Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Suharto: Orde Baru dan Pancasila


Suharto Jadi Presiden
Lahirnya Pancasila sebagai ideologi tunggal erat kaitannya dengan serangkaian peristiwa pembunuhan “Dewan Jenderal” dan kudeta 30 September 1965 yang berujung pada terbitnya Surat Sebelas Maret yang setelahnya digunakan oleh Suharto untuk melengserkan kekuasaan Sukarno. Sebelum fajar menyingsing pada Jumat, 1 Oktober 1965, Indonesia digegerkan oleh serangkaian penculikan dan pembunuhan sadis terhadap enam jenderal TNI AD oleh sekelompok perwira menengah pengawal istana kepresidenan. Lewat corong RRI, Letkol Untung mengumumkan bahwa Gerakan 30 September telah berhasil menculik anggota CIA yang didukung oleh “Dewan Jenderal”. Alasan penculikan itu tidak lain karena  Perwira-perwira TNI AD tersebut disangka akan melancarkan kudeta terhadap Sukarno. Kemudian siang harinya, Untung kembali menyiarkan bahwa kekuasaan yang berlaku saat itu berada di tangan “Dewan Revolusi”
yang terdiri dari berbagai perwira militer dan tokoh-tokoh politik pro Sukarno, termasuk empat orang komunis level rendah. Melihat situasi yang genting, Suharto sebagai Komandan Strategi dan Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) segera mengeluarkan daftar pembunuh Dewan jenderal. Kelihaiannya menyusun strategi dan kekuatan membuahkan hasil dengan dikuasainya kembali isntalasi-instalasi penting yang sempat direbut Untung (Bourchier: 2007: 218).Pengambilalihan RRI, memberi kesempatan bagi Suharto untuk mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa Angkatan Darat. Melalui corong yang sama, ia juga berjanji untuk mengamankan presiden dan segera menghancurkan Gerakan 30 September. Tanpa buang-buang waktu di sana, Suharto segera mengejar pemberontak yang bersarang di Jakarta, maupun yang berada di Jawa Tengah. Meskipun mengahncurkan Gerakan 30 Sepetember dirasa sangat mudah, tetapi sejurus kemudian ia harus dihadapkan dengan kekuatan senjata pendukung Untung yang tersebar di batalyon-batalyon Kodam Diponegoro dan Brawijaya. Kekuatan dari TNI AU dan AL juga harus diperhitungkannya mengingat dari sekian banyak pembesar dari kedua matra ini adalah pendukung Sukarno. 
Menurut Bourchier (2007: 219), PKI dengan  ribuan kadernya yang tersebar luas di seantero Indonesia merupakan pesaing utama TNI AD. Dengan organisasi massa dan struktur komando yang sangat rapi, masa PKI sangat ditakuti oleh kalangan militer karena bila mereka digerakan secara bersamaan dengan sokongan senjata dari asing terutama Cina,  akan mampu mengimbangi kekuatan militer, bahkan mampu mengubah jalannya pemerintahan termasuk ideologi. Agar hal itu tidak terjadi, kalangan Suharto berusaha menarik PKI ke dalam kemelut 1 Oktober dengan melimpahkan sepenuhnya PKI sebagai dalang dibalik pembunuhan Dewan Jenderal. Padahal sejaatinya menurut Bourchier (2007: 220), peritiwa 1 Oktober hanya melibatkan Komunis pada sebagian kecil saja, namun yang lebih besar karena perpecahan di dalam tubuh militer (intra-military affairs) itu sendiri.
Sementara gerakan massa anti PKI dan anti Sukarno meluas di Jakarta, Suharto pada 2 Oktober mendapat momentum untuk memperluas cengkraman kekuasaannya di Angkatan Darat setelah merima mandat dari Presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertipan pasca Pembunuhan Dewan Jenderal. Menurut Bourchier (2007: 221), mandat itu menjadi cikal bakal pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada 10 Okttober. Melalui komando itu, Suharto melimpahkan kekuasaan tidak terbatas kepada semua komandan daerah militer untuk memerangi individu maupun kelompok yang terlibat dalam pemberontakan.  Praktik pelimpahan kekuasaan yang tak terbatas untuk mengadili individu maupun kelompok yang disangka pendukung kudeta di daerah-daerah sangat tidak manusiawi. Banyak buruh perkebunan maupun penduduk sipil yang hidup di basis Sukarno dilecehkan dan dibiarkan dibantai tanpa mendapat pembelaan. Begitupula kepada para tahanan politik yang lolos dari kematian setelah Suharto naik menjadi presiden, mereka dihilangkan haknya untuk hidup bebas di Indonesia, sehingga mereka menjadi warga negara kelas dua.
