Politik, Perdagangan dan Islamisasi di Indonesia
Hai Sahabat Story, pernah gak kalian bertanya-tanya, bagaimana bisa Indonesia yang jauh dari Jazirah
Arab kok menjadi negeri yang paling
banyak penduduk muslimnya di dunia? Terus sejak kapan dong, Islam ada di Nusantara? Daripada penasaran,yuk kita bahasa bersama.
Sejak kapan Islam hadir di Nusantara?
Tentu pertanyaan tersebut sulit
untuk dijawab secara pastinya. Namun dengan menggali akar sejarah Islam di
Nusantara, setidaknya kita akan menemukan jawabannya itu.
Jadi ceritanya dimulai dari
catatan Tionghoa yakni dari Dinasti T’ang. Catatan ini menjadi sumber penting,
utamanya dalam teks berjudul Xin T’ang Shu (Sejarah Baru Dinasti T’ang) yang
mengisahkan bahwa di Pulau Sumatera ada seorang Ratu bernama Xi Mo (Sima) yang
memerangi orang Arab dan Persia yang tinggal di Pantai Barat Sumatera pada abad
ke-7 dan 8. Meskipun tidak dijelaskan secara gamblang, namun dari catatan ini,
dapat diambil kesimpulan bahwa orang Arab dan Persia sudah ada di Nusantara
sejak abad ke-7.
Mengapa orang Arab dan Persia bisa sampai ke Indonesia?
Tentu Sahabat Story sudah
mengetahui jawabannya “strategis”. Memang wilayah Sumatera dari dahulu memegang
posisi yang strategis dalam perdagangan jarak jauh yang menghubungkan dunia
Muslim di Timur Tengah dan Persia hingga ke Cina. Sedangkan, wilayah Champa
(Vietnam) dan India, sejak pra-Islam sudah menjalin hubungan perdagangan dengan
penduduk Nusantara.
Bukti lain yang tak kalah kuatnya
yang mengindikasikan pengaruh Islam di Sriwijaya adalah pengiriman para
diplomat Sriwijaya (San fo qi : nama lain Sriwijaya) ke Keraton Song di negeri
Cina. Menurut catatan Cina, diplomat Sriwijaya (Zabaj : nama lain Sriwijaya)
berbau kearab-araban, seperti Ali Shadi (Li Shu ti) yang tiba di Cina tahun 960
M, Ali Leyle (Li Li lin) pada 962 M dan Ali Hamid (Li He Mo) tahun 971. Hal ini
menunjukan adanya pengaruh Islam di Pulau Emas Sumatera.
Raja-raja Sriwijaya yang gemar
berekspansi ke Barat Pulau Sumatera demi menahlukkan Barus dan Lamuri (lihat
isi prasasti Karang Berahi) mejadikan negeri ini pusat perdagangan dunia yang
sangat maju di Barat Nusantara. Banyak negara hadir dan bertransaksi di sana,
tidak terkecuali pedagan dari Arab dan Persia.
Masih di wilayah Sumatera,
penting untuk dijelaskan bahwa di Ujung Barat Sumatera (Sumatera Utara) terdapat
kota bernama Barus. Barus berperan sangat penting tidak saja menjadi pusat
perdagangan internasional, tapi juga pusat pembelajaran Islam. Sumber utama
dagangan Barus adalah kapur barus yang disebut oleh Ptolemy yang hidup pada
abad ke-1 sebagai parfum.
Sejumlah batu nisan yang
mengidentifikasikan adanya penduduk muslim juga ditemukan di Barus. Memang tidak
dapat disangkal bahwa Islam sudah ada di sana sejak awal hadirnya Islam di
dunia, sebab posisi Barus sebagai pusat dagang dan agama meniscayakan adanya Islamisasi
di kota tua itu.
Sementara Barus terus berkembang,
di timur Pulau Jawa tepatnya di Leran Gresik ditemukan batu nisan seorang
muslim bernama Fatiah binti Maimun bi Abdullah yang berangka tahun 1102 M. Lalu
makam Malik Ibrahim di Gresik berangka tahun 1419 M dan sejumlah makam lain di
Trowulan. Semua data ini menunjukkan bahwa beberapa wilayah yang masih dikuasai
Kerajaan Hindu-Buddha, sebagian masyarakatnya sudah memeluk Islam.
Politik Islam di Nusantara
Berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam adalah periode penting dalam proses islamisasi di Nusantara sebab nilai-nilai
Islam secara lebh intensif terintegrasi ke dalam sistem sosial dan politik.
Selanjutnya kerajaan menjadi basis dikukuhkannya upaya penerapan ajaran Islam
di kalangan masyarakat Indonesia. Bila sebelumnya kedatangan Islam hanya dianut
oleh komunitas keagamaan di pusat-pusat perdagangan, namun setelah berdirinya
Islam sebagai kekuatan politik dan budaya, Islamisasi semakin efektif dan
mencapai tingkat pengaruh lebih luas dalam masyarakat.
