Rusaknya Ekosistem Asli Pulau Jawa - Bagian Fauna
Di mata
peneliti asing Nusantara milik kita ini sangat menggoda untuk diteliti dibanding
dengan tempat-tempat lain di dunia. Letak Nusantara yang membentang sejajar
dengan garis katulistiwa telah dianugerahi Sang Pencipta beragam flora dan
fauna yang menyebar di dalamnya. Begitupula keanekaragaman penduduknya yang
terdiri dari bermacam suku dan kebudayaan. Keunggulan itulah yang membuat para
Indonesianis seperti Dubois, Koeningswald, Wallace dan Cabaton semakin jatuh hati untuk
mengungkap misteri demi misteri yang bernaung di negeri ini yang ternyata bila
disibak memiliki kekayaan yang luar biasa besarnya.
Antoine Cabaton adalah sejarawan
asal Perancis yang juga ikut menceritakan kekayaan Nusantara di dalam bukunya “Java,
Sumatra, and Other Island in Dutch East-Indies”, termasuk disinggung menurunya populasi fauna
di Pulau Jawa akibat dari perburuan di masa lampaunya.
Sebagaimana pulau-pulau Nusantara lainnya, Jawa adalah tempat pertanian pangan. Penduduk Jawa menjalani eksistensinya di bidang pertanian murni dengan menanam padi. Menurut Cabaton menanam padi bukanlah perkara mudah. Penduduk Jawa biasanya bekerja selama seharian di dalam lumpur setinggi lutut yang kaya gas berbahaya. Kemudian saat memanen mereka juga harus membungkuk, karena bulir-bulir padi dipetik dengan tangan bukan dituai dengan sabit besar sebagaimana panen jagung di Inggris. Dari tanaman ini penduduk Jawa memperoleh penghasilan berupa beras sebagai makanan pokok yang tidak tergantikan. Sehingga merupakan perkataan lumrah jika orang Jawa merasa belum makan bila belum makan beras (nasi).
Menurut Cabaton, Orang Jawa tidak dilahirkan sebagai pekerja berat. Mereka
dapat hidup dengan segenggam beras dan sedikit buah. Mereka dapat makan tanpa
usaha karena kesuburan tanahnya. Namun yang menarik dari kebiasaan bekerjanya,
mereka cenderung bekerja secara santai selama berabad-abad lamanya, sehingga menurut
orang Barat yang memiliki kebiasaan tergesa-gesa sikap seperti itu tidak akan
menguntungkan bagi mereka. Selain dari penghasilan sawah, orang Jawa juga gemar
memancing dan berburu untuk menambah persediaan makanan mereka. Meskipun
bertanam lebih menghasilkan dari pada berburu namun akhirnya berburu tetap
dilakukan dan itulah yang menjadi titik awal berkurangnya populasi fauna di Pulau
itu.
Diantara
fauna Jawa yang hampir atau telah punah saat ini adalah harimau. Harimau setidaknya
pernah mengaung di Jawa. Namun karena ulah pembesar lokal, kucing
besar itu akhirnya banyak diburu untuk ditarungkan sebagai sambutan atau perayaan kedatangan tamu penting.
Perburuan
harimau paling gencar ada di Priangan. Penduduk sana menangkap hewan itu hidup-hidup dengan perangkap. Prinsip perangkat yang digunakan seperti
perangkap tikus. Dengan cara ini harimau terbaik akan dibawa ke istana Sultan
Yogyakarta maupun Susuhunan Surakarta tanpa terluka, dimana mereka dipelihara
untuk festival tarung hewan buas yang diadakan tiap tahunnya. Meskipun diadu di
istana, namun kasus kematian harimau paling banyak malah dijumpai di sungai.
Mereka ditenggelamkan bersamaan dengan kandangnya dengan maksud untuk diawetkan
sebagai komoditas dagang.
Perburuan harimau juga didukung oleh mitos yang hidup di kebudayaan pribumu. Orang
pribumi percaya bahwa kulit, gigi, cakar dan kumis harimau memiliki daya magis
yang kuat untuk dijadikan sebagai jimat. Setelah bagian tersebut diambil lalu beberapa bagian tubuh lainnya, dikirim
ke Eropa.