 Jalan Suharto untuk menjadi presiden semakin mulus tatkala orang-orang kepercayaan Suharto mampu membujuk Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebalas Maret. Dengan Supersemar, kuasa Suahrto semakin besar dalam penghancuran kekuasaan Sukarno. Lalu ia memerintah Sudharmono untuk menyusun draf pelarangan PKI. Pada hari berikutnya, Suharto dengan mengatasnamakan Sukarno menyatakan PKI beserta anak organisasinya sebagai organisasi terlarang dan harus dibubarkan. Kemudian, Mahasiswa yang menyebut dirinya “Generasi 66” menuntut agar Sukarno memecat lima belas menterinya yang menentang Angkatan Darat. Karena Sukarno menolak, Suharto memerintahkan RPKAD untuk menangkap mereka pada tanggal 18 Maret.  Mulai saat itu, Suharto berhasil menyisihkan peranan Sukarno sebagai orang nomer satu di Indonesia, meskipun saat itu dirinya bukan presiden (Bourchier 2007: 231).
Naiknya kekuasaan Suharto terbukti selama sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) yang pertama setelah kudeta, yang diadakan pada 20 Juni dan 5 Juli 1966. Majelis yang sudah dibersihkan dari orang-orang Sukarno mengesahkan 30 ketetapan termasuk Ketetapan No. IX tetang Supersemar yang secara formal memberi kekuasaan darurat dan eksekutif kepada Suharto. Kemudian ketetapan lain adalah penjungkirbalikan aturan yang membatasi wewenang Presiden serta pelarangan penyebaran ajaan Marxis-Leninnisme yang secara implisit mencakup doktrin Nasakom. Ketetapan No. V secara frontal telah meruntuhkan kekuasaan Sukarno dengan mengharuskan dirinya bertanggungjawab atas Gerakan 30 September-PKI dan keruntuhan ekonomi juga moral selama kepemipinanya. Karena dalam sidang tersebut Sukarno tidak mau mengakui kesalahannya, tujuh bulan kemudian, Sudarmono memberikan Justifikasi formal untuk mencabut mandatnya sebagai presiden dalam Sidang Khusus MPRS pada bulan Maret 1967. Sebagai gantinya, Suharto diangkat sebagai pejabat sementara pelaksana tugas Presiden dan mulai menggunakan Pancsila sebagai penyangga pemerintahannya (Bourchier 2007: 232).
Pancasila Menurut Pandangan Suharto
Salah satu cara yang dilakukan rejim Suharto untuk menempa identitas yang secara historis otentik sekaligus berbeda dengan identitas ideologis rejim Sukarno adalah dengan mengklaim kembali dan membentuk ulang Pancasila sesuai dengan bayangannya. Merubah filsafah Pancasila dari awal adalah hal paling sulit, mengingat ideologi ini sudah diterima masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Suharto hanya merubah penjabaran dari subtansi Pancasila sesuai dengan pendirian hukum dan ideologis rejim barunya.
Proses desukarnois Suharto dibantu oleh dua orang ideolog yakni Sutjipto dan Soedirman. Sutjipto pada tahun 1966 dan 1968, berhasil menyingkirkan pandangan lama masyarakat terhadap Pancasila dengan mendiskreditkan Sukarno bahwa selama kepemimpinannya, Pancasila telah keluar dari jalurnya. Penyimpangan berupa doktrin Nasakom dianggap sebagai penghiyanatan terhadap Pancasila karena doktrin ini telah mendistorsi prinsip-prinsip awal Pancasila yang berketuhanan dan memberi peluang kepada PKI untuk menyebar luaskan ajaranya yang “ateistik”. Sejurus dengan Sutjipto, Soedirman Guru Besar Hukum Universitas Indonesia menganggap bahwa Sukarno telah memeras Pancasila untuk tujuan pribadinya dengan merendahkan “musyawarah dan mufakat”. Padahal pandangan kerakyatan “musyawarah dan mufakat” yang ada dalam Pancsila versi awal sudah melekat pada pribadi bangsa dan berasal dari pandangan asli nenek moyang Indonesia. Sehingga Pancasila yang disalahgunakan untuk pengkultusan individu Sukarno selama revolusi demi tercapainya ambisi pribadinya itu harus diluruskan. Dibawah bimbingan para ideolog pro Orde Baru, Pancasila secara bertahap dikeringkan dari gema Sukarnois, Kiri, dan Revolusioner dan dimasuki dengan spirit kekeluargaan, yaitu mencakup keseluruhan , harmoni, dan keheningan. Karena Pancasila mencakup keseluruhan maka setiap kritik terhadap ajarannya dapat diartikan sebagai penghiyanatan terhadap bangsa secara keseluruhan (Bourchier 2007: 248-251).
Pandangan Suharto tentang Pancasila dapat dilihat pada pidato-pidatonya baik pidato kenegaraan (PK) maupun Pidato Peringatan hari lahirnya Pancasila (PLP) yang jatuh setiap tanggal 1 juni. Pada PLP tahun 1967, Suharto menekankan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan. Hal ini tercantum dalam sila pertama. Namun menurutnya dalam PK 30  November 1967, meskipun Indonesia merupakan bangsa yang berketuhanan, Indonesia bukanlah negara theokrasi (negara agama).Oleh karena itu untuk menjembataninya, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk  menjamin kehidupan beragama yang sehat (CSIS, 1976: 27-28).
Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti bahwa kedudukan manusia sesuai dengan harkatnya sama sebagai mahluk Tuhan (PLP 1967). Bertolak belakang dari prinsip itu Suharto menegaskan bahwa sila kedua menolak rasialisme yang merugikan kehidupan bermasyarakat. Karena tujuan dari sila ini adalah kebahagiaan rakyat bukan kebahagiaan individu yang merugikan orang lain maka kepentingan pribadi manusia harus diselarskan dengan kewajibannya sebagai anggota masyarakat (Pidato Ulang Tahun ke -25 UGM. 19 Desember 1974). Kemudian untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka hukum harus ditegakan, sehingga tindakan sewena-wena seperti kekerasan, penyalahgunaan wewenang, korupsi bertentangan dengan Pancasila (CSIS, 1976: 39-45).
Nasionalisme, cinta Bangsa dan Tanah Air adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup siatu bangsa, sebab tanpa nasionalisme sebuah bangsa akan mudah terpecah belah, hal ini terangkum pada sila Persatuan Indonesia.  Dalam PLP 1967,  Suharto menyinggung Nasionalisme Pancsila yaitu usaha menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan ataupun warna kulit, termasuk tata pergaulan yang ekslusif. Agar semuanya seirama dengan Pancasila, dalam PK tanggal 16 Agustus 1968, Suharto menghimbau agar etnis Cina menyelaraskan kehidupannya dengan etnis pribumi dengan menjadi Warga Negara Indonesia. Tujuannya supaya mereka setara dalam menjalankan Hak dan Kewajiban serta tidak terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang menjurus rasisme. Ketika perbedaan antara hak dan kewajiban sudah disamaratakan lahirlah kerukunan. Kerukunan hanya mungkin terwujud apabila dalam sebuah kelompok maupun dengan kelompok lain bersatu di dalam keluarga besar bangsa Indonesia (Pidato Pembukaan Munas ke-I Majelis Ulama Seluruh Indonesia 21 Juli 1975) (CSIS, 1976: 48-52).
Konsep Persatuan Indonesia juga dipakai untuk pembangunan nasional. Hal ini tercermin pada hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berorientasi pada Pembangunan Nasional, di mana segala tujuan, sasaran, kebijakan dan perencanaan ditentukan oleh pusat sedangkan pelaksanaannya sebagian besar dilakukan oleh daerah. Proses pembangunan nasional tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan kaum pribumi dan kaum non Pribumi.  Melalui pembangunan  dibidang ekonomi proses asimilasi akan berjalan dengan baik, sehingga akan memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa  (pidato seminar stratergi  pembinaan pengusaha swasta nasional, 29 Mei 1975). (CSIS, 1976: 56-58).
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan merupakan arti lain dari demokrasi, yakni pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi Pancasila berpangkal tolak dari faham kekeluargaan dan gotong royong dimana demokrasi harus bermanfaat untuk kepentingan umum (PK 16 Agustus 1967). Mengutamakan kepentingan umum berarti mendahulukan kepentingan dan keselamatan bersama, bukan kepentingan kelompoknya sendiri, walaupun kelompoknya besar. Hal itu bisa terwujud bila kelompok besar dan kecil bermusyawarah untuk mencapai mufakat bersama (Pidato Dies Natalis UI ke-25, 15 Februari 1975). Kebulatan mufakat bukan ditentukan oleh “paksaan kekuatan”, yang artinya tidak satu golonganpun sewena-wena mempertahankan dan memaksakan kehendak pendiriannya. Karena dalam demokrasi Pancasila jelas menolak diktaktor, baik diktaktor golongan, kelas, maupun militer, namun yang ada hanya prinsip kepentingan rakyat yang didahulukan (PLP 1967) (CSIS, 1976: 58-66).
Sebagai negara demokratis, Indonesia mengenal Pemilihan Umum untuk menyehatkan kehidupan demokrasi (Pidato pelantikan Lembaga Pemilihan Umum, 17 Januari 1970). Hal ini berarti rakyat harus menentukan wakilnya di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Setelah terpilih, tugas MPR adalah membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara dan memilih Presidenbeserta wakilnya untuk jangka lima tahun.  Untuk itu, tugas presiden adalah menjalankan haluan negara. Sedangkan pengawasan terhadap segala tidakan-tindakan Presiden dilaksakan oleh DPR (Pidato Dies Natalis UGM ke-25, 1974). Selain masyarakat sipil, kaum militer juga terlibat ke dunia politik. Dimasukannya ABRI ke dalam kancah politik tujuannya agar mereka mengawal jalannya demokrasi supaya kontitusi kuat dan hukum dapat ditegakan (CSIS, 1976: 67-70).
