Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Warisan VOC, Indonesia bangsa Inlander masihkah hari ini?

Hai sahabat story, judul yang akan kita bahas kali ini berkaitan dengan semangat kesadaran nasional, ya. Yup, ada pertanyaan masihkah hari ini kita pantas disebut bangsa Inlander?

Nah, disitulah probelmnya. Meskipun hari ini kita sudah lebih dari setengah abad merdeka, sisa-sisa kolonialisme tetap melekat, bahkan mendarah daging. Terutama di kalangan elit politik pusat. Sisa-sisa kolonialisme itu adalah mentalitas inlander. 

Mentalitas inlander sudah menjadi karakteristik umum masyarakat Indonesia. Ciri mentalitas ini adalah selalu cari cara aman dalam situasi sulit. Semua cara dilakukan termasuk mencari muka di hadapan “tuannya”, hipokrit, senang pada cara-cara yang instan, dan un-proses.

Dalam sejarahnya, mentalitas ini ditanamkan oleh penjajah kepada kaum pribumi. Saat itu dalam kondisi tertindas, banyak elit yang memilih bersikap memihak penjajah guna mendapat kompensasi yang menguntungkan. Korbannya siapa? Rakyat!

Terasa tidak terasa, mentalitas seperti ini tetap terbawa hingga saat ini, bahkan sudah menular di kalangan kelas bawah.

Bermula dari pencaharian Rempah-rempah di Kepulauan Maluku
Negeri rempah, sepatutnya dilabelkan kepada Tanah Air Indonesia. Rempah menjadi awal mula datangnya bangsa Barat ke Indonesia.

Semula kedatangan mereka adalah untuk berdagang mencari rempah-rempah. Saat itu rempah adalah sebuah komoditas dagang dengan nilai jual tinggi. Ekspor rempah sendiri diperkirakan sudah ada sejak tahun 1390. Pada abad ke 16 setiap tahun cengkeh yang masuk perdagangan Eropa mencapai 6 metrik ton dan pala sekitar 1,5 metrik ton.

Bangsa Portugis adalah pelopor perampokan kekayaan alam Indonesia. Pada tahun 1511, armada dagang Portugis yang dipimpin oleh Fransisco Serrau tiba di Kepulauan Maluku. Kedatangan mereka semula diterima oleh Sultan Ternate, Abu Lais. Melihat keuntungan ekonomi dan politik saat itu, Abu Lais kemudian mempersilakan produksi cengkih Ternate sepenuhnya djual kepada Portugis. Kerjasama tersebut menjadi awal mula periode kolonialisasi di Indonesia.

Kejayaan Portugis memonopoli rempah Maluku tidak berlangsung lama, setelah Spanyol pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai rekan dagang.

Persaingan Portugis dan Spanyol turut mempengaruhi arah kebijakan politik dan ekonomi kedua kerajaan yang masih bertetanggaan itu, Ternate vs Tidore.

Namun persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku dapat diselesaikan dengan perjanjian Saragosa pada tahun 1529. Konflik antara negara Katholik Eropa tersebut berakhir dengan hengkangnya Spanyol dari Maluku. Sedangkan Portugis, tetap tinggal di Maluku.

Kompeni VOC Belanda murni bisnis tanpa Gospel lalu ikut campur politik lokal Raja-raja Nusantara
Enam perusahaan dagang Belanda yang melayani ekspedisi rempah lintas benua menggabungkan diri pada tanggal 20 Maret 1602. Perusahan patungan tersebut bernama Vereniging Oost indie Compagnie (VOC) atau Persatuan Perusahaan Dagang India Timur Belanda. Tujuan VOC dibentuk adalah memperkuat armada dagang Belanda guna menghadapi pesaingnya di Nusantara, yakni Spanyol, Portugis, dan Inggris.

