KRING-KRING SUARA BELL PIT ONTHEL
Siapa
yang tidak kenal dengan sepeda onthel?. Yup, Sepeda Onthel atau Kebo adalah sepeda
kuno yang pernah berjaya di Era Kolonial. Ciri khas sepeda ini ada pada framenya yang
bongsor dengan ban standar ukuran 28 inchi. Dahulu, sepeda ini hanya dimiliki
oleh para bangsawan, pengusaha perkebunan dan tentara kolonial saja. Selain
praktis dipakai untuk menunjang aktifitas sehari-hari, sepeda ini juga
digunakan untuk kepentingan politik kolonial. Mengingat harganya yang selangit,
hanya segelintir penduduk pribumi saja yang mampu membelinya. Hal itu sangat realistis
mengingat kekayaan negeri kita ini dikuras habis-habisan oleh para penjajah
tanpa disisakan untuk kesejahteraan rakyat. Hasilnya kemiskinan, kelaparan dan
penyakit menyebar rata ke seluruh Indonesia.
Di
era 70-an, saat kendaraan bermesin dari Jepang mulai masuk membanjiri pasar
Indonesia, sepeda onthel kian tergeser dan menguap kehilangan popularitas. Oleh
para pemiliknya, kemudian mereka dikandangkan di kandang Sapi atau Kebo. Kemungkinan
besar karena saat itu banyak populasi mereka yang menghuni kandang Kebo,
namanya mulai berubah, dari nama beken rijwiel dan fiets menjadi pit Kebo.
Di era Reformasi, moda transportasi kolonial ini mulai dilepas liarkan ke jalanan oleh para pecintanya. Akibat anjloknya harga sepeda tua di tahun 70-an, para pemilik Kebo ogah merawatnya. Sehingga setelah dibebaskan dari kandang, banyak temuan diantara mereka bernasib memprihatinkan mulai dari lapuk dimakan usia hingga organnya tidak utuh lagi karena pernah dijagal oleh tukang rongsok.
Dentingan perubahan jaman masih tetap berlanjut, Kebo yang pernah terlupakan, saat ini semakin digandrungi peminatnya. Mulai dari
kalangan Tua-Muda, Kaya-Miskin beramai-ramai ingin bernostalgia dan berjuang memilikinya.
Bertambahnya kepopuleran Kebo tidak sebanding dengan kuantitas Kebo di pasaran yang
kian hari semakin sedikit. Akibatnya harga
sepeda dari tahun ke tahun kian merangkak naik yang bahkan tidak mampu lagi
dinalar oleh sebagian orang yang berpikiran waras. Ya, kenaikan harga itu tidak
lain karena keunikannya, baik keunikan Sejarahnya maupun keunikan fisik dari
kebo itu sendiri yang menyebabkan para pecintanya harus rela merogoh rupiah
dengan jumlah yang fantastis untuk memenuhi kepuasannya.
Di
jaman edan yang konon katanya bagi siapapun yang tidak ngikut ngedan bakalan tidak kebagian ini, Kebo
mulai tampil di pentas perpolitikan Indonesia untuk menyerukan keadilan. Fenomena menarik muncul di
tahun 2015 bersamaan dengan memanasnya konflik antara KPK-Polri. Kebo yang dulu
identik dengan feodalisme dan kolonialisme berubah wajah menjadi pendukung demokrasi dan keadilan. Kasusnya adalah saat penggelandangan kebo oleh para majikannya dari Jember menuju ke markas
KPK. Merkea berjalan sepanjang ribuan kilo meter tidak lain hanya untuk membantu majikanya menyuarakan dukungan penuh kepada KPK agar selamat dari penghancuran sistemik oleh oknum-oknum
jahat berwatak angkara murka. Dengan menyinggahi kota demi kota akhirnya suara rakyat itu akhirnya dapat disampaikan untuk KPK. Kemudian yang terbaru juga, baru-baru
ini tersiar kabar ada seorang pria 63 tahun yang menggenjot kebonya dari Bekasi
ke Balaikota DKI Jakarta. Pria yang sudah menginjak usia senja ini, dengan
semangat muda tak kenal lelah juga membawa sebuah seruan rakyat yang dialamatkan kepada Gubernur Jakarta
agar berani memerangi korupsi.
Dilihat
dari perubahan jiwa jaman, meskipun penjajah Belanda sudah lari terbirit-birit terusir
dari negeri kita ini, namun ajaran mereka yang bersifat sewena-wena dan korup tetap
ada dan mengkontaminasi moral pejabat. Korupsi sudah menjamur seperti kangker ganas yang sulit disembuhkan. Hanya oleh insan yang berjiwa sehat dengan moral kebangsaan tinggilah, negeri ini mampu diselamatkan dari hisapan penyakit yang menyengsarakan rakyat. Mereka pecinta keadilan tidak
peduli panasnya aspal jalanan. Kebo yang mereka tunggangi, yang dulunya sebagai
simbol penindasan terhadap rakyat kini berubah wajah menjadi simbol pembela kepentingan
rakyat.
Post a Comment