Dari Ekonomi Tradisional Menuju Ekonomi Kapitalis dan Berujung Pada Dualisme Ekonomi
Latar Belakang
Masyarakat
mengembangkan sistem ekonominya secara bertahap, mulai dari yang paling
sederhana hingga yang paling maju. Kemajuan ekonomi dalam masyarakat dapat
diukur melalui segi penggunaan penalaran, barang kapital yang digunakan, alat
pertukaran barang, dan motivasi pendorong kegiatan ekonomi (Soetrisno,
1984:117). Sombart membagi sistem ekonomi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pra
kapitalisme, tahap kapitalisme dan tahap post kapitalisme. Pada tahap pra
kapitalisme, motivasi yang mendorong masyarakat melakukan kegiatan ekonomi yang
paling kuat adalah memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian pada tahap kapitalis,
kegiatan ekonomi didorong untuk mencari laba. Dalam tahap kapitalismus dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu tahap permulaan, tahap tingkat tinggi dan tingkat
akhir. Pada tingkat permulaan, motivnya adalah mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya saat transaksi
penjualan produk. Sedangkan kapitalisme tingkat tinggi motivnya adalah
memperluas penjualan produk dengan memperbanyak cabang industri seluruh dunia.
Kemudian kapitalisme tingkat tinggi (tahap Spat Kapitalismus) tujuannya berubah, yaitu selain mencari laba
juga dibarengi dengan usaha sosial dengan membantu memajukan pendidikan,
memberantas kemiskinan, dan infrakstruktur umum. Pada Kapitalisme tingkat
akhir, kegiatan perekonomian sudah tertuju pada kepentingan masyarakat (Soetrisno,
1984:118).
Sebelum adanya sifat ekonomi kapitalis, sifat ekonomi masyarakat (tradisional) sudah ada dan berkembang, yaitu ekonomi sederhana yang dianut oleh penduduk asli. Setelah masukanya bangsa Barat, kapitalistik menjadi sifat ekonomi penguasa. Sistem ekonomi ini diadopsi dari dunia Barat dengan motiv tujuannya adalah mencari laba. Transisi sifat ekonomi tradisional ke kapitalisti terjadi saat bangsa Barat menjajah Indonesia. Tetapi pasca kolonial, ada keseimbangan antara ekonomi kapitalis dan tradisional yang sama-sama kuat. Dua ekonomi yang berdampingan dengan sifat yang berbeda itu oleh J.H. Boeke disebut sistem ekonomi dualistik (dualistische economie) (Soetrisno, 1984:119).
Perkonomian
Jawa Pra Kolonial (Ekonomi Tradisional)
Pulau Jawa terletak di
Tenggara Selat Malaka. Pulau ini memiliki gunung berapi aktif dari ujung barat
hingga ujung timur. Tercatat, Jawa memiliki 79 gunung berapi aktif yang meletus
sejak tahun 1600-an dan gunung berapi sudah padam sebanyak 21 buah. Sehingga Jawa
memiliki kesuburan tanah yang lebih baik dibanding pulau-pulau lainnya. Di bagian
utara pulai ini terhampar daratan aluvial yang cocok menjadi wilayah pertanian
pangan. Sedangkan Pegunungan tengah umumnya cocok untuk jenis tanaman berumur
panjang, namun dapat juga ditanami tanaman pangan (Irhash Ahmady, dkk., 2010:
9).
Sebelum bangsa Barat menjajah Pulau Jawa,
perekonomian Jawa masih digerakan oleh rakyat dengan ditandai kesibukan
sehari-hari rakyat yang hidup sebagai petani, nelayan dan pedagang (Departemen
P dan K, 1978: 48). Kehidupan ekonomi masyarakat Jawa masih bersifat
tradisional karena motivasi yang mendorong masyarakat melakukan kegiatan
ekonomi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam kegiatan ekonomi mereka
masih dipengaruhi oleh tradisi, yaitu tingkah laku masyarakat yang masih terikat
pada pola-pola tertentu seperti: penentuan upah, pembagian kerja, pembagian jam
kerja, dan penggunaan peralatan modal yang masih bersifat tradisional (Soetrisno,
1984:120).
