Wanua Sriwijaya (asal mula Kota Palembang)
Hay Sahabat Story, kalian tidak asing kan dengan nama Palembang? Yup, Palembang yang terkenal dengan jajanan empek-empek itu. Kalau sejarah Kota Palembang sendiri, kalian tau tidak? Kalau belum tau, yuk sama-sama kita bahas tentang Sejarah Kota Sriwijaya.
Swarnadwipa itu nama kuno Pulau Sumatra
Pulau Sumatra luasnya sekitar 28.016.160 Km2. Meliputi 8 Provinsi dari paling ujung Timur yakni Lampung hingga ujung Barat, Aceh.
Sejak jaman dahulu, Swarnadwipa
telah memiliki sejarah peradaban yang cukup panjang. Pelbagai tinggalan budaya yang merupakan bukti tingginya peradaban masa lalu Swarnadwipa banyak
diberitakan oleh para musafir asing yang pernah singgah ke pulau ini, diantaranya adalah musafir dari Yunani, Arab,
Persia, India, dan Tiongkok.
Berita paling tua mengenai
Sumatra, termuat dalam Geographyke
Hyphegesis yang ditulis oleh Ptolomeus pada abad pertama Masehi. Dalam
berita itu disebutkan sebuah nama tempat “Borousai" (Barus) sebagai nama
pelabuhan di pantai barat Sumatra.
Sepanjang sejarahnya, di Sumatra
pernah berjaya kerajaan-kerajaan besar,
diantaranya Melayu (Mo-le-yue), Sriwijaya (Shih-li-fo-shih), Tulangbawang
(To-lang-po-hwang) dan Panai.
Kebanyakan dari kerajaan tersebut berlokasi
disekitar daerah aliran sungai besar di Sumatera, yaitu Batanghari, Musi,
Kampar, Barumun, dan Pane.
Peranan dari sungai saat itu sangat penting sebagai sarana transportasi. Oleh karenanya, pertumbuhan peradaban di
Sumatera dimulai daerah aliran sungai.
Pedalaman sebagai pemasok barang bagi pesisir juga memainkan peranan penting dalam rantai ekonomi negara kuno. Dari daerah pedalamanlah pelbagai komoditi dagang internasional, seperti hasil tambang (emas) dan
hutan (kapur barus, kemenyan, dan damar) dihasilkan. Komoditti itu kemudian diangkut dan dipasarkan di pesisir timur dan barat Sumatra dimana para saudagar asing telah menunggu mereka di bandar-bandar dan membeli dagangan mereka dengan cara menukarkan barang-barang dagangan yang mereka bawa dari negeri
asalnya.
Pertumbuhan jaringan komunikasi,
tansportasi, dan tukar menukar jasa melalui sungai kemudian membawa arus lalu
lintas antara Sumatera, Arab, India, dan Tiongkok semakin maju. Tingginya arus
lalu lintas antar negara juga dibarengi dengan mahirnya penduduk Sumatra dalam
hal administrasi dan pelayaran. Hingga lambat laun, daerah yang tadinya
terpencil bertransformasi menjadi pusat perdagangan, politik dan
kekuasaan besar.
Semua orang setuju Kerajaan Sriwijaya berdiri di Kota Palembang
Hampir semua tinggalan budaya
masa lampau, baik berupa prasasti, arca batu dan logam, maupun sisa bangunan
bata jaman Sriwijaya ditemukan di daerah Palembang. Hal ini menguatkan banyak
ahli kepurbakalaan yang beranggapan bahwa jantung Sriwijaya itu berada di Kota
Palembang.
Perlu dicatat bahwa Sriwijaya
pada masa awal berdiri tidak menempati muara Sungai Musi. Sebab situs-situs di
daerah ini hanya menunjukkan sisa pemukiman dari abad ke-14 sampai 17 Masehi. Sedangkan dengan adanya temuan arkeologi di Bukit Siguntang dan daerah pertemuan
antara Sungai Musi, Ogan, dan Kramasan, menguatkan para ahli jika pusat Sriwijaya saat itu berada di pedalaman (kota Palembang saat ini). Hal itu turut didukung dengan adanyatinggalan arkeologis yang menunjukkan adanya
pemukiman penduduk yang tinggal di kota ini dari tahun 628-1082 Masehi. Adapun tinggalan budaya tersebut
antara lain berupa fragmen prasasti, arca batu, logam, seta bata-bata berukuran
besar.
