjalan. Meskipun begitu masyarakat Pribumi masih mampu menemukan celah untuk mengembangkan modal mereka. Pedagang pribumi dari Kudus, pedagang batik dari Solo dan pedagang kaya dari Kota Gede Yogyakarta berekspansi luas ke daerah Banyumas. Bahkan pedagang kain dari Bawean mampu berekspansi sampai Batavia, Semarang dan membangun relasi perdagangan dengan kamar dagang Eropa di tiga pelabuhan utama di Jawa. Meskipun para pedagang Pribumi berhasil mengembangkan modal dengan baik, namun kenyataannya masih diremehkan oleh Pejabat Belanda yang menganggap mereka sebagai kelompok bisnis kapitalis yang gagal. Ada dua hambatan yang mempengaruhi pandangan itu yaitu penekanan pada hambatan budaya dan kekangan kelembagaan.
Menurut
J.H. Boeke perbedaan perspektif kapitalis disebabkan oleh perbedaan kebutuhan
sosial dan ekonomi antara Pribumi dan Barat. Perilaku ekonomi orang Barat
dipandu untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi sedangkan perilaku ekonomi
Pribumi diselaraskan pada kebutuhan sosial. Akibatnya masyarakat Pribumi tidak menghendaki
persaingan antar sesamanya melainkan berusaha saling berbagi sumber daya (Alexnder,
1991:a370) dengan begitu perekonomian tradisional yang dikembangkannya itu tidak
lebih menguntungkan dalam segi pengembangan modal apalagi dibarengi dengan masa
di mana ekonomi lokal sudah terintegrasi dengan perekonomian dunia. Pada
kondisi seperti itu pengusaha pribumi dihadapkan pada kompetisi dagang dengan
pendatang Cina yang lebih siap menghadapi perekonomian dunia. Dampaknya
pengusaha pribumi tidak tampil menempati pucuk piramida perekonomian masa
kolonial.
Karakter
Perekonomian Jepang di Indonesia
Sejak
1880, daerah Kobe-Osaka berubah menjadi mesin penggerak perekonomian Jepang.
Daerah tersebut telah tumbuh menjadi pusat industri yang mempengaruhi pola
perdagangan dan arus komoditas di wilayah Asia. Jepang sebagai negara kapitalis
baru membawa semangat kewirausahaan mereka ke negara-negara koloninya. Semangat
itu dapat dilihat dari kemajuan perdagangan di negara Taiwan dan Korea setelah
1895. Pesatnya perdagangan di kedua negara tersebut tidak terlepas dari usaha
pengembangan sumber daya manusia oleh Pemerintah Jepang. Dalam kaitanya dengan
pengembangan SDM tersebut pengusaha pribumi diberikan pelatihan ektensif di
perusahaan Jepang kemudian diberi modal untuk memulai usaha di wilayahnya
sendiri sebagai upaya Jepang membawa cahaya baru untuk pembentukan sejarah
bisnis di bekas koloni Jepang.
Keterlibatan
Jepang dalam membangun perekonomian di kawasan Asia Tenggara khusunya Indonesia
dimulai pada akhir abad ke sembilan belas. Pada tahun 1899 migran dari Jepang
diberi status kebangsaan setingkat bangsa Eropa yang memungkinkan bagi mereka untuk
melakukan perjalanan dan membangun perusahaan di semua sektor yang menawarkan
keuntungan bagi pemerintah. Sebelumnya, hubungan perekonomian antara
Hindia-Belanda (Indonesia) dan Jepang dibangun oleh sebuah jejaring perdagangan
lintas negara bernama China Overseas Networks. Namun pada tahun 1905, beberapa
cabang perusahaan Jepang sudah berdiri di Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu
kemudian mengirim agen-agennya ke seluruh penjuru negeri ini. Bersamaan dengan
didirikannya Sarekat Islam (SI) tahun 1912,pemimpin SI lokal mulai mendekati
agen-agen perusahaan Jepang dan para pemilik toko kecil untuk memotong jaringan
perdagangan Cina. Usaha tersebut berjalan dengan baik utamanya di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Krisis
yang melanda Jepang tahun 1927 memunculkan kemiskinan yang merajalela di negeri
tersebut. Krisis ekonomi memaksa banyak anak muda dari pedesaan keluar dari
negerinya untuk mencari penghasilan yang lebih layak di Nusantara. Hingga tahun
1930, jumlah migran laki-laki dari negeri Jepang di koloni Belanda ini mencapi
4.598 yang sebelumnya pada 1927 hanya 2.061. Dengan semangat wirausaha, pemuda
Jepang mulai membuka usaha dengan bergerak di bidang ritel dan membuka toko.