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia pada prinsipnya adalah kemakmuran yang merata diantara seluruh rakyat. Artinya seluruh potensi bangsa diolah bersama-sama untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan seluruh rakyat. Keadilan sosial juga berarti melindungi yang lemah untuk mencegah kesewang-wenangan dari yang kuat (PLP 1 Juni 1967). Untuk memajukan ekonomi dengan prinsip pembangunan untuk kesejahteraan seluruh rakyat yang diutamakan adalah perbaikan sektor pertanian, meskipun dalam repelita-repelita selanjutnya akan memasuki sektor industri  (Pidato pada Sidang Majelis Pleno HKTI, 11 Maret 1974) (CSIS, 1976: 70-78).
Pelaksanaan P4
Gagasan bahwa pemerintah memiliki peranan yang harus dimainkan untuk menyebarkan Pancasila secara massal bukan hal yang baru bagi Orde Baru. Kuliah tentang Filsafat Pancasila telah menjadi kurikulum wajib di universitas negeri setidaknya sejak 1971. Pada 1973, MPR telah menetapkan bahwa “kurikulum setiap jenjag pendidikan, dari kanak-kanak sampai universitas, negeri maupun swasta, harus mencantumkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan segi-segi yang lain yang sesuai untuk menularkan semangat/ jiwa dan cita-cita 1945 kepada generasi muda. Hal ini menyebabkan pada 1975 pelajaran PMP diperkenalkan di sekolah-sekolah, menggantikan “Budi Pekerti” (ethics) dan “Pendidikan Kewarganegaraan” (civic). Belasan buku teks diterbitkan pada 1976 dan 1977 untuk melayani pasar baru ini, yang kebanyakan ditulis oleh staf menteri pendidikan dan universitas dan semuanya discreening oleh panitia dari para pendukung ideologi militer.
Kampanye P4 yang dimulai pada 1978 dimaksudkan untuk mempengaruhi audien yang lebih luas. Untuk merencanakan kampanye P4 dan menyiapkan materi indoktrinasi, Soeharto menciptakan sejumlah badan baru. Dari berbagai badan baru ini, yang tertinggi adalah kelompok penasehat presiden yang diketuai Roeslan Abdulgani, disebut “P7”. Badan ini disebut P7 karena terdiri dari tujuh kata dalam bahasa Indonesia yang diwakili dengan “p”, tetapi seperti yang disarankan David Jenkins, mengutip “perhitungan orang Jawa yang dekat dengan istana”-P7 juga dilihat sebagai usaha Presiden untuk “mengalahkan” partai politik Islam, PPP (yang umum dikenal dengan P3). Tugas P7 adalah melatih para penatar dan merancang materi indoktrinasi diberikan pada team kedua, yang juga dipimpin oleh Abdulgani, yang melibatkan Menteri Koordinator Bidang  Politik dan Keamanan, Jenderal Panggabean, dan empat ajudan Suharto dari Sekretariat Negara, Sudharmono, Moerdiono, Ismail Saleh dan Hamid S. Attamimi SH.
Tanggungjawab untuk melaksanakan program P4 yang sesungguhnya diberikan Soeharto kepada organisasi yang telah dibentuknya pada Maret 1979, disebut Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disingkat BP7. BP7 merupakan birokrasi tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, dengan lokasi kantor pusat yang sangat bergengsi di Jakarta dan cabang-cabang di tingkat propinsi dan kabupaten. Keanggotaan BP7 Pusat juga terdiri dari para pejabat tinggi, mengindikasikan pentingnya program ini di mata Suharto. Anggota BP7 meliputi Menteri Pendidikan, Daoed Joesoef, Menteri Penerangan, Ali Moertopo dan juga Panggabean, Moerdiono, Nugroho Notosusanto dan ahli hukum Universitas Indonesia profesor Pamo Wahyono SH. Organisasi BP7 sampai 1984 dipimpin oleh seorang ahli hukum militer (dan kelak menjadi Jaksa Agung), Mayjen Hari Suharto SH. Hari Suharto pernah bekerja sebagai Inspektur Jenderal Pertanian di bawah Sutjipto selama dua tahun setelah kudeta dan meupakan teman dekat Sudharmono yang juga anggota aktif di BP7.
Kursus indoktrinasi pada zaman Demokrasi Terpimpin, prinsipnya adalah bahwa kursus P4 akan dimulai di pusat, dalam istilah Geertz, “pusat sebagai percontohan” dan menyebar ke luar dengan intensitas yang berkurang melalui jabatan birokrasi dan kemudian pada masyarakat secara keseluruhan. Pada 1 Oktober 1978, Presiden Suharto membuka penataran P4 tingkat nasional yang pertama untuk para pejabat senior. Para pejabat tinggi diwajibkan mengikuti penataran “Tipe A” yang berlangsung selama beberapa bulan, termasuk mendengarkan ceraah, berpartisipasi dalam diskusi dan menyiapkan serta menyajikan paper seminar. Para birokrat eselon dua mengikuti penataran “Tipe B” yang lebih singkat dan lebih sederhana, dans eterusnya hingga barisan yang paling bawah. Penataran bagi pegawai pemerintah tingkat rendah, eperti sopir dan juru ketik, hanya terdiri dari ceramah beberapa hari. (Bourchier, 2007: 350)
Sistem penaratan juga (dan tetap) diatur seara hirarkis. Para duta besar, rektor universitas dan para pejabat tingkat tinggi lainnya menerima penataran langsung dari anggota BP7, dalam kursus intensif yang berlangsung selama 120 jam. Para lulusan penataran P4 yang diadakan oleh pejabat BP7 pusat dan propinsi diberika derajat Jawa Kuno “Manggala” (komandan), yang memungkinkan mereka memberikan penataran terhadap para pegawai lebih rendah dan bertindak sebagai juru bicara ideologi bagi pemerintah. Pada seiap tingkatan, sepuluh lulusan terbaik mendapatkan hak sebagai penatar. dengan cara ini, setahap demi setahap, P4 mencapai lebih dari dua juta pegawai negeri sipil dan perwira militer hinga 1983.
