Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Nasib Orang Cina di Indonesia : Dari Kuli Lalu Diusir Pemerintah

Borneo adalah sebuah daratan yang penuh dengan legenda-legenda mengerikan, rawa-rawa kohong, demam, para kanibal dan hewan-hewan buas. Meski begitu, ada orang yang datang dari tempat berjarak ribuan mil untuk bermukim di sana, sebuah pulau terbesar ketiga di dunia. Mereka anggota sebuah ras buangan dari Cina Seberang. Selama ratusan tahun nenek moyang mereka merintis emigrasi melintasi Laut Cina untuk merambah daratan-daratan tak dikenali di Pasifik Selatan. Pun selama ratusan tahun mereka menjadi sasaran persekusi, penyakit dan kematian-kematian brutal.


Namun, sebetapa pun berat penderitaan mereka, lebih banyak lagi orang-orang dari Tiongkok itu yang selalu menyusul. Mereka bermukim, melahirkan beregenerasi generasi baru para ekspatriat, dan berlipat ganda. Sekarang jumlah total mereka sudah lebih dari seperempat populasi Borneo. Ini adalah sebuah ledakan populasi senyap yang tampaknya takkan berhenti.

Setidaknya 10 juta orang Cina bertebaran keluar dari Tiongkok di Abad IX. Gubernur Jenderal Trinidad dan Tobago, Sir Solomon Ocoy, dan presiden Guyana, Arthur Chung, adalah keturunan mereka.

 Pemilik armada kapal terbesar di dunia C. Y. Tung, dan salah satu sineas terbesar dunia, Shaw bersaudara, adalah ekspatriat Cina dari Shanghai, sekarang tinggal di Hong Kong. 

Orang Amerika pertama yang menginjakkan kaki pertama kali di bulan dibantu oleh peran tak dikenal ilmuwan Cina-Amerika Wong Chung ming: dua rekannya di Amerika, C.N. Yang dan Tsung Dao Lee, memenangi Hadiah Nobel dalam Fisika untuk Amerika pada 1957. Atlet-atlet Cina Seberang, seperti juara dunia terlama bulu tangkis, Rudy Hartono dari Indonesia, dan seniman Cina Seberang, seperti pianis yang bermukim di London, Fou Tsong, telah menjadi kebanggaan jutaan fan di berbagai penjuru dunia.

Nyaris setiap kota di dunia memiliki binatu dan rumah makan milik orang Cina dan kerajaan niaga Cina Seberang ini makin meningkat jumlah cabangnya, dioperasikan dari Hong Kong, Singapura, London atau New York.

Namun, Asia Tenggara adalah titik puncak para ekspatriat ini dan di sini 96% dari mereka bermukim. Mereka mengendalikan atau menangani setidaknya 60 persen perdagangan dan perniagaan wilayah itu.

Meski mereka meliputi 5 persen dari populasi wilayah (kira-kira 15 juta dari 300 juta orang) mereka telah sepenuhnya mengubah adat istiadat, budaya dan cita rasa Asia Tenggara. Setidaknya 1.000 kata bahasa Tionghoa telah diserap oleh bahasa nasional Filipina dan cheongsam dan pantaloon telah menjadi bagian dari pakaian nasional Indonesia dan Thailand. 

Kawin campur antara orang orang Cina dan orang-orang Asia? tidak hanya melahirkan wajah-wajah baru di wilayah itu, dengan memperlebar dahi dan menyempitkan mata orang-orang Bali dan Dayak, tetapi juga memunculkan keturunan baru yang hebat seperti para pemimpin berdarah mestizo, misalnya saja pahlawan nasional Filipina, Dr. Jose Rizal, dan orang kuar Burma, Jenderal Ne Win. Namun, dampak terbesar Cina Seberang dan yang mengubah keseluruhan arah sejarah Asia, tidaklah konstruktif (dengan sendirinya) sama sekali. Ia adalah kreasi pamuncak dari sebuah ketakutan seluruh dunia terhadap segala hal berbau Cina.

Orang-orang Eropa kolonial Asia Tenggara-lah yang meletakkan dasar krisis rasial modern dengan mengimpor jutaan kuli dari Cina untuk mengerjakan perkebunan-perkebunan dan tambang-tambang timah mereka di daerah tropika. Antara 1920 - 1930 setidaknya dua juta kuli telah dikapalkan ke negara-negara dan pemukiman-pemukiman di Melayu protektorat Inggris.

Lama sebelum itu, para conquistador, seperti gubernur jenderal Hindia Belanda (kelak Indonesia, Jan Pieterson Coen telah didorong oleh pilihan-pilihan kolonial untuk menggencarkan penangkapan-penangkapan budak di sepanjang pesisir provinsi Fukien dan Kwantung untuk mengisi tanah-tanah jajahan mereka dari para penjual imigran Cina untuk dijdikan kuli kerja paksa.

