Suharto: Orde Baru dan Pancasila
Suharto Jadi Presiden
Lahirnya
Pancasila sebagai ideologi tunggal erat kaitannya dengan serangkaian peristiwa
pembunuhan “Dewan Jenderal” dan kudeta 30 September 1965 yang berujung pada terbitnya
Surat Sebelas Maret yang setelahnya digunakan oleh Suharto untuk melengserkan
kekuasaan Sukarno. Sebelum fajar menyingsing pada Jumat, 1 Oktober 1965, Indonesia
digegerkan oleh serangkaian penculikan dan pembunuhan sadis terhadap enam
jenderal TNI AD oleh sekelompok perwira menengah pengawal istana kepresidenan.
Lewat corong RRI, Letkol Untung mengumumkan bahwa Gerakan 30 September telah berhasil
menculik anggota CIA yang didukung oleh “Dewan Jenderal”. Alasan penculikan itu
tidak lain karena Perwira-perwira TNI AD
tersebut disangka akan melancarkan kudeta terhadap Sukarno. Kemudian siang
harinya, Untung kembali menyiarkan bahwa kekuasaan yang berlaku saat itu berada
di tangan “Dewan Revolusi”
yang terdiri dari berbagai perwira militer dan tokoh-tokoh politik pro Sukarno, termasuk empat orang komunis level rendah. Melihat situasi yang genting, Suharto sebagai Komandan Strategi dan Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) segera mengeluarkan daftar pembunuh Dewan jenderal. Kelihaiannya menyusun strategi dan kekuatan membuahkan hasil dengan dikuasainya kembali isntalasi-instalasi penting yang sempat direbut Untung (Bourchier: 2007: 218).Pengambilalihan RRI, memberi kesempatan bagi Suharto untuk mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa Angkatan Darat. Melalui corong yang sama, ia juga berjanji untuk mengamankan presiden dan segera menghancurkan Gerakan 30 September. Tanpa buang-buang waktu di sana, Suharto segera mengejar pemberontak yang bersarang di Jakarta, maupun yang berada di Jawa Tengah. Meskipun mengahncurkan Gerakan 30 Sepetember dirasa sangat mudah, tetapi sejurus kemudian ia harus dihadapkan dengan kekuatan senjata pendukung Untung yang tersebar di batalyon-batalyon Kodam Diponegoro dan Brawijaya. Kekuatan dari TNI AU dan AL juga harus diperhitungkannya mengingat dari sekian banyak pembesar dari kedua matra ini adalah pendukung Sukarno.
yang terdiri dari berbagai perwira militer dan tokoh-tokoh politik pro Sukarno, termasuk empat orang komunis level rendah. Melihat situasi yang genting, Suharto sebagai Komandan Strategi dan Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) segera mengeluarkan daftar pembunuh Dewan jenderal. Kelihaiannya menyusun strategi dan kekuatan membuahkan hasil dengan dikuasainya kembali isntalasi-instalasi penting yang sempat direbut Untung (Bourchier: 2007: 218).Pengambilalihan RRI, memberi kesempatan bagi Suharto untuk mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa Angkatan Darat. Melalui corong yang sama, ia juga berjanji untuk mengamankan presiden dan segera menghancurkan Gerakan 30 September. Tanpa buang-buang waktu di sana, Suharto segera mengejar pemberontak yang bersarang di Jakarta, maupun yang berada di Jawa Tengah. Meskipun mengahncurkan Gerakan 30 Sepetember dirasa sangat mudah, tetapi sejurus kemudian ia harus dihadapkan dengan kekuatan senjata pendukung Untung yang tersebar di batalyon-batalyon Kodam Diponegoro dan Brawijaya. Kekuatan dari TNI AU dan AL juga harus diperhitungkannya mengingat dari sekian banyak pembesar dari kedua matra ini adalah pendukung Sukarno.
Menurut
Bourchier (2007: 219), PKI dengan ribuan
kadernya yang tersebar luas di seantero Indonesia merupakan pesaing utama TNI
AD. Dengan organisasi massa dan struktur komando yang sangat rapi, masa PKI
sangat ditakuti oleh kalangan militer karena bila mereka digerakan secara
bersamaan dengan sokongan senjata dari asing terutama Cina, akan mampu mengimbangi kekuatan militer,
bahkan mampu mengubah jalannya pemerintahan termasuk ideologi. Agar hal itu
tidak terjadi, kalangan Suharto berusaha menarik PKI ke dalam kemelut 1 Oktober
dengan melimpahkan sepenuhnya PKI sebagai dalang dibalik pembunuhan Dewan
Jenderal. Padahal sejaatinya menurut Bourchier (2007: 220), peritiwa 1 Oktober
hanya melibatkan Komunis pada sebagian kecil saja, namun yang lebih besar karena
perpecahan di dalam tubuh militer (intra-military affairs) itu sendiri.