Tingkah laku masyarakat
tradisional Jawa dalam kegiatan ekonomi dapat dilihat dari
kebiasaan-kebiasaannya seperti menanam padi. Menurut van Moll (dalam Hiroyosi
Kano dkk., 1996:84), adat kebiasaan masyarakat Jawa masa kolonial, semua
kegiatan yang membutuhkan penanganan khusus
pada tanaman padi dilakukan oleh perempuan. Menanam benih dan menuai
tangkai-tangkai padi yang sudah masak menjadi tugas mereka. Kemudian setelah
padi mengunung, anak-anak duduk di gubuk mengerak-gerakan tali yang
bergantungan benda-benda mengkilap untuk mengusir burung. Pada saat panen, kaum
perempuan akan turun ke sawah. Mereka menggunakan pisau khusus untuk memotong
gagang-gagang padi. Kemudian mereka membuat ikatan agar mudah dipindahkan ke
lumbung padi. Di pedesaan, hanya ada dua kelas masyarakat, yakni pemilik tanah
dan buruh. Hubungan relasi patron-klien sangat mewarnai kehidupan sosial di
Jawa. Tidak semua petani memiliki tanah, sehingga agar mereka dapat
melangsungkan hidupnya, mereka bekerja sebagai buruh pada tuan tanah. Hasil
dari produksi pertanian biasanya akan dibagi antara petani dan tuan tanah.
Kegiatan perekonomian
tradisional erat hubungannya dengan pasar tradisional. Pasar tradisional lahir
dari keinginan manusia untuk memperoleh bahan kebutuhan dimana terjadi
transaksi antar manusia. Mereka saling bertukar barang yang mereka miliki untuk
mendapatkan barang yang dikehendaki. Misalnya, antara petani, peternak, nelayan
terjadi tukar menukar hasil produksi mereka masing-masing. Pertukaran tersebut
awalnya berlangsung di berbagai tempat, tetapi lama-kelamaan tercapai
kesepakatan bersama untuk menentukan suatu lokasi yang menjadi pusat barter
(Herman Malano, 2011:1)
Kebiasaan kegiatan
ekonomi masyarakat Jawa tidak hanya mencakup praktek teknologi saja, tetapi juga
mencakup ritual seremonial keagamaan yang berhubungan dengan adat kuno
(slametan) sebagai yang hakiki dari semua kegiatan (Hiroyosi Kano, 1996:84). Slametan
merupakan wujud syukur atas rejeki yang telah diberi oleh Tuhan. Etos
masyarakat Jawa yang bersikap pasrah berpangkal dari hubungan sebab-akibat dari
apa yang mereka lakukan. Mereka percaya setiap kebaikan amal tidak akan pernah sia-sia
karena Tuhan akan membalas sesuai dengan perbuatan yang pernah mereka lakukan.
Akibatnya, mereka bekerja sebagaimana yang mereka lakukan. Masalah hasil
baik-maupun jelek, mereka tetap bersyukur.
Kebangkitan Eropa pada
abad pertengahan mempuyai dampak pada upaya ekspansi perdagangan Eropa ke Asia
Tenggara. Setelah Malaka Jatuh ke tangan Portugis, Penguasa Demak bernama Pati
Unus berusaha mengusir Portugis dari daerah itu. Namun serangan yang dilakukan
pada 1912 tersebut gagal dengan hasil gugurnya Raja Demak. Kekalahan Demak membuat
hancurnya perekonomian negara tersebut. Mulanya Perekonomian Demak sangat maju.
Komoditas dagang Demak antara lain cabe Jawa, asam, kapulaga, beras, sayuran
dan budak sangat laku di pasaran Malaka (Tome Pires, 2014: 258). Tetapi setelah penyerbuan ke Malaka, Demak
malah tidak punya kekuasaan maritim dan ekonomi karena banyak jung yang dibakar
Portugal. Pati Unus rela menghabiskan lebih dari 100.000 cruzado untuk
mengerakkan armada perangnya ke Malaka (Tome Pires, 2014: 258). Setelah
penyerbuan itu Demak semakin melemah dan dampaknya adalah terjadi pertikaian
antar kerajan-kerajaan bawahan Demak.
