Jadi Taruna AKMIL
Siapa yang pengen
jadi Taruna Akademi Militer? Sudah tau sejarahnya belum? Kalau belum, yuk kita
simak sejarah Lahir dan Tumbuhnya Akademi Militer Yogya. Loh kok Yogya?
Bukannya di Magelang ya???
Jadi ceritanya,
AKMIL Yogya ini merupakan cikal bakal AKMIL Magelang. Berdiri pada asa Revolusi
Nasional tahun 1945. Kemudian pada tahun 1957 menjelma menjadi Akademi Militer
Nasional (AMN). Bukan lagi di Yogya, tapi sudah pindah ke Magelang.
Kenapa di Jogja?
Kelahiran AKMIL
tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang
didekritkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 5 Oktober 1945.
Pada tanggal 15
Oktober 1945, dalam sidang kabinet Republik Indonesia yang dihadiri oleh
beberapa tokoh bekas KNIL maupun PETA, diputuskan untuk membentuk Markas Besar
Umum TKR di Jogja.
Maka pada tanggal
27 Oktober 1945, Letjen Urip Sumoharjo dibantu temannya, Samijo yang juga bekas
KNIL lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda membentuk Akademi
Militer di Jogja.
Lalu bagaimana dengan guru-guru dan
gedung-gedung serta kelengkapannya?
“Cari sendiri!”
kata Urip Sumoharjo, memerintah Samijo. Ditengah keterbatasan instruktur,
gedung, dan kelengkapannya, akhirnya Akademi ini berhasil didirikan. Modalnya hanya
idealis dan semangat revolusi.
Seperti
sekolah-sekolah di masa itu, Akademi Militer pun mengalami kesulitan dalam
alat-alat pelajaran. Buku di perpustakaan hampir tidak ada. Untuk memenuhi
kebutuhan kuliah para instruktur harus menerjemahkan dahulu buku militer yang
ada.
Saking terbatasnya,
sebagai ganti kertas, para kadet terpaksa menggunakan kertas dalam negeri yang
tebuat dari merang. Tentu kertas ini berkualitas jelek dan tak sedap dipandang
mata.
Kemudian dari perlengkapan
senjata, mula-mula juga terbatas sekali, sehingga seorang instruktur ketika
menerangkan bagian-bagian mortir terlebih dahulu harus membuat tiruan dari
kayu.
Tidak ada yang
menyangkal, bak buah jatuh dari pohonnya, saat latian baris-berbaris, para
kadet juga menggunakan senjata laras panjang tiruan dari kayu.
Peran Sri Sultan
Hamengku Buwono IX tidak dapat dipisahkan dari cikal berdirinya Akademi Militer
Jogja, sebab dari Sri Sultan, AKMIL Jogja mendapat bantuan beberapa ekor kuda untuk
pelajaran naik kuda serta sebuah mobil untuk pelajaran teknik mobil para kadet.
Hingga akhirnya pada
tanggal 31 Oktober 1945 melalui Harian Kedaulatan Rakyat pengumuman penerimaan
Taruna Akademi Militer dan Sekolah Kader Militer disiarkan.
Syarat-syarat jadi Taruna AKMIL
Melalui koran
Kedaulatan Rakyat yang diterbitkan pada tanggal 1 November 1945, bagi penduduk
Indonesia yang diperbolehkan mendaftar adalah:
1 .
Pemuda
laki-laki yang berumur 18 sampai 25 tahun.
2 .
Berbadan
sehat.
3 .
Memiliki
sikap nasionalisme yang tinggi untuk membela Indonesia.
4 .
Serendah-rendahnya
pendidian untuk Sekolah Kader adalah tamatan Sekolah Rakyat kelas VI.
5 . Sedangkan untuk Akademi Militer harus lulus
SMP.
Para pemuda yang ingin menjadi Taruna AKMIL harus datang langsung ke Jogja. Lokasi pendaftarannya ada di belakang Gouw Mulo, bekas gedung Nijverheid). Bagi yang datang dari luar kota, asal mendapat pengesahan dari komandan TKR atau Pangreh Praja, selama di Jogja ongkos makan dan penginapan akan ditanggung oleh TKR. Pendaftaran ditutup pada tanggal 7 Nopember 1945.
Pendaftar membludak saat Surabaya, Ambarawa,
dan Jakarta terbakar.
Sekutu mulai
beringas, mencaplok sedikit demi sedikit wilayah Indonesia. Disaat itulah para
pemuda Indonesia memiliki antusias tinggi menjadi prajurit TKR.
KolonelSamijo
mulanya hanya akan menerima 180 orang calon saja. Dari jumlah itu akan dibagi 6
seksi kompi latihan yang masing-masing beranggotakan 30 taruna. Tetapi karena
jumlah peminatnya yang besar sekitar 3502 pendaftar maka sebanyak 442 pemuda diangkat
sebagai taruna.
Militer Akademi, salah tata bahasa?
Mengenai lembaga
pendidikan militer ini, namanya berubah-ubah tidak jelas. Mulanya bernama “Akademi
Militer” untuk Calon Perwira dan “Sekolah Kader” untuk Calon Bintara. Namun
pada tanggal 21 September 1949 namanya sudah berganti menjadi “Sekolah Militer”.
Tidak tahu kapan bergantinya karena nama “Sekolah Militer” ini juga berganti
menjadi “Akademi Militer” dan penyebutannya dibalik menjadi “Militer Akademi”
disingkat MA.
Bolak-balik kata
ini tidak perlu diperdebatkan dalam bahasa, sebab Indonesia baru merdeka. Belum
menemukan konsesus baku penulisan sebab banyak para alumni dan pemimpinnya
masih terpengaruh oleh tata bahasa Belanda. Lebih-lebih Direktur AKMILnya
sendiri baik R. Soewardi ataupun Samijo,
keduanya berlatar pendidikan “Koninklijke Militaire Academi”, Breda di Negeri
Belanda.
Dibaiat jadi Letnan Dua?
Bagi siswa bintara
yang sudah mengenyam lama pendidikan satu bulan harusnya sudah mendapat pangkat
sersan kelas II, namun ada aturan bahwa mereka yang akan dilantik menjadi
sersan kelas II harus praktik dahulu selama 5 bulan dalam pasukan.
Sedangkan untuk
calon perwira lebih lama lagi untuk mendapat pangkat Letnan Dua. Mereka harus belajar
teori selama 2 bulan di Sekolah Militer, kemudian praktik dalam pasukan selama
15 bulan, dan sisanya 3 bulan terakhir mereka harus belajar lagi di Sekolah
Militer.
Namun pada masa
damai, kurikulum di MA pun berubah. Semula yang hanya 20 bulan menjadi tiga
tahun. Dalam kurikulum baru itu, masa pendidikan 3 tahun itu dibagi menjadi 6
semester. Setiap semester diadakan ujian. Mereka yang tidak lulus dalam ujian
akan dikeluarkan dari MA. Sistem baru ini dimaksudkan untuk menjaring kualitas
taruna.
Mereka yang lulus
ujian akan diperkenankan melanjutkan pendidikan dan diberi pangkat lebih tinggi
daripada semester lalu. Demikian setiap taruna dengan berturut-turut akan
memperoleh pangkat Prajurit Kadet, Kopral Kadet, Sersan Kadet, Sersan Mayor
Kadet, dan terakhir selama dua semester berpangkat Vandrig Kadet (calon
perwira).
Gimana, kamu masih mau jadi TARUNA AKMIL?
Post a Comment