Rusaknya Ekosistem Asli Pulau Jawa - Bagian Flora
Jawa adalah salah satu dari belasan ribu nama Pulau yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Jawa termasuk pulau terluas setelah Papua,
Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Tanahnya yang subur membuat pulau ini dapat ditumbuhi beranekargam spesies tumbuhan di atasnya.
Salah satu diantaranya adalah pohon jati.
Sebelum VOC menguasi Pulau Jawa, hutan-hutan jati masih alami. Hutan-hutan itu tidak lain mulanya adalah milik penguasa
Pribumi yang bergelar sebagai raja lokal (seperti Sunan dan Sultan). Meskipun dibawah
kendali Raja Pribumi, rakyat yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani masih diperbolehkan
untuk memanfaatkan hasil hutannya. Dari hasil hutan itu, setidaknya rakyat
sudah bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Keadaan mulai berubah ketika Kompeni datang. Rakyat tidak diperbolehkan lagi memanfaatkan hutan jati sebagai sumber penghidupan mereka. Akibat klaim tersebut kondisi rakyat menjadi menderita. Penderitaan semakin diperparah dengan adanya pajak yang harus dibayarkan mereka kepada VOC. Seperti misalnya di tahun 1796. Dibawah koordinasi bupati setempat, rakyat diwajibkan membayar pajak barang, sebesar 5.524 koyang padi (1 koyang = sekitar 27 pikul = setara 1.729,32 kg), 1 koyang kacang, 93 pikul nila, 9300 balok kayu, minyak kelapa, minyak tanah, lilin, lada, dan sebagainya, belum termasuk kopi dan teh. Dari seluruh pajak itu, tidak jarang merupakan hasil dari kerja paksa.
Menurut Dirk van Hongendrop pada abad XVIII yang dikutip
Raffles dalam bukunya The History of Java dikemukakan bahwa “hutan di
Jawa memiliki kayu jati yang cukup banyak untuk membuat kapal-kapal bagus dalam
waktu singkat seperti yang kita butuhkan. Rami juga tumbuh subur, buruh juga
tersedia dengan sangat murah sehingga memudahkan untuk membuat tali-tali dalam
waktu singkat. Kayu jati diperoleh tanpa harus susah payah". Pernyataan
van Hongendrop tersebut didukung oleh van Soest yang mengatakan bahwa “mulai
dari pesisir Karesidenan Tegal sampai ujung timur Jawa tertutup rapat oleh
hutan jati yang sangat bagus dan tinggi nilainya. Kompeni memanfaatkannya
terutama untuk membuat bangunan miliknya, seperti gudang, benteng, kapal-kapal
dagang, pembuatan tanggul penahan ombak laut (zeeweringen), dll.”
Namun, semenjak pertengahan abad XVII hingga menjelang pemerintahan Daendles
1808, eksploitasi hutan jati dilakukan secara besar-besaran tanpa
memperhitungkan kerusakan yang bakal terjadi di masa depan.Tingginya permintaan kayu jati tidak hanya datang dari pihak Kompeni
semata, tetapi juga adanya keterlibatan orang Cina yang banyak memiliki
perusahaan galangan kapal di pesisir utara Jawa. Kayu jenis ini dibutuhkan sebagai
bahan baku dalam membangun kapal-kapal di perusahaan mereka. Karena tingginya kebutuhan
akan kayu jati waktu itu maka kerusakan hutan jati di pulau Jawa makin meluas.
Kerusakan itu dapat dilihat dari laporan Soest yang mengatakan bahwa “pohon
jati yang ada di pesisir utara mulai habis sebagai akibatnya perambahan kayu
jati mulai masuk ke pedalaman.“
Klaim hutan yang dilakukan VOC tampaknya tidak dipikirkan dampak panjangnya.
Oleh sebab itu mengapa di awal pergantian kekuasaan dari VOC ke Pemerintah Belanda, Pemerintah Baru yang berkuasa harus menanggung
akibatnya yaitu menghadapi perlawan
rakyat yang marak di daerah-daerah. Tercatat lebih dari tiga perlawanan pecah yang berlangsung selama kurun waktu pasca pembubaran VOC mulai dari pemberontakan Ronggo di daerah Madiun, Umar Mahdi di Purworejo
dan yang paling berbahaya dan menguras banyak kekayaan Belanda adalah
pemberontakan Diponegoro yang menyebar hampir di seluruh Kabupaten-Kabupaten yang berada di wilayah bagian Tengah dan Timur Jawa. Pemberontakan tersebut mungkin tidak akan pernah terjadi bila sumber penghidupan tradisional rakyat dari hutan disekitar tempat tinggalnya tidak dirampok oleh Pemerintah yang berkuasa.
Rujukan Pustaka
Warto. 2001. Blandong Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di
Rembang Abad Ke-19. Surakarta: Pustaka Cakra.
Post a Comment