Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Seharusnya Koruptor Dihukum Sama Beratnya Seperti yang Pernah Dirasakan oleh Eks. Tapol 1965 di Pulau Buru


Menjadi pemimpin memang tidak mudah, tetapi setidaknya mereka harus memberi contoh positif pada rakyatnya. Pola pikir negatif warisan kolonial Belanda di Indonesia harus segera dihapuskan. Karena pola pikir tersebut berpengaruh pada kebiasaan masyarakat yang melegalkan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di kehidupannya. Malang memang, bagi mereka yang ingin melakukan pembaharuan, selalu dihadapkan pada arus deras yang sewaktu-waktu dapat menghanyutkan mereka. Takut hanyut itulah yang pada akhirnya memaksa mereka yang tadinya ingin membuat perubahan malah masuk ke dalam sistem yang dulu diperanginya itu.
Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau menelusuri cara pengangkatan pegawai negeri sipil dari bawah (pegawai golongan I- pejabat ekselon),  maka penjara-penjara di Indonesia akan penuh.
Bagaimana tidak? Meskipun tidak semua yang ingin jadi Pegawai Negeri bertindak curang, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi abdi masyarakat, banyak diantara mereka yang harus lewat belakang (menyuap) agar mereka diterima sebagai pegawai. Ironis memang, pekerjaan yang seharusnya dapat diampu oleh orang-orang yang berkompeten dibidangnya karena adanya praktek suap, harus rela melepas pekerjaan itu ke tangan para penjahat yang tidak berkompeten. Hasilnya pasti negatif, seperti lamban mengurus surat di bagian administrasi, pungli di mana-mana dan korupsi di kantor-kantor pemerintahan.
Kembali lagi ke pembahasan manusia-manusia jahat tadi (pelaku koruptor dan suap). Sebenarnya hukuman apa sih yang cocok untuk mereka? Apakah hukuman mati atau hukuman kilat (yang tiap tahun mendapat remisi)?. Opsi pertama saya kurang setuju karena terlalu cepat mereka mati, maka mereka tidak akan merasakan penderitaan rakyat sama sekali. Opsi keduapun saya juga tidak setuju. Masa’, hukuman maling kelas kakap disamaratakan dengan maling kelas teri. Tidak fair kan?.
Keluar dari pokok pembahasan sejenak. Kemarin saya ngobrol dengan teman saya perihal masalah tahanan politik tahun 1965 (Tapol 65). Peristiwa yang terjadi tahun 1965 merupakan tragedi kemanusiaan paling berdarah yang pernah dialami bangsa ini. Rakyat Indonesia saling bantai karena perbedaan aliran paham politik. Entah mengapa, “peristiwa” yang awal mulanya hanya menimpa elit politik papan atas bisa merambat sampai ke akar rumput. Kebencian demi kebencian disulut di mana-mana yang akhirnya membakar hati rakyat. Puncak dari peristiwa 65 adalah pembunuhan masal terhadap pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun sayang, cerita sejarah hanya boleh ditulis untuk menceritakan kegagahan para pemenang, sehingga peristiwa 1965 hanya menampilkan sisi kegemilangan Suharto dalam menumpas PKI tanpa diceritakan dampak-dampaknya. Peristiwa 1965 memang menjadi masa kelam Indonesia, namun agar generasi muda Indonesia sadar akan kesalahan pemerintahannya pada masa lalu, sebaiknya peristiwa PKI dan dampak sebenarnya tidak dibekukan dalam sejarah Indonesia. Pembekuan sejarah sangat berbahaya bagi generasi muda ke depan karena mereka akan mengulang kesalahan bangsa Indonesia untuk ke dua kalinya.
Pembekuan sejarah merupakan sebuah dosa besar. Dosa tersebut pernah dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Alasan utamanya tidak lain adalah mereka tidak ingin rakyat Indonesia bangkit dari keterpurukan setelah mempelajari sejarah kegemilangan nenek moyang bangsa Indonesia di masa lalu (ex: kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Kerajaan Islam Aceh, Kerajaan Mataram Islam dengan tokoh Sultan Agung dan pemberontakan Diponegoro). Sama halnya dengan bangsa Eropa sebelum Renainsance. Mereka terkukung dalam sebuah peraturan yang membuat mereka menjadi bangsa tertinggal. Pasca renainsance dengan mempelajari kembali kegemilangan budaya nenek moyangnya masa kuno mereka mulai bangkit. Kemudian mereka banyak menciptakan inovasi diberbagai bidang yang menjadikan mereka saat ini sebagai bangsa maju di dunia.