Pola perdagangan antarpulau di Hindia Belanda pada abad ke-17 menunjukan pola persaingan antar pedagang Belanda. Maka dari itu VOC didirikan. Nusantara sebagai sentral rempah-rempah tentu sangat menguntungkan dari segi finansial, oleh karenanya monopoli arus perdagangan rempah-rempah dari kerajaan lokal nusantara harus searah, yakni hanya boleh dijual kepada VOC.

Bermula dari hasrat menguasai rempah-rempah ternyata VOC berhasil masuk ke dalam politik lokal kerajaan Nusantara. Memang mulanya mereka datang untuk berdagang, namun seringkali mereka harus membela salah satu pihak ketika terjadi konflik perebutan kekuasaan. Dari sanalah akar mula, VOC yang hanya sebuah kongsi dagang memperoleh kekuasaan di Nusantara.

Berbeda dengan pendahulunya, Portugis dan Spanyol dalam menjalankan bisnisnya di Nusantara. VOC tidak mengemban misi mengkristenkan Nusantara. Namun yang menjadi fokus utama VOC adalah perdagangan. 

Kegiatan ekonomi VOC di Nusantara tidak semuanya berjalan lancar. Hal itu karena kondisi politik Nusantara pasca hancurnya dominasi kerajaan Majapahit. Setiap daerah berperang satu dengan lainnya untuk mendirikan kekuasaan sendiri-sendiri. Ini yang dihadapi VOC saat itu, ketika armada dagangnya merapat ke Jayakarta dan Demak yang sedang dirundung perang. Ketidakstabilan politik lokal berimbas pada kelangkaan stok rempah-rempah yang harus dibawa ke Eropa, memaksa VOC ikut terlibat dalam persoalan perpolitikan lokal Nusantara. 

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon (menjabat dari tahun 1619-1623) adalah orang yang menanam pondasi penguasaan Nusantara oleh VOC. Tak lama setelah ia diangkat menjadi gubernur VOC, ia berhasil merebut Jayakarta dari kekuasaan Banten pada bulan Mei 1619. Dari Jayakarta atau kemudian diganti namanya menjadi Batavia inilah pusat administrativ VOC berdiri.

Orang Belanda terkenal ulet dalam berniaga, disiplin dalam bekerja, detil dalam penyelesaian tugas serta transparan dalam keuangan tidak dapat disaksikan di Indonesia. Pegawai-pegawai VOC yang merasa datang ke Nusanrara dari tempat jauh dan seolah hidup di pembuangan, menjalani gaya hidup yang sangat mewah. Tetapi arena gaji mereka tidak mencukupi, maka korupsi dan kolusi menjadi kebiasaan mereka ketika bertugas di India Timur jauh.

Akibat hidup mewah para pegawai VOC yang kelewat batas, maka pada tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut. Sebuah ironi sebenarnya, sebab sebuah perusahaan yang berhasil memonopoli rempah-rempah di pusat rempah-rempah dunia selama satu abad ini dinyatakan bangkrut dengan meninggalkan utang sebanyak 140 juta gulden.

Pola Pikir Kompeni di Nusantara
Devide et impera atau memecah belah adalah warisan VOC yang paling kekal dalam mindset Penduduk Indonesia, utamanya dalam bidang politik. Banyak catatan tentang politik devide et impera VOC di Nusantara, diantaranya terjadi di Kerajaan Banten. 


Dalam usaha merebut Jayakarta, Belanda melihat adanya potensi keretakan internal antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Putra Mahkota Banten Sultan Haji yang sedang berkonflik atas penguasaan Banten selepas Sultan Ageng Tirtayasa mangkat nanti. Sebagai peluang menjalankan bisnisnya di Jayakarta, Sultan Ageng Tirtayasa yang anti VOC dianggap sebagai batu sandungan dalam menguasai Jayakarta. Maka dalam aksinya itu, VOC lebih berpihak kepada Sultan Haji. Dan benar saja, Sultan Ageng Tirtayasa dapat dikalahkan, dan mulai saat itu Banten memiliki penguasa baru bernama Sultan Haji. Namun pengorbanan Banten bukan hanya kerugian akibat lengsernya Sultan Ageng melalui perang saudara, lebih parahnya lagi pada imbalan yang diminta oleh VOC, yaitu Banten menjadi wilayah dibawah penguasaan VOC. Itu artinya Banten sebagai sebuah negara berdaulat telah tunduk kepada penguasa asing di atas tanahnya sendiri. 

