Ketidaksengajaan Guru yang Membawa Petaka bagi Anak Didiknya
Guru adalah profesi mulia. Mereka mengerahkan
kemampuannya untuk mengembangkan manusia menuju kemuliaan. Meskipun begitu,
masih ditemui guru yang tanpa mereka sadari ketika mengajar membawa petaka bagi
anak didiknya. Berikut ini merupakan “ketidaksengajaan guru yang membawa
petaka bagi anak didiknya”.
petaka bagi anak didiknya”.
Tanpa disadari,
guru mempunyai penilaian tertentu kepada anak didiknya. Penilaian tersebut
bersumber dari keadaan eksternal dan internal pada anak didiknya. Penilaian yang
bersumber dari keadaan internal semisal tingkat kepandaian, perilaku negatif, dan
karakteristik khas teertentu pada siswanya. Kemudian penilaian yang bersumber
dari keadaan eksternal berasal dari penilaian orang lain kepada siswa, misalnya Pak Adit adalah guru yang mengapu mata pelajaran sejarah
kelas XII. Saat mengajar, dia mendapati seorang siswa kurang aktif
dalam bertanya. Kemudian pak Adit mencari informasi kepada guru lain kenapa hal tersebut bisa terjadi. Akhirnya Pak Adit mendapat laporan dari guru yang pernah
mengajar anak tadi bahwa
anak itu sering melamun dan tidak serius ketika mengikuti pelajaran. Kemudian pak Adit melakukan tindakan khusus untuk mengajari siswa tadi dengan
menggunakan suara bicara yang lebih keras dan lambat seolah siswa tadi tidak
mendengar, menggunakan kosakata dasar dan kalimat mentah, jarang tersenyum,
berinteraksi dengan gaya instruksional dan cenderung otoriter. Hal itu bisa
membuat anak didik pak Adit semakin malas untuk belajar sejarah. Padahal pak Adit
belum tahu permasalahan pada anak didiknya. Bisa jadi yang
salah berada pada metode pembelajaran Pak Adit yang dinilai tidak
menarik bagi siswa tadi.
- Mengajarkan “Tidak Bisa”
Suatu hari, Rudi
mendapat Pekerjaan Rumah (PR) Matematika dari gurunya. Kemudian setelah pulan sekolah, dia mengerjakan PR itu tanpa dipandu orang
tuanya. Setelah beberapa kali mencoba mengotak atik angka, akhirnya ia
tidak mendapat jawaban yang benar. Saat itu Rudi mengalami jalan buntu dan akhirnya dia
merasa tidak bisa mengerjakan PR itu. Esok harinyanya, ia berangkat ke sekolah. Kebetulan dia
disuruh ke depan oleh gurunya untuk mengerjakan hasil PRnya di papan tulis. Diapun ke depan,
mengerjakan sebisanya. Alhasil setelah ia berdiri mengotak atik selama 2 jam
pelajaran, ia tidak menghasilkan jawaban yang benar. Kemudian dari mulut guru yang diyakininya
sebagai orang hebat atau orang yang tau kapasitas Rudi keluar kalimat setengah
jengkel “ piye to Rud, wes tak ajari bolan baleni kok tetep ora isa” (gimana sih kamu Rud, sudah saya (guru) ajari
berkali-kali kok tetap tidak bisa). Ucapan guru Rudi membuat perasaan dan keyakinan Rudi semakin down sehingga berdampak pada diri Rudi yang tidak
mau berusaha (motivasi rendah), pasif, atau mencari kompensasi untuk menarik
perhatian dengan cara negatif.
- Lebih Mudah Menyalahkan daripada Memuji
Semangat para guru
untuk membuat siswa menguasai materi berdampak pada sikap menuntut dan
mengharuskan siswanya agar dapat menguasai mata pelajaran yang mereka ampu.
Seperti kasus Rudi diatas, seharusnya guru tidak melontarkan kata tajam dengan
mimik muka jengkel saat siswanya mendapat kesulitan mengerjakan tugas. Dalam
hal ini, guru kurang peka atas kondisi positif siswa yang layak mendapat
pujian. Hal itu disebabkan karena guru tidak melihat proses anak didiknya selama mengerjakan PR.
Seharusnya guru bertanya bagaimana proses mereka dalam mengerjakan PR supaya
mengetahui berapa kali anak didiknya mendapat jalan buntu dan berapa kali
mereka berusaha menemukan jawaban. Oleh sebab itu guru tidak boleh memberi umpan balik negatif, tetapi mereka tetap harus memberi umpan positif agar anak didiknya
tidak down seperti memberi apresiasi“Nak, kamu sudah berusaha
dengan giat dan baik, mari kita kerjakan bersama-sama “. Melihat kenyataan
selama sekolah dari SD hingga lulus S1, kebanyakan guru tidak terlatih untuk
memuji dan membesarkan hati anak didiknya, padahal anak-anak justru membutuhkan
pujian yang tulus dan spontan guna membakar semangatnya.
- Memunculkan Kekerasan di Kelas
Minimnya gambar dan
alat peraga saat mengikuti pelajaran sejarah membuat imajinasi anak didik
melayang tak terarah berusaha mengikuti alur tulisan yang ada di dalam buku
ajar. Hal inilah yang dialami siswa-siswi SMA Dalimanisme. Ketika pak Adit
bercerita tentang ciri-ciri manusia purba Pithecanthropus
erectus (P.e), dengan becanda dan menghibur siswanya, ia
menceriterakan bahwa P.e seperti monyet
tetapi bukan monyet, bentuk hidung tebal dan liar. Saat itu tatapan mata pak
Adit mengarah kepada siswanya yang berhidung pesek yang sering membuat kebisingan di
kelas. Siswa yang tertarik mendengarkan cerita pak Adit lalu mengikuti mata pak
Adit menuju siswanya tadi. Pak Adit berkata “ Wah, kalau sering gojek dan pesek ya seperti P.e". Setelah
jam pelajaran sejarah selesai, pak Adit keluar ruangan kelas. Kemudian siswa pesek yang suka
membuat kebisingan tadi diejek oleh beberapa temannya sebagai P.e. Kisah
tersebut menunjukan bahwa tanpa sengaja guru telah memberikan legitimasi kepada
siswanya untuk melakukan kekerasan verbal. Ternyata apa yang dilakukan pak Adit
tanpa kesengajaan tadi menjadi awal dari terjadinya kekerasan (bullying) di kelas.
Melihat kisah di
atas, guru seharusnya “digugu lan ditiru”, bukan “diguyu lan disaru”. Jadi
ketika mengajar, guru bukanlah pemilik mulut yang tugasnya berbicara, sedangkan
siswa menjadi pendengar. Hubungan guru dan siswa adalah hubungan secara totalitas,
yaitu hubungan secara menyeluruh antara fisik, psikis, sosial, dan spiritual
karena guru bukanlah robot yang apatis terhadap perasaan siswa maupun harga diri
siswa. Guru adalah sutradara yang menanamkan tujuan baik bagi kemajuan bangsa dan negara di dalam diri siswanya agar siswanya menjadi manusia yang berketuhanan, berakhlak
mulia, cerdas, dan santun dalam bertindak.
“You never forget a good
teacher”
Sumber Buku:
Faturochman, dkk.,
2012. Psikologi untuk Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Sumber Gambar
http://terrificparenting.com/homework-battles
Post a Comment