Sepeninggal Pati Unus,
Raja-Raja Jawa tidak ada yang berani melanjutkan perjuangannya. Mereka lebih
memilih memerangi negara-negara pecahan Majapahit untuk memperluas kekuasaan.
Sehingga pada saat itu, Jawa menjadi medan peperangan luas hingga muncul pemenang,
yakni kerajaan Mataram (Irhash Ahmady. dkk., 2010:63). Pada saat Mataram di
bawah kekuasaan Sultan Agung, percobaan penyerangan terhadap Batavia dilakukan sebanyak
dua kali yaitu tahun 1628 hingga 1629, tetapi serangan itu gagal (Irhash
Ahmady. dkk., 2010:63). Sepeninggal Sultan Agung Mataram mulai mengalami
perpecahan. Konflik antar kerabat
Mataram yang menginginkan menjadi penguasa Mataram tersebut dimanfaatkan oleh
VOC untuk mengukuhkan kekuasaannya di Jawa melalui Perjanjian Gianti (1755)
(Irhash Ahmady. dkk., 2010:64). Runtuhnya kedaulatan Mataram juga menjadi awal
mula dari pergeseran ekonomi tradisional Jawa ke perekonomian kapitalis yang
disponsori oleh bangsa Barat.
Perekonomian
Jawa Masa Kolonial (Ekonomi Kapitalisme)
Perjanjian Gianti mengahiri
kedaulatan raja lokal Mataram. Meskipun demikian, kesetiaan rakyat pada raja
tidak berubah. Pola relasi feodalistik desa dan pusat-pusat kekuasaan, di mana
desa-desa memberikan upeti atau hasil panennya kepada raja tanpa diganti masih
tetap berlangsung. Melalui relasi semacam ini VOC dapat mengeruk keuntungan
dari perdagangan dengan para raja dan elit lokal. Perjanjian Gianti juga
menjadi awal dari Kapitalisme Belanda di Jawa. Pada tahap ini, Belanda
mengembangkan Kapitalisme permulaan, yaitu dengan mencari laba
sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sebenarnya VOC tidak
memiliki kebebasan untuk menguasai tenaga kerja di seluruh Jawa. Setelah
Priangan jatuh ke tangan VOC, kemudian mereka memberlakukan Priangan stelsel di
tempat itu. Priangan stelsel merupakan strategi VOC untuk mengerahkan tenaga rakyat
lokal melalui seruan bupati dan adipati untuk
menanam kopi di sebagian lahan mereka. Kopi itu kemudian dibeli VOC dengan
harga yang dipatok sepihak. Kopi merupakan sumber pendapatan penting bagi VOC.
Di wilayah lain, seperti pesisir utara dan timur Jawa, VOC juga melakukan
kesepakatan yang sama dengan para penguasa lokal untuk menambah kas negara
melalui sektor agraria. Namun bedanya, VOC tidak turun langsung ke lapangan.
Mereka menyerahkan mekanisme produksi ke para pejabat lokal agar alir hasil
produksi terjamin untuk VOC. Lewat struktur lokal feodalisme, yang disokong
dengan relasi patron-klien, rakyat dipaksa untuk menjadi penyuplai hasil bumi
yang nantinya diserahkan kepada VOC. Pada akhir abad ke 18, VOC mengalami
kebangkrutan. Kebangkrutan tersebut karena VOC hanya mengandalkan monompoli
perdagangan saja, tidak melakukan kendali langsung atas produksi, ditambah
dengan korupsi oleh pejabat VOC. Akhirnya pada tahun 1799, VOC yang korup dan
selalu merugi dibubarkan (Irhash Ahmady. dkk., 2010:65).
