Revolusi Fisik di Kecamatan Tengaran 1947-1949 (Awal Mula Pendudukan Belanda di Kecamatan Tengaran)
A.
Keadaan
Umum Daerah Kecamatan Tengaran 1947
Daerah Tengaran secara struktural merupakan daerah kecamatan, bagian dari kawedanan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kecamatan Tengaran terdiri dari 20 desa, yaitu Tengaran, Tegalrejo, Sruwen, Sugihan, Duren, Regunung, Cukil, Klero, Butuh, Patemon, Karangduren, Bener, Tegalwaton, Barukan, Nyamat, Noborejo, Tingkir Lor, Tingkir Tengah, Cebongan dan Kalibening (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Daerah Tengaran secara struktural merupakan daerah kecamatan, bagian dari kawedanan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kecamatan Tengaran terdiri dari 20 desa, yaitu Tengaran, Tegalrejo, Sruwen, Sugihan, Duren, Regunung, Cukil, Klero, Butuh, Patemon, Karangduren, Bener, Tegalwaton, Barukan, Nyamat, Noborejo, Tingkir Lor, Tingkir Tengah, Cebongan dan Kalibening (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Kecamatan Tengaran berbatasan dengan:
b. Sebelah
Selatan Kecamatan Ampel
c. Sebelah
Timur Kecamatan Susukan dan Suruh
d. Sebelah
Barat Kecamatan Ampel dan Kecamatan Getasan.
Kondisi
geografis tanahnya berupa tanah dataran dan pegunungan yang tergolong subur
karena berada di sebelah Timur gunung Merbabu yang hampir setiap lima tahun
sekali diguyur hujan abu vulkanik dari letusan gunung Merapi. Jenis tanahnya
sebagian besar terbentuk dari bahan vulkanis yang mudah lapuk. Jenis tanah ini
cukup subur sehingga dapat ditanami sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija.
Kondisi tanah yang subur dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bercocok tanam
terutama tanaman palawija. Daerah ini juga mempunyai potensi hidrologi yang
cukup besar, yaitu adanya mata air Umbul Senjoyo dan aliran Kali Tanggi yang
tidak pernah kering airnya meskipun di musim kemarau. Hamparan sawah terbentang
di sepanjang aliran Kali Tanggi yaitu dari Desa Tengaran, Desa Sruwen, sampai Desa
Duren. Melihat letak geografisnya, wilayah Kecamatan Tengaran cukup strategis,
di Tenggara Kota Salatiga dan diantara dua kota besar yaitu Kota Semarang dan Kota
Solo.
Sejak
jaman Jepang penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional semakin
meluas. Bahasa yang lazim digunakan masyarakat sehari hari di kalangan
masyarakat Kecamatan Tengaran dan sekitarnya adalah bahasa Jawa. Dalam bidang
agama, mayoritas penduduk beragama Islam. Dari segi adat istiadat, sinkritisme
Hindu-Jawa dan Islam masih dianut oleh sebagian besar masyarakat terutama
ketika upacara selamatan.
B.
Aksi
Militer Belanda I
Setelah Indonesia memproklamasikan
Kemerdekaannya, bangsa Belanda berusaha untuk menguasai kembali tanah
jajahannya yang sempat dirampas oleh bangsa Jepang. Usaha untuk mengembalikan
kekuasaan Belanda di Indonesia adalah dengan mendirikan Pemerintahan Hindia
Belanda Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) pada akhir September 1945 yang dipimpin oleh Letnan
Jenderal Gubernur Dr. HJ. Van Mook. Selain mendirikan NICA, Belanda juga
menghidupkan kembali angkatan darat Hindia Belanda Koninklijk Nedherlands Indische Leger (KNIL) dibawah pimpinan
Letnan Jenderal Van Oyen (Husni Thamrin, dkk., 2008: 144). Dengan meningkatnya
aktivitas Belanda di Jakarta, ancaman kepada pemerintah RI semakin berbahaya,
sehingga pada 4 Januari 1946, ibu kota RI pindah ke Yogyakarta. Kota itu dipilih
karena dianggap lebin aman dari gangguan NICA (Moehkardi, 2012: 114)
Sebelum Belanda melancarkan agresi militernya
yang petama, keadaan perang di daerah Tengaran sudah terasa. Banyak pemuda bergabung bersama Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) bertempur melawan Sekutu (Inggris) di Ambarawa. Setelah pasukan Indonesia
dapat merebut kembali kota itu dari tangan Inggris pada bulan Desember 1945, Kota
Salatiga oleh TKR dijadikan Markas Pimpinan Pertempuran (MPP) yang mengomando
jalannya pertempuran di sekitar Kota Semarang (Moehkardi, 2012: 261). Pertempuran
di Semarang mulai reda sejak Februari 1946 setelah Syahrir melakukan pendekatan
diplomasi dalam perjanjian Linggarjati (Moehkardi, 2012: 262).