Pada periode yang sama perusahaan distribusi Jepang Zaibatsu menargetkan
perdagangan tekstil di Hindia Belanda. Sebagai pendatang baru mereka mulai
bersaing dengan Pasar kain Cina. Strategi yang dipakai perusahaan ini adalah
masuk ke dalam sistem perekonomian pedesaan yang memungkinkan mereka menghimpun
pengetahuan tentang kredit pedesaan sehingga mereka mampu memupuk kerjasama
dengan pribumi.
Kerjasama
Perekonomian Jepang dan Pribumi
Pada
bulan Desember 1931 Konggres Koperasi Indonesia yang diselenggarakan oleh
Indonesische Studieclub pimpinan Sutomo berhasil membuat kesepakatan untuk
menjalin hubungan bisnis dengan produsen dan kamar dagang Jepang. Kesepakatan itu
merupakan titik awal usaha bangsa Pribumi untuk menghilangkan monopoli
perdagangan Cina di Nusantara. Ketika Jepang mengivasi Mancuria muncul kampanye
anti Jepang yang digelorakan oleh pedagang Cina. Krisis Mancuria tersebut
berdampak pada kondisi perkonomian Jepang yang semakin memburuk akibat produk
dalam negerinya tidak dapat di salurkan ke konsumen yang biasanya dilakukan
oleh pedagang Cina. Melihat situasi tersebut Agoes Moesin Dasaad, Djohan Soetan
Soelaiman, Djohor Soetan Perpatih, Ajoeb Rais dan Abdul Ghany Aziz memiliki
kesempatan untuk menyingkirkan monopoli Pasar kain Jepang dari tangan bangsa
Cina. Hasilnya pada saat ini pengusaha Pribumi mampu menguasai langsung keran impor
kain produk Jepang ke Sumatera.
Posisi
Kaum Kapitalis Pribumi Pra Pendudukan Jepang
Pada tahun 1941 Dasaad membeli pabrik
tekstil Kantjil Mas dari pengusaha Jerman di Bangil Jawa Timur. Dia bekerjasama
dengan Abdul Ghany Aziz mengembangkan perusahaan tersebut dengan kredit yang
disediakan oleh Javansche Bank. Pembelian Kantjil Mas sangat dimugkinkan sebab
saat itu pejabat Departemen Urusan
Ekonomi, Ir. Raden Mas Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo berhasil meyakinakan
secara pribadi Presiden Direktur Javaasche Bank Mr. GG van Buttingha Wichers
untuk mengucurkan kredit tersebut. Dalam pengembangan modal itu, di tahun yang
sama Rahman Tamin membeli alat tenun buatan Jepang untuk dipakai di pabrik
tekstil milik Dasaad tersebut. Dari usaha yang dilakukan Dasaad tersebut
setidaknya pengusaha Pribumi semacam Dasaad mampu menyaingi kepentingan bisnis
Belanda dan Cina di Nusantara sehingga pada malam invasi militer Jepang ke
Malaya kaum kapitalis pribumi telah memiliki daya saing perekonomian yang kuat
di Nusantara.
Posisi
Kapitalis Pribumi Masa Pendudukan Jepang
Ketika
Jepang menginvasi Hindia Belanda seketika itu pula lembaga perekonomian dan
perusahaan-perusahaan Belanda jatuh ke tangan pemerintah Jepang. Perdagangan
utama di Hindia Belanda kemudian dikuasai oleh Zaibatsu. Zaibatsu pada umumnya
hanya memonopoli barang-barang yang mempunyai nilai strategis guna mendukung kemenangan
Jepang atas perang Asia Pasifik. Barang-barang tersebut meliputi minyak, batu
bara, kopra, timah, karet dan gula. Sedangkan industri produksi pangan
dibiarkan jatuh ke tangan pengusaha Pribumi, Cina, Arab dan India. Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh calon pengusaha Indonesia untuk bergerak naik ke posisi yang
sebelumnya tertutup bagi mereka. Sebagai contohnya adalah T.D. Pardede yang berhasil
memonopoli gula dan garam dari Tapanuli Utara untuk dipasarkan ke Siantar dan
Medan. Berkat usahanya tersebut dalam waktu tiga tahun dia sudah menjadi orang
terkaya di Tapanuli.