Kasus-kasus korupsi di Indonesia yang saat ini sering mampir di pemberitaan media masa, sesunggunya hanyalah fenomena gunung es di tengah lautan. Artinya dibandingkan kasus yang dapat diungkap, angkanya jauh lebih kecil dibandingkan yang belum terungkap. Mengapa korupsi menjadi budaya penduduk negeri ini? Jawaban itu dapat ditelusuri dari akar korupsi di Indonesia melalui warisan kondisi historis-struktural akibat represi yang dilakukan oleh penjajah.

Pada abad ke-18 perdagangan laut di Jawa telah dikuasai oleh VOC. Hal itu menggambarkan sebuah akhir dari kejayaan maritim Jawa “...the eastern Javanese of Mataram, besides their great ignorance at sea, were now completely lacking in vessels of their own, even for necesery use.” Maka sejak saat itu Jawa menjadi terasing dibandingkan wilayah lainnya, sebab sebagai sebuah pulau hubungan dengan dunia luar sudah terhenti.

Sebelum VOC memiliki dominasi politik-ekonomi, kegiatan ekonomi di Jawa dikembangkan dalam ikatan desa dan ikatan feodal. Dalam ikatan desa ada kehidupan ekonomi yang sederhana yaitu pemenuhan langsung kebutuhan sendiri. Oleh karenanya masyarakat desa hampir semuanya sentosa dengan  mandiri mencukupi kebutuhannya.

Ikatan komunal seperti rasa persaudaraan dan tunduk kepada pimpinan tidak terpisah dari kehidupan pedesaan. Maka dari ikatan vertikal munculah kegiatan ekonomi sebagai pengabdian rakyat kepada pemimpinnya dengan menyerahkan sedikit hasil panen mereka kepada raja.

Sejak akhir abad ke-17, ketika kedudukan VOC sudah kuat terjadi perubahan ekonomis di Jawa. Desa yang tadinya memproduksi untuk kebutuhan sendiri dan kepentingan raja, sekarang harus juga memproduksi untuk VOC dengan ketentuan pasar.  Akibat dari pola produksi tersebut VOC dapat berhubungan langsung dengan para Bupati, di mana selama ini VOC hanya berhubungan dengan raja.
Utamanya di Priangan dan bagian Jawa Timur yang sejak jaman Mataram wilayah ini sudah semi otonom. Dengan bentuk pemerintahan ini, hubungan VOC dan bupati semakin dekat.

VOC sebagai lembaga publik secara bertahap menerapkan administrasi modern (cara barat) berdampingan dengan administrasi tradisional kerajaan. Meskipun berdampingan namun tidak dapat berjalan secara setara, sebab administrasi tradisional posisinya dibawah administrasi barat. Dengan pola ini maka program-program birokrasi tradisional harus memperoleh persetujuan dari VOC. Pengangkatan Patih dan Bupati misalnya, harus mendapat izin VOC.

Pemimpin, pejabat, dan orang tua dalam pandangan Jawa harus dilayani dan dihormati. Sedangkan bawahan dalam tradisi kolonial agar dihormati jika mereka menghaturkan hadiah kecil kepada atasan. Sebaliknya atasan akan berkewajiban melindungi bawahan. Secara negatif penilaian hubungan pejabat dan bawahan tersebut dapat ditafsirkan sebagai salah satu alasan utama bagi maraknya perilaku korupsi di Indonesia saat ini.

Nah, itu tadi gais akar sejarah mentalitas inlander bangsa Indonesia yang gemar korupsi dan suka menghasut. Ternyata sejarahnya sudah dimulai sejak lama ya gais, ketika VOC menjajah kepulauan Indonesia ini! Kamu gimana?

No comments

Powered by Blogger.