Sebelum diselengarakan perjanjian
Linggarjati, Belanda dan RI mengadakan perjanjian penghentian tembak menembak
yang disaksikan oleh perantara Lord Killearn pada 14 Oktober 1946 (K.M.L
Tobing, 1986: 4). Perjanjian Linggarjati diselenggarakan di daerah Cirebon pada
15 November 1946. Pihak Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Syahrir sebagai
ketua dengan tiga orang anggotanya yaitu Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo dan
A.K. Gani. Sedangkan Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jenderal
dengan ketua Schermerhorn dengan anggotanya yaitu Max Van Pool, F. De Boer dan
H.J. Van Mook. Selaku mediator, Inggris diwakili oleh Lord Killern (Husni
Thamrin, dkk., 2008: 146).
Hasil perundingan Linggarjati terdiri
dari 17 pasal dengan pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut:
- Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.
- Pemerintah Belanda dan RI bersama-sama mendirikan sebuah negara berdaulat dan demokrasi dengan bentuk negara perserikatan bernama Negara Indonesia Serikat (NIS) (K.M.L Tobing, 1986: 5).
- Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan terwujudnya NIS dan Persekutuan Belanda-Indonesia sebelum 1 Januari 1949 (K.M.L Tobing, 1986: 8).
- Pemerintah RI mengakui hak-hak milik orang-orang non RI yang menuntut dilakukan dan dikembalikannya barang-barang milik mereka yang berada didalam kekuasaan de facto. Panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan dan pengembalian.
- Pengurangan kekuatan angkatan bersenjata kedua belah pihak (K.M.L Tobing, 1986: 9).
Dengan ditandatanganinya perjanjian
Linggarjati, Belanda mengakui kekuasaan de
facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera. RI dan Belanda
setuju bekerjasama untuk mendirikan sebuah negara persatuan bernama Negara
Indonesia Serikat (NIS) yang rencananya dibentuk sebelum tanggal 1 Januari
1949. Tiga komponen NIS terdiri dari Republik Indonesia, Negara Kalimantan dan
Indonesia bagian Timur. NIS secara simbolis dikepalai oleh Ratu Belanda, yang
terdiri dari Kerajaan Belanda dan NIS (Anthony J.S. Reid, 1996: 189). Dalam perjalanan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia, setelah Sekutu meninggalkan Indonesia pada 30 Nopember 1946,
tentara Belanda tetap berada di Indonesia. Maka pada tanggal 5 Mei 1947
Pemerintah Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden RI/ Panglima Angkatan Perang RI yang berisi tentang perintah supaya Tentara
Republik Indonesia (TRI) dan laskar-laskar bersenjata dilebur menjadi satu
organisasi tentara. Untuk melaksanakan Dekrit dari Presiden RI, Iskandar dari Laskar Rakyat mengundang semua
pimpinan badan kelaskaran di seluruh Surakarta bertemu di Kota Surakarta. Hasil
dari rapat tersebut adalah menyetujui untuk segera melaksanakan penggabungan
badan-badan kelaskaran ke dalam TNI. Pada tanggal 3 Juli 1947 semua badan kelaskaran resmi bergabung kedalam
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah laskar bersenjata bersatu dengan TNI,
mereka diwajibkan taat dan tunduk dengan segala perintah serta instruksi yang
dikeluarkan TNI (Tashadi, dkk., 1997: 113) .
Saat Tentara Inggris ditarik mundur, kedudukan Tentara Belanda di Semarang sudah kuat. Belanda mulai mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang kedudukan Pasukan Indonesia di Semarang pada bulan Juli 1947 (Moehkardi, 2012: 264). Pagi hari sekitar pukul 06.00 beberapa pesawat tempur Belanda Mustang P-41 atau yang terkenal dengan sebutan Cocor Merah mengudara dari Lapangan Terbang Kalibanteng, Semarang. Mereka memburu pos-pos TNI di sekitar jalan poros Ungaran, Demak, Kendal yang mengarah ke Semarang. Penyerangan itu dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pasukan infanteri dan kavaleri Belanda dalam rangka menduduki Semarang pada tanggal 3 Juni 1947 (Husni Thamrin, dkk., 2008: 170).