Kerajaan Islam di Sumatera
Kejayaan Malaka berakhir pada
1511, ketika Portugis berhasil menahklukan kerajaan itu. Jatuhnya Malaka ke
tangan bangsa non-islam tidak membawa pengaruh besar dalam islamisasi di
Nusantara. Justru sebaliknya, dampak penahklukan itu menciptakan pusat-pusat
kekuatan Islam baru di Nusantara.
Salah satu kerajaan Islam yang
paling tersohor di belahan bumi Nusantara bagian barat adalah Kerajaan Aceh.
Sebelumnya Aceh hanya bandar transit namun segera berkembang pesat setelah
terlibat perdagangan maritim internasional sejak penahlukan Malaka oleh
Portugis. Sejak saat itu, pedagang Muslim mancanegara mulai mengalihkan bisnis
mereka dari Malaka ke Aceh.
Penting ditekankan bahwa di
wilayah Aceh memang berpotensi menghasilkan barang komoditas internasional.
Seperti halnya Pidie, Pasai dan Daya terkenal sebagai penghasil lada dan
rempah-rempah, maka penguasaan atas daerah tersebut membuat Aceh menjadi negeri
yang makmur dan pemegang kontrol politik-ekonomi yang dominan di kawasan Barat
Nusantara.
Selat Malaka sejak jaman dahulu
memang menjadi jantung ekonomi dunia. Di seberang Pulau Sumatera terdapat
sebuah kerajaan bernama Malaka, yang kemudian berhasil dikuasai Portugis. Repihan
kerajaan Malaka diteruskan oleh Kerajaan Johor. Namun sayang, pada tahun 1526
kerajaan ini diserang oleh Portugis. Ketidakstabilan politik saat itu membuat
pusat Pemerintahan Johor dipindahkan ke Kampar di Pantai Timur Sumatera.
Kekuatan Islam juga lahir di
Palembang. Tidak diragukan lagi jika wilayah ini sudah tersohor sejak jaman
pra-islam. Palembang tampil menjadi kerajaan Islam pada abad ke-16. Proses
islamisasi di wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh Raden Patah dari Demak.
Wilayah berikutnya adalah
Sumatera Barat. Disana ada tiga kerajaanutama yang sudah lama menjadi tempat
berlabuh pedagang islam dan tempat masuk ke wilayah pedalaman minang. Ketiga
kerajaan tersebut adalah Pariaman, Tiku, dan Barus.
Kerajaan Islam di Jawa
Hancurnya jaringan perdagangan
Malaka juga membuat wilayah pesisir Jawa semakin terlibat dalam perdagangan
jarak jauh pada abad ke-16. Para pedagang Muslim, yang menjadi elit sosial
terkemuka, berkontribusi dalam proses transformasi pusat perdagangan di wilayah
itu menjadi kerajaan Islam.
Prinsip egalitarianisme dalam
Islam tidak seperti sistem kasta dalam Hindu, membentuk solidaritas sosial yang
kuat diantara para pedagang serta membuka jalan bagi integrasi mereka ke dalam
pelbagai komunitas lokal. Dari sebab itu, maka komunitas Islam lahir dan tumbuh
pesat di pesisir menjadi kekuatan politik dan ekonomi.
Sementara Kerajaan Majapahit runtuh,
Demak menjadi kerajaan Jawa pertama yang muncul pada abad ke-16, menandai
permulaan periode Islam dalam sejarah Jawa. Raden Patah, kemungkinan besar
adalah pedagang besar muslim Cina, menjadi raja pertama di negeri ini. Baru
setelah raja ketiganya berkuasa, Demak berkembang pesat. Trenggana yang
berkuasa pada tahun 1505-18 M dan 1521-46 M berhasil menakhlukan pusat kota Majapahit
di Kediri pada tahun 1527 M. Peristiwa itu menjadi ingatan sejarah yang
menandai kekuatan politik Islam Jawa yang berhasil menggantikan politik Hindu
Buddha.
Kerajaan lain yang memiliki peran
penting adalah Banten dan Cirebon di Jawa Barat. Berdirinya dua kerajaan ini
erat hubungannya dengan Sunan Gunung Jati yang memulai kariernya sebagai
seorang penasihat politik untuk Trenggana. Sunan Gunung Jati disebut-sebut
sebagai aktor utama dibalik ekspansi militer Demak ke Pajajaran demi mengambil
alih daerah Banten. Baru pada tahun 1522 dia pindah ke Cirebon untuk memperluas
politik Islam di Pantai Utara Jawa.