Lalu, apa hubungan antara penghapusan pembekuan sejarah terhadap hukuman yang pantas bagi pelaku KKN?  Seperti yang saya sampaikan di atas, pembekuan sejarah merupakan dosa besar. Meskipun dosa besar, ternyata bangsa Indonesia pasca kemerdekaan pernah melakukan dosa itu. Pemerintah Suharto meniru cara Kolonial Belanda dalam membodohi rakyat. Dngan mengatas namakan Pancasila, dia  menyingkirkan lawan politik  dan mengkebiri pendukung lawan politiknya dengan cara jinak yaitu dengan memanfaatkan perbedaan aliran paham politik untuk melanggengkan kekuasaan. Ideologi Pancasila memang tidak salah, tetapi yang salah adalah orang yang menggunakannya sebagai tameng untuk melanggengkan kekuasaan. Penghapusan sejarah kontra Pancasilapun akhirnya dimulai dengan pembekuan sejarah keji Orde Baru.
Bagi pecinta mata pelajaran geografi SD-SMP tahun 1999-2007 pasti tahu di mana letak pulau Buru, namun ketika ditanya sejarahnya, pasti mereka tidak ada satupun yang mampu menjawab. Pulau Buru merupakan salah satu pulau besar yang berada di Kepulauan Maluku, setelah Pulau Halmahera dan Pulau Seram. Dahulu Pulau ini digunakan oleh Pemerintah Rejim Suharto untuk membuang Tapol 65.
Pasca Pemberontakaan PKI, Presiden Sukarno tumbang.  Pulau Nusa Kambangan dijadikan oleh antek Suharto sebagai penjara bagi ribuan simpatisan PKI (maupun yang dituduh sebagai PKI) dari Jawa Tengah.  Mungkin karena jumlahnya sangat banyak, penghuni Nusa Kambangan akhirnya banyak yang dipindahkan ke Pulau Buru.
Pada tanggal 19 November 1970, sekitar 750 Tapol siap dipindahkan ke Pulau Buru dengan KM Tobelo. Kapal tersebut memerlukan enam hari pelayaran dengan menempuh jarak lebih dari seribu kilometer dari Samudera Hindia hingga sampai ke Pulau Buru.
Suharjoso sewaktu menajdi tahanan politik di Pulau Buru
Tanggal 26 November KM itu sudah tiba di Pulau Buru. Tapol-tapol tadi kemudian diturunkan di sebuah pelabuhan yang terletak di Teluk Kayeli. Dengan penjagaan ketat oleh militer dan petugas kejaksaan,mereka kemudian digiring ke Unit Transito. Unit tersebut terletak di Desa Jiku Kecil. Selama perjalanan agar gerakan mereka dapat dengan mudah diawasi oleh para penjaga, mereka dibariskan dalam formasi berbaris lima-lima. Tanpa alas kaki mereka harus berjalan di atas kerikil tajam dan kepingan-kepingan batu karang juga sengatan terik matahari dan hantaman bogem metah dari pengawas sebagai sambutan selamat datang bagi mereka di Pulau Buru. Akhirnya, setelah mereka berjalan 3 km, sampailah di Unit Transito pada lepas tengah hari. Kemudian mereka ditempatkan di sebuah Barak yang sekelilingnya dipagari dengan kawat berduri.
Kerja Paksa Para Tapol digunakan Pemerintah Orde Baru untuk membuka hutan di Pulau Buru
Pada tanggal 29 November, mereka diapelkan di depan Barak Unit Transito. Seperti biasa, mereka harus lantang mengucap satu persatu sila Pancasila secara urut. Kemudian seorang Mayor CPM yang diketahui sebagai komandan Tefaat Buru membacakan kewajiban-kewajiban yang harus diemban bagi seluruh Tapol. Setelah upacara selesai, kemudian dari 750 orang yang berada di Unit Transito, diambil sekitar 436 orang untuk dipindahkan ke Unit IV Savanajaya yang terletak di kawasan Desa Sanleko.
Ternyata di Unit IV sudah ada penghuni lama dari dua rombongan terdahulu. Mereka yang menjadi senior di Unit ini adalah para Tapol kiriman tahun 1969 berjumlah sebanyak 110 orang dan tapol kiriman tahun 1970 (gelombang I) sebanyak 64 orang.  Dengan datangnya 436 orang dari kiriman gelombang II tahun 1970 ke Unit ini, maka populasi Unit ini total populasinya menjadi 610 tapol.
Seperti yang saya jelaskan di atas, pada mulanya Unit ini hanya dihuni 110 orang. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga korve bongkar muat kapal di pelabuhan Namlea. Bongkar muat isi kapal tidak membutuhkan banyak pekerja sehingga di Unit ini populasi tapolnya sedikit. Berbeda dengan Unit-Unit lain yang fokus pada bidang pertanian. Karena Unit Pertanian membutuhkan banyak tenaga sehingga berdampak pada jumlah populasi penghuni Unit Pertanian yang masing masing sebanyak 500-1500 orang.
Penghuni Unit Sanleko (korve darat) selain mengangkut barang dari pelabuhan, mereka juga dicadangkan sebagai tenaga pembuatan jalan. Mereka harus membuat jalan penghubung antara Namlea dengan unit-unit seluruh Tefaat. Nama jalan yang mereka buat itu kemudian dinamakan Trans Buru Highway. Trans Buru Highway mempunyai lebar antara enam hingga delapan meter, yang rencananya akan diuruk dengan pasir dan batu koral.