Setelah menguasai Semarang, Belanda tidak mau mengakui Pemerintahan RI di Semarang (Moehkardi, 2012: 262). Kota Semarang lalu menjadi pangkalan militer Belanda yang dipersiapkan untuk merebut wilayah RI di Jawa Tengah (Moehkardi, 2012: 264). Di sana telah bercokol Brigade Tijger (Brigade T) yang dipimpin kolonel Van Langen. Rencana sasaran gerak Brigade T adalah sebagai berikut: (Ani Olivia, 2005: 57).
Saat Tentara Inggris ditarik mundur, kedudukan Tentara Belanda di Semarang sudah kuat. Belanda mulai mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang kedudukan Pasukan Indonesia di Semarang pada bulan Juli 1947 (Moehkardi, 2012: 264). Pagi hari sekitar pukul 06.00 beberapa pesawat tempur Belanda Mustang P-41 atau yang terkenal dengan sebutan Cocor Merah mengudara dari Lapangan Terbang Kalibanteng, Semarang. Mereka memburu pos-pos TNI di sekitar jalan poros Ungaran, Demak, Kendal yang mengarah ke Semarang. Penyerangan itu dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pasukan infanteri dan kavaleri Belanda dalam rangka menduduki Semarang pada tanggal 3 Juni 1947 (Husni Thamrin, dkk., 2008: 170).
Setelah menguasai Semarang, Belanda tidak mau mengakui Pemerintahan RI di Semarang (Moehkardi, 2012: 262). Kota Semarang lalu menjadi pangkalan militer Belanda yang dipersiapkan untuk merebut wilayah RI di Jawa Tengah (Moehkardi, 2012: 264). Di sana telah bercokol Brigade Tijger (Brigade T) yang dipimpin kolonel Van Langen. Rencana sasaran gerak Brigade T adalah sebagai berikut: (Ani Olivia, 2005: 57).
a. Ke arah Selatan: menduduki garis Bedono,
Ambarawa, Tuntang dan Bringin.
b. Ke
arah Timur: menduduki garis Purwosari dan Mranggen.
c. Ke
arah Barat: menduduki garis Mangkang
Wetan, Wijon dan Cangkringan.
d. Pemusatan
pasukan di rayon Ungaran dan Bawen untuk digunakan pada pelaksanaan Plan
Rotterdam (penyerbuan dan pendudukan ke Kota Yogya dan Solo).
Tepat pada 21 Juli 1947 tentara Belanda melancarkan serangan
besar-besaran ke daerah Republik. Serangan tersebut oleh bangsa Indonesia
dikenal dengan nama “Agresi Militer I”. Belanda bergerak dari markas induk
militer Semarang menuju ke Selatan yaitu ke Srondol, Ungaran dan Ambarawa. Dari
Ungaran, Pasukan Belanda sebagian menuju ke Bringin, Salatiga, dan Tengaran
(Ani Olivia, 2005: 56).
1.
Salatiga
Jatuh
Pada tanggal 22 Juli 1947, Pasukan Belanda dari
Tuntang bergerak ke arah Salatiga. Saat Belanda melancarkan serangannya, Kota
Salatiga dalam keadaan kosong karena sebagian besar Pasukan TNI yang bermarkas
di Salatiga sedang ditugaskan di front
Ungaran, Delik dan Tuntang. Lemahnya pertahanan TNI di kota itu dapat ditembus dengan
mudah oleh Belanda dalam waktu singkat. Belanda menduduki Kota Salatiga hanya
beberapa jam, lalu mereka kembali lagi ke Tuntang. Tujuan mereka adalah untuk membebaskan
orang-orang Belanda yang ditawan di Hotel Kalitaman. Setelah Pasukan Belanda mundur dari Salatiga, TNI nama baru dari TRI
melakukan konsolidasi kekuatan (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 120).