Khususnya di Bukit Siguntang,
sekitar 4 Km ke arah barat dari pusat kota Palembang. Di lereng selatan bukit
itu pada tahun 1922 ditemukan sebuah padmasana
seta fragmen arca yang terbuat dari batu granit. Arca itu kemudian dikenal
sebagai arca Buddha dari Bukit Siguntang. Selain arca juga ditemukan bata yang
berserakan dalam jumlah besar membentuk sebuah denah lingkaran.
Lokasi lain kekunoan kota Palembang
didapati di Kedukan Bukit, sekitar 5 Km ke arah barat laut dari Bukit Siguntang.
Disana ditemukan prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 682 M. Prasasti ini menjadi penting
artinya bagi eksistensi sebuah kota bernama
Sriwijaya sebab keberadaan kota Sriwijaya tertuang dari isi Prasasti tersebut:
“Selamat Tahun Saka telah lewat 6-4, pada hari
kesebelas Paro terang bulan waisakha Dapunta Hyang naik di Perahu “mengambil
sidhayatra”. Pada hari ketujuh paro terang Bulan Jyestha Dapunta Hiyan bertolak
dai Minana sambil membawa dua ratus (peti) berjalan dengan perahu dan yang
berjalan kaki sebanyak seribu tiga ratus dua belas datang di Mukha dengan sukacita.
Pada hari ke lima paroterang bulan Asadha dengan cepat dan penuh kegembiraan
datang membuat wanua Sriwijaya menang perjalanan berhasil dan menjadi makmur
senantiasa”
Diketahui isi prasasti Kedukan Bukit memuat
tiga nama tempat yakni Minana, Mukha dan Wanua Sriwijaya, dimana wanua
Sriwijaya diyakini sebagai kota Palembang.
Mencari Minana, tempat Dapunta Hyang berasal
Banyak pakar arkeolog berusaha
mencari lokasi Minana. Mulanya Minana diyakini berada di muara Sungai Musi.
Namun ada kejanggalan, sebab perjalanan dari muara ke kota Palembang sendiri
tidak memakan waktu lebih dari 20 hari, baik itu darat maupun laut.
Kemudian ada yang berpedapat
bahwa Minana terletak di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri
di daerah Minangkabau, Sumatra Barat. Pendapat itu dihubungkan dengan adanya
sebuah kampung bernama Binanga. Diyakini, Dapunta Hyang berasal dari Binanga
sebelum pidah ke Palembang tahun 682 M.
Lebih jauh lagi, lokasi Minana berada di
daerah Kamboja. Berasal dari kata Minana Tamwan, sebuah daerah dekat muara
Sungai Mekong. Daerah ini adalah tempat tinggal suku Tmon. Nama Tmon ini
yang mungkin menjadi Tamwan dalam Prasasti Kedukan Bukit.
Gambaran masalalu Palembang, Wanua Sriwijaya
Dapunta Hyang telah memilih suatu
lokasi yang strategis di antara Sungai Musi, muara Kramasan dan Ogan. Inilah
Wanua (kampung) Sriwijaya berhasil ia jadikan sebagai cikal bakal Kota
Palembang. Dari tempat inilah lalu lintas perdagangan dari dan menuju daerah
pedalaman dapat diawasi.
Hadirnya Dapunta Hyang di
Palembang turut merubah muka Palembang yang mulanya berawa-rawa menjadi tempat
hunian yang ramah. Di daerah meander sebelah utara Sungai Musi, di kaki bukit
Siguntang bagian selatan sejak dulu hingga sekarang adalah daerah rawa.
Namun dengan ditemukannya prasasti Kedukan Bukit menjadi bukti bahwa
daerah tersebut dulunya telah digunakan oleh manusia untuk pemukiman.
Ada kejanggalan dengan tinggalan bukti-bukti
arkeologis dari masa Sriwijaya yang lebih banyak ditemukan di belahan sisi
utara Sungai Musi daripada di selatan. Mengapa hal itu dapat terjadi? Guna
menjawab pertanyaan itu mari kita lihat bentang alam Palembang, baik yang ada
di sisi utara maupun sisi selatan.
