Prolog...!
Awal mula perkenalanku dengan Grebek
Kendalisodo dimulai tahun 2012. Waktu itu, aku dan teman-teman seangkatanku (12
orang) mendapat tugas final makul Metodologi Penelitian Sosiologi-Antropologi. Oleh
dosen kami Pak T, kami disuruh membuat proposal penelitian tentang masyarakat
dan kebudayaan (untuk latihan skripsi).
Seingatku, waktu itu aku bikin proposal
penelitian tentang Tawuran Pelajar di Kota S (samaran), James (Bang Jem) tentang
Pengobatan Tradisional Dayak Kanayatn, Landak Kalbar, Aris (Mbahe) tentang Anak
Jalanan di Kota Amb (samaran), Logos tentang Alih Fungsi Hutan Adat menjadi
Perkebunan Sawit di Sangg, Kalbar (samaran), Eko (Kentus) tentang Faktor
punahnya tarian Jalantur di Dusun Gowok Pos, Dukun, Muntilan (mungkin juga punahnya
Jalantur dari dunia), dan Adit (Bre) tentang Grebek Kendalisodo, Bawen.
Well, langsung saja ke pembahasan judul
yang tertera diatas.
Apa itu Grebeg Kendalisodo?
Grebeg Kendalisodo adalah sebuah
ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Karangjoho. Masyarakat mengarak hasil bumi yang ditata menyerupai gunngan, sabit, pacul dan garuda Pancasila keliling desa-desa di sekitar lembah Kendalisodo. Puncak dari acara ini
adalah penjamasan lambang negara Indonesia (Burung Garuda Pancasila). Selain
penjamasan terhadap burung garuda juga dilakukan penjamasan terhadap sabit dan
cangkul. Sabit dan cangkul merupakan
simbol kemakmuran masyarakat Karangjoho karena sebagian besar masyarakat Desa
itu berprofesi sebagai petani.
Dimana Grebeg Kendalisodo diadakan?
Grebeg Kendali Sodo diadakan di Desa
Karangjoho. Wilayah Karangjoho secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang
Jawa Tengah.
|
Kopi Nabire Papua |
Apa
yang melatarbelakangi diadakannya Grebeg Kendalisodo dan Jamasan Pancasila?
Diadakannya
Grebeg Kendalisodo di Desa Karangjoho tidak terlepas dari legenda Hanoman yang menguasai
Gunung Kendalisodo. Sebenaranya, kata gunung yang melekat pada nama Gunung
Kendalisodo hanyalah sebuah istillah saja, karena Gunung Kendalisodo bukan berwujud gunung sungguhan melainkan
hanya sebuah bukit kecil yang terletak di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Gunung
yang terbentuk dari letusan Gunung Api Ungaran purba ribuan tahun yang lalu ini
dipercaya oleh warga sebagai tempat tinggal Hanoman (Kera Putih).
Hanoman
adalah anak Bathara Guru dari istri Anjani. Sebelum jadi Resi Mayangkara, Hanoman
kecil pernah menyucikan dirinya di Sendang Cupumanik. Dari Sendang Suci itu, ia
mendapat kesaktian yang luar biasa.
Kesaktian
Hanoman tidak perlu diragukan lagi. Selama perang Antoro, Hanoman mampu
mengimbangi kekuatan pasukan Prabu Dasamuka. Setelah perang Antoro yaitu perang
antara Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Dasamuka berakhir, kemudian Hanoman mengabdikan
dirinya untuk Prabu Sri Bathara Krisna. Prabu Sri Bathara Krisna memerintah Hanoman untuk tinggal di Gunung Kendalisodo. Alasannya adalah untuk menjaga kententraman
manusia dari angkara murka.
Apa Hubungan
Sendang Cupumanik dengan Jamasan Pancasila?
Jamasan
Pancasila bertujuan untuk menyucikan Pancasila (Lambang Negara Indonesia). Jamasan
dilakukan di sendang kecil di Barat Desa Karangjoho. Mengingat legenda yang
berkembang turun-temurun di masyarakat lembah Gunung Kendalisodo tentang keperkasaan Hanoman setelah
menyucikan diri di Sendang Cupumanik, maka panitia penyelenggara dan masyarakat
pendukung tradisi Grebeg Kendalisodo berharap setelah Pancasila dijamas, negeri Indonesia ini akan terbebas dari
penyakit (kemerosotan moral: korupsi, kolusi, nepotisme). Jamasan bukan hanya dilakukan pada burung Garuda,
melainkan juga pada cangkul dan sabit petani. Cangkul dan sabit merupakan simbol
kesejahteraan penduduk karena mayoritas penduduk Karangjoho berprofesi sebagai
petani. Setelah simbol masyarakat agraris itu dijamas, mereka berdoa agar tanah
di lembah Kendalisodo diberi kesuburan juga diberi kemudahan air oleh Yang Maha Kuasa supaya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
Kapan Grebeg Kendalisodo pertama kali
diadakan?