Pada
bulan Juni 1942 Jepang mendirikan Kigyo Tosei Kai (Dewan Kontrol Tekstil) untuk
mengawasi pembelian, penjualan dan penyimpanan barang tenun di seluruh Jawa
Timur. Dasaad ditunjuk sebagai manajer. Hasil rapat dewan direksi memutuskan bahwa pabrik tenun masih tetap
buka dan bisa bertindak menjadi grosir. Dua bulan kemudian Dasaad membuka
kantor pusat Kantjil Mas di Jakarta dimana pembukaan itu dihadiri oleh Ir
Sukarno yang berhasil dibawa pulang dari Padang ke Jawa oleh Rahman Tamin
dengan uang tebusan sebanyak 25.000 Gulden (Asia Raya, 11 September 1942). Selain
bisnis tekstil Dasaad juga terlibat dalam teater Warnasari yang menjadi kendaraan
propaganda Jepang sebagai bagian dari
Perserikatan Umum Sandiwara Jawa. Secara tersembunyi Warnasari bergerak
untuk menyediakan wanita Pribumi maupun Belanda untuk keperluan militer Jepang.
Sember Belanda menyebutkan bahwa Warnasari merupakan kelambu penutup kegiatan
yang berkaitan dengan prostitusi.
Pada
bulan April 1944 menjelang Perang Asia-Pasifik berakhir, Pemerintah Jepang di
Jawa mengumumkan rencana penataan ekonomi baru. Rencana ini terkait dengan
upaya Jepang untuk meniadakan pemerasan terhadap bangsa Asia yang dilakukan
oleh kekuatan Kolonial Barat. Rencana ini dikenal dengan “Oriental Morality”
yang mencakup elemen dasar seperti kesetiaan, kerjasama dan pelayanan umum.
Sebenarnya pengusaha pribumi tidak mempercayai administarsi Jepang yang
dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi. Tetapi karena mereka juga tidak
mau kembali pada sistem perkonomian sebelum masa perang dimana perekonomian
dimonopoli oleh Belanda dan Cina, akhrinya mereka mau mengikuti aturan main
Pemerintah Jepang.
Pada
tanggal 25 April 1945, Dasaad tergabung dalam Komite Investigasi untuk
Perekonomian Rakyat. Forum tersebut didominasi oleh pebisnis Indonesia tetapi
ada pula didalamnya orang Cina dan Arab. Dasaad bertemu dengan banyak pengusaha
dan politikus di Bandung pada bulan Juni membicarakan unutk mendiikan
organisasi pebisnis Indonesia. Pada pertemuan itu menghasilkan sebuah kegiatan
pertemuan tahunan antar pebisnis bernama Permoesjawaratan Kaoem Ekonomi Indonesia
Seloeroeh Jawa. Pertemuan itu diselenggarakan di Bandung pada 20 hingga 24 Juli
1945, dimana salah satu dari banyak pembicaranya adalah Sukarno. Hingga
akhirnya Jepang hengkang dari Indonesia, Agoes Moesin Dasaad banyak mendapat
keberuntungan. Pada bulan September 1945 dia mendonasikan dana sebesar 100.000
Gulden kepada Sukarno sebagai isyarakat dukungannya pada pembentukan negara
bernama Republik Indonesia untuk melipatgandakan keberuntungannya.
Referensi
Alexander,
J. & P. Akexander. 1991. Protecting
Peasants from Capitalism: The Subordination
of Javanese Traders by The Colonial State (Comparative Studies in Society and History). Amsterdam:
Royal Tropical Institute.
Perter Post. The
formation of the pribumi business elite in Indonesia, 1930-1940s. KITLV Journal.
Arsip: Dokumen
Sejaman
Asia
Raya, 11 September 1942- Atas perintah Agus Musin Dasaad, Rahman Tamin berhasil memboyong Sukarno yang sedang
diasingkan di Sumatera Barat ke Jawa
dengan uang tebusan 25.000 guilder (rupiah
Belanda)
27 Maret 1943 – Perusahaan Alsaid
bin Awad Martak merupakan perusahaan tekstil terbesar
di Jawa yang dimiliki oleh bangsa non Eropa.
Post a Comment