Kapitalisme tahap ke
dua juga disebut Kapitalis tingkat tinggi. Motiv dari kapitalisme ini adalah
memperluas penjualan produk dengan memperbanyak cabang industri. Dasar
integrasi Industri Jawa salah satunya adalah dibangunnya sebuah infrakstruktur
rasasa bernama Jalan Raya Pos. Jalan
tersebut merupakan manifestasi dari kepentingan-kepentingan Belanda di bidang
ekonomi, militer, dan pengurusan wilayah. Pembangunana jalan tersebut merupakan
upaya perombakan ekologi dan sistem politik-ekonomi Jawa menjadi lebih
kapitalistik (Irhash Ahmady. dkk., 2010:66).
Revolusi Industri yang
didorong oleh penemuan mesin uap dan moda perekonomian baru atas tenaga kerja
bebas dan ekonomi pasar menjadi dasar persaingan dagang antar negara Eropa.
Persaingan dagang tersebut membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Marschalk Herman William Daendels adalah perwira Belada yang bertugas pada
angkatan perang Napoleon. Saat itu Lodewijk Bonaparte yang menjadi Raja Belanda,
memberi tugas kepadanya untuk mempertahankan Pulau Jawa dari gempuran Inggris.
Kemudian dia merestruktur sistem politik warisan VOC agar pemerintahannya tidak terhambat oleh kekuasaan yang dimiliki
raja-raja dan adipati-adipati Jawa. Kekuasaan raja yang pada masa VOC berkuasa
bersifat otonom, mulai dirubah menjadi terpusat dengan model pegawai negeri.
Raja-raja ataupun penguasa wilayah, tidak lagi diperkenankan untuk menarik
hasil bumi dari rakyat, tetapi saat itu yang berwenang adalah administrasi
Belanda (Irhash Ahmady. dkk., 2010:67).
Hubungan Daendels dan
penguasa pribumi tidak lagi berkaitan dengan kegiatan dagang, tetapi sudah
menjadi tuan dan kaki tangannya. Raja-raja pribumi dan penguasa wilayah dijadikan
sebagai pegawai yang menerima gaji dan harus patuh dan tunduk pada majikan. Lewat sistem ini pula, Daendels berhak memerintahkan
para Bupati seluruh Jawa agar menyediakan tenaga rakyatnya untuk dijadikan kuli
kerja paksa. Ambisi Daendels dengan membangun De Grote Postweg mewajibkan
rakyat untuk bekerja sebagai kuli pembangunan jalan Pos. Rakyat yang tidak
terkena wajib kerja juga dipaksa untuk menyerahkan hasil buminya untuk mendukung
logistik kuli dan mandor yang mengerjakan Jalan sepanjang 1000 km tersebut
(Irhash Ahmady. dkk., 2010:68). Pembuatan jalan tersebut bukan hanya untuk
mempermudah mobilisasi pasukan, tetapi juga untuk kepentingan ekonomi seperti
distribusi hasil produksi perkebunan dari daerah ke kota-kota/pelabuhan
perdagangan.
Di sepanjang abad
ke-19, Jawa mengalami sejumlah pemburukan. Hal itu disebabkan oleh gabungan
antara kekacauan iklim dan faktor-faktor ekonomi-politik. Pada tahun 1816-1824,
Jawa mengalami kelaparan parah. Hal itu disebabkan oleh letusan gunung Tambora
yang mengubah iklim global. Gagal panen terjadi di sejumlah besar wilayah Jawa.
Pengembangan Jalan Raya Pos tahun 1808-1811 juga mempunyai dampak
berkepanjangan pada persediaan pangan di Jawa. Sehingga rakyat mengalami penurunan
kemampuan untuk bertahan hidup (Irhash Ahmady. dkk., 2010:77).
