Sifat Sederhana, Hanya Mengakui Keningratan Jiwa- Raden Ajeng Kartini
Foto keluarga Kanjeng Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Kartini ditandai dengan lingkaran warna merah. |
Kartini terlahir dengan watak sederhana. Rupanya
hal tersebut sudah menjadi pembawaannya. Kesederhanaannya dapat dilihat ketika
dia menulis surat kepada kawan-kawannya. Kala itu Kartini menjawab surat dari
Stella yang menanyakan bagaimana ia harus memanggil Kartini yang begitu tinggi
kedudukannya. Lalu Kartini membalas surat Stella:
"Panggilah aku Kartini Saja, itu namaku.
Kami orang Jawa tidak mempunyai nama Keluarga. Kartiini itu sudah namaku yang
lengkap...."
Dengan jawaban seperti itu, Stella semakin
mendekat kepada Kartini. Bukti lain kesederhanaan Kartini ialah menganggap
dirinya sama kedudukannya dengan yang lainnya.
"Kami ini hanya manusia biasa, sangat
biasa, campuran dari unsur-unsur jelek dan baik seperti berjuta-juta orang
lain. Mungkin juga pada saat ini pada kamu terdapat lebih banyak unsur baik
daripada yang jelek, tetapi sebabnya sederhanan saja. Bagaimana orang hidup
dalam lingkungan yang sederhana adalah mudah untuk menjadi baik. Orang dengan
sendirinya menjadi baik."
Sampai Kartini menginjak umur 20 tahun, ia tidak
pernah memikirkan atau mengagung-agungkan derajatnya. Ia baru sadar tatkala
Stella menannyakan tentang keturunan genetik keluarganya. Kartini menjawab:
"Sebelum kau menanyakan aku, aku tidak
pernah memikirkan bahwa aku, seperti katamu, adalah keturunan ningrat. Apakah
aku seorang putri Raja? Bukan. Raja terakhir yang menuruni kami, mungkin sudah
25 turunan yang lalu. Ibuku masih berhubungan dekat dengan Raja-raja Madura.
Buyut beliau masih memerintah sebagai raja, dan neneknya adalah putri yang
berhak menggantikan Raja. Tetapi semua itu tidak pernah kami pedulikan. Bagiku
hanya ada dua jenis keningratan: keningratan jiwa (akal) dan keningratan budi
(perasaan). Menurut perasaanku tidak ada yang lebih gila dan menertawakan
daripada orang-orang yang membangga-banggakan keturunan. Apakah
sebenarnya jasanya dilahirkan sebagai orang bangsawan? Dengan otakku yang
kecil ini aku tidak dapat menangkapnya...."
Pada tahun 1902, namanya semakin terkenal, tidak
hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri van Orange. Nama yang
diagung-agungkan itu lantas tidak menjadikan ia sombong.
"Tahukah kau apakah yang aku lihat pada
sahabat-sahabat kami? Mereka mempunyai anggapan yang terlalu tinggi tentang
kami. Mereka mengatakan ada kecakapan kecakapan dan bakat bakat pada kami yang
tidak kami miliki. Kami kadang kadang harus ketawa tentang entusiasme mereka.
Peribahasa 'cinta itu buta' itu sungguh berlaku bagi mereka. Kalau kau dengar,
apa saja yang, menurut mereka, tidak dapat kami perbuat! Kami sungguh merasa
sangat kecil, jika disanjung-sanjung demikian oleh sahabat-sahabat kami. Kecil
tetapi juga dengan perasaan berterimakasih atas tanda cinta mereka."
Kartini juga sangat cinta kepada rakyatnya dan ia
ingin sekali hidup di tengah-tengah dari mereka untuk mengerti suka duka mereka.
Sebagai putri dari kabupaten, sudah tentu ia tidak mendapat banyak kesempatan
untuk bergaul dengan mereka. Dalam surat-suratnya, terdapat sebuah cuplikan
dari kalimat:
"Betapa sering kami rindu kepada
jiwa-jiwa yang bersahaja itu. Kami tidak akan mengutik-utik pada kesederhanaan
mereka. Kami akan mengajar kebutuhan-kebutuhan baru kepada mereka. Kami akan
membiarkan mereka dalam kesederhanaannya, dalam wataknya. Dan hanya akan
mencoba mengadakan perubahan di mana ada istiadatnya bertentangan dengan dasar
cinta."
Meskipun Kartini adalah seorang
bangsawan, Kartini tidak buta kepada kelemahan-kelemahan dan
kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh kaum ningrat. Mengenai sifat yang
sederhana itu, ia juga tak segan-segan untuk mengkritik. Kesalahpahaman
terhadap gelar ningrat, membuat rakyat beranggapan bahwa kaum ningrat mempunyai
keistimewaan dan karena gelar itu, mereka dapat berbuat segala-galanya melebihi
yang dapat diperbuat rakyat biasa. Anggapan tersebut telah menciptakan jurang
pemisah antara yang tinggi dan rendah dalam status masyarakat era Kartini yang
berdampak dengan adanya ketidakadilan antara si kaya dan si miskin, bangsawan
dan kawula. Kesalahan itu dimulai dari pendidikan keluarga. Seorang ibu dari
kalangan ningrat sudah membiasakan anaknya dengan gelar yang didapat karena
kelahirannya (ascribed status). Sehingga ketika anak-anak itu dipanggil
tanpa menyebut gelarnya, misal: Den, Den Mas, Ndoro, dls, mereka akan marah.
Masyarakat Jawa sangat memuja-muja kaum ningrat dan suka meniru tingkah laku
dan perbuatan mereka Kartini berpendapat bahwa kaum ningrat kurang pantas untuk
disanjung-sanjung demikian. Karena Kartini melihat bahwa kebanyakan bangsawan
hanyalah sebuah gelar saja, tetapi tidak ada dalam diri mereka sebuah
keningratan jiwa dan moral. Sebab keningratan sejati terletak pada tanggung
jawab pemimpin kepada rakyatnya juga memberi contoh positif kepada rakyat dan
keturunannya, Noblesse obligate. Kritik tajam juga disempatkan kepada
ayahnya ketika Kartini mempunyai gagasan untuk memajukan perempuan pribumi
dengan pendidikan. Kartini meminta saran kepada Ayahnya dan rekan-rekan ayahnya
sesama bupati untuk mendirikan sekolah bagi gadis-gadis dari pembesar bangsa
pribumi, tetapi para bupati tidak menyetujui dibukannya sekolah bagi perempuan.
Dalam kontra gagasan dengan para Bupati, Kartini mengutip sebuah kalimat dari
seorang pembesar bangsa Jawa "Orang Jawa, terutama bangsa ningratnya,
bagi diri sendiri ingin sekali makan nasi putih, tetapi tidak merelakan orang
lain makan nasi yang sama, untuk itu beras merahlah yang cocok untuk orang lain
tersebut". Adagium tersebut menggambarkan bahwa para bangsawan ingin
mendapat keistimewaan sendiri, tetapi tidak mau membaginya dengan orang lain.
Dengan kata lain, biarlah rakyat tetap bodoh, supaya kaum ningrat tetap
berkuasa.
Sumber buku : Sitisoemandari Soeroto.1986. Kartini,
Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung.
Sumber foto :
Post a Comment