Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Sejarah Mata Uang Republik Indonesia dari Ma, Godok, Picis, Real, Duit hingga jadi ORIDA dan Tantangannya di Masa Depan


Hai Sahabat Story... kalian tau gak sih, kalau di negeri kita ini dulunya pernah beredar banyak macam versi rupiah yang dipakai buat tansaksi jual beli. Pasti ribet, ya gak? Bayangkan saja kalau kalian jadi mbah kalian saat itu, Pusing gak tuh? Mau beli Cilok di Sumatra Utara pake Uang Rupiah Solo. Ternyata di Medan sana, uang kalian gak laku! Pasti nyebelin, kan?
Tapi gais... itu bener-bener terjadi lho di Indonesia. Sejarah mencatat, perbedaan ini pernah terjadi di Indonesia saat Revolusi Fisik antara tahun 1947-1949. Biar kalian gak kepo, yuk sama-sama kita bahas, Sejarah Mata Uang Republik Indonesia dari Ma, Godok, Picis, Real, Duit hingga jadi ORIDA dan Tantangannya di Masa Depan. 

Sejarah Uang Nusantara
Sebelum mengenal uang, penduduk Nusantara berdagang dengan sistem barter (tukar menukar). Namun, sistem ini memuculkan beberapa kendala, diantaranya adalah ketidak praktisan dan terbatasnya barang yang dapat dibarter. 

Setelah muncul sistem uang, cara barter mulai ditinggalkan karena sistem ini tidak praktis. Pada perkembangan berikutnya, muncul pelbagai mata uang dari bentuk perak, tembaga, dan timah. Jika ditilik dari masa kerajaan, dalam rentang abad ke-9 hingga ke-13, kerajaan-kerajaan tradisional telah melakukan transaksi menggunakan uang.

Mata Uang Kerajaan-kerajaan Nusantara
Kerajaan Kediri misalnya, mereka menggunakan uang emas untuk alat transaksi jual beli. Sedangkan Kerajaan yang agak muda seperti Cirebon, Pontianak, dan Maluku menggunakan timah, perak, dan tembaga sebagai bahan uang mereka.

Pada awal abad ke-14, kerajaan-kerajaan Nusantara, tidak hanya menggunakan mata uang produksi mereka sendiri. Di Jawa, beredar mata uang yang digunakan oleh pedagang mancanegara, seperti koin Cina, Real Spanyol, Dollar Meksiko dan lain sebagainya.

Di daerah Surakarta, beberapa jenis mata uang telah dikenal sejak Jaman Kerajaan Mataram Kuno. Uang Mataram kuno bernama uang Ma, berbentuk bulat dengan bahan yang terbuat dari emas. Uang ini memiliki berat 2,4 gram dengan tebal 4 mili meter dan berdiameter 7.7 milimeter. Desai dari uang ini bergambar hiasan biji wijen di depannya, dan bagian belakang beraksara Dewanagari (Sansekerta) bertuliskan “Ta”.

Kemudian di Jaman Majapahit, beredar juga uang yang disebut uang Gobog. Uang ini terbuat dari bahan tembaga, berbentuk bulat dengan lubang di tengah berdiameter 46 milimeter. Berat uang ini 24,5 gram dengan ketebalan 2 milimeter. Desain uang ini pada bagian depan bergambarkan motif kehidupan masyarakat Majapahit. Sementara bagian belakang hampir sama.

Mata Uang Cash Cina
Selain mata uang lokal, dalam rantai perdagangan internasional di Nusantara, uang-uang asing juga dipakai sebagai alat transaksi. Peletak dasar komersialisasi uang setelah tahun 1400 diantaranya adalah bangsa China. Mata uang China disebut dengan Cash (bahasa sansekerta), kemudian orang Portugis menyebut dengan Caixa dan Orang Jawa menyebutnya sebagai Picis, karena memiliki lubang persegi ditengahnya agar mudah diikat menjadi satu bundel. Saking berlakunya, mata uang China ini sampai diekspor ke Eropa.

Memasuki permulaan abad ke-16, dapat dikatakan bahwa hampir semua transaksi di Jawa telah menggunakan mata uang Cash milik China. Jumlahnya yang banyak dan mudah ditemui, serta dapat diterima oleh banyak bandar perdangan membuat mata uang Cina ini beredar di seluruh Nusantara.
Bandar-bandar terkenal seperti Pasai dan Malaka juga menggunakan uang ini. Kepopuleran mata uang Cina semakin besar ketika Kaisar China mulai menghapus larangan perdagangan ke Selatan (ke daerah Asia Tenggara) pada tahun 1567. Penghapusan larangan tersebut berimbas pada banjirnya mata uang tembaga Cina ke Asia Tenggara.