Usaha untuk membendung jatuhnya daerah-daerah RI ke tangan Belanda salah satunya adalah membakar bangunan-bangunan yang sekiranya dapat digunakan untuk kepentingan Belanda pasca ditinggal oleh TNI. Berdasarkan pertimbangan taktis, pimpinan TNI di Salatiga kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan kota itu. Gedung-gedung yang sekiranya dapat dipakai Belanda dibumihanguskan. Sebelum Salatiga dibumihanguskan, untuk menghindari supaya orang-orang Cina tidak diperalat oleh Belanda, mereka diungsikan ke Tengaran sebelum kemudian dipindahkan ke Kota Solo. Aksi bumi hangus tidak hanya terjadi di Kota Salatiga. Di kota-kota kecamatan antara lain di pasar Suruh, Kantor Asisten Wedana Bringin, rumah onderneming, sekolah dan stasiun Gogodalem juga dibakar. Untuk menghambat gerak laju Pasukan Belanda, jembatan-jembatan yang menghubungkan Kota Salatiga juga dihancurkan. Esok harinya pada tanggal 23 Juli Belanda dapat menduduki Kota Salatiga tanpa ada perlawanan yang berarti (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 122).
Usaha untuk membendung jatuhnya daerah-daerah RI ke tangan Belanda salah satunya adalah membakar bangunan-bangunan yang sekiranya dapat digunakan untuk kepentingan Belanda pasca ditinggal oleh TNI. Berdasarkan pertimbangan taktis, pimpinan TNI di Salatiga kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan kota itu. Gedung-gedung yang sekiranya dapat dipakai Belanda dibumihanguskan. Sebelum Salatiga dibumihanguskan, untuk menghindari supaya orang-orang Cina tidak diperalat oleh Belanda, mereka diungsikan ke Tengaran sebelum kemudian dipindahkan ke Kota Solo. Aksi bumi hangus tidak hanya terjadi di Kota Salatiga. Di kota-kota kecamatan antara lain di pasar Suruh, Kantor Asisten Wedana Bringin, rumah onderneming, sekolah dan stasiun Gogodalem juga dibakar. Untuk menghambat gerak laju Pasukan Belanda, jembatan-jembatan yang menghubungkan Kota Salatiga juga dihancurkan. Esok harinya pada tanggal 23 Juli Belanda dapat menduduki Kota Salatiga tanpa ada perlawanan yang berarti (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 122).
Pada masa awal pendudukan
Belanda di Salatiga, pejuang RI tidak
henti-hentinya menebar teror kepada konvoi Belanda di barat Kota Salatiga. TNI
dari Markas Pemimpin Pertempuran Salatiga (MPP) dan Tentara Laut Republik
Indonesia (TLRI) dari Cirebon rutin melakukan penghadangan di Getasan. Mereka
dibantu oleh laskar dari rakyat seperti Sabilillah, Barisan Maling, Barisan
Pendem serta pejuang-pejuang lokal non kelaskaran dari Tengaran, Susukan, Suruh
dan Getasan. Peran masyarakat dari Kecamatan Tengaran selama Agresi Militer I
sudah tercium semenjak para pemuda ikut menyerang dan membumihanguskan
Salatiga.
Sebelum Belanda sampai ke Klero, para pemuda Tengaran ikut berjuang bersama TLRI di Getasan. Di sana kekuatan TLRI sebanyak 60 prajurit dipimpin oleh Letnan Bibin. Pemuda dari Tengaran bernama Subardi merasakan pertempuran perdananya di daerah Getasan. Meskipun hanya bersenjata bambu runcing, Subardi bersama kesembilan temannya dari Tengaran tidak gentar bertempur dengan Pasukan Belanda. Saat itu di Tengaran belum dibentuk barisan pejuang, sehingga para pemuda ketika bertempur hanya sekedar ikut-ikutan saja. Baru sekitar akhir tahun 1947, di Tengaran dibentuk sebuah barisan benama Pasukan Clurut (Subardi, wawancara 29 September 2013). Bersamaan dengan itu pada awal 1948, TNI juga membentuk laskar bernama Laskar Barisan Tahan Udji (Batu) yang terdiri dari para garong (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
TLRI berjuang bersama rakyat di Getasan selama dua bulan. Di sana TLRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat gencar melakukan serangan terhadap konvoi Belanda di Pulian Kopeng. Karena Belanda semakin ganas menyerang daerah itu dengan pesawat Cocor Merah, pasukan TLRI bersama Subardi dan kesembilan orang temannya pidah ke Dusun Sumber, Desa Timpik Susukan. Di sana TLRI memanfaatkan rumah H. Sukaryo (60 tahun) sebagai markas pertahanan (Subardi, wawancara 29 September 2013).