Sementara
gerakan massa anti PKI dan anti Sukarno meluas di Jakarta, Suharto pada 2
Oktober mendapat momentum untuk memperluas cengkraman kekuasaannya di Angkatan
Darat setelah merima mandat dari Presiden untuk memulihkan keamanan dan
ketertipan pasca Pembunuhan Dewan Jenderal. Menurut Bourchier (2007: 221),
mandat itu menjadi cikal bakal pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban pada 10 Okttober. Melalui komando itu, Suharto melimpahkan
kekuasaan tidak terbatas kepada semua komandan daerah militer untuk memerangi
individu maupun kelompok yang terlibat dalam pemberontakan. Praktik pelimpahan kekuasaan yang tak terbatas
untuk mengadili individu maupun kelompok yang disangka pendukung kudeta di
daerah-daerah sangat tidak manusiawi. Banyak buruh perkebunan maupun penduduk
sipil yang hidup di basis Sukarno dilecehkan dan dibiarkan dibantai tanpa
mendapat pembelaan. Begitupula kepada para tahanan politik yang lolos dari
kematian setelah Suharto naik menjadi presiden, mereka dihilangkan haknya untuk
hidup bebas di Indonesia, sehingga mereka menjadi warga negara kelas dua.
Jalan Suharto untuk menjadi presiden semakin mulus
tatkala orang-orang kepercayaan Suharto mampu membujuk Sukarno menandatangani
Surat Perintah Sebalas Maret. Dengan Supersemar, kuasa Suahrto semakin besar dalam
penghancuran kekuasaan Sukarno. Lalu ia memerintah Sudharmono untuk menyusun
draf pelarangan PKI. Pada hari berikutnya, Suharto dengan mengatasnamakan
Sukarno menyatakan PKI beserta anak organisasinya sebagai organisasi terlarang
dan harus dibubarkan. Kemudian, Mahasiswa yang menyebut dirinya “Generasi 66”
menuntut agar Sukarno memecat lima belas menterinya yang menentang Angkatan
Darat. Karena Sukarno menolak, Suharto memerintahkan RPKAD untuk menangkap
mereka pada tanggal 18 Maret. Mulai saat
itu, Suharto berhasil menyisihkan peranan Sukarno sebagai orang nomer satu di
Indonesia, meskipun saat itu dirinya bukan presiden (Bourchier 2007: 231).
Naiknya
kekuasaan Suharto terbukti selama sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
yang pertama setelah kudeta, yang diadakan pada 20 Juni dan 5 Juli 1966.
Majelis yang sudah dibersihkan dari orang-orang Sukarno mengesahkan 30
ketetapan termasuk Ketetapan No. IX tetang Supersemar yang secara formal
memberi kekuasaan darurat dan eksekutif kepada Suharto. Kemudian ketetapan lain
adalah penjungkirbalikan aturan yang membatasi wewenang Presiden serta pelarangan
penyebaran ajaan Marxis-Leninnisme yang secara implisit mencakup doktrin
Nasakom. Ketetapan No. V secara frontal telah meruntuhkan kekuasaan Sukarno
dengan mengharuskan dirinya bertanggungjawab atas Gerakan 30 September-PKI dan
keruntuhan ekonomi juga moral selama kepemipinanya. Karena dalam sidang
tersebut Sukarno tidak mau mengakui kesalahannya, tujuh bulan kemudian,
Sudarmono memberikan Justifikasi formal untuk mencabut mandatnya sebagai
presiden dalam Sidang Khusus MPRS pada bulan Maret 1967. Sebagai gantinya,
Suharto diangkat sebagai pejabat sementara pelaksana tugas Presiden dan mulai
menggunakan Pancsila sebagai penyangga pemerintahannya (Bourchier 2007: 232).
Pancasila Menurut Pandangan Suharto
Salah
satu cara yang dilakukan rejim Suharto untuk menempa identitas yang secara
historis otentik sekaligus berbeda dengan identitas ideologis rejim Sukarno
adalah dengan mengklaim kembali dan membentuk ulang Pancasila sesuai dengan
bayangannya. Merubah filsafah Pancasila dari awal adalah hal paling sulit,
mengingat ideologi ini sudah diterima masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Suharto
hanya merubah penjabaran dari subtansi Pancasila sesuai dengan pendirian hukum
dan ideologis rejim barunya.
Proses
desukarnois Suharto dibantu oleh dua orang ideolog yakni Sutjipto dan
Soedirman. Sutjipto pada tahun 1966 dan 1968, berhasil menyingkirkan pandangan
lama masyarakat terhadap Pancasila dengan mendiskreditkan Sukarno bahwa selama
kepemimpinannya, Pancasila telah keluar dari jalurnya. Penyimpangan berupa
doktrin Nasakom dianggap sebagai penghiyanatan terhadap Pancasila karena
doktrin ini telah mendistorsi prinsip-prinsip awal Pancasila yang berketuhanan
dan memberi peluang kepada PKI untuk menyebar luaskan ajaranya yang “ateistik”.
Sejurus dengan Sutjipto, Soedirman Guru Besar Hukum Universitas Indonesia
menganggap bahwa Sukarno telah memeras Pancasila untuk tujuan pribadinya dengan
merendahkan “musyawarah dan mufakat”. Padahal pandangan kerakyatan “musyawarah
dan mufakat” yang ada dalam Pancsila versi awal sudah melekat pada pribadi
bangsa dan berasal dari pandangan asli nenek moyang Indonesia. Sehingga
Pancasila yang disalahgunakan untuk pengkultusan individu Sukarno selama revolusi
demi tercapainya ambisi pribadinya itu harus diluruskan. Dibawah bimbingan para
ideolog pro Orde Baru, Pancasila secara bertahap dikeringkan dari gema
Sukarnois, Kiri, dan Revolusioner dan dimasuki dengan spirit kekeluargaan,
yaitu mencakup keseluruhan , harmoni, dan keheningan. Karena Pancasila mencakup
keseluruhan maka setiap kritik terhadap ajarannya dapat diartikan sebagai
penghiyanatan terhadap bangsa secara keseluruhan (Bourchier 2007: 248-251).