Dibagian timur Jawa, Giri-Gresik
muncul suatu kerajaan Islam terkemuka sekaligus sebagai pelabuhan penting dalam
jaringan perdagangan internasional. Dari kesaksian pelaut Eropa, Tome Pires
menggambarkan Giri-Gresik sebagai mutiara Jawa diantara bandar-bandar
perdagangan, mengidikasikan peranannya yang sangat penting sebagai suatu pusat
perdagangan sekaligus pusat Islam.
Sejaman dengan Giri-Gresik, Kerajaan
Kudus tidak seberuntung Giri-Gresik. Upaya Ja’far Sidik atau Sunan Kudus
menjadikan Kudus sebagai suatu kekuatan politik Islam tidak berhasil. Kudus
harus merasa puas dengan hanya menjadi “kota suci”, menunjukkan peran
sentralnya dalam studi teologi Islam. Ketidakcemerlangan kerajaan ini oleh
sebab berdirinya Kerajaan Mataram di pedalaman Jawa, yang berhasil membungkam
dua kerajaan sekaligus yakni Kudus dan Pajang pasca runtuhnya Demak.
Kerajaan Islam di Maluku
Maluku Utara di Wilayah Timur
Nusantara menjadi daerah awal yang menerima kehadiran agama Islam. Perlu
dicatat dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca telah disebutkan
sebuah daerah bernama Maloko. Begitupula dengan sumber-sumber lokal seperti
Hikayat Ternate dan Hikayat Bacan, dimana nama-nama Maluku termasuk diantaranya
adalah Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Dalam politik Islam Nusantara,
Maluku menjadi tempat lahirnya kerajaan-kerajaan yang menjadi basis
perkembangan Islam di ujung Timur Nusantara. Hal ini sejalan dengan sifat
alamnya yang mendukung untuk perdagangan, yakni memproduksi barang rempah yang
diburu pedagang internasional, khususnya pala, cengkih, dan biji pala. Karenanya,
Kepulauan Maluku disebut sebagai pulau penghasil rempah-rempah (spice-producing
islands). Dari produk inilah Maluku menerima kedatangan para pedagang baik dari
domestik maupun luar negeri diantaranya pedagan muslim Arab, Persia dan Gujarat
di Asia Selatan.
Nama Maluku sendiri kemungkinan
diambil dari kosakata Arab “Malik” yang berarti raja. Para pedagang Arab
menamakan kepulauan di utara Maluku sebagai “Jazirah al-Mamluk” (Kepulauan
Raja-raja) yang mengacu pada empat kepulauan utama tersebut. Maka tidak
heran, jika Islam secara perlahan
menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Maluk. Hal ini tampak dari Kerajaan Ternate,
sebagai kerajaan islam terbesar di Maluku.
Ternate menjadi kerajaan maritim
termuka di ujung Timur Nusantara. Kerajaan ini memberi kemudahan berdagang dan
memberi fasilitas ekonomi (pasar) bagi pedagang dari seantero negeri yang
datang dan menetap di Ternate. Sejak sejalan dengan kontak, interaksi sosial
dan budaya bersama komunitas pedagang muslim maka proses islamisasi di kerajaan
itu berlangsung secara intensif. Raja Ternate, Zainal Abidin yang naik tahta
pada tahun 1468 hingga 1500 menegaskan bahwa kerajaan Ternate adalah kerajaan
Islam sebab dia mengadobsi sejumlah ajaran Islam untuk diterapkan pada tata
pemerintahannya.
Masih di Jazirah Maluku, kerajaan
Islam berikutnya adalah Tidore, kerajaan terbesar nomer dua setelah Ternate.
Proses Islamisasi Tidore hampir bersamaan dengan Ternate yaitu melalui kontak
dagang yang intensif dengan pusat kekuasaan Islam di Jawa, Sumatera dan Muslim
Internasional.
Perlu ditegaskan meskipun kedua
kerajaan ini masih berhubungan tali persaudaraan namun persaingan dan
perseteruan yang terjadi pada keduanya tetap berlangsung lama. Naiknya pamor
Ternate secara sosial, politik, dan ekonomi membuat Tidore kerap berada pada
bayang-bayang kekuatan Ternate. Perseteruan semakin menguat ketika kedua
kerajaan melibatkan kekuatan asing, yakni Portugis dan Spanyol membuat kedua
kerajaan yang sebenarnya masih bersaudara ini saling serang.
Kerajaan Islam di Sulawesi
Tiga kerajaan tumbuh di Sulawesi
pada perkembangan awal Islam di pulau tersebut, yakni Gowa-Tallo, Bone dan
Wajo. Seperti halnya pengalaman di kerajaan Nusantara lainnya, kerajaan Islam
di Sulawesi juga tumbuh akibat adanya kemajuan dibidang perdagangan maritim
internasional. Kejayaan kerajaan-kerajaan di Sulawesi didukung oleh sumber daya
alam yang melimpah dan menjadi satu poros jalur perdagangan timur Nusantara
bersama dengan Maluku.