Selama di Susukan, TLRI dan gerilyawan tetap melakukan serangan terhadap Pasukan Belanda. Disetiap pertempuran TLRI menggunakan senjata laras panjang bekas peninggalan tentara Jepang jenis Kareben. Sedangkan, gerilyawan dari rakyat termasuk Subardi menggunakan granat dan bambu runcing. Lima hari pasca pindahnya markas TLRI dari Getasan ke Susukan, Subardi mendapat tugas untuk menangkap mata-mata Belanda di Desa Jati, Suruh. Setelah menangkap seorang pribumi yang yang bekerja sebagai mata-mata Belanda, Subardi membawa mata-mata tersebut ke markas TLRI di Desa Timpik untuk diintrogasi mendalam. Subardi bertugas di Susukan selama dua bulan, selanjutnya Subardi mendapat tugas berjaga di Wonosegoro, Boyolali. Ketika bertugas di Wonosegoro gerilyawan RI sering mendapat serangan dari Pasukan Belanda terutama di daerah Karangggede. Belanda menyerang dari arah barat yaitu dari arah Suruh. Tujuan Belanda menyerang Karanggede karena di daerah ini terdapat jalan pintas ke Kota Solo tanpa melewati Tengaran (Subardi, wawancara 29 September 2013).
Sebelum Belanda sampai ke Klero, para pemuda Tengaran ikut berjuang bersama TLRI di Getasan. Di sana kekuatan TLRI sebanyak 60 prajurit dipimpin oleh Letnan Bibin. Pemuda dari Tengaran bernama Subardi merasakan pertempuran perdananya di daerah Getasan. Meskipun hanya bersenjata bambu runcing, Subardi bersama kesembilan temannya dari Tengaran tidak gentar bertempur dengan Pasukan Belanda. Saat itu di Tengaran belum dibentuk barisan pejuang, sehingga para pemuda ketika bertempur hanya sekedar ikut-ikutan saja. Baru sekitar akhir tahun 1947, di Tengaran dibentuk sebuah barisan benama Pasukan Clurut (Subardi, wawancara 29 September 2013). Bersamaan dengan itu pada awal 1948, TNI juga membentuk laskar bernama Laskar Barisan Tahan Udji (Batu) yang terdiri dari para garong (Kusdi, wawancara 29 September 2013).
TLRI berjuang bersama rakyat di Getasan selama dua bulan. Di sana TLRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat gencar melakukan serangan terhadap konvoi Belanda di Pulian Kopeng. Karena Belanda semakin ganas menyerang daerah itu dengan pesawat Cocor Merah, pasukan TLRI bersama Subardi dan kesembilan orang temannya pidah ke Dusun Sumber, Desa Timpik Susukan. Di sana TLRI memanfaatkan rumah H. Sukaryo (60 tahun) sebagai markas pertahanan (Subardi, wawancara 29 September 2013).
Selama di Susukan, TLRI dan gerilyawan tetap melakukan serangan terhadap Pasukan Belanda. Disetiap pertempuran TLRI menggunakan senjata laras panjang bekas peninggalan tentara Jepang jenis Kareben. Sedangkan, gerilyawan dari rakyat termasuk Subardi menggunakan granat dan bambu runcing. Lima hari pasca pindahnya markas TLRI dari Getasan ke Susukan, Subardi mendapat tugas untuk menangkap mata-mata Belanda di Desa Jati, Suruh. Setelah menangkap seorang pribumi yang yang bekerja sebagai mata-mata Belanda, Subardi membawa mata-mata tersebut ke markas TLRI di Desa Timpik untuk diintrogasi mendalam. Subardi bertugas di Susukan selama dua bulan, selanjutnya Subardi mendapat tugas berjaga di Wonosegoro, Boyolali. Ketika bertugas di Wonosegoro gerilyawan RI sering mendapat serangan dari Pasukan Belanda terutama di daerah Karangggede. Belanda menyerang dari arah barat yaitu dari arah Suruh. Tujuan Belanda menyerang Karanggede karena di daerah ini terdapat jalan pintas ke Kota Solo tanpa melewati Tengaran (Subardi, wawancara 29 September 2013).