Pandangan
Suharto tentang Pancasila dapat dilihat pada pidato-pidatonya baik pidato
kenegaraan (PK) maupun Pidato Peringatan hari lahirnya Pancasila (PLP) yang
jatuh setiap tanggal 1 juni. Pada PLP tahun 1967, Suharto menekankan bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan. Hal ini tercantum dalam sila
pertama. Namun menurutnya dalam PK 30
November 1967, meskipun Indonesia merupakan bangsa yang berketuhanan,
Indonesia bukanlah negara theokrasi (negara agama).Oleh karena itu untuk
menjembataninya, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin kehidupan beragama yang sehat (CSIS,
1976: 27-28).
Dalam
sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti bahwa kedudukan manusia
sesuai dengan harkatnya sama sebagai mahluk Tuhan (PLP 1967). Bertolak belakang
dari prinsip itu Suharto menegaskan bahwa sila kedua menolak rasialisme yang
merugikan kehidupan bermasyarakat. Karena tujuan dari sila ini adalah
kebahagiaan rakyat bukan kebahagiaan individu yang merugikan orang lain maka
kepentingan pribadi manusia harus diselarskan dengan kewajibannya sebagai
anggota masyarakat (Pidato Ulang Tahun ke -25 UGM. 19 Desember 1974). Kemudian
untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka hukum harus
ditegakan, sehingga tindakan sewena-wena seperti kekerasan, penyalahgunaan
wewenang, korupsi bertentangan dengan Pancasila (CSIS, 1976: 39-45).
Nasionalisme,
cinta Bangsa dan Tanah Air adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup siatu bangsa, sebab tanpa nasionalisme sebuah bangsa akan
mudah terpecah belah, hal ini terangkum pada sila Persatuan Indonesia. Dalam PLP 1967, Suharto menyinggung Nasionalisme Pancsila
yaitu usaha menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan ataupun warna kulit,
termasuk tata pergaulan yang ekslusif. Agar semuanya seirama dengan Pancasila,
dalam PK tanggal 16 Agustus 1968, Suharto menghimbau agar etnis Cina
menyelaraskan kehidupannya dengan etnis pribumi dengan menjadi Warga Negara
Indonesia. Tujuannya supaya mereka setara dalam menjalankan Hak dan Kewajiban
serta tidak terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang menjurus rasisme. Ketika
perbedaan antara hak dan kewajiban sudah disamaratakan lahirlah kerukunan. Kerukunan
hanya mungkin terwujud apabila dalam sebuah kelompok maupun dengan kelompok
lain bersatu di dalam keluarga besar bangsa Indonesia (Pidato Pembukaan Munas
ke-I Majelis Ulama Seluruh Indonesia 21 Juli 1975) (CSIS, 1976: 48-52).
Konsep
Persatuan Indonesia juga dipakai untuk pembangunan nasional. Hal ini tercermin
pada hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berorientasi pada Pembangunan
Nasional, di mana segala tujuan, sasaran, kebijakan dan perencanaan ditentukan
oleh pusat sedangkan pelaksanaannya sebagian besar dilakukan oleh daerah.
Proses pembangunan nasional tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi
juga melibatkan kaum pribumi dan kaum non Pribumi. Melalui pembangunan dibidang ekonomi proses asimilasi akan
berjalan dengan baik, sehingga akan memperkuat kesatuan dan persatuan
bangsa (pidato seminar stratergi pembinaan pengusaha swasta nasional, 29 Mei
1975). (CSIS, 1976: 56-58).
Sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawatan/perwakilan merupakan arti lain dari demokrasi, yakni pemerintahan
yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi Pancasila
berpangkal tolak dari faham kekeluargaan dan gotong royong dimana demokrasi
harus bermanfaat untuk kepentingan umum (PK 16 Agustus 1967). Mengutamakan
kepentingan umum berarti mendahulukan kepentingan dan keselamatan bersama,
bukan kepentingan kelompoknya sendiri, walaupun kelompoknya besar. Hal itu bisa
terwujud bila kelompok besar dan kecil bermusyawarah untuk mencapai mufakat
bersama (Pidato Dies Natalis UI ke-25, 15 Februari 1975). Kebulatan mufakat
bukan ditentukan oleh “paksaan kekuatan”, yang artinya tidak satu golonganpun
sewena-wena mempertahankan dan memaksakan kehendak pendiriannya. Karena dalam
demokrasi Pancasila jelas menolak diktaktor, baik diktaktor golongan, kelas,
maupun militer, namun yang ada hanya prinsip kepentingan rakyat yang
didahulukan (PLP 1967) (CSIS, 1976: 58-66).
Sebagai
negara demokratis, Indonesia mengenal Pemilihan Umum untuk menyehatkan
kehidupan demokrasi (Pidato pelantikan Lembaga Pemilihan Umum, 17 Januari
1970). Hal ini berarti rakyat harus menentukan wakilnya di Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Setelah terpilih, tugas MPR adalah membuat Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan memilih Presidenbeserta wakilnya untuk jangka lima
tahun. Untuk itu, tugas presiden adalah
menjalankan haluan negara. Sedangkan pengawasan terhadap segala
tidakan-tindakan Presiden dilaksakan oleh DPR (Pidato Dies Natalis UGM ke-25,
1974). Selain masyarakat sipil, kaum militer juga terlibat ke dunia politik.