Pasca Daendels, upaya
perluasan industri di bawah administratif Hindia Belanda dilakukan secara
sistematis. Setelah Raffles resmi melepas Jawa, tahun 1819-1830 merupakan
periode industrialisasi Jawa. Tahun 1830, Pemerintahan Van den Bosch diwarisi
hutang melimpah oleh pendahulunya. Kondisi ekonomi Kerajaan Belanda yang
porak-poranda akibat perang, mengharuskan pemerintah Hindia Belanda mencari
cara untuk membangun kembali perkeonomian Belanda. Untuk itu, Van den Bosch
menerapkan sistem kultur (cultuur stelsel) atau dikenal sebagai tanam paksa
(Irhash Ahmady. dkk., 2010:72).
Pergantian patron lama
(raja) ke patron baru (kaum kapitalis) menimbulkan tuntutan tuntutan baru pada
ekonomi pedesaan. Kerja paksa dan beragam kewajiban yang dibutuhkan oleh pabrik
menambah beban rakyat (Tomas Lindblad, 1998:272). Pelaksanaan sistem tanam
paksa berdampak pada perluasan tanah perkebunan. Kebutuhan tanah dan tenaga
kerja di berberbagai daerah mempengaruhi pergeseran pedesaan pertanian
subsisten menjadi pertanian perkebunan yang dikelola modal asing. Pergeseran
struktural terjadi akibat proses komersialisasi dan komoditisasi tanah, tenaga
kerja dan produksi pertanian. Akibatnya terjadi peningkatan golongan tunakisma
dan pekerja non pertanian. Hal itu berarti telah terjadi gejala polarisasi dan
proletarisasi di pedesaan(Hiroyosi Kano, dkk., 1996:295).
Kerja paksa memang
tidak terjadi di daerah Vorstenlanden, tetapi perkebunan tetap masuk ke
wilayah-wilayah kerajaan. Sebelum Mangkunegara IV berkuasa, sebagian tanah
milik Praja Mangkunegaran diberikan kepada para bangsawan dan pejabat kerajaan
sebagai gaji mereka. Tanah ini dinamai tanah lungguh. Meskipun secara hukum
tanah ini milik raja, tetapi dalam penggarapannya merupakan hak pemegang tanah
(lungguh). Saat liberalisasi agraria diterapkan di Hindia Belanda, banyak tanah
lungguh disewakan kepada pihak asing. Akibatnya banyak bangsawan kehilangan pendapatan.
Oleh para pemilik modal, tanah lungguh ini digunakan sebagai untuk perkebunan. Karena
kurang menguntungkan dengan sistem sewa tersebut, maka raja berusaha mengambil
kembali tanahnya untuk dikelola sendiri dengan tidak memperpanjang masa kontrak
investor barat atas tanah tersebut (Wasino, 2008: 52).
Pada abad ke-19, gula
merupakan komoditas dagang laris selain kopi. Untuk menambah pundi-pundi
gulden, Mangkunegara IV berniat untuk mendirikan pabrik gula. Bersamaan dengan
perencanaan pendirian pabriik gula, tanah lungguh yang berhasil dikuasai tadi
kemudian dijadikan sebagai modal industri gula yaitu pengembangan perkebunanan
tebu. Mimpi Mangkunegara IV untuk mendirikan pabrik gula Colo Madu pun
terwujud. Dengan manajemen yang baik
serta peralatan yang memadai, panen perdana pada tahun 1862 dapat menghasilkan
6.000 pikul gula dari tanah seluas 135 bau sawah. Hasil tersebut pada saat itu sudah
tergolong baik karena mampu menyamai hasil produksi dari pabrik-pabrik gula
yang sudah lama berdiri sebelumnya (Wasino, 2008: 54-57).
Pada abad ke-20, kaun
kapitalis tidak hanya semata-mata mementingkan bisnisnya saja, tetapi sudah
memikirkan kepentingan masyarakat sekitar. Pada abad ini, kapitalisme memasuki
tahapan tingkat tinggi (tahap Spat Kapitalismus). Pada tahap ini tujuan
Kapitalisme berubah, yaitu selain mencari laba juga dibarengi dengan usaha
sosial dengan membantu memajukan pendidikan, memberantas kemiskinan, dan
infrakstruktur umum. Selama kurun waktu politik etis, Praja Mangkunegara
sebagai kaum kapitalis lokal berusaha untuk membangun sektor non pemerintahan,
yaitu (1) pembangunan infrakstruktur, (2) pembangunan pertanian dan pertanahan,
(3) pembangunan kehutanan, serta (4) pembangunan pendidikan dan kebudayaan
(Wasino, 2014:161).