2.
Belanda
Menyerbu Tengaran
Setelah
Kota Salatiga jatuh ke tangan Belanda, selanjutnya Belanda berencana meluaskan
kekuasaanya hingga ke Surakarta. Pasukan
Belanda dari Salatiga yang rencanannya bergerak ke Surakarta mendapat benturan dari
pihak Republik di Tingkir, sehingga gerak laju Pasukan Belanda terhenti di
Tengaran. Sebelum Belanda bergerak lebih jauh ke wilayah RI, keluarlah mosi
Dewan Keamanan PBB yang memerintahkan segera diberlakukannya gencatan senjata.
Mulai tanggal 1 Agustus 1947 diserukan penghentian tembak-menembak (gencatan
senjata) dengan menyertakan pihak Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi Tiga Negara
terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika Serikat (Tashadi, dkk., 1997:
120).
Belanda memanfaatkan masa damai untuk memindahkan
pasukannya dari Semarang ke Salatiga. Belanda pertama kali menduduki Desa
Tegalwaton. Di sana mereka membangun markas di dekat sumber air Senjoyo.
Setelah menduduki Senjoyo, Belanda menduduki Kebonjeruk, Karangduren. Di
Kebonjeruk, Belanda mendirikan markas pertahanan untuk menjaga Kota Salatiga
dari serangan gerilyawan Republik. Di sana, Belanda menempati bekas kantor
perusahaan perkebunan jeruk yang sudah lama ditinggal pemiliknya ketika Jepang menginvasi Indonesia. Meskipun
ditinggal pemiliknya, bangunan tersebut masih kokoh berdiri. Markas Belanda
tersebut dikelilingi tembok beton dan tanggul dari tanah sebagai benteng
(Jarkoni, wawancara 28 September
2013). Markas Kebonjeruk merupakan titik tengah pertahanan Belanda di Tengaran.
Dari markas Kebonjeruk ke markas Senjoyo bisa ditempuh melalui jalan pedesaan
ke arah timur laut. Sedangkan dari markas Kebonjeruk ke pos penjagaan Belanda
di Klero tinggal mengikuti jalan raya Solo-Semarang ke arah Selatan. Dari
markas Kebonjeruk ke tangsi Belanda di Setugur dapat melewati Desa Noborejo ke
arah Barat.
Pada tanggal 13 Oktober 1947, pasukan infanteri Belanda yang bermarkas di Kebonjeruk, Tengaran bergerak ke Suruh. Total kekuatan mereka sebanyak dua kompi dibantu sebuah tank dan dilindungi tiga buah pesawat dari udara. Mereka menyerang dua desa, salah satunya di Susukan (Barat Karanggede). Di sana mereka menyerang Masjid Petak (Susukan). Dari dua desa yang diserang tentara Belanda, jumlah korban meninggal dunia mencapai 89, dua diantaranya masih bayi (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Setelah menggempur Masjid Petak, pada tanggal 18 Oktober, markas Belanda di Kebonjeruk mendapat tambahan personil dari Salatiga. Mereka diangkut dengan truk dan membawa sepucuk kanon (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Kemudian pada tanggal 25 Oktober, Belanda menghujani daerah Ampel dengan tembakan kanon dari Kebonjeruk (A.H. Nasution, VI, 1978: 171).
Pada tanggal 13 Oktober 1947, pasukan infanteri Belanda yang bermarkas di Kebonjeruk, Tengaran bergerak ke Suruh. Total kekuatan mereka sebanyak dua kompi dibantu sebuah tank dan dilindungi tiga buah pesawat dari udara. Mereka menyerang dua desa, salah satunya di Susukan (Barat Karanggede). Di sana mereka menyerang Masjid Petak (Susukan). Dari dua desa yang diserang tentara Belanda, jumlah korban meninggal dunia mencapai 89, dua diantaranya masih bayi (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Setelah menggempur Masjid Petak, pada tanggal 18 Oktober, markas Belanda di Kebonjeruk mendapat tambahan personil dari Salatiga. Mereka diangkut dengan truk dan membawa sepucuk kanon (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Kemudian pada tanggal 25 Oktober, Belanda menghujani daerah Ampel dengan tembakan kanon dari Kebonjeruk (A.H. Nasution, VI, 1978: 171).