Dimasukannya ABRI ke dalam kancah politik tujuannya agar mereka mengawal
jalannya demokrasi supaya kontitusi kuat dan hukum dapat ditegakan (CSIS, 1976:
67-70).
Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia pada prinsipnya adalah kemakmuran yang
merata diantara seluruh rakyat. Artinya seluruh potensi bangsa diolah
bersama-sama untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan seluruh rakyat.
Keadilan sosial juga berarti melindungi yang lemah untuk mencegah
kesewang-wenangan dari yang kuat (PLP 1 Juni 1967). Untuk memajukan ekonomi
dengan prinsip pembangunan untuk kesejahteraan seluruh rakyat yang diutamakan
adalah perbaikan sektor pertanian, meskipun dalam repelita-repelita selanjutnya
akan memasuki sektor industri (Pidato
pada Sidang Majelis Pleno HKTI, 11 Maret 1974) (CSIS, 1976: 70-78).
Pelaksanaan P4
Gagasan
bahwa pemerintah memiliki peranan yang harus dimainkan untuk menyebarkan
Pancasila secara massal bukan hal yang baru bagi Orde Baru. Kuliah tentang
Filsafat Pancasila telah menjadi kurikulum wajib di universitas negeri
setidaknya sejak 1971. Pada 1973, MPR telah menetapkan bahwa “kurikulum setiap
jenjag pendidikan, dari kanak-kanak sampai universitas, negeri maupun swasta,
harus mencantumkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan segi-segi yang lain
yang sesuai untuk menularkan semangat/ jiwa dan cita-cita 1945 kepada generasi
muda. Hal ini menyebabkan pada 1975 pelajaran PMP diperkenalkan di
sekolah-sekolah, menggantikan “Budi
Pekerti” (ethics) dan “Pendidikan Kewarganegaraan” (civic). Belasan buku teks diterbitkan
pada 1976 dan 1977 untuk melayani pasar baru ini, yang kebanyakan ditulis oleh
staf menteri pendidikan dan universitas dan semuanya discreening oleh panitia dari para pendukung ideologi militer.
Kampanye
P4 yang dimulai pada 1978 dimaksudkan untuk mempengaruhi audien yang lebih
luas. Untuk merencanakan kampanye P4 dan menyiapkan materi indoktrinasi, Soeharto menciptakan sejumlah badan baru.
Dari berbagai badan baru ini, yang tertinggi adalah kelompok penasehat presiden
yang diketuai Roeslan Abdulgani, disebut “P7”. Badan ini disebut P7 karena
terdiri dari tujuh kata dalam bahasa Indonesia yang diwakili dengan “p”, tetapi
seperti yang disarankan David Jenkins, mengutip “perhitungan orang Jawa yang
dekat dengan istana”-P7 juga dilihat sebagai usaha Presiden untuk “mengalahkan”
partai politik Islam, PPP (yang umum dikenal dengan P3). Tugas P7 adalah melatih
para penatar dan merancang materi indoktrinasi diberikan pada team kedua, yang
juga dipimpin oleh Abdulgani, yang melibatkan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal Panggabean,
dan empat ajudan Suharto dari Sekretariat Negara, Sudharmono, Moerdiono, Ismail
Saleh dan Hamid S. Attamimi SH.
Tanggungjawab
untuk melaksanakan program P4 yang sesungguhnya diberikan Soeharto kepada
organisasi yang telah dibentuknya pada Maret 1979, disebut Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila atau disingkat BP7. BP7 merupakan birokrasi tersendiri yang
bertanggung jawab langsung kepada presiden, dengan lokasi kantor pusat yang
sangat bergengsi di Jakarta dan cabang-cabang di tingkat propinsi dan
kabupaten. Keanggotaan BP7 Pusat juga terdiri dari para pejabat tinggi,
mengindikasikan pentingnya program ini di mata Suharto. Anggota BP7 meliputi
Menteri Pendidikan, Daoed Joesoef, Menteri Penerangan, Ali Moertopo dan juga
Panggabean, Moerdiono, Nugroho Notosusanto dan ahli hukum Universitas Indonesia
profesor Pamo Wahyono SH. Organisasi BP7 sampai 1984 dipimpin oleh seorang ahli
hukum militer (dan kelak menjadi Jaksa Agung), Mayjen Hari Suharto SH. Hari
Suharto pernah bekerja sebagai Inspektur Jenderal Pertanian di bawah Sutjipto selama
dua tahun setelah kudeta dan meupakan teman dekat Sudharmono yang juga anggota
aktif di BP7.
