Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Lahirnya Kekuatan Baru Golongan Buruh Semarang

          Setelah Presiden Sarekat Islam (SI) Semarang Muhammad Yusuf  menyerahkan kedudukannya kepada Semaun pada 6 Mei 1917, pada hari itu juga dibentuk komposisi pengurus baru yang terdiri dari: (Gie, 2005: 9)
          Presiden                 : Semaun
          Wakil Presiden       : Noorsalam
          Sekretaris               : Kadarisman 
         Komisaris               : Supardi, Alui, Yahya, Aljufri, Busro, Amathadi,
                                           Mertodijoyo dan Kasrim. 
          Peristiwa pergantian pengurus tersebut mencerminkan adanya pergeseran peran pemimpin SI yang semula dipimpin oleh golongan kaum menengah dan pegawai negeri diganti golongan buruh. Di bawah kepemimpinan Semaun, kaum buruh dan rakyat kecil menjadi pendukung mayoritasnya. Berbeda dengan sebelum dipimpin Semaun, pendukung SI mayoritas berasal dari kaum menengah. Dala
m hal ini SI telah melakukan perubahan haluan gerakan yang semula dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan kaum bawah.
          Revolusi dalam SI Semarang dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik-ekonomi pada saat itu. Sejak 1870, Pemerintah Hindia Belanda telah menghapuskan sistem monopoli ekonomi. Setelah diberlakukan sistem ekonomi liberal, modal-modal asingpun mulai mengalir. Pada saat itu pula, sistem kerja paksa yang merupakan warisan Pemerintah VOC dihapuskan dan diganti dengan sistem kerja upah. 
          Sistem ekonomi liberal yang diterapkan pada saat itu telah mendorong pertumbuhan sektor industri, perkebunan, dan pertambangan. Perkembangan tersebut tidak menguntungkan bagi rakyat karena pada dasarnya sistem ekonomi liberal yang melahirkan kaum kapitalis hanya berlomba-lomba mengeksploitasi keringat bangsa Indonesia. Mereka  memanfaatkan bangsawan dan aparatur desa untuk menggerakan massa supaya tujuan mereka tercapai. Meskipun pengusaha perkebunan tidak dapat memiliki tanah, tetapi mereka mempunyai hak untuk menyewa tanah, baik dari bangsawan pribumi maupun Pemerintah Hindia Belanda. Mereka menyewa tanah milik desa lewat para kepala desa. Sawah/kebun milik desa yang semula dikelola bersama, kemudian dirubah menjadi perkebunan. Hal tersebut mepunyai dampak pada perubahan mata pencaharian penduduk yang awalnya sebagai petani menjadi kuli.
          Atas tersedianya lahan dan sumber daya manusia yang telah diusahakan oleh kepala desa, lalu setiap kepala desa mendapat imbalan tertentu dari pemilik perkebunan. Besar premi yang diberikan kepada mereka tergantung dari luas lahan desa yang berhasil mereka rubah menjadi perkebunan. Pada tahun 1919, setiap 1 bau (7.096,50 meter persegi) pengusaha memberi premi sebesar 2,50 Gulden Belanda (Gie, 2005: 12). 
          Dampak dari alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan adalah makin sempitnya lahan pertanian yang menyebabkan produksi beras semakin berkurang. Selain itu, para petani juga kehilangan pekerjaannya dan terpaksa menjadi budak di perkebunan. Penduduk Jawa yang tiap tahun semakin meningkat kuantitasnya menyebabkan kebutuhan beras meningkat dan stok beras semakin menipis yang berdampak pada kenaikan harga beras dari tahun ke tahun (Gie, 2005: 12).
          Di daerah Vorstenlanden Jogja-Solo, Semarang, Pekalongan dan Cirebon terhampar luas perkebunan tebu. Meskipun begitu, kehidupan rakyat Jawa tetaplah sengsara. keadaan tersebut semakin memburuk hingga tahun 1923. Disisi lain, ketika rakyat sengsara, produksi tebu dari tahun ke tahun semakin meningkat: (Gie, 2005: 13)
