Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Lahirnya Kekuatan Baru Golongan Buruh Semarang (1)

        Di Jawa Tengah pada akhir tahun 1918 terjadi peningkatan harga beras. Di Pekalongan misalnya, harga beras mencapai f  16 perpikulnya. Harga semahal itu tentu saja memberatkan rakyat miskin. Bahkan di Tangerang, rakyat yang kelaparan mulai menyerbu sebuah toko beras. Melihat kondisi sosial pada saat itu, Cipto Mangunkusumo mengusulkan di sidang Volksraad supaya area perkebunan tebu dikurangi. Usul tersebut akhirnya ditolak karena dalam sebuah voting, Cipto hanya mendapat 10 suara melawan 20 suara.
Penolakan Volksraad menguatkan pendapat Semaun bahwa tidak ada gunanya percaya lagi kepada pemerintah. Volksraad yang harusnya membela rakyat tetapi pada kenyataannya mereka malah membela pemilik modal. Hal ini yang mendorong para buruh membentuk organisasi serikat buruh dan pada bulan Mei 1919, diadakan Konggres Persatuan Pergerakan Kaum Buruh yang dipimpin oleh Sosrokardono di Bandung.
    
   Memburuknya penghidupan rakyat disertai penindasan oleh pemerintah telah memunculkan protes di berbagai tempat. Pada bulan Juli 1919 terjadi protes petani di Cimamere Jawa Barat. Peristiwa tersebut telah memberi effek guncang bagi masyarakat luas, pasalnya Haji Hasan menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah. Dalam usaha mempertahankan padinya itu, Haji Hasan melakukan perlawanan dan dalam perlawananannya ia tewas. Suhu politik di Hindia Belanda berubah semakin panas. 
        Sarekat Islam Semarang (SI) telah menjadikan isu Cimamere untuk membakar gerakan massa rakyat. SI Semarang mayoritas pendukungnya adalah rakyat miskin sejak dipimpin oleh Semaun. Pada tahun 1918, Serikat Islam Seksi Perempuan dibentuk dan dapat menghimpun sebanyak 3.341 anggota. SI  Semarang juga merangkul golongan marginal yang ditakuti oleh orang-orang eropa. Golongan tersebut terdiri dari kaum gembel yang terkenal dengan loyalitasnya untuk mendengarkan pidato pemimpin SI. Kaum gembel dengan sendirinya memiliki keberanian untuk bertindak dan mudah untuk dibakar semangatnya. 
        Perjuangan kaum buruh di Semarang dimulai ketika terjadi pemecatan di Semarang Veem pada bulan Desember 1919. SI Semarang lalu mengadakan pertemuan dengan organisasi buruh seluruh Semarang untuk membicarakan kesewenang-wenangan para majikan terhadap buruh. Dalam pertemuan tersebut dihadiri Partoatmojo dari Sarekat Islam Semarang, Sugeng dari Perkumpulan Kaum Buruh  Semarang, Nursalam dari kaum kusir, Kwee Hing Tjiat dari Serikat Buruh Tionghoa dan Najoan dari kaum buruh lindeteves (telah dipecat). Pada kesempatan tersebut, Najoan terpilih menjadi ketuanya.
        Pada bulan Februari 1920, sebanyak empat ratus buruh dari van Dorp mogok kerja. Pemogokan meluas ke buruh percetakan De Locomotif disusul buruh buruh dari Mist, Bischop, Benyamin, dan Warna Warta yang merupakan percetakan koran-koran anti Sarekat Islam. Dari empat ratus buruh yang mogok kerja, meningkat menjadi seribu buruh. Ketika mereka mogok kerja, mereka mendapat sokongan logistik. Artinya, mereka tidak hanya sekedar mogok kerja tetapi juga mendapat upah. Dana untuk membiayai mogok kerja dihimpun dari sumbangan-sumbangan orang kaya, seperti Haji Busro yang menjabat komisaris SI dan Sumitro pengusaha rokok kretek Kudus. Mereka berdua menyumbang masing-masing sebanyak f  3000. Selain mereka, Direktur Bank Tionghoa Semarang, juga menyumbang f 5000 karena ia sering dihina oleh koran De Locomotif. Dengan perbandingan harga beras saat itu 5 sen perkilonya, uang yang dikumpulkan oleh Semaun dapat menunjang aksi mogok buruh. 


Sumber:  Gie, Soe Hok. 2005. Di Bawah Lentera Merah.Yogyakarta: Bentang.

No comments

Powered by Blogger.