Kehadiran di setiap sesi penataran P4 merupakan keharusan. Ketingalan satu hari saja akan berarti gagal mengikuti penataran. Tidak ada alasan yang dapat diterima bagi ketidakhadiran, bahkan meskipun alasan itu adalah karena anggota keluarga meninggal. Juga tidak cukup jika peserta hanya hadir, mereka juga harus memiliki sikap yang benar. Warga negara Indonesia yang hidup di luar negeri juga diwajibkan mengikuti panataran P4 di kedutaan-kedutaan besar dan konsular mereka. Acara khusus “pengenalan” Pancasila selama tiga hari bahkan diberikan di mana sejumlah pengusaha asing yang tingga di Indoesia diminta menghadiri.
Antara April 1977 dan Juli 1978, Departemen Pendidikan mengadakan sejumlah revisi terhadap kurikulum univeritas, yang menyebabkan diperkenalkannya kuliah Pancasila sebagai bagian kurikulum dasar yang diwajibkan di semua lembaga pendidikan tinggi. Salah satu edaran yang diberikan pada apara pimpinan lembaga pendidikan tinggi dari Dirjen Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa tujuan kualiah tersebut adalah untuk menciptakan keyakinan pada Pancasila sebagai “Volkgeist” (jiwa) bangsa (aslinya dari bahasa Jerman). Seperti dalam penataran P4, kuliah Pancasila di universitas-universitas sebagian besar terdiri dari kuliah mengenai Pedoman P4, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1978.
Pemusatan propaganda ideologi secara nasional bagi orang dewasa disesuaikan dnegan pengawasan yang sama ketat terhadap produksi materi Pancasila untuk para siswa sekolah. Tidak lama setelah Daoed Joesoef mengambil alih Menteri Pendidikan pada Maret 1978, Darji diangkat Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Tanggung jawab untuk Pendidikan Moral Pancasila (PMP) –yang dapat disejajarkan dengan P4 bagi anak-anak sekolah – yang hingga saat itu ditangani oleh unit utama pengembangan kurikulum departemen, dilimpahkan hanya pada Darji. Buku teks yang dihasilkan team Darji menjadi teks standar yang diwajibkan di semua sekolah. Nilai-nilai yang disebarluaskan dalam kampanye ideologi Orde Baru paska 1978 dinyatakan dengan jelas dalam buku teks PMP. Tema-tema kunci dalam buku teks ini adalah hirarki, ketertiban, kepemimpinan, dan  keluarga.
Memang benar bahwa P-4 memiliki fungsi hubungan publik. Pemerintah jelas sangat ingin memberikan kesan terhadap para pegawai negeri sipil pentingnya mempertahankan standar moralitas yang tinggi. Karena target kritik mengalami perubahan, maka fokus P-4 juga mengalami perubahan. Sebagian yang lain menggambarkan kampanye P-4 dalam kerangka tanggapan pemerintah terhadap oposisi yang dilakukan kaum muslim. P4 memang merupakan bagian dari usaha untuk mendelegitimasi Islam sebagai kekuatan dalam arena politik. Tetapi itu bukan alasan satu-satunya mengapa pemerintah mencurahkan sumberdaya yang sangat luas untuk P4.
P4 mungkin paling baik dipahami sebagai bagian dari pengertian Soeharto mengenai misi jangka panjang untuk membersihkan Indonesia dari sisa-sisa konflik dan persaingan dalam kebudayaan politik yang lama dan untuk menggantikannya dengan wacana tradisi semu yang baru berupa kepatuhan dan keserasian. Maka, satu tujuan utama kampanya P4 adalah untuk membentuk rakyat Indonesia dalam citra yang baru, untuk menciptakan apa yang disebut pemerintah “Manusia Pancasila” atau “Manusia Seutuhnya”.