          Tahun 1900, produksi gula sebanyak    744.257 ton,
          Tahun 1915, produksi gula sebanyak 1.319.087 ton.
          Tahun 1916, produksi gula sebanyak 1.629.827 ton.
          Tahun 1917, produksi gula sebanyak 1.822.188 ton.
          Alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan sangat menyengsarakan petani. Dahulu saat petani bisa menggarap lahannya sendiri, selama delapan belas bulan mereka dapat menghasilkan tiga kali panen padi dan dua kali panen palawija. Itu beararti jika satu panen padi, mereka dapat menghasilkan 100 Gulden, maka selama delapan belas bulan mereka mampu mengumpulkan pundi-pundi Gulden sebanyak f 300. Sedangakan, apabilla mereka menyewakan tanahnya kepada pengusaha selama delapan belas bulan, total Gulden yang mereka terima hanya f 66. Tentunya, uang dari sewa tanah sebanyak f 66 tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup selama delapan belas bulan. Oleh sebab itu kaum tani biasanya merantau ke kota untuk bekerja sebagai kuli. Dilain kesempatan, mereka juga dapat bekerja sebagai kuli di perkebunan dengan gaji antara 20 hingga 40 sen tiap harinya (Gie, 2005: 13).
          Didesa-desa, posisi petani semakin ditindas. Lurah-lurah desa tidak mau membela kepentingan petani karena lurah mereka sudah menjadi alat penindas yang bekerja bagi pengusaha perkebunan. Kondisi para petani yang semakin sengsasra, melahirkan gagasan untuk memberontak. Di Kediri misalnya. Pada 1918, kebun-kebun tebu dibakar kemudian para petani merampas tanaman kespe (umbi kayu) sebagai bentuk protes. Kenyataan-kenyataan sosial yang mereka rasakan, mempengaruhi nurani tokoh pergerakan Sarekat Islam Semarang menjadi lebih revolusioner (Gie, 2005: 13).
          Pemimpin SI semakin revolusioner setelah  wabah pes  menjangkiti warga Semarang dan sekitarnya. Wabah tersebut telah membunuh puluhan ribu penduduk pada tahun 1917. Persebaran Pes di Semarang terhitung sangat cepat. Hal itu disebabkan oleh tata ruang kampung yang sangat buruk dengan hunian yang berjejal-jejal dan gang-gang yang becek. Pembawa penyakit pes tidak lain adalah tikus. Dengan tata ruang yang berjejal dan tidak mendapat sorotan matahari yang cukup, tempat seperti itu sangat cocok sebagai habitat tikus. Dalam menghadapi wabah pes, pemerintah Kotapraja Semarang dinilai bertindak tidak bijaksana. Pemerintah memaksa penduduk yang tinggal di kampung-kampung sarang tikus untuk sesegera mungkin pindah dari tempat itu. Perumahan rakyat dibongkar selanjutnya dibakar dan rakyat hanya diberi waktu selama delapan hari untuk pindah dari sana. Terang saja, dalam hal ini penduduk miskinlah yang dikorbankan karena mereka tidak mampu mendirikan rumah yang layak huni. Karena tekanan dari berbagai organisasi, akhirnya Pemerintah Kotapraja Semarang bersedia membuat rumah bagi penduduk miskin. Akhir tahun 1917, keadaan semakin memburuk. musim penghujan telah menyebabkan gang-gang di perkampungan semakin becek karena sanitasi yang buruk. Wabah pes  lalu menyebar luas ke penjuru Semarang. Angka kematian akibat wabah pes di Kotapraja Semarang yang tertinggi ada di daerah Semarang Etan. Pada triwulan pertama di daerah itu angka kematian penduduknya mencapai 59.000 jiwa dan meningkat pada triwulan kedua sebanyak 72.000 jiwa  (Gie, 2005:17).
          Bagi kalangan kaum bawah yang masyoritas buta huruf, situasi saat itu dimanfaatkan Semaun dan kawan-kawanya untuk melakukan aksi gerakan radikal yang bersifat revolusioner di Semarang.

Sumber: Gie, Soe Hok. 2005. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Bentang

BERSAMBUNG...

No comments

Powered by Blogger.