Unit Sanleko dahulunya merupakan hamparan padang alang-alang. Ketika para Tapol ini tidak diberi makan oleh petugas (kebijakan Suharto untuk tidak memberi makan para Tapol), mereka berusaha berswasembada pangan dengan menanam pohon singkong di bekas lahan alang-alang tersebut. Ternyata, singkong yang ditanam di sini hasilnya tidak mengecewakan. Melihat hasil tersebut, petugas pengawas Tefaat menjadi gelap mata. Akhirnya mereka berusaha menguras tenaga para Tapol ini untuk membuat proyek pertanian. Dengan waktu singkat hamparan alang-alang seluas 80 ha disulap menjadi lahan pertanian: ladang dan sawah. Pada musim tanam pertama mereka mampu membuka sawah seluas 10 ha. Kemudian pada tahun 1971, unit ini merayakan panen perdananya.
Hasiln panen tidak membanggakan. Dari 10 ha lahan sawah, hanya 4 ha saja yang bisa dipanen. Selebihnya hancur diserang wereng dan jamur.  Rata-rata tiap hektar dapat menghasilkan 2 ton padi basah. Menurut perjanjian semula sebelum membuka sawah, hasil sawah tersebut akan digunakan untuk keperluan makan tapol. Tetapi pada kenyataannya hasil panen tersebut diambil oleh petugas Tefaat, tanpa ada satupun tapol yang bernai protes.
Untuk menanggulangi kekurangan beras di Unit IV, Komandan Unit ini dengan licik kembali menguras tenaga Tapol untuk keuntungan pribadinya. Dan Unit tersebut memerintahkan sebanyak 80 orang perharinya untuk menggergaji kayu meranti yang banyak tumbuh di Pulau itu. Ia juga memerintahkan 40 orang untuk mencangkul lahan seluas 1 ha. Setiap hari para Tapol dapat memproduksi sekitar 240-280 lembar atau sekitar 4-5 kubik. Untuk 1 kubik papan meranti dengan ukuran 2 x 25 x 300 cm dihargai Rp. 2.500,00. Berarti, setiap hari uang yang dihasilkan oleh para Tapol sebanyak 10.000-12.500 dari sumber penggregajian saja. Namun sayang, uang yang seharusnya untuk membeli beras ternyata malah masuk ke kantong pribadi Dan Unit. Maka, kesengsaraan Tapolpun kian bertambah karena mereka tidak mendapatkan beras seperti yang dijanjikan oleh Dan Unit. Untuk makan sehari-hari mereka harus mengkonsumsi jagung, ketela dan singkong sebagai pengganti beras.
Pemerasan tenaga Tapol oleh Pemerintah juga terjadi saat kapal Tobelo merapat ke Pelabuhan Namlea. Kapal dengan bobot isi 700-900 ton harus dibongkar secepatnya dalam waktu 24 jam oleh 100-200 Tapol. Dengan diawasi oleh para mandor, mereka tidak boleh istirahat, bahkan waktu tidurpun dibatasi hanya dua jam, yakni antara jam 4-6 pagi. Setelah korve selesai, mereka juga harus memindahkan secepatnya isi kapal tersebut ke gudang-gudang Tefaat yang jaraknya sekitar 1,5 km dari dermaga. Tragis memang, meskipun mereka bekerja mati-matian mereka tidak mendapat sepeserpun dari hasil keringatnya.
Cara Suharto untuk menghukum eks. Tapol  sangatlah sadis. Para Tapol hanya dimanfaatkan tenaganya saja seperti tenaga hewan yang tak bernilai harganya. Tanpa bermaksud merendahkan harga diri para eks. Tapol dan juga menggali kenangan luka lama atas hukuman yang mereka timpa dahulu, sesungguhnya hukuman seperti yang pernah dirasakan para eks. Tapol 1965 sangat cocok diterapkan untuk para penjahat negara saat ini (pelaku KKN). Hal tersebut bukan tidak beralasan, tenaga para koruptor dan penyuap harus dieksploitasi habis-habisan sebagai ganti rugi kepada masyarakat karena perbuatannya. Tentunya mereka harus diawasi sungguh-sungguh supaya tidak kabur. Artinya selama mereka ditahan, mereka tidak bisa mendapatkan kenyamannan sedikit pun dari negara.
Jadi hubungan antara penghapusan pembekuan sejarah terhadap hukuman yang pantas bagi pelaku KKN adalah menkondisikan para pelaku KKN dengan apa yang pernah dirasakan oleh eks. Tahanan Politik Orde Baru 1965. 

Musuh kita saat ini adalah Koruptor dan Penyuap...! 
Maka, jadilah Agen Perubahan Bagi Bangsa ini dengan menolak KKN dikehidupan kita...!

Sumber Buku: 
  • Hesri Setiawan. 2006. Di Buru di Pulau Buru. Yogyakarta: Galang Press.
  • Gambar Pak Suharsojo- http://guruhdimasnugroho.blogspot.com/2012/12/gregorius-soeharsojo-goenito.html.
  • Derita Pulau Buru-http://visualdocumentationproject.wordpress.com/foto/pulau-buru/

No comments

Powered by Blogger.