Kehadiran Islam di Sulawesi
disepakati pada tahun 1605 M, yakni peralihan penguasa Gowa-Tallo ke Islam. Konversi
keagamaan Raja-raja Sulawesi sangat erat dengan kedatangan tiga ulama asal
Minangkabau, yakni Datok Ri Badang (Abdul Makmur), Datuk Ri Tiro (Abdul Jawad)
dan Datuk Tallu yang berjasa memperkenalkan Islam kepada penguasa Sulawesi.
Kerajaan di Sulawesi lainnya
adalah Bone, Sopeng, dan Wajo. Ketiga kerajaan tersebut kerap menghadapi
politik ekspansionis Gowa-Tallo, sehingga perselisihan selalu mewarnai hubungan
antara ketiga kerajaan. Dengan adanya tekanan dari Gowa-Tallo, maka ketiga
kerajaan tersebut membentu aliansi anti Gowa-Tallo bernama Tellumpocco.
Pada 1611, Gowa-Tallo berhasil
menahlukan Bone dan rajanya masuk Islam dengan nama gelar Sultan Adam. Namun
pada pemerintahan Raja Bone ketigabelas, terjadi perselisihan lagi dengan
berakhir pada penyerangan Gowa-Tallo ke Bone. Perselisihan ini semakin rumit ketika
VOC mulai ikut campur dalam di dalamnya.
Kerajaan Islam di Kalimantan
Kerajaan Banjarmasin adalah salah
satu pusat kekuatan politik Islam yang berpengaruh di Pulau Kalimantan. Akar
kerajaan ini dapat dilacak pada masa pra-Islam, yakni Kerajaan Daha yang
beribukota di Negara Dipa. Kerajaan bercorak Hindu Buddha ini memiliki hubungan
diplomatik dengan Majapahit.
Proses Islamisasi di Banjarmasin
tidak terlepas dari Kerajaan Demak. Bermula dari konflik internal di Kerajaan Daha
diantara para pangeran Daha yang saling mengklaim sebagai pewaris kerajaan yang
sah. Raden Samudera yang merasa berhak
menduduki tahta singgasana raja akhirnya meminta bantuan kepada Demak dengan
imbalan bahwa dia bersedia masuk Islam. Penguasa Demak mengabulkan permintaan
itu dengan mengirmkan tentaranya untuk membantu Raden Samudera merebut tahta
kerajaan. Setelah dilantik menjadi raja, Raden Samudera memakai gelar raja
Islam yakni, Sultan Suryanullah. Dibawah kekuasaannya, Banjarmasin berkembang
pesat di selatan Kalimantan dengan daerah kekuasaan hingga Sambas, Batanglawi,
Kotawaringin, Sampit dan Sambangan.
Selain Banjar ada kerajaan lain
yakni Kutai yang terletak di timur Pulau Kalimantan. Tidak seperti yang terjadi
di Kerajaan Banjar, proses Islamisasi di Kutai berlangsung secara damai.
Islamisasi di Kutai menurut Hikayat Kutai, dilakukan oleh ulama asal
Minangkabau yakni Datuk Ri Bandang dan
Tunggang Parangan yang berjasa mengenalkan Islam kepada para elit istana.
Kemudian di Pontianak, sebuah
daerah di barat Pulau Kalimantan. Di masa Pra Islam daerah ini menjalin
hubungan dagang dengan Jawa dan Malaka. Ada dua kerajaan yang aktif berdagang,
yakni Tanjungpura dan Lawe. Dua kerajaan
ini terkenal sebagai penghasil emas, berlian, madu dan padi. Meskipun menjalin
kontak dagang dengan pusat niaga Islam, Malaka, penduduk kerajaan ini tetap mempertahankan
kepercayaan leluhurnya. Islamisasi di Pontianak erat hubungannya dengan
kehadiran para pendakwah dari Tarim, Hadramaut. Di Pontianak selain berdakwah
mereka juga membangun pusat kekuatan politik Islam di kota itu. Sejak itulah
Pontianak mengalami kemajuan dibidang perdagangan disamping menjadi pusat Islamisasi
di barat Pulau Kalimantan.
Nah, gimana gais sudah ada gambaran kan bagaimana proses Islamisasi di Nusantara? Ternyata gais, Islamisasi di Nusantara itu sangat erat hubungannya dengan aktifitas perdagangan internasional. Namun itu tidak serta merta berjalan efektif kalau tidak didukung dengan kekuatan politik Islam, yakni hadirnya Kerajaan Islam.
Post a Comment