Kursus
indoktrinasi pada zaman Demokrasi Terpimpin, prinsipnya adalah bahwa kursus P4
akan dimulai di pusat, dalam istilah Geertz, “pusat sebagai percontohan” dan
menyebar ke luar dengan intensitas yang berkurang melalui jabatan birokrasi dan
kemudian pada masyarakat secara keseluruhan. Pada 1 Oktober 1978, Presiden
Suharto membuka penataran P4 tingkat nasional yang pertama untuk para pejabat
senior. Para pejabat tinggi diwajibkan mengikuti penataran “Tipe A” yang
berlangsung selama beberapa bulan, termasuk mendengarkan ceraah, berpartisipasi
dalam diskusi dan menyiapkan serta menyajikan paper seminar. Para birokrat
eselon dua mengikuti penataran “Tipe B” yang lebih singkat dan lebih sederhana,
dans eterusnya hingga barisan yang paling bawah. Penataran bagi pegawai
pemerintah tingkat rendah, eperti sopir dan juru ketik, hanya terdiri dari
ceramah beberapa hari. (Bourchier, 2007: 350)
Sistem
penaratan juga (dan tetap) diatur seara hirarkis. Para duta besar, rektor
universitas dan para pejabat tingkat tinggi lainnya menerima penataran langsung
dari anggota BP7, dalam kursus intensif yang berlangsung selama 120 jam. Para
lulusan penataran P4 yang diadakan oleh pejabat BP7 pusat dan propinsi diberika
derajat Jawa Kuno “Manggala”
(komandan), yang memungkinkan mereka memberikan penataran terhadap para pegawai
lebih rendah dan bertindak sebagai juru bicara ideologi bagi pemerintah. Pada
seiap tingkatan, sepuluh lulusan terbaik mendapatkan hak sebagai penatar. dengan cara ini, setahap demi
setahap, P4 mencapai lebih dari dua juta pegawai negeri sipil dan perwira
militer hinga 1983.
Kehadiran
di setiap sesi penataran P4 merupakan keharusan. Ketingalan satu hari saja akan
berarti gagal mengikuti penataran. Tidak ada alasan yang dapat diterima bagi
ketidakhadiran, bahkan meskipun alasan itu adalah karena anggota keluarga
meninggal. Juga tidak cukup jika peserta hanya hadir, mereka juga harus
memiliki sikap yang benar. Warga negara Indonesia yang hidup di luar
negeri juga diwajibkan mengikuti panataran P4 di kedutaan-kedutaan besar dan
konsular mereka. Acara khusus “pengenalan” Pancasila selama tiga hari bahkan
diberikan di mana sejumlah pengusaha asing yang tingga di Indoesia diminta
menghadiri.
Antara
April 1977 dan Juli 1978, Departemen Pendidikan mengadakan sejumlah revisi
terhadap kurikulum univeritas, yang menyebabkan diperkenalkannya kuliah
Pancasila sebagai bagian kurikulum dasar yang diwajibkan di semua lembaga pendidikan
tinggi. Salah satu edaran yang diberikan pada apara pimpinan lembaga pendidikan
tinggi dari Dirjen Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa tujuan kualiah tersebut
adalah untuk menciptakan keyakinan pada Pancasila sebagai “Volkgeist” (jiwa) bangsa (aslinya dari bahasa Jerman). Seperti
dalam penataran P4, kuliah Pancasila di universitas-universitas sebagian besar
terdiri dari kuliah mengenai Pedoman P4, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1978.
Pemusatan
propaganda ideologi secara nasional bagi orang dewasa disesuaikan dnegan
pengawasan yang sama ketat terhadap produksi materi Pancasila untuk para siswa
sekolah. Tidak lama setelah Daoed Joesoef mengambil alih Menteri Pendidikan
pada Maret 1978, Darji diangkat Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Tanggung
jawab untuk Pendidikan Moral Pancasila (PMP) –yang dapat disejajarkan dengan P4
bagi anak-anak sekolah – yang hingga saat itu ditangani oleh unit utama
pengembangan kurikulum departemen, dilimpahkan hanya pada Darji. Buku teks yang
dihasilkan team Darji menjadi teks standar yang diwajibkan di semua sekolah. Nilai-nilai yang disebarluaskan dalam
kampanye ideologi Orde Baru paska 1978 dinyatakan dengan jelas dalam buku teks
PMP. Tema-tema kunci dalam buku teks ini adalah hirarki, ketertiban,
kepemimpinan, dan keluarga.
Memang
benar bahwa P-4 memiliki fungsi hubungan publik. Pemerintah jelas sangat ingin
memberikan kesan terhadap para pegawai negeri sipil pentingnya mempertahankan
standar moralitas yang tinggi. Karena target kritik mengalami perubahan, maka
fokus P-4 juga mengalami perubahan. Sebagian yang lain menggambarkan kampanye
P-4 dalam kerangka tanggapan pemerintah terhadap oposisi yang dilakukan kaum
muslim. P4 memang merupakan bagian dari usaha
untuk mendelegitimasi Islam sebagai kekuatan dalam arena politik. Tetapi itu
bukan alasan satu-satunya mengapa pemerintah mencurahkan sumberdaya yang sangat
luas untuk P4.
P4
mungkin paling baik dipahami sebagai bagian dari pengertian Soeharto mengenai
misi jangka panjang untuk membersihkan Indonesia dari sisa-sisa konflik dan
persaingan dalam kebudayaan politik yang lama dan untuk menggantikannya dengan
wacana tradisi semu yang baru berupa kepatuhan dan keserasian. Maka, satu
tujuan utama kampanya P4 adalah untuk membentuk rakyat Indonesia dalam citra
yang baru, untuk menciptakan apa yang disebut pemerintah “Manusia Pancasila” atau “Manusia
Seutuhnya”.