Pada tanggal 10 Sura 1419 H (1997 M),
cikal bakal Grebeg Kendalisado pertamakali digelar. Awalmulanya Grebeg Kendalisodo
dikenal dengan nama Sedekah Bumi Kendalisodo. Acara ini difokuskan hanya di Sendang
Cupumanik. Waktu itu yang menjadi Kuncen Gunung Kendalisodo dan Sendang
Cupumanik adalah Eyang Marsidi. Eyang Marsidi mengajak segenap masyarakat
sekitar Sendang agar mau bersedekah bumi dalam rangka Memayu Hayuning Bawono.
Menurut Frans
Magnis Suseno (1983: 51-52), Memayu Hayuning Bawono adalah sebuah sikap manusia
yang tidak memaksakan diri pada sesuatu (orang, binatang, tumbuhan, batu atau
sungai) tetapi mau menghormati, membiarkan berdampingan dalam irama tersendiri,
dan bebas mencari kebebasannya. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap acuh tak
acuh. Respon positif dari masyarakat terhadap acara Grebeg Kendalisodo
ditunjukan dengan banyaknya masyarakat membawa jajanan pasar, buah-buahan dan sesaji ke Sendang
Cupumanik. Hingga tahun 1998, acara selamatan di Cupumanik masih berlanjut. Perubahan
kegiatan acara dimulai tahun 1999. Acara yang biasanya hanya berlangsung di
Cupumanik, mulai tahun itu semakin semarakan dengan adanya kegiatan grebeg (semacam pawai) mengelilingi
desa-desa di sekitar Gunung Kendalisodo. Grebeg Kendalisodo berbeda dengan
grebeg-grebeg di daerah lain. Biasanya, grebeg hanya mengarak tumpengan atau
pusaka kramat saja. Namun, yang menjadi keunikan dari grebeg Kendalisodo adalah
peserta grebeg mengarak burung Garuda Pancasila ke desa-desa yang berada di lembah Kendalisodo
dengan puncaknya adalah jamasan burung Garuda Pancasila di Cupumanik. Kemudian dilanjutkan dengan acara rebutan
gunungan oleh warga dan makan bersama di sana.
Apakah ada nilai-nilai kemanusiaan dibalik
terselenggaranya Grebeg itu?
Grebeg Kendalisodo sebenarnya
mengandung banyak nilai kemanusiaan. seperti Ketuhanan, Kerukunan, Gotong-royong,
Nasionalisme dll. Sebagai contoh semisal nilai Ketuhanan. Masyarakat pendukung Grebeg
ini percaya dengan diruwatnya simbol kesejahteraan mereka (cangkul dan sabit ‘arit’),
Tuhan Yang Maha Esa akan memberi kesejahteraan berupa kesuburan tanah dan
melimpahnya air untuk mendukung kegiatan ekonomi mereka. Nilai Kerukunan dapat
dicerminkan dari berbaurnya masyarakat
luar desa yang mayoritas menjadi penonton Grebeg dengan masyarakat Karangjoho. Nilai Gotong-royong, dilihat dari kerjasama dalam membuat
gunungan. Membuat gunungan tidaklah mudah, karena itu diperlukan kerjasama (baik jasa/materi) agar gunungan dapat
terisi penuh dengan buah-buahan, sayur-sayuran dan jajanan pasar. Nilai nasionalisme,
dapat dilihat dengan arak-arakan lambang negara Indonesia. Secara laten Grebeg ini sebenarnya
mensosialisasikan ideologi Pancasila kepada masyarakat khususnya anak-anak dan
pemuda dengan kegiatan yang menarik dan cara baru (inovatif). Diharapkan selain mencintai budaya
daerahnya (peserta parade ada Reog, Angguk, Jatilan, Grup Pencak Silat dll.),
mereka juga akan mencintai bangsanya.
Kembali ke Alur Ceritera!
Yuppp... setelah satu tahun observasi, kita memasuki tahun baru yakni 2013. berikut ini merupakan ceritera Grebeg Kendalisodo (GKS) tahun 2013.
Gak perlu panjang lebar, langsung pada intinya saja. Saat itu aku dan Mbahe diajak Bre bantu penelitian Skripsinya... Kami siapkan 5 kamera untuk menyambut datangnya acara ini (esok harinya 18 Nopeber). Namun, karena sibuk di basecamp (rumah Pak Rahmad) kami lupa charge kamera yang kami bawa.
Malam Minggu, 17 Nopember 2013. aku dan kedua sahabatku mengikuti tirakatan di Sendang Cupumanik sekaligus mendengarkan arahan dari sang sutradara (Mbah Rahmad Kendalisodo)
|
nah ini dia sutradara dibalik pagelaran Grebeg Kendalisodo, Mbah Rahmaddddd.... |
|
Kira-kira jam 9.00 malam, Pak Bupati datang. Kemudian memberi sepatah dua patah kata... |
|
Saya kurang paham siap yang menjadi juru kunci Sendang Cupumanik, sepertinya sih bapak ini... |
|
Nah, ini yang namanya Adit (Bre). Entah mengapa, selama penelitian di sana dia fokus sekali menyimak percakapan bapak-bapak dan ibu-ibu. udah kaya wartawan aja Bre... bree... |
|
Ingin merasakan khasiat Air Sendang Cupumanik, Aris (mbahe) membasuh muka di sendang itu. dan hasilnya...... tetap ganteng. |
|
Ingkung, Kluban, Tempe, Gereh Teri... Nyumiiiii...! |
|
Ibu (temanya bu Dayu) membagikan telo-pogong-kacang hasil alam Desa Karangjoho kepada hadirin. |
|
Makan Bersama |
|
Dahar nopo kalih napa mbah?? |
|
Bu Dayu and friends dahar pincukan |
|
Pak Bowo (Dinas Pariwisata) memotong tumpeng setelah didoakan bersama (doa Islam, Hindu, Kejawen) |
|
Enak ora brow? |
Esoknya, acara Grebeg Kendalisodo dimulai. Seperti biasa, kita dandan ala wong Jowo...