Banyaknya uang yang beredar membuat khawatir pejabat China, sehingga pada 1590 di Guangdong dan Fujian dibaut mata uang tembaga baru campuran dengan timah yang lebih murah untuk selanjutnya diedarkan. Pada 1596, mata uang ini pertama kali dibawa oleh armada Belanda ke pedalaman Cina. Mutu Picis ini lebih rendah karena terbuat dari campuran timah, yang mudah di palsukan.

Mata Uang Real Spanyol dan Duit VOC
Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 turut memperbanyak jenis mata uang yang beredar di Nusantara. Salah satu mata uang barat yang paling digemari pada abad ke-17 adalah Real Spanyol (Spaanse Matten). Saat itu tidak ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan Real Spanyol sebagai mata uang internasional. Sebagai uang internasional, Real Spanyol segera menjadi uang baku dalam satuan hitung transaksi internasional. 

Walaupun Real Spanyol lebih populer sebagai alat pembayaran internasional, namun dalam kegiatan sehari-hari, mayarakat lebih menyukai uang Picis China. Di Jawa sendiri Picis sudah diproduksi lokal di Banten, Cirebon, dan Jepara. Mengetahui hal tersebut, VOC berusaha mencari keuntungan dengan memalsukan Picis yang beredar di masyarakat dengan bantuan orang-orang Tionghoa untuk memproduksi Picis dalam skala besar dengan sebelumnya memonopoli perdagangan timah Nusantara.

Peredaran mata uang yang beragam juga berpengaruh terhadap nilai mata uang lokal di setiap wilayah. Hal ini dirasakan oleh pedagang Eropa, dimana di tiap wilayah Nusantara terjadi dualisme penggunaan mata uang. Termasuk VOC, ketika melakukan transaksi menggunakan mata uang Real Spanyol. VOC tidak menemukan titik temu nilai baku mata uang yang mereka gunakan dengan mata uang lokal. Hal itu yang menyebabkan masyarakat Pribumi cenderung tidak ikut terlibat dalam perdagangan internasional.

Kerumitan penggunaan mata uang lokal dalam bertransaski dagang di Nusantara oleh VOC melahirkan ide untuk menggunakan mata uang tunggal. Mata uang ini juga digunakan untuk menandingi uang Picis China pada abad ke-18. Maka mereka mulai mengedarkan mata uang mereka yang dikenal dengan Duit.

Pada tahun 1724 hingga 1795, VOC mengirim lebih dari 1,1 miliar koin tembaga pecahan kecil VOC ke Jawa. Duit VOC ini dibawa­ langsung dari negeri Belanda. Selain mengimpor, VOC juga mencetak Duit di Jawa. Hal itu karena tersendatnya pengiriman koin kaibat perang Belanda-Inggirs keempat. 

Produksi uang dan pengiriman Duit ke Jawa secara masif dilakukan oleh VOC dengan tujuan mempopulerkan penggunaan Duit di kalangan penduduk Nusantara. Hal itu ternyata mendatangkan hal positif bagi VOC. Secara pelahan, penggunaan Duit VOC mengalahkan Picis China, sementara keberadaan uang lokal semakin terpinggirkan akibat Duit VOC.

Oeang Repoeblik Indonesia
Pada tahun 1946, Gulden Belanda tiba-tiba tidak berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada tanggal 30 Oktober 1946 untuk alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Percetakan ORI mulai dijalankan pada Januari 1946. Percetaan ini bekerja setiap hari mulai jam 7 pagi hingga jam 10 malam. Pada bulan Mei 1946, aktivitas percetakan ORI mulai dipindahkan ke beberapa tempat, salah satunya Yogyakarta. 

Bahan baku pembuat kertas ORI diproduksi di Padalarang. Dari Padalarang, kertas-kertas ini kemudian didistribusikan ke seluruh daerah di Jawa, seperti di Yogyakarta. Ada beberapa gudang penyimpanan di kota ini antara lain: pabrik gula, rumah Pangeran Purbodirdjo di Kampung Patang Puluhan, dan gudang percetaan bekas Kolff Buning.

Dengan keterbatasan, proses percetakaan ORI terus dikerjakan. Nantinya, uang Rupiah ini akan dipakai sebagai alat pembayaran resmi Indonesia. Maka ORI harus dibuat sebaik mungkin dan yang paling penting adalah tidak mudah ditiru. Uang ORI dicetak dalam pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 50 sen, 1 rupiah, 10 rupiah dan 100 rupiah.