Soeharto
mencurahkan dekade pertamanya dalam kekuasaan untuk memperbaiki ekonomi dan
infrastruktur politik, periode antara pertengahan 1970-an dan pertengahan
1980-an memperlihatkan presiden menjadi semakin disibukkan oleh pematapan dan
pengawasan batas-batas wacana ideologis yang absah. Bagian terpenting dari
proyek ideologis Soeharto
adalah program indoktrinasi massa yang rumit dan mahal untuk membentuk kembali
Indonesia. Tidak ada penjelasan yang logis dan ilmiah tentang dilaksanakannya
proyek ideologi yang memakan biaya sangat mahal ini. Segala sumber daya
dikerahkan Soeharto untuk menggalakkan program ini dan mendistribusikan
pengetahuan tentang P-4 kepada seluruh lapisan masyarakat. Tak bisa dipungkiri,
P-4 adalah salah stu program yang ambisius pada Masa Orde Baru yang setidaknya
bertujuan untuk mengenalkan Pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat, baik
golongan muda maupun golongan tua.
Penyelewengan Sila ke-4 dalam Kehidupan
Berdemokrasi
Pada
masa Orba, demokrasi dibungkus dengan wajah Demokrasi Pancasila. Kepiawaian
Suharto mengoperasikan ideologi Pancasila yang telah diorbaismekan berbuah
manis pada langgengnya kekuasaan Suharto selama tiga dasawarsa di Pemerintahan.
Dengan cara menanamkan ideologi Orbaisme melalui infiltrasi kebijakan
Pemerintah di bidang ekonomi, pendidikan, dan agama, pribadi Suharto menjadi
orang yang tak tertandingi. Namun dibalik kegemilangan Suharto memainkan tongkat
politiknya, terdapat hal-hal yang tidak bisa ditolerir jika dilihat dari
kacamata era reformasi saat ini, yakni penyelewengan terhadap sila Pancasila
terutama sila yang mengatur kehidupan berdemokrasi (sila ke-4).
Golkar
merupakan bagian penting di tubuh Orde Baru karena melalui organisasi massa ini
Suharto mampu bertengger di kursi pemerintahan selama tiga dekade. Hal itu
tidak mungkin terjadi apabila Suharto tidak mempunyai ahli strategi sehandal Murtopo.
Mekanisme penting yang dilakukan oleh Murtopo untuk memenangkan Pemilu 1971
adalah dengan menbentuk Badan Pengendali Perolehan Pemilu (Bapilu) pada tahun
1970. Tugas Bapilu adalah mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya dengan cara membujuk
partai-partai dan organisasi-organisasi massa kecil supaya mereka membubarkan
diri dan mau bergabung dengan Golkar (Bourchier 2007: 292).
Sasaran
Murtopo untuk memaksimalkan suara Golkar selanjutnya adalah menguasai Kemendagri
dengan membentuk Korps Komando Karyawan Kementerian Dalam Negeri. Dibentuknya
Korps ini tidak lain adalah strategi Murtopo untuk mengikat PNS agar tidak
menyeberang ke partai lain. Dengan mewajibkan PNS menjadi anggota Korps itu,
otomatis Golkar mempunyai massa tambahan sebanyak 800.000 orang (Bourchier,
2007: 293). Hal penting lainya yang tidak boleh dilewatkan oleh Murtopo di
Kemendagri adalah memanfaatkan peranan pamong praja untuk mengkuningkan
daerahnya. Sebagi pejabat administrasi pemerintahan, Pamong Praja punya wewenang
yang memungkinkan dapat mengGolkarkan rakyat. Mereka yang kebayakan dari
orang-orang militer, melalui rantai komando diberi tugas untuk menginformasikan
kepada warga perihal prosedur pemilihan umum di daerahnya. Namun praktiknya
mereka tidak hanya sekedar
menginformasikan prosedur pemilu namun juga mewarnainya dengan paksaan dan
ancaman kepada warga agar memilih Golkar pada pemilu 1971 (Bourchier, 2007:
294).
Golkar
akhirnya menjadi pemenang pada pemilihan tahun 1971, disusul kemenangan tahun
1977 dan 1982. Distiap pemilu yang diadakan lima tahun sekali itu, partai ini
mampu meraup suara sebanyak 60%. Keberhasilan Golkar terkait dengan peraturan
pemerintah atas undang-undang Pemilu dan kepartaian serta pelaksanaannya yang
menguntungkan Golkar. UU Pemilu dan kepartaian secara sitematis telah melakukan
diskriminasi terhadap partai-partai lawan tanding Golkar. Sebagai contohnya
adalah melarang partai peserta pemilu membentuk cabang-cabang partai di bawah
tingkat propinsi. Namun tanpa peduli telah melanggar peraturan yang ditetapkan
oleh “orangnya sendiri”, mereka malah sudah membentuk cabang-cabang permanen di
dalam pemerintahan dengan memanfatkan struktur birokrasi di Kemendagri dari
tingkat pusat hingga kecamatan (Hisyam, 2003: 2007).
