Tantangan Menjelang 100 Tahun Indonesia Merdeka - Meraih Ketahanan Pangan
Pada tanggal 17 Agustus nanti, Republik
Indonesia resmi berumur 70 tahun. Artinya setelah 70 tahun negeri ini merdeka, masih banyak tugas berat yang harus dituntaskan kedepannya, mulai dari krisis integrasi hingga masalah pembangunan. Jika dilihat dari sisi pembangunan fisik saat ini, Indonesia mengalami banyak kemajuan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun, terbayangkah
kita melihat wajah Indonesia ketika merayakan ulang tahunnya yang ke seratus (1945-2045)? Dan taukah permasalahan berat yang bakalan dihadapinya
di tahun emasnya itu?
Robert Malthus pada abad ke-18
mengatakan bahwa ledakan penduduk akan berjalan menurut deret ukur sedangkan
ketersediaan pangan berjalan menurut deret hitung. Dari asumsinya dapat kita ambil
kesimpulan bahwa jumlah populasi dunia akan mengalahkan jumlah pasokan pangan
bagi tiap individu yang menyebabkan semakin sedikitnya jumlah makanan yang
dikonsumsi individu dari tahun ke tahun. Lantas, apa artinya bagi Republik ini?
Menurut perhitungan di tahun 2045 planet bumi diperkirakan dihuni sebanyak 9 miliar jiwa. Di tahun yang sama penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 450 juta jiwa dengan rasio pertumbuhan rata-rata 1,49 persen per tahun, yang berarti 1 dari 20 penduduk dunia berasal dari Indonesia. Padahal semakin hari luas lahan pertanian pangan Indonesia semakin menyusut mencapai lebih dari 200.000 hektar pertahunnya. Ini artinya penduduk Republik saat ini mulai terancam akan adanya krisis pangan akibat semakin banyaknya mulut yang harus diberi makan.
Bila
dibandingkan dengan negara lain luas lahan pertanian nasional saat ini sekitar
53,7 juta hektar atau 28 persen dari luas daratan Indonesia (191 juta hektar).
Masih terlalu kecil dibanding Amerika Serikat (175 juta hektar), India (161
juta hektar), dan China (143 juta hektar). Terbatasnya lahan pertanian masih
diperburuk dengan alih-guna lahan pertanian menjadi perkebunan, perumahan, dan
industri. Di Jawa misalnya, sebagai salah satu lumbung pangan nasional laju
konversi lahan dalam rentang 2007-2010 mencapai rata-rata 200.000 hektar
pertahun. Lahan yang dikonversi tersebut meliputi sawah beririgasi teknis,
non-teknis dan lahan kering. Akibat dari konversi lahan tersebut, kini
Indonesia kehilangan produksi padi 506.000 ton pertahun.
Sebagai
konsumen beras terbesar di dunia, rata-rata konsumsi beras mencapai 135
kilogram per kapita per tahun. Lahan sawah di Indonesia (2011) hanya 8,06 juta hektar.
Sedangkan konsumsi beras nasional pertahun 38,49 juta ton. Sehingga diperlukan
luas lahan panen sebesar 13,38 juta hektar. Namun yang terjadi luas lahan
semakin menurun. Menurut Kementrian Pertanian, diperkirakan defisit luas panen
2020 mencapai 2,21 juta hektar dan membengkak jadi 3,75 juta hektar pada 2025
dan 5,38 juta hektar pada 2030. Akibatnya sebagai negara agraris, Indonesia
akan semakin agresif melahap pangan produk impor dari tahun ke tahun.
Potret Petani Kita |
Menjadi negara agraris seharusnya penduduk Indonesia mayoritas berprofesi sebagai tani.
Namun trend profesi tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun. Menurut survei yang
dilakukan BPS tahun 2011 angka pelaku sektor pertanian produktif sebesar 47,6
persen disumbang dari petani berusia lebih dari 50 tahun. Ini artinya profesi
petani sudah tidak diminati lagi oleh generasi muda. Hal inilah yang akan
menjadi suatu ancaman serius terhadap kedaulatan pangan Indonesia. Menurunya minat
berprofesi sebagai petani dikalangan muda selain disebabkan oleh perburuan
rente industri juga disebabkan frustasi pelaku sektor pertanian yang selalu
mengalami involusi. Sehingga banyak petani berbondong-bondong meninggalkan
sawah ladangnya karena dianggap sudah tidak menjanjikan lagi untuk menghidupi
mereka.
Jika dirunut akar persoalannya, ketidaksejahteraan petani sebenarnya bersumber pada masalah yang asasi yaitu penguasaan
tanah. Tanah adalah sumber agraria yang paling pokok. Sehingga mustahil bila
sektor pertanian dapat berkembang bila petaninya adalah petani gurem dengan
penguasaan tanah kurang dari 0,2 hektar per kepala keluarga. Berkaitan dengan peningkatan jumlah petani
gurem di Indonesia berarti terjadi perluasan kemiskinan (involusi lahan pertanian). Hal ini diperparah lagi dengan
adanya sindikat perusahaan multinasional bernama World Economic Forum Partnership on
Indonesia Sustainable Agriculture yang seenaknya mempermainkan harga kebutuhan
pertanian. Tentunya dengan mengguritanya koorporasi multinasional tersebut maka imbasnya semakin mencekik urat leher
petani gurem kita. Pertanyaannya adalah apakah mungkin Indonesia meraih ketahanan
pangan dengan menyerahkan pemenuhan kebutuhan pangan kepada petani miskin di
tahun emasnya (2045) kelak?
“Pangan adalah soal hidup matinya suatu
bangsa”
(Soekarno, 27 April 1952)
Post a Comment