Sebagai komoditas dagang tidak semuanya di kirim ke Eropa namun juga ada yang tetap diperdagangkan di Nusantara untuk dimanfaatkan sebagai dekorasi. Sebelum dijual kulit harimau dikeringkan terlebih dahulu. Dalam proses pengeringan seringkali tidak sukses karena terganggu oleh seranga. Hal ini yang menyebabkan kulit harimau lembab yang akan berdampak pada semakin rendah nilai jualnya akibat kehilangan kilap.
Sebagai komoditas dagang tidak semuanya di kirim ke Eropa namun juga ada yang tetap diperdagangkan di Nusantara untuk dimanfaatkan sebagai dekorasi. Sebelum dijual kulit harimau dikeringkan terlebih dahulu. Dalam proses pengeringan seringkali tidak sukses karena terganggu oleh seranga. Hal ini yang menyebabkan kulit harimau lembab yang akan berdampak pada semakin rendah nilai jualnya akibat kehilangan kilap.
Meskipun
di Jawa tidak ada gajah, namun masih terdapat kawanan badak. Kawanan itu lama
kelamaan semakin berkurang akibat habitatnya tergeser oleh hunian manusia.
Orang Jawa sangat semangat memburu badak karena harga kulitnya mencapai 200 florin (lebih dari 16 pound sterling) sedang culanya juga laku dijual kepada orang-orang Cina yang mempercayai bahwa
cula badak memiliki kasiat pengobatan yang luar biasa. Orang Jawa sendiri
percaya mitos bahwa serpihan cula badak yang dioleskan pada bekas gigitan ular
dapat menetralisis racun yang menyebar dalam tubuh.
Babi liar
sangat banyak di Jawa. Spesies utamanya adalah wiyung atau babi kopi (Sus
vittatus) dan gonteng gunung (Sus
verrucosus). Orang Jawa memburunya karena kawanan babi sering merusak
tanaman mereka. Meskipun dagingnya lezat, mereka tidak banyak menikmatinya
karena hukum agama yang dianut mayoritas melarang memakannya. Namun meskipun
demikian daging babi banyak dikonsumsi oleh orang-orang Cina. Malahan dibanyak
daerah, daging babi diiris tipis-tipis untuk dibuat dendeng.
Kerbau
liar atau banteng (Bos sondaicus) banyak yang mati ditembak untuk dikonsumsi
dagingnya. Banteng adalah hewan buruan yang sangat menguntungkan karena kulit,
tanduk, dan kukunya menjadi komoditas dagang yang laku dipasaran. Selain itu dagingnya juga cukup lezat.
Selain
banteng, Rusa ikut diburu. Produk olahan rusa seperti daging, kulit,
tanduk dapat digunakan dalam berbagai bahan industri. Peminatnya adalah orang-orang
Cina. Mereka percaya bahwa tanduk rusa memiliki kasiat pengobatan yang lebih
ampuh dibanding cula badak. Perburuan rusa jantan dengan anjing adalah hasrat
orang Eropa dan penduduk pribumi. Hasilnya seperti yang dilaporkan Junghuhn (1860)
kawanan Rusa mulai jarang dilihat penduduk.
Dari
sumber daya alam yang luar biasa banyaknya, sebenarnya orang Jawa dapat
meningkatkan penghasilannya. Namun karena kurangnya kepedulian dan tinjauan akan masa
depan, pembantaian fauna domestik Jawa malah dilegalkan. Walhasil, akibat ulah mereka, saat ini kita sebagai penerus generasi mereka sudah kesulitan untuk menemui fauna-fauna endemik Jawa akibat banyak yang punah. Lalu,
apakah kita akan meniru tingkah mereka?
Rujukan Pustaka
Cabato, Antoine. 2015. Jawa, Sumatra dan Kepulauan Lain di Hindia Belanda. Yogyakarta : Ombak.
Sumber gambar: http://squaresolid.tumblr.com/page/3
Rujukan Pustaka
Cabato, Antoine. 2015. Jawa, Sumatra dan Kepulauan Lain di Hindia Belanda. Yogyakarta : Ombak.
Post a Comment