Pemerintah Belanda yang merasa masih memiliki Indonesia saat itu tidak terima, akhirnya mengirimkan pasukannya guna menguasai kembali Indonesia yang baru merdeka dari kekuasaan Dai Nippon. Mereka membangun kekuasaan dengan NICA-nya dan tidak lupa mendirikan kembali perekonomian yang sempat mati akibat pendudukan Jepang, yakni mencetak Uang Rupiah NICA.
Sebagai kompetitor, ORI yang saat ini kita kenal dengan Rupiah, ORI juga tidak luput dari gangguan itu. Dari mulai menyebarkan Uang Rupiah NICA ke daerah Republik hingga Blokade Ekonomi. Akibat kebijakan van Mook memblokade Indonesia, maka di sejumlah daerah muncul uang daerah baru. Uang daerah ini digunakan bukan untuk menggeser rupiah melainkan digunakan sementara karena mengalami di daerah tersebut terjadi kelangkaan bahan Rupiah, utamanya Sumatra dan Jawa. Uang inilah yang dikenal dengan ORIDA atau Oeang Repoeblik Indonesia Daerah.

Mengingat situasi politik, ekonomi, dan militer sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 hingga pembentukan pemerintah Indonesia yang tersentralisasi pada tahun 1950, di butuhkan metode pembayaran lokal untuk menjaga ekonomi bertahan di daerah terisolasi.

Selain uang ORIDA ada juga Pinjaman Nasional, yaitu emisi yang dikeluarkan pemerintah untuk memajukan industri, memperbaiki keadaan rumah, dan menyempurnakan keuangan negara. Pinjaman nasional digunakan untuk menghentikan tingginya peredaran uang kertas Jepang yang menjadi penyebab inflasi. Pinjaman Nasional ini dapat ditebus dalam waktu empat puluh tahun dengan bunga 4% per tahun. Diterbitkan dalam tiga nominal, 100 rupiah, 500 rupiah, dan 1000 rupiah.

Kemudian Bon Pabrik disebut juga uang kertas swasta. Bon Pabrik T.H.T. adalah bon pengganti uang kecil yang ditandatangain oleh direksi pabrik untuk menggaji karyawannya bila mereka sulit menukarkan pecahan kecil di Bank setempat. Selain dipakai sebagai alat pembayaran, Bon Pabrik ini juga dapat dipakai untuk membayar di warung atau toko-toko sekitar parbrik.

Rupiah vs Uang Digital
Rupiah adalah kedaulatan Bangsa Indonesia. Ya... nampaknya tidak berlebihan kalau Rupiah menjadi identitas bangsa Indonesia. Sebab selain sebagai alat pembayaran yang sah, ternyata Rupiah ikut andil dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada masa-masa awal Republik ini berdiri.

Rupiah yang pertamakali dicetak pada tanggal 30 Oktober 1946 menjadi alat pemukul bangsa Indonesia di bidang moneter, utamanya perihal menggeser kegunaan Uang Jepang dan Uang Javasche Bank  yang saat itu banyak dipakai Penduduk Indonesia.

Namun, di era modern saat ini ada tantangan baru yang juga tidak kalah menegangkan daripada perang Rupiah melawan Uang Jepang pada jaman perang dulu, yakni kemunculan uang digital. Kemunculan teknik pembayaran baik langsung maupun tidak langsung uang digital disuatu saat akan menyaingi Rupiah sebagai alat pembayaran. Beberapa tahun ini misalnya, masyarakat Indonesia mulai tergila-gila dengan uang digital (crypto currencies) seperti bitcoin dan sejenisnya.
 
Bitcoin diciptakan melalui teknik blok chain. Proses ini dinamakan mining sebab pengguna seperti orang yang sedang menambang logam mulia. Menariknya, bitcoin dapat digunakan untuk menjadi objek perdagangan seperti Euthereum dan Dash. Tentu keberadaan bitcoin akan menyaingi uang fiat yang dikeluarkan oleh bank.

Demikian pula ada teknik pembayaran digital yang secara langsung menghubungkan dengan pelaku pasar seperti cashless dan payments melalui ponsel seperti Google Pay, Go Pay dan OVO. Kemudian yang paling mutakhir adalah Libra yang diprakarsai Facebook. Bentuknya masih berupa penciptaan uang oleh asosiasi antar sejumlah lembaga keuangan yang ditujukan kepada pengguna email di dunia yang saat ini penggunanya mencapai 1,7 miliar orang. Keberadaan uang-uang digital ini tentu akan menjadi pesaing dari keberadaan Rupiah di masa depan.

Nah, itu gais Sejarah Mata Uang Republik Indonesia dari Ma, Godok, Picis, Real, Duit hingga jadi ORIDA dan Tantangannya di Masa Depan. Sudah gak kepo lagi kan? Jangan lupa cintai Rupiah kalian ya!

No comments

Powered by Blogger.