|
podo ngomongke opo to mas? mbok ya cepet ganti pakean... |
|
Selama dua periode (GKS 2012 dan 2013) mbah ini tidak pernah ketinggalan merayakan GKS... |
|
Desa Karangjoho masih sepi karena strart diawali dari dekat RS Ken Saras |
Lalu kami diangkut dengan Colt Brondol L 300 menuju tempat dimulainya grebeg berlangsung. Aku tidak tahu nama daerahnya. tapi sepanjang jalan, yang aku temui adalah sawah, kemudian masuk ke pemukiman padat.
|
Nah, disini grebeg KS dimulai... heheheh |
|
ati-ati yo mas, abot songgone kwi... heheheh |
Kemudian kami berjalan sepanjang 4 kilometer bahkan lebih. sengaja kami tidak memakai sandal agar terlihat ampuh and sakti mandraguna,,,,
|
hahah dapat pinjaman bendera. lumayan buat narsis "meskipun fokus kameramen ke mobil oprut itu :( ".... |
|
yah kurang lebih beginilah kondisi kami, nyeker biar keliatan ampuh... heheheh |
Setelah berjalan 4-5 KM, kami sampai di pertigaan Karangjoho. Di sana mbah Rahmad, Bu Dayu, Pak Camat membacakan sambutan-sambutan. sayang file dalam bentuk video, jadi tidak bisa dipampang. ada sih sudah aku upload video itu di fb. mulai dari awal sampai akhir berdurasi 8 menit. silakan klik VIDEO GREBEG KENDALISODO
|
Tangan Bre bergetar (alias Tremor) maklum sudah mbah-mbah |
|
Ubo rampe buat ritual... heheheh |
Kemudian kami berjalan bersama ke Barat menuju Sendang Cupumanik. Dari pertigaan desa Karangjoho menuju ke Sendang jaraknya sekitar 500 meter.
|
Setelah di doakan para imam dengan doa lintas agama, Burung Garuda Pancasila dijamas (dimandikan), anak-anak sangat antusias menyaksikan jamasan Pancasila ini. Bu Dayu menyorakan "MERDEKA", anak-anak membalas dengan sorakan yang sama "MERDEKA" |
|
Baik di dalam ruangan dan di Pelataran Sendang Cupumanik, gunungan setelah di doakan menjadi rebutan warga. dalam waktu 1 menit, gunungan sudah habis diperebutkan. |
|
Dari Kiri (Pak Bowo, Aku, Pak ?, Bu Ida Ayu (Dayu), Pak ?, Adit Brengos, Mbah?). Tanda ? berati aku tidak tahu nama-nama beliau. |
|
Nah, dibalik gambar-gambar ini ada peran mbahe untuk mendokumentasikannya. |
Setelah acara puncak, dilanjutkan dengan hiburan rakyat seperti jatilan, reog, kuda lumping, pertunjukan pencak silat, campur sari dll. di pertigaan Desa Karangjoho
|
Reog bukan, topeng ireng juga bukan. aku namakan sendiri saja seni tari Gatotkaca |
|
Sebelum digunakan untuk pentas, topeng terlebih dahulu diasapi dengan dupa |
|
Nah kalau ini Reog tanpa kuda... heheheh |
|
Penonton sangat antusias menyaksikan pertunjukan kesenian rakyat, meskipun harus hujan-hujanan. |
|
Ampun Reog... |
|
santai belum kesurupan... |
Grebeg Kendalisodo yang diadakan di Desa Karangjoho, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang ini sebenarnya bisa dijadikan aset Pariwisata Kabupaten Semarang. Namun sayangnya, Publikasi even ini tidak segencar even-even lain semisal Dieng Culture Festival. Semoga dihari kedepan Publikasi Event bisa dilakukan jauh hari sebelum acara dimulai supaya bisa mengundang banyak wisatawan yang berminat menjadi partisipant dalam event ini.
Acara ini resmi ditutup pada pukul 6.00 sore... Upsss... sebelum aku akhiri cerita ini, aku ajak saudara-saudara sekalian kembali lagi ke masa lampai yakni 3 jam sebelum acara ini resmi ditutup...
|
Gak usah dipikir sepaneng, monggo ududdd dulu...! :D |
Sekian cerita dari aku hari ini... KENALI NEGERIMU CINTAI BUDAYAMU... Dankeee....... Bye byee :D?
Post a Comment