Secara keseluruhan daratan Palembang
merupakan dataran aluvial yang terbentuk akibat pengendapan material Bukit
Barisan oleh Sungai Musi pada zaman Holosen. Di belahan utara Sungai Musi, dahulunya
adalah cekungan dangkal, sedangkan di selatan adalah cekungan dalam. Karena
adanya perbedaan bentuk muka bumi ini, maka belahan utara Sungai Musi lebih
dahulu menjadi daratan. Sementara itu dibelahan selatan masih berupa rawa-rawa.
Insting manusia dalam
mempertahankan hidup tentu akan mengarahkan mereka untuk membuat pemukiman di sisi
utara Sungai Musi yang kontur tanahanya lebih tinggi dan mudah kering daripada
di selatan. Maka pada zaman itu, sisa kehidupan masyarakat awal Sriwijaya
banyak ditemukan di utara.
Luas kota Sriwijaya tidak dapat
diketahui dengan tepat. Namun berdasarkan sebaran tinggalan budayanya dapat
diperkirakan luas kota Palembang saat itu adalah separuh kota Palembang saat ini. Hal itu didasarkan
pada temuan arkeologi yang membentang dari Timur (daerah 1 Ilir) hingga Barat daerah
36 Ilir (Karanganyar), dan dari Utara (Talang Kelapa) hingga Selatan (Tepi
Utara Sungai Musi) yang jika ditarik antara tepi ke tepi, maka diperoleh angka
250 Km2 untuk luas Kota Sriwijaya saat itu.
Sebagai pusat kota, tentu akan
mudah didapati sisa-sisa bangunan yang pernah berdiri di sana. Setidaknya di
Bukit Siguntang, telah ditemukan sisa-sisa bangunan stupa dari bata. Keberadaan
stupa di Siguntang menjadi bukti bahwa Bukit ini dahulunya disucikan oleh
pemeluk agama Buddha.
Keberadaan wihara dan asrama
untuk para pendeta Buddha juga ditemui di kota Palembang.
Petunjuk itu berasal dari Situs Lemahabang dan Situs Gendingsuro. Di kedua
lokasi tersebut ditemukan sejumlah besar arca Buddha dan Bodhisattwa dalam
ukutang kecil (8-10cm). Kegunaan Arca perunggu berlapis emas biasanya ditempatkan di
sebuah wihara atau asrama tempat tinggal para bikshu. Selain temuan arca juga ada
stupika yang terbuat dari tanah liat yang didalamnya terdapat tablet tanah liat
dengan tulisan mantra-mantra Buddha.
Stupika yang ditemukan di Situs
Lemahabang semuanya beraksara pre-Nagari yang isinya tentang ajaran-ajaran
Buddha. Berdasarkan langgam seni arca dan bentuk tulisan pada tablet Stupika
dapat diketahui tahun pembuatannya yaitu sekitar abad ke-7 hingga 10 masehi. Benda-benda
ini biasanya ditempatkan di dalam wihara.
Bangunan untuk kepentingan umum
lainya adalah bangunan taman Sriksetra. Taman ini dibangun atas perintah
Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk kemakmuran rakyat. Lokasi taman dibangun di
sebelah barat laut kota Palembang.
Corak Kehidupan Masyarakat Sriwijaya
Kitab Chau Ju-kua yang ditulis
Chu-fan chi abad ke-14 menyebutkan bahwa San-fot-tsi (Sriwijaya) menguasai 15
negara jajahan, diantaranya adalah Pa-lin-fong.
“ibukotanya
terletak di tepi air, penduduknya tepencar di luar kota atau tinggal diatas
rakit-rakit yang beratapkan daun alang-alang. Jika rajanya keluar, ia naik
perahu dengan dipayungi payung sutra. Sementara tentaranya membawa tombak emas.
Tentaranya pandai dan tangkas dalam pertempuran baik di darat dan air.”
Dari catatan Chu-fan chi
tergambar jelas bagaimana masyarakat Palembang hidup. Pada umumnya, pemukiman
terletak di daerah tepian sungai. Masyarakat membangun rumah-rumah dari kayu
atau bambu. Rumah-rumah tersebut dibangun di atas air bertiang tinggi.