Di
mata Suharto, meskipun Pancasila dan Golkar sudah memiliki kedudukan yang kuat,
ia masih phobia akan kekuatan yang merorong kekasaannya secara laten yang berasal
dari ekstrem kanan dan ekstrim kiri. Ekstrim kanan dipersepsikan sebagai kaum
Islam fanatik yang menghendaki digantinya ideologi Pancasila menjadi ideologi
Islam dan ekstrem kiri yang digambarkan sebagai kaum komunis yang ingin menghapuskan Pancasila
melalui jargon Revolusi. Menghancurkan Massa Islam tidak semudah menghancurkan
massa Komunis. Hal ini karena budaya Islam sudah mendarah daging bagi
masyarakat Indonesia. Massa Islam dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan
hidup pemerintah Suharto dan perwira militer penasehatnya yang kebanyakan dari
mereka adalah orang Kristen dan penganut Kejawen. Kecemasan itu timbul karena
ada anggapan bahwa orang Islam selalu mendorong terbentuknya negara Islam, atau
setidaknya menetapkan Piagam Jakarta yang mewajibakan penggunaan syariah Islam
bagi pemeluknya (Bourchier 2007: 328). Untuk membentengi ancaman tersebut kemudian
Suharto menjinakannya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertahanan dan
Keamanan tahun 1984. RUU tersebut memposisikan
ABRI sebagai pemain utama dalam pemeliharaan keamanan dan stabilitas sosial
politik di Indonesia. Di tahun yang sama lahir pula RUU baru yang isinya
mengharuskan pelaksanaan “demokrasi Pancasila” yang secara subtansial tujuannya
adalah menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam dasar organisasi
politik dan organisasi masyarakat (Hisyam, 2003: 205-206).
Islam
merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Tak hayal billa
sejak era Kolonial Belanda umat Islam sudah banyak yang berkecimpung ke dalam
kancah perpolitikan Nusantara. Di era Orde Baru, massa basis Islam ditampung
oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP semula merupakan gabungan dari
partai-partai dan golongan Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi), Partai Sarekat Islam Indonesa (PSII) dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti). Meskipun partai ini secara formal merupakan oposisi
dari Golkar, namun Suharto mampu menguasai arah tujuan partai ini dengan cara
deideologi partai. Deideologi berarti peniadaan atau dalam permasalahan ini
dimaksud dengan penghapusan ideologi Islam oleh Suharto. Deideologi telah
berlangsung sejak 1968 ketika umat Islam mengadakan Kongres Umat Islam di
Malang tahun 1968, dimana salah satu keputusannya adalah mendirikan Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi). Dalam rapat tersebut disetujui bahwa Muhammad
Roem dipilih sebagai ketua partai dengan alasan mengingat ia adalah bekas
pengurus Partai Masyumi. Namun, Suharto segera
menolaknya dengan alasan bahwa Pemerintah Orde Baru tidak mau merehab Partai
Masyumi (ekstrem kanan) karena alasan Yuridis, Ketatanegaraan dan Psikologis
yang bertentangan dengan ABRI (Sulaiman, 2008: 15-16).
Melekatnya ideologi Islam di dalam tubuh PPP merupakan
dasar dari perlawanan terhadap disahkannya RUU keormasan. Pasalnya, aturan baru
itu dapat merugikan partai itu sendiri. Umat Islam sebagai pendukung utama PPP
sangat cemas karena nantinya dengan digantinya asas Islam menjadi Pancasila
mereka akan kehilangan identitas dan kedudukannya (Hisyam, 2003: 214). Reaksi
umat Islam cukup bervariasi. Tidak sedikit tokoh Islam yang terang-terangan
menolak Pancasila sebagai asas Partai Islam. Sikap reaksioner umat Islam yang
paling menyolok tergambar pada tragedi Tanjung Priok. Peristiwa yang diawali
dari serangkaian pidato dan kutbah anti kebijakan rejim Orde Baru tersebut
direspon dengan tindakan koersif oleh Aparat yang menimbulkan bentrokan.
Bentrokan berdarah antara massa Islam versus Aparat di Priok menyebabkan sembilan
orang tewas dan ratusan luka-luka. Meskipun banyak tokoh Islam menolak
disahkannya UU keormasan tersebut, namun pada akhirnya melalui UU No. 3 tahun
1985, PPP sebagai salah satu wadah aspirasi politik umat Islam mau menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas partai, dengan konsekuensi PPP harus
mengganti lambang Ka’bah menjadi Bintang. Diterimanya Pancasila oleh partai
tersebut sangat menguntungkan pihak Suharto sebab kekawatirannya terhadap
lahirnya ideologi Islam telah hilang (Sulaiman, 2008: 16).
Setelah
berhasil menjinakan massa politik Islam, operasi politik Suharto selanjutnya
adalah menjinakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Secara historis, berdirinya
PDI merupakan buntut dari peraturan pemerintah tentang pembatasan dan penyatuan
partai-partai di Indonesia. Sejak tanggal 4 Maret 1970, Golongan Nasionalis
yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Murba, Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik Indonesia, dan Partai Kristen
Indonesia melebur menjadi PDI (Rahmat, 2013: 2). Meskipun beraliran nasionalis,
campur tangan Suharto dalam internal PDI tidak bisa dihindarkan seperti halnya
campur tangan Suharto pada PPP. Campur tangan Suharto terhadap PDI sudah
berlangsung sejak dilangsungkannya penyelenggaraan Kongres III pada 15-17 April
1986. Saat itu, Kongres gagal memilih ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI
untuk menggantikan Sunawar Soekowati yang meninggal empat bulan sebelumnya.