Dibidang irigasi, waduk
memang sudah ada sejak abad ke-19 untuk mengairi tanaman tebu sebagai bahan
dasar bagi Pabrik Gula Colo Madu dan Tasik Madu. Akan tetapi air dari
waduk-waduk milik Mangkunegara belum memberi manfaat yang besar bagi petani
sawah. Infraktruktur jalan juga dibangun untuk memudahkan pengangkutan hasil
panen tebu ke Pabrik Gula. Tetapi dibalik ekspansi kapitalisme yang dilakukan
oleh bangsa pribumi tersebut, ada sebagian keuntungan dari penjualan gula yang dialokasikan
untuk membangun prasarana sosial di Mangkunegaran. Pada bidang pendidikan, di
Kota Surakarta dibangun tiga gedung sekolah, yakni HIS Siswo, HIS Siswo Rini
dan gedung sekolah gadis tingkat dasar (Kopschool). Untuk keperluan kesehatan
masyarakat, dibangunlah rumahsakit pusat di Mangkubumen (1921) dan 8 buah poliklinik di Mangkunegaran.
Mangkunegaran juga mengeluarkan dana untuk perbaikan rumah-rumah kumuh sebagai
penyegahan meluasnya penyakit pes. Saluran pipa air bersih juga dibangun dimana
proyek tersebut dikerjakan bersama dengan
Pemerintah Kasunanan dan NV Hoogdruk Weterleideng Hooftdplaas Surakarta
Omstreken (Perusahaan air minum bertekanan tinggi untuk Surakarta dan Sekitarnya)
(Wasino,2014: 161-172). Pada tahap ini, kaum kapitalis bukan saja menghisap
tenaga rakyat tetapi juga membantu rakyat dalam bidang infrakstruktur dan
sosial.
Ekonomi
Jawa Pasca Kolonial (Dualisme Ekonomi)
Kegagalan kapitalisme
telah menciptakan suatu model ekonomi yang terintegrasi yang disebabkan oleh
perbedaan kebudayaan antara ekonomi kapitalisme yang merupakan “barang impor”
dari barat dan ekonomi tradisional di pedesaan, yang menurut Boeke disebutnya
sebagai “dualisme ekonomi” (Duto Sosialismanto, 2001: 7). Boeke mengemukakan
ciri-ciri khusus masyarakat asli Indonesia yang dibandingkan dengan masyarakat
Barat dari segi ekonomi sebagai berikut (Soetrisno, 1984:120-121):
1. Mobilitas
faktor produksi rendah yang disebabkan oleh terpengaruhnya tradisi, yaitu
perilaku masyarakat yang masih terikat pada pola-pola tertentu, seperti
penentuan upah, pembagian pekerjaan, jam kerja, dan penggunaan peralatan modal.
2. Pemisahan
yang tajam antara kota dan pedesaan. Hal itu dipengaruhi oleh sifat masyarakat
Timur yang berbeda dengan sifat masyarakat Barat. Pada masyarakat pedesaan,
penggunaan uang dan ekonomi pasar belum masuk ke masyarakat pedesaan.
Pertentangan antara kota dan desa sekaligus merupakan pertentangan antara
perdagangan industri dengan pertanian dan kerajinan tangan.
3. Pertentangan
antara perekonomian uang dan barang. Perbedaan tersebut terjadi saat penarikan
pajak. Masyarakat pedesaan yang dikenakan pajak akan merasa berat apabila
dibayarkan dalam bentuk uang.
4. Irama
kehidupan masyarakat Timur sangat ditentukan oleh lingkungan (fisik, metafisik,
dan sosial). Maka dari itu, masyarakat timur lebih mementingkan kebutuhan
masyarakat, kebutuhan yang bersifat tradisional, dan membatasi napsu pribadi. Sedangkan
prinsip kehidupan masyarakat Barat bersifat mekhanistik dalam artian rasional,
zakelijk atau bersifat pamrih, dan kurang merespon pada kenyataan-kenyataan
yang bersifat metafisik.