Rumah rakit biasanya ditambatkan
pada tepian sungai. Rancangan bangunan rumah semacam ini dibuat untuk menjawab
tantangan alam dimana daerah tepian sungai selalu tergenang air, terutama pada
saat musim penghujan tiba. Sedangkan pemilihan lokasi di sekitar sungai
dimaksudkan agar dekat dengan jalur lalu-lintas air.
Pecahan keramik merupakan
indikator adanya pemukiman. Di Kuta Gawang (Pusat Kota Palembang) ditemukan
deposit pecahan keramik dari pelbagai periode, mulai abad ke-8 hingga 18 Masehi.
Kemudian di Situs Talang Kikim dan Sungai Lambidaro juga ditemukan pecahan
keramik tua yang berasal dari dinasti T’ang abad ke-8 hingga 10 Masehi.
Kemungkinan bentuk pemukiman di situ dahulu berupa rumah tinggal yang berdiri
di atas tiang-tiang kayu. Meskipun telah hilang, namun jejak itu masih tersisa
dari penemuan alat-alat rumah tangga mereka yang terbuat dari keramik.
Sriwijaya juga dikenal sebagai
pusat penyebaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta. Karena itulah
Palembang saat itu banyak dikunjungi oleh para bhiksu dari mancanegara. Sebagai
kerajaan Buddha yang berorientasi pada laut, tidak mustahil juga ada kelompok
masyarakat penganut agama lain (Hindu, Tantris, dan Islam).
Palembang sebagai
pusat kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan Buddha banyak menyedot
perhatian para bhiksu yang ingin belajar di sana. Mereka yang melawat ke Sriwijaya difasilitasi tempat khusus dan dihormati oleh para penguasa dan rakyat Sriwijaya. Mereka datang ke Palembang tidak
hanya sekedar singgah untuk beberapa saat, melainkan tinggal dalam waktu yang
lama untuk mempelajari agama Buddha. Adapun bhiksu Tiongkok bernama
I-tsing datang ke Palembang untuk mempelajari tata-bahasa Sansekerta dan
menerjemahkan kita-kitab suci ajaran Buddha dari Sansekerta ke bahasa Mandarin.
Perlu diketahui bahwa I-sting sendiri datang dari Nalanda (India) membawa sekurang-kurangnya
500.000 stanza dari kitab Tripitaka.
Bersamaan dengan I-sting ada
seorang bhiksu yang menetap di Sriwijaya bernama Sakyakirti. Sakyakirti dikenal
sebagai penulis kitab suci Hastadandasastra pada tahun 711 Masehi. Kitab ini
juga diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin oleh I-sting.
Di dalam ajaran Buddha terdapat
bermacam-macam aliran, antara lain Mahayana, Himayana, dan Tantrayana. Di
Nusantara sendiri, Hinayana merupakan mahzab paling umum dijadikan agama
kerajaan. Namun berbeda dengan Sriwijaya dimana sumber tertulis dan arca-arca
yang ditemukan di sekitaran Palembang menigindikasikan bahwa rakyat Sriwijaya
saat itu bermahzab Mahayana.
Populernya mahzab Mahayana di
kalangan rakyat Sriwijaya tidak terlepas dari seorang Bhiksu terkenal dari
Kanci (India) bernama Dharmapala. Pada mulanya bhiksu ini mengajar di perguruan
tinggi Buddha di Nalanda, namun setelahnya ia menetap dan mengajar di
Swarnadwipa. Perlu diketahui bahwa Dharmapala tinggal di Sumatra lebih awal
sekitar 50 tahun sebelum kedatangan I-tsing. Diduga kuat yang menyebarkan agama
Buddha Mahayana di Sriwijaya adalah Dharmapala.
Hingga permulaan abad ke-11,
Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha. Pada saat itu penguasa
Sriwijaya bernama Sri Cudamaniwarman dari keluarga Syailendra. Dikenalnya
Sriwijaya sebagai pusat pendidikan ajaran Buddha tidak lain karena adanya seorang bhiksu yang berpengetahuan luas
bernama Dharmakrti yang menyusun kritik atas isi kitab Abhisamayalamkara.
Nah, itu tadi gais sejarah asal mula kota Palembang. Jadi
sekarang sudah gak kepo lagi kan?
Post a Comment