Soeharto mencurahkan dekade pertamanya dalam kekuasaan untuk memperbaiki ekonomi dan infrastruktur politik, periode antara pertengahan 1970-an dan pertengahan 1980-an memperlihatkan presiden menjadi semakin disibukkan oleh pematapan dan pengawasan batas-batas wacana ideologis yang absah. Bagian terpenting dari proyek ideologis Soeharto adalah program indoktrinasi massa yang rumit dan mahal untuk membentuk kembali Indonesia. Tidak ada penjelasan yang logis dan ilmiah tentang dilaksanakannya proyek ideologi yang memakan biaya sangat mahal ini. Segala sumber daya dikerahkan Soeharto untuk menggalakkan program ini dan mendistribusikan pengetahuan tentang P-4 kepada seluruh lapisan masyarakat. Tak bisa dipungkiri, P-4 adalah salah stu program yang ambisius pada Masa Orde Baru yang setidaknya bertujuan untuk mengenalkan Pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat, baik golongan muda maupun golongan tua.
Penyelewengan Sila ke-4 dalam Kehidupan Berdemokrasi
Pada masa Orba, demokrasi dibungkus dengan wajah Demokrasi Pancasila. Kepiawaian Suharto mengoperasikan ideologi Pancasila yang telah diorbaismekan berbuah manis pada langgengnya kekuasaan Suharto selama tiga dasawarsa di Pemerintahan. Dengan cara menanamkan ideologi Orbaisme melalui infiltrasi kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi, pendidikan, dan agama, pribadi Suharto menjadi orang yang tak tertandingi. Namun dibalik kegemilangan Suharto memainkan tongkat politiknya, terdapat hal-hal yang tidak bisa ditolerir jika dilihat dari kacamata era reformasi saat ini, yakni penyelewengan terhadap sila Pancasila terutama sila yang mengatur kehidupan berdemokrasi (sila ke-4).
Golkar merupakan bagian penting di tubuh Orde Baru karena melalui organisasi massa ini Suharto mampu bertengger di kursi pemerintahan selama tiga dekade. Hal itu tidak mungkin terjadi apabila Suharto tidak mempunyai ahli strategi sehandal Murtopo. Mekanisme penting yang dilakukan oleh Murtopo untuk memenangkan Pemilu 1971 adalah dengan menbentuk Badan Pengendali Perolehan Pemilu (Bapilu) pada tahun 1970. Tugas Bapilu adalah mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya dengan cara membujuk partai-partai dan organisasi-organisasi massa kecil supaya mereka membubarkan diri dan mau bergabung dengan Golkar (Bourchier 2007: 292).
Sasaran Murtopo untuk memaksimalkan suara Golkar selanjutnya adalah menguasai Kemendagri dengan membentuk Korps Komando Karyawan Kementerian Dalam Negeri. Dibentuknya Korps ini tidak lain adalah strategi Murtopo untuk mengikat PNS agar tidak menyeberang ke partai lain. Dengan mewajibkan PNS menjadi anggota Korps itu, otomatis Golkar mempunyai massa tambahan sebanyak 800.000 orang (Bourchier, 2007: 293). Hal penting lainya yang tidak boleh dilewatkan oleh Murtopo di Kemendagri adalah memanfaatkan peranan pamong praja untuk mengkuningkan daerahnya. Sebagi pejabat administrasi pemerintahan, Pamong Praja punya wewenang yang memungkinkan dapat mengGolkarkan rakyat. Mereka yang kebayakan dari orang-orang militer, melalui rantai komando diberi tugas untuk menginformasikan kepada warga perihal prosedur pemilihan umum di daerahnya. Namun praktiknya mereka tidak  hanya sekedar menginformasikan prosedur pemilu namun juga mewarnainya dengan paksaan dan ancaman kepada warga agar memilih Golkar pada pemilu 1971 (Bourchier, 2007: 294).
Golkar akhirnya menjadi pemenang pada pemilihan tahun 1971, disusul kemenangan tahun 1977 dan 1982. Distiap pemilu yang diadakan lima tahun sekali itu, partai ini mampu meraup suara sebanyak 60%. Keberhasilan Golkar terkait dengan peraturan pemerintah atas undang-undang Pemilu dan kepartaian serta pelaksanaannya yang menguntungkan Golkar. UU Pemilu dan kepartaian secara sitematis telah melakukan diskriminasi terhadap partai-partai lawan tanding Golkar. Sebagai contohnya adalah melarang partai peserta pemilu membentuk cabang-cabang partai di bawah tingkat propinsi. Namun tanpa peduli telah melanggar peraturan yang ditetapkan oleh “orangnya sendiri”, mereka malah sudah membentuk cabang-cabang permanen di dalam pemerintahan dengan memanfatkan struktur birokrasi di Kemendagri dari tingkat pusat hingga kecamatan (Hisyam, 2003: 2007).