5. Masyarakat
Timur masih sebagai konsumen. Azaz perusahaan modern belum meresap dalam
masyarakat Jawa (masyarakat Timur) dan konsumen dikuasai oleh alasan non
ekonomik. Dikuasai alasan non ekonomik artinya adalah seluruh kehidupan
dikuasai oleh agama, kebiasaan dan tradisi sesuai agama. Sehingga masyarakat
Timur untuk keperluan tradisi mereka akan senang apabila dapat memenuhi
“kepuasannya” itu secara ekonomi. Prinsip kehidupan masyarakat Barat bersifat
mekhanistik dalam artian rasional, zakelijk atau bersifat pamrih, dan kurang
merespon pada kenyataan-kenyataan yang bersifat metafisik. Sedangkan
Nampak jelas di atas
bahwa sifat ekonomi kapitalisme sangat berbeda dengan sifat ekonomi
tradisional. Perbedaan sifat itu dapat membongkar tatanan sosial pra
kapitalisme sehingga membangkitkan kekuatan-kekuatan sosial yang kontradiktif
dari akumulasi dan perkembangan kapital di koloni. Larson mengemukakan bahwa
desa-desa di Jawa sejak awal abad kedua puluh telah mengalami politisasi. Perubahan
kelembagaan dan sistem pengetahuan mengakibatkan goyahnya legitimasi kolonial
Belanda. Goyahnya legitimasi kolonial dibarengi dengan pergerakan nasional yang
mulai dikenal dan berkembang di desa-desa perkebunan Jawa Tengah berkat penyebaran
gagasan Syarikat Islam dan Partai Komunis. Pergerakan nasional sekaligus
menandai era baru dari perubahan budaya
politik pedesaan yang berpengaruh pada gerakan radikal petani kontra
kapitalisme. Penetrasi kapitalisme telah meruntuhkan keseimbangan tradisional
antara hak dan kewajiban yang sebelumnya di desa dikenal dengan adanya relasi antara tuan tanah dan petani
kemudian bertransisi menjadi ploretariat desa yang berdampak pada ketidakadilan
yang diterima kaum tani. Respon petani terhadap ekspansi kapitalisme komersial
di pedesaan menimbulkan serangkaian krisis ekologis dan menggusur wewenang
tradisional yang akhirnya melahirkan pemberontakan petani (Duto Sosialismanto,
2001: 7).
Ekonomi Indonesia khususnya Jawa saat
ini merupakan campuran dari tata cara pra kapitalis dan kapitalis yang sudah
lama tertanam sebelum Indonesia merdeka. Tahun enam puluhan, Indonesia
merupakan negara anti kapitalis. Pengambil alihan, konfikasi dan nasionalisme
yang meledak-ledak membawa para ekonom dan pedagang khawatir bahwa kekayaan
yang berlimpah pada tanah Indonesia akan dikuasai selamanya oleh Sukarno dan
pengikut PKI. Kenyataan tersebut merupakan respon dan perilaku rezim Sukarno
yang anti terhadap kapitalisme (Duto Sosialismanto, 2001: 254). Setelah Sukarno
dapat digulingkan oleh Suharto, kapitalisme yang tadinya ditentang mulai hadir
dengan wajah baru, dimana kapitalisme mulai tertuju pada kepentingan rakyat.