Klero merupakan ladang pertempuran antara Belanda
dan TNI. Berbeda dengan Belanda, sejak awal Agresi Militer I, TNI sudah
terlebih dahulu membuat pos pertahanan di Klero Selatan. Di sana TNI menempati rumah Kasah Rejo sebagai markas kompi
Rustam dan pos darurat PMI. Hampir
setiap hari Belanda melakukan teror di Klero. Setiap kali meletus pertempuran
di daerah ini, pejuang yang terluka dipikul ke rumah Kasah Rejo. Salah satu
korban pertempuran Klero pada akhir tahun 1947 adalah Sartimin. Di rumah Kasah
Rejo, Sartimin hanya diberi pertolongan pertama, setelah itu dia dibawa pergi
ke daerah Republik yang lebih aman (Jarkoni,
wawancara 28 September 2013).
Untuk meneror kedudukan Belanda di Klero, Lettu
Sumitro memimpin pertempuran langsung di sana. Lettu Sumitro tidak hanya
memimpin anggota TNI melainkan juga memimpin laskar-laskar non TNI di Tengaran.
Selain menebar teror terhadap Pasukan Belanda di Klero, dia juga mengadakan aksi
teror terhadap Pasukan Belanda di Kebonjeruk (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013).
Akhir 1947,
TNI menyerang markas Belanda di Kebonjeruk dengan menggunakan mortir dan
brengun. Tetapi, tidak satupun Belanda yang berani keluar dari markas tersebut.
Sebelum subuh TNI sudah meninggalkan Kebonjeruk dan kembali ke markas
Tegalrejo, namun sebagian dari mereka mampir ke Dampit Klero. Selang beberapa
hari pasca serangan ke Kebonjeruk, TNI yang sedang berkumpul di Klero mendapat
balasan dari Belanda. Belanda menembaki rumah Kasah Rejo yang dicurigai sebagai
markas TNI. Melihat rumah Kasah Rejo kosong, Belanda menghentikan tembakan. Lalu
Belanda mengarahkan mulut pelontar mortirnya ke Dusun Dampit. Mortir-mortir
yang dilontarkan dari Utara Masjid Klero jatuh di sekitar dapur umum. Anggota TNI
yang sedang makan siang dengan kolak gori (buah nangka mentah) berlari
cerai-berai tidak beraturan ke segala arah untuk menyelamatkan diri. Saat peristiwa
itu berlangsung, dari pihak TNI tidak ada yang menjadi korban (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).
Masjid Klero yang hanya berjarak 5 meter dari rumah
Kasah Rejo tidak luput dari amukan Belanda. Masjid itu diberondong
habis-habisan tetapi tidak sampai dirubuhkan oleh Belanda. Pohon pisang yang
tumbuh di sekitar masjid banyak yang tumbang dihajar peluru-peluru Belanda. Jarkoni
yang kebetulan berlindung di dalamnnya selamat. Dia tiarap di dalam masjid saat
Belanda menyerbu. Peristiwa penyerangan Rumah Kasah Rejo tidak berlangsung
lama. Warga yang mendengar suara tembakan segera berlindung ke bawah kolong amben. Lantai di bawah amben sudah mereka gali sebelum perang
berlangsung untuk lubang persembunyian. Amben
adalah meja berukuran besar yang difungsikan sebagai tempat tidur. Selain
menggali tanah di bawah amben, warga
setempat juga membuat lubang persembunyian di depan rumah mereka. Lubang dengan
kedalaman rata-rata 2-3 meter tersebut, dibuat cekungan di salah satu dindingnya.
Cekungan itulah yang berfungsi sebagai pelindung ketika terjadi serangan kanon.
Sumber Pustaka:
- Chusnul Hajati, dkk., 1997. Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
- Husni Thamrin, dkk. 2008. Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950. Temanggung: Dewan Harian Cabang Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kabupaten Temanggung.
- Moehkardi. 2012. Revolusi Nasional 1945 di Semarang. Jakarta: Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat.
- Nasution, A.H.,, 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Perang Gerilya Semesta I jilid 6. Bandung: Angkasa.
- Tobing, K.M.L., 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Linggarjati. Jakarta:Gunung Agung.
- Reid, Anthony, J.S., 1996. Revolusi Nasional Indonesia. (terjemaah oleh Pericles G. Katoppo). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Tashadi. 1997. Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah Divisi Sunan Bonang. Surakarta: Yayasan Bhakti Utama.
Post a Comment