Di mata Suharto, meskipun Pancasila dan Golkar sudah memiliki kedudukan yang kuat, ia masih phobia akan kekuatan yang merorong kekasaannya secara laten yang berasal dari ekstrem kanan dan ekstrim kiri. Ekstrim kanan dipersepsikan sebagai kaum Islam fanatik yang menghendaki digantinya ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam dan ekstrem kiri yang digambarkan sebagai kaum  komunis yang ingin menghapuskan Pancasila melalui jargon Revolusi. Menghancurkan Massa Islam tidak semudah menghancurkan massa Komunis. Hal ini karena budaya Islam sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Massa Islam dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup pemerintah Suharto dan perwira militer penasehatnya yang kebanyakan dari mereka adalah orang Kristen dan penganut Kejawen. Kecemasan itu timbul karena ada anggapan bahwa orang Islam selalu mendorong terbentuknya negara Islam, atau setidaknya menetapkan Piagam Jakarta yang mewajibakan penggunaan syariah Islam bagi pemeluknya (Bourchier 2007: 328). Untuk membentengi ancaman tersebut kemudian Suharto menjinakannya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertahanan dan Keamanan tahun 1984. RUU  tersebut memposisikan ABRI sebagai pemain utama dalam pemeliharaan keamanan dan stabilitas sosial politik di Indonesia. Di tahun yang sama lahir pula RUU baru yang isinya mengharuskan pelaksanaan “demokrasi Pancasila” yang secara subtansial tujuannya adalah menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam dasar organisasi politik dan organisasi masyarakat (Hisyam, 2003: 205-206).
Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Tak hayal billa sejak era Kolonial Belanda umat Islam sudah banyak yang berkecimpung ke dalam kancah perpolitikan Nusantara. Di era Orde Baru, massa basis Islam ditampung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP semula merupakan gabungan dari partai-partai dan golongan Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Sarekat Islam Indonesa (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Meskipun partai ini secara formal merupakan oposisi dari Golkar, namun Suharto mampu menguasai arah tujuan partai ini dengan cara deideologi partai. Deideologi berarti peniadaan atau dalam permasalahan ini dimaksud dengan penghapusan ideologi Islam oleh Suharto. Deideologi telah berlangsung sejak 1968 ketika umat Islam mengadakan Kongres Umat Islam di Malang tahun 1968, dimana salah satu keputusannya adalah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Dalam rapat tersebut disetujui bahwa Muhammad Roem dipilih sebagai ketua partai dengan alasan mengingat ia adalah bekas pengurus Partai Masyumi.  Namun, Suharto segera menolaknya dengan alasan bahwa Pemerintah Orde Baru tidak mau merehab Partai Masyumi (ekstrem kanan) karena alasan Yuridis, Ketatanegaraan dan Psikologis yang bertentangan dengan ABRI (Sulaiman, 2008: 15-16).
 Melekatnya ideologi Islam di dalam tubuh PPP merupakan dasar dari perlawanan terhadap disahkannya RUU keormasan. Pasalnya, aturan baru itu dapat merugikan partai itu sendiri. Umat Islam sebagai pendukung utama PPP sangat cemas karena nantinya dengan digantinya asas Islam menjadi Pancasila mereka akan kehilangan identitas dan kedudukannya (Hisyam, 2003: 214). Reaksi umat Islam cukup bervariasi. Tidak sedikit tokoh Islam yang terang-terangan menolak Pancasila sebagai asas Partai Islam. Sikap reaksioner umat Islam yang paling menyolok tergambar pada tragedi Tanjung Priok. Peristiwa yang diawali dari serangkaian pidato dan kutbah anti kebijakan rejim Orde Baru tersebut direspon dengan tindakan koersif oleh Aparat yang menimbulkan bentrokan. Bentrokan berdarah antara massa Islam versus Aparat di Priok menyebabkan sembilan orang tewas dan ratusan luka-luka. Meskipun banyak tokoh Islam menolak disahkannya UU keormasan tersebut, namun pada akhirnya melalui UU No. 3 tahun 1985, PPP sebagai salah satu wadah aspirasi politik umat Islam mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai, dengan konsekuensi PPP harus mengganti lambang Ka’bah menjadi Bintang. Diterimanya Pancasila oleh partai tersebut sangat menguntungkan pihak Suharto sebab kekawatirannya terhadap lahirnya ideologi Islam telah hilang (Sulaiman, 2008: 16).