Perekonomian desa yang
pada awalnya dijalankan oleh para petani, kembali dikomersilkan melalui “Revolusi Hijau”. Dampak sosial dari
Revolusi Hijau adalah tergesernya mata
pencaharian petani gurem karena datangnya mesin-mesin pertanian modern dan
pemilik modal (Duto Sosialismanto, 2001: 260). Petani gurem yang telah lama
mengandalkan alat pertanian tradisional seperti bajak kerbau, pacul, dan tenaga
untuk menanam dan memanen padi, mulai terancam mata pencahariannya setelah
datangnya traktor dan alat pengupas padi yang digerakan oleh mesin. Datangnya
alat pertanian yang lebih modern sekaligus menggeser sistem pertanian
tradisional. Ciri khas pertanian tradisional yang paling mencolok adalah
mengerahkan banyak tenaga setiap kegiatan berladang/sawah. Meskipun teknologi
sudah masuk ke pedesaan, tetapi saat ini masih banyak petani yang menggunakan
sistem pertanian tradisional untuk menggarap ladangnya. Persaingan antara
petani gurem dengan mesin pertanian merupakan salah satu corak sistem ekonomi
dualistik, di mana antara kegiatan ekonomi tradisional dan ekonomi kapitalis
sama-sama bergerak bersandingan dan sama-sama kuat.
Dualisme perekonomian
Indonesia juga dapat disaksikan dengan jelas pada masyarakat yang melakukan transaksi
jual beli di pasar. Baik di kota maupun pedesaan, saat ini pasar tradisional
dan pasar modern saling bersaing untuk berebut posisi di hati masyarakat.
Kondisi pasar tradisional yang terpuruk karena pada umumnya kumuh, becek, dan
bau membuat masyarakat memililih berbelanja ke mal, super market, hipermarket
dan sebagainya yang lebih bersih dan tertata (Herman Malano, 2011: 1).
Pertumbuhan pasar modern mulai menjalar masuk ke pedesaan. Minimarket (bentuk
terkecil dari pasar modern) menawarkan harga pas, memudahkan masyarakat
pedesaan untuk belanja praktis sesuai dengan perkiraan kebutuhan dan kondisi
keuangan. Adanya minimarket yang buka 24 jam, juga memudahkan berbelanja
sewaktu-waktu yang membuat pasar modern banyak dikunjungi oleh masyarakat.
Berbeda dengan pasar tradisional yang hanya buka pada jam-jam tertentu saja.
Bagi masyarakat tertentu terutama yang harus bekerja tiap pagi dan pulang sore,
pasar tradisional bukanlah solusi. Tetapi untuk ibu-ibu rumah tangga, belanja
di pasar tradisional merupakan cara menghemat pengeluaran anggara bulanan rumah
tangga. Meskipun berbelanja di pasar tradisional tidak sepraktis di pasar
modern, tetapi pasar tradisional mempunyai keunggulan lain, yakni harga barang
bisa ditawar. Harga yang lebih murah dibanding pasar modern, merupakan magnet
bagi masyarakat khususnya golongan ekonomi menegah ke bawah untuk berbelanja di
ini. Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa kedudukan pasar tradisional yang
melambangkan kegiatan ekonomi tradisional dan pasar modern yang melambangkan
kegiatan ekonomi kapitalis sama-sama besar pengaruhnya pada masyarakat Jawa yang melahirkan corak ekonomi ganda.
Daftar
Pustaka
Depdikbud. 1978.
Sejarah Daerah Jawa Timur. Jakarta:
Depdikbud.
Duto
Sosialismanto. 2001. Hegemoni Negara:
Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera
Pustaka Utama.
Herman Malano.
2011. Selamatkan Pasar Tradisional.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Hiroyosi Kano.
1996. Di Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat
Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad
Ke-20. Yogyakarta: Akatiga dan Gadjah Mada University Prees.
Irhash Ahmady.
2010. Java Collapse: Dari Kerja Paksa
Hingga Lumpur Lapindo. Yogyakarta: INSIST
Press.
Lindblad, J.
Thomas. 1998. Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Jakarta:
LP3ES.
Pires, Tome.
2014. Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut
Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues.
Yogyakarta: Ombak.
Soetrisno. 1984.
Kapita Selekta Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta: Andi Offset.
Wasino. 2008. Berjuang Menjadi Wirausahawan: Sejarah
Kehidupan Kapitalis Bumi Putra Indonesia.
Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
________2014. Modernisasi di Jantung Budaya Jawa:
Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Kompas.
Post a Comment