Mengenal Bawin Dayak (Perempuan Dayak)
Dari Aceh hingga Papua, Kalimantan Utara sampai Nusa Tenggara Timur, disitulah tempat lahirnya bangsa Indonesia. Indonesia
adalah rumah bagi kemajemukan yang dapat dipersatukan menjadi sebuah bangsa. Banyak suku, budaya, bahasa, ras, agama dan komunitas, hidup membaur dalam Indah damai Indonesia. Perbedaan menghasilkan bermacam corak budaya. Budaya sebagai kearifan lokal berfungsi sebagai filter dampak negatif globalisasi. Sebagai filter dampak negatif globalisasi, budaya haruslah dipelajari nilai-nilainya. Salah satu budaya yang dapat kita pelajari nilai-nilainya adalah kebudayaan dari Suku Dayak yang bisa kita peroleh
di Bumi Borneo.
Yup, kali ini saya akan mengupas
sedikit tentang Kedudukan, Fungsi, dan
Peranan Perempuan Dayak, di Kalimantan Tengah.
Adil Ka Talino, Bacuramin Ka
Saruga, Basengat Ka Jubata. Masyarakat Indonesia sejak dari jaman purba hingga jaman post
modern dikenal sebagai masyarakat yang mengedepankan keadilan (dalam musyawarah),
hidup dalam aturan-aturan norma untuk jalan kebenaran, dan juga taat kepada
Tuhan yang Maha Kuasa. Begitu juga masyarakat Dayak, mereka menjunjung tinggi keadilan, kebenaran dan Ketuhanan
Dahulu,nenek moyang masyarakat Dayak pada umumnya hidup bebas di alam. Ditemani gemercik suara air sungai, aroma lumut dengan rimbun hijau daun pepohonan dan kicauan merdu burung-burung liar yang membuat mereka lebih dekat dengan Alam.
Masyarakat Dayak mayoritas bertempat tinggal di Pulau Kalimantan. Mereka terbagi ke dalam beberapa suku. Kemudian dari satu suku dibagi menjadi beberapa sub suku. Oleh karena itu, tidak aneh rasanya jika kita berkunjung ke sana meskipun masih dalam satu kawasan desa/kecamatan yang sama, kita akan menjumpai perbedaan yang mencolok terutama dalam perbedaan bahasa.
Sejarah merekam fakta bahwa sejak jaman dahulu perempuan
Dayak asli yang berdomisili di provinsi Kalimantan Tengah telah
diberi kepercayaan untuk menentukan sikap dan perbuatan mereka dalam menjalani
hidup sehari-hari. Bukti itu dapat kita lihat saat kita berkunjung ke Kota Palangka
Raya, ibu kota propinsi Kalteng. Di sana kita dapat menyaksikan sekian banyak
nama perempuan dari generasi pendahulu Dayak yang namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Foto barenga dengan Penari Suku Dayak.. heheheh |
Seperti yang saya sampaikan diatas,
masyarakat Dayak terbagi dalam beberapa suku dan subsuku. Sehingga sudut
pandang mereka dalam memaknai kehidupan masing-masing suku tidak sama persis. Perbedaan
itu meliputi bahasa, ritus, simbol, dan gaya hidup. Namun dibalik keberagamaan
tersebut, secara garis besar mereka memiliki filosofi yang sama.
Perempuan di mata masyarakat
Dayak sangat dihargai keberadaannya (baik oleh laki-laki maupun hukum adat). Apabila ada seseorang yang berani melecehkan harga diri Perempuan
Dayak, sama artinya dengan mereka menantang perang. Suku Dayak mempunyai jiwa
solidaritasnya tinggi. Baik muda-mudi Dayak bersedia berkorban untuk kepentingan bersama termasuk saat
membela harga diri/nama baik keluarga/sukunya (read: maju perang).
Masyarakat Dayak pada umumnya
sangat ramah. Hal itu dapat diketahui dari cara mereka menjamu tamu yang
menginap ke rumah mereka. Sang tamu akan dilayani dengan baik. Contohnya ketika sang tamu ingin buang hajad ke kamar
kecil (WC). Mereka (pemilik rumah, bisa laki-laki/perempuan) dengan senang hati akan mengantarkan sang tamu tersebut ke WC. Perlu diingat, gambaran masyarakat Dayak masa lampau, pada
umumnya mereka tidak membangun kamar kecil di
dalam rumah, melainkan di tepi sungai. Oleh karena itu, agar sang tamu tidak tersesat di hutan maupun hanyut di sungai pemilik rumah harus mengantarnya. Kebaikan mereka dengan melayani sang tamu, jangan disalah artikan dengan bersikap seenaknya/semena-mena (misal: menggoda
anak gadis keluarga pemilik rumah, mencuri, dan tindakan antisosial lainnya).