Setelah berhasil menjinakan massa politik Islam, operasi politik Suharto selanjutnya adalah menjinakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Secara historis, berdirinya PDI merupakan buntut dari peraturan pemerintah tentang pembatasan dan penyatuan partai-partai di Indonesia. Sejak tanggal 4 Maret 1970, Golongan Nasionalis yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik Indonesia, dan Partai Kristen Indonesia melebur menjadi PDI (Rahmat, 2013: 2). Meskipun beraliran nasionalis, campur tangan Suharto dalam internal PDI tidak bisa dihindarkan seperti halnya campur tangan Suharto pada PPP. Campur tangan Suharto terhadap PDI sudah berlangsung sejak dilangsungkannya penyelenggaraan Kongres III pada 15-17 April 1986. Saat itu, Kongres gagal memilih ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI untuk menggantikan Sunawar Soekowati yang meninggal empat bulan sebelumnya. Melihat kondisi seperti itu, Menteri Dalam Negeri terpaksa turun tangan untuk mengangkat Soerjadi (Antek Pemerintah) menjadi ketua umum DPP PDI (Rahmat, 2013: 2). Pengangkatan Soerjadi tidak lantas memuaskan massa PDI lainya, termasuk kubu Megawati. Persaingan semakin memenas tatkala Megawati terpilih menjadi ketua umum PDIP tahun 1993. Terpilihnya Megawati menimbulkan kekawatiran Pemerintah Suharto terhadap bangkitnya Sukarnoisme. Megawati yang setia didukung oleh rakyat (politik arus bawah) juga membahayakan posisi Soerjadi sebagai ketua DPP. Akibatnya pada tahun 1996, kelompok PDI Pro Soerjadi berinisiatif menyelenggarakan Kongres di Medan untuk menobatkan Soerjadi sebagai Ketua Umum pada bulan Juni 1996 (Rahmat, 2013: 2). Dengan restu Suharto akhirnya Soerjadi dipilih menjadi Ketua Umum PDI. Rekayasa Pemerintahan Orde Baru selanjutnya adalah menggulingkan Megawati dengan pengambilalihan kantor Pusat DPP PDI yang sedang didudukinya oleh kubu Soerjadi yang dibantu oleh Aparat. Bentrokan massa pro Mega dan massa Pro Soerjadi yang mulanya pecah di depan Kantor DPP PDI kemudian menyebar luas hingga ke Salemba dan menimbulkan kerugian material yang cukup banyak mengingat pada saat itu banyak gedung-gedung yang dibakar oleh massa  (www.wikipedia.com).
Menurut Liddle seorang pakar politik Indonesia dari Amerika, keberhasilan Suharto mencengkeram dan menguasai lawan politiknya tidak terlepas dari disahkannya RUU keormasan pada tahun 1985. Hal itu telah memposisikan Suharto di puncak kekuasaan. Lewat UU tersebut Suharto praktis menguasai kontrol yang sempurna atas politik Indonesia baik mekanisme pemilu, keanggotaan DPR/MPR dan peran Orpol dan Ormas (Hisyam, 2003: 215).
Runtuhnya Orde Baru
Runtuhnya Orde Baru dibarengi dengan memudarnya ideologi Pancasila dibenak pikiran rakyat. Ideologi yang dibanggakan Suharto akhirnya mengalami devaluasi makna setelah masyarakat kian cerdas menyoroti transformasi kehidupan modern akibat meningkatnya kualitas pendidikan dan pengaruh globalisasi. Hal itu sangat terasa pada memudarnya ikatan nilai dan norma-norma Pancasila yang mulai terang-terangan ditinggalkan rakyat dan pendukungnya. Hasilnya, aksi protes yang dilakukan oleh suatu kelompok kontra Orde Baru mulai marak (Wardaya, 2007: 88). Padahal sebelum tahun 1998, tidak ada satupun elit politik oposisi yang berani melawan Suharto. Namun itu bukan menjadi penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Penyebab utamanya adalah  kekecewaan masyarakat akibat bencana krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 yang tidak mampu diatasi oleh pemerintah Suharto.
Kemakmuran rakyat yang tercipta atas berhasilnya program “Revolusi Hijau” mulai berubah kondisinya saat nilai tukar rupiah anjlok. Krisis yang mengakibatkan melambungnya harga-harga barang melahirkan gelombang besar demo penolakan terhadap dipilihnya kembali Suharto sebegai presiden. Sebenarnya Suharto sudah melakukan berbagai akomodasi politik dan merubah sususan kabinetnya untuk menanggulangi krisis, namun usahanya tersebut ditolak oleh jajajran menterinya dan sejumlah tokoh Indonesia. Hingga akhirnya pada Kamis, 21 Mei 1998, Suharto menyampaikan pidato pengunduran diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Pidato itu sekaligus mengahiri perjalanan Pemerintah yang ia tungganginya.

Rujukan Pustaka

·         Aspinall, Edward., dkk. 2010.  Soeharto New Order and Its Legacy; Essays in Honour of Harold Crouch. Camberra: ANU E press.
·         Brourchier, David. Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis (Integralistik). Oleh Agus Wahyudi. Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta dan Pusat Studi Pancasila UGM.
·         Centre for Strategic and International Studies (CSIS). 1976. Pandangan Presiden Suharto tentang Pancasila. Jakarta: Yayasan Proklamasi Centre for Strategic and International Studies.
·         Dedek Sulaiman. 2008. Deideologi Politik Islam (Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal). Srkipsi Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
·         Hisyam, Muhammad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: YOI.
·         Rahmat, Aam Amaliah. 2013. Peristiwa 27 Juli 1996: Konflik dalam Partai Demokrasi Indonesia antara Kubu Megawati dengan Kubu Soerjadi. Skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Univeristas Pendidikan, Bandung.
·         Wardaya, Baskara T. dkk., 2007. Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto. Yogyakarta: Galangpress.
·         Peristiwa Kudatuli. Diakses dari www.wikipedia.com.

No comments

Powered by Blogger.