Melihat kondisi seperti itu, Menteri Dalam Negeri terpaksa turun tangan untuk
mengangkat Soerjadi (Antek Pemerintah) menjadi ketua umum DPP PDI (Rahmat,
2013: 2). Pengangkatan Soerjadi tidak lantas memuaskan massa PDI lainya,
termasuk kubu Megawati. Persaingan semakin memenas tatkala Megawati terpilih
menjadi ketua umum PDIP tahun 1993. Terpilihnya Megawati menimbulkan
kekawatiran Pemerintah Suharto terhadap bangkitnya Sukarnoisme. Megawati yang
setia didukung oleh rakyat (politik arus bawah) juga membahayakan posisi
Soerjadi sebagai ketua DPP. Akibatnya pada tahun 1996, kelompok PDI Pro Soerjadi
berinisiatif menyelenggarakan Kongres di Medan untuk menobatkan Soerjadi
sebagai Ketua Umum pada bulan Juni 1996 (Rahmat, 2013: 2). Dengan restu Suharto
akhirnya Soerjadi dipilih menjadi Ketua Umum PDI. Rekayasa Pemerintahan Orde
Baru selanjutnya adalah menggulingkan Megawati dengan pengambilalihan kantor
Pusat DPP PDI yang sedang didudukinya oleh kubu Soerjadi yang dibantu oleh
Aparat. Bentrokan massa pro Mega dan massa Pro Soerjadi yang mulanya pecah di
depan Kantor DPP PDI kemudian menyebar luas hingga ke Salemba dan menimbulkan
kerugian material yang cukup banyak mengingat pada saat itu banyak
gedung-gedung yang dibakar oleh massa (www.wikipedia.com).
Menurut
Liddle seorang pakar politik Indonesia dari Amerika, keberhasilan Suharto
mencengkeram dan menguasai lawan politiknya tidak terlepas dari disahkannya RUU
keormasan pada tahun 1985. Hal itu telah memposisikan Suharto di puncak
kekuasaan. Lewat UU tersebut Suharto praktis menguasai kontrol yang sempurna
atas politik Indonesia baik mekanisme pemilu, keanggotaan DPR/MPR dan peran
Orpol dan Ormas (Hisyam, 2003: 215).
Runtuhnya Orde Baru
Runtuhnya
Orde Baru dibarengi dengan memudarnya ideologi Pancasila dibenak pikiran
rakyat. Ideologi yang dibanggakan Suharto akhirnya mengalami devaluasi makna
setelah masyarakat kian cerdas menyoroti transformasi kehidupan modern akibat
meningkatnya kualitas pendidikan dan pengaruh globalisasi. Hal itu sangat
terasa pada memudarnya ikatan nilai dan norma-norma Pancasila yang mulai
terang-terangan ditinggalkan rakyat dan pendukungnya. Hasilnya, aksi protes
yang dilakukan oleh suatu kelompok kontra Orde Baru mulai marak (Wardaya, 2007:
88). Padahal sebelum tahun 1998, tidak ada satupun elit politik oposisi yang
berani melawan Suharto. Namun itu bukan menjadi penyebab utama runtuhnya
kekuasaan Orde Baru. Penyebab utamanya adalah kekecewaan masyarakat akibat bencana krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 yang tidak mampu diatasi oleh
pemerintah Suharto.
Kemakmuran
rakyat yang tercipta atas berhasilnya program “Revolusi Hijau” mulai berubah kondisinya
saat nilai tukar rupiah anjlok. Krisis yang mengakibatkan melambungnya
harga-harga barang melahirkan gelombang besar demo penolakan terhadap
dipilihnya kembali Suharto sebegai presiden. Sebenarnya Suharto sudah melakukan
berbagai akomodasi politik dan merubah sususan kabinetnya untuk menanggulangi
krisis, namun usahanya tersebut ditolak oleh jajajran menterinya dan sejumlah
tokoh Indonesia. Hingga akhirnya pada Kamis, 21 Mei 1998, Suharto menyampaikan pidato
pengunduran diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Pidato itu sekaligus mengahiri
perjalanan Pemerintah yang ia tungganginya.
Rujukan Pustaka
·
Aspinall,
Edward., dkk. 2010. Soeharto New Order and Its Legacy; Essays in
Honour of Harold Crouch. Camberra: ANU E press.
·
Brourchier,
David. Pancasila Versi Orde Baru dan
Asal Muasal Negara Organis (Integralistik). Oleh Agus Wahyudi.
Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta dan Pusat Studi Pancasila UGM.
·
Centre
for Strategic and International Studies (CSIS). 1976. Pandangan Presiden Suharto tentang Pancasila. Jakarta: Yayasan
Proklamasi Centre for Strategic and International Studies.
·
Dedek
Sulaiman. 2008. Deideologi Politik Islam (Kebijakan Pemerintah Orde Baru
dalam Pemberlakuan Asas Tunggal). Srkipsi Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
·
Hisyam,
Muhammad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde
Baru. Jakarta: YOI.
·
Rahmat,
Aam Amaliah. 2013. Peristiwa 27 Juli 1996: Konflik dalam Partai Demokrasi Indonesia antara Kubu Megawati
dengan Kubu Soerjadi. Skripsi Jurusan
Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Univeristas Pendidikan,
Bandung.
·
Wardaya,
Baskara T. dkk., 2007. Menguak Misteri
Kekuasaan Soeharto. Yogyakarta: Galangpress.
·
Peristiwa
Kudatuli. Diakses dari www.wikipedia.com.
Post a Comment