Apabila sikap tamu tadi tidak terkontrol dan
dianggap tidak sopan, mereka tidak segan mengusirnya atau menyerahkannya kepada Kepala Kampung maupun Kepala Adat untuk dihadapkan pada sebuah Musyawarah
Adat.
Sejak usia balita, Perempuan
Dayak sudah diajarkan untuk menjaga perkataan. Mereka percaya bahwa setiap kata
yang terucap mengandung risiko. Misalnya, apabila mereka tidak ingin mati tenggelam
di sungai, mereka pantang mengucap buseng
(arti: mati tenggelam). Melihat kondisi masyarakat (terutama di kota besar) saat ini, setiap orang dikejar-kejar oleh batasan waktu dimana mereka
harus menyelesaikan beban tugas secepat mungkin. Hal itu tentu akan berdampak pada kejiwaan seseorang, bisa depresi, frustasi sampai gila.
Tekanan hidup dapat membuat seorang Ibu berkata seenaknya kepada anaknya. Mereka bahkan tega memaki anaknya dengan makian negatif seperti goblok, bodoh, pemalas, dungu, dsb. Sebenarnya, tanpa mereka sadari, ucapan yang keluar dari mulut mereka mengandung doa dan harapan kepada sang anak. Supaya tidak menimbulkan effek negatif, kontrol ucapan orang tua harus benar-benar dijaga meskipun mereka sedang dalam keadaan marah kepada anaknya.Perkataan-perkataan negatif seperti itu pantang diucap perempuan Dayak karena akan menimbulkan dampak.
Tekanan hidup dapat membuat seorang Ibu berkata seenaknya kepada anaknya. Mereka bahkan tega memaki anaknya dengan makian negatif seperti goblok, bodoh, pemalas, dungu, dsb. Sebenarnya, tanpa mereka sadari, ucapan yang keluar dari mulut mereka mengandung doa dan harapan kepada sang anak. Supaya tidak menimbulkan effek negatif, kontrol ucapan orang tua harus benar-benar dijaga meskipun mereka sedang dalam keadaan marah kepada anaknya.Perkataan-perkataan negatif seperti itu pantang diucap perempuan Dayak karena akan menimbulkan dampak.
Beberapa contoh peran Perempuan
Dayak, antara lain adalah sebagi Balian. Balian adalah seseorang yang bertugas
sebagai mediator dan komunikator antara manusia dan mahluk yang keberadaannya
tidak dapat dilihat dengan mata jasmani. Balian menyampaikan permohonan
dari manusia kepada Ranying Hatalla (Yang
Maha Kuasa) dengan perantara ruh yang telah menerima tugas khusus dari Ranying
Hatalla untuk mengayomi manusia. Tidak semua orang dapat dipilih menjadi Balian, tetapi
hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai keistimewaan saja.
Keterlibatan Perempuan Dayak
dalam kehidupan bermasyarakat dapat kita saksikan di dalam pertunjukan seni tari. Ada
banyak tarian dari Kalteng antara lain Tari Dandang Tingang dan Tari Wadian Dadas. Tari Dandang Tingang berasal dari Kabupaten Kapuas. Tari ini merupakan jenis tarian gembira. Dandang artinya bulu ekor burung
sedangkan Tingang merupakan burung
Enggang. Disebut tari Dandang Tingang karena penari menari sambil memegang
tongkat yang ujungnya dihiasi (ditancapi) bulu ekor burung Enggang. Biasanya
tari ini dipertunjukan saat membangun (mendirikan) tiang pertama pada Rumah Betang.
Selain itu masih ada Tari Wadian Dadas yang melukiskan seorang dukun Perempuan
mengobati seseorang yang sakit dengan memanggil roh jahat yang menunggu si
pesakitan kemudian memanggil kembali roh si pesakitan kembali ke badan, sehingga si pesakitan berangsur-angsur akan sembuh. Biasanya tarian
ini dipentaskan pada upacara pernikahan maupum saat menyambut tamu kehormatan.
Demikian yang dapat saya
ceriterakan mengenai sosok Bawin Dayak (Perempuan Dayak). Sebenarnya
masih banyak lagi yang ingin saya tulis di sini terutama tentang Dayak Woman and
Custumary Law. Berhubung keterbatasan pengetahuan saya dalam memahami singer, daripada salah tafsir yang dapat merugikan masyarakat luas
mending saya konsultasikan dalu dengan sahabat-sahabat saya dari Kalimantan.
Bangsa Indonesia memang kaya akan budaya. Setiap suku
mempunyai kearifan lokal khas yang berbeda dengan lainnya. Dari kearifan
lokal tersebut, kita dapat belajar dari budaya mereka tentang nilai-nilai kehidupan yang dapat diaplikasikan ke dalam hidup kita.
Danke....
Kuiiiiiiiiiiiyy..... heheheh
Sumber Buku:
- Riwut, Nila. Bawin Dayak; Position, Function, and Roles of Dayaknese Woman. Galangpress Pub., Yogyakarta, 2011.
Post a Comment