Dengan satu ketel, sebuntel pakaian dan segulung tikar buat alas tidur, kuli naik kapal. Ketika palka-palka sudah penuh muatan ia ditempatkan di geladak terbuka dan terpapar badai monsun. Ia hanya makan nasi dan air sepanjang perjalanan.

Jika badai menghambat kapal dan persediaan nasi habis, ia kelaparan dan mati. Biasanya ia mendapatkan tempat selebar delapan kaki untuk dia sendiri, tetapi manakala ada sebanyak 1.000 kuli di kapal, para imigran itu tidur saling bertumpukan kayak anjing. 

Jika kapal mendapat masalah, para imigran itu tidak bisa mengharapkan belas kasihan dari para awak kapal. Ketika kapal Don Juan terbakar di tengah laut pada 1871, para awak yang kabur memukuli sebagian besar dari 640 kuli penumpangnya di bawah lubang palka dan dibiarkan terbakar dan karam bersama kapal. Sedangkan hinaan kepada kuli Cina juga sering mereka alami. Sebagaimana pada 1852 kapten kapal Amerika, Robert Browne, memerintahkan awaknya memotong kuncir para kuli penumpangnya dan menggosok badan mereka dengan sapu kemas. 

Majalah China Review pada 1873 membagi para kuli paksaan di Makau ke dalam tiga kategori utama: mereka yang tertangkap dalam pertarungan klan di pedalaman Cina dan kemudian dijual sebagai budak; mereka yang yang diculik oleh para awak kapal lorcha (kapal ringan bertiang layar dua atau tiga seperti jung) yang diawaki atau dipimpin orang-orang Makau; dan mereka yang dikibuli di rumah-rumah judi sampai melarat sehingga kehilangan kebebasan. Majalah itu memperkirakan antara 100.000 dan 200.000 orang kuli terjebak dengan cara ini setiap tahunnya di Makau dan sekitarnya.

Kuli tidak tahu menahu siapakah yang membelinya. Ia dijual dengan harga tertinggi sesuai keahlian. Jika ia seorang pekerja berketerampilan, misalnya penjahit, tukang emas atau tukang kayu, harganya antara $8 - $10 di Singapura pada 1853. Jika ia tak punya keterampilan, harganya mungkin antara $4 - $8, dan apabila ia sakit-sakitan, ia bisa diperoleh dengan harga sekitar $2. 

Orang-orang Cina menyebutnya mai chu-chai, menjual babi-babi muda. Para kuli yang berusaha menghindari untuk diperlakukan kayak binatang menjadikan dirinya sebagai obyek orang perjanjian untuk perusahaan milik orang Eropa selagi masih di Tiongkok, yang bernilai lebih baik. Tiker-Kontrak' mereka memiliki sanksi pidana di kebanyakan negara tempat mereka akan dikirim (utamanya Amerika dan Australia) dan seorang kuli yang menghindari kewajibannya bisa dicemeti atau dipekerjakan kembali untuk tiga tahun ke depan tanpa upah.

Tiongkok tak berkuasa melakukan apa pun terhadap perlakuan semena-mena terhadap warganya. Setelah dipecundangi dan dibagi-bagi menjadi wilayah-wilayah yang dipengaruhi kekuatan-kekuatan kolonial ia hanya bisa mengajukan protes-protes mubazir.

 Para barbarian orang orang Eropa sama sekali tak bisa diatur dan motif mereka satu satunya adalah hasrat akan keuntungan. Para pedagang Eropa dengan kalem menanggapi dengan menyatakan bahwa para mandarin lokal memanfaatkan perdagangan kuli untuk membuang para kriminal, gelandangan dan orang-orang sakit. Mereka pun menyatakan bahwa para mandarin itu mendapatkan $200 - $300 dari setiap kapal kuli, meski secara resmi perdagangan itu ilegal.

Bisnis itu adalah bisnis bagi hasil antara para pejabat kolonial, para konsul dan para pengusaha yang mengekalkan perdagangan para kuli sebagaimana mereka menjalankan perdagangan budak Afrika dulunya.

Di Hindia Belanda tahun 1930 pemukim Cina berjumlah 1.233.214 orang, artinya dua persen dari total populasi. Angka-angka besar ini bukan hanya meletakkan fondasi bagi masalah-masalah sosial dan rasial yang mengerikan, tetapi mereka juga menimbulkan kepusingan ekonomi yang dengan segera mengancam penduduk pribumi.

Pada tahun 1950an, pulau Sumatera memberontak terhadap Sukarno dan pemerintahan Jawa-nya.
Orang-orang Cina dituduh mendanai para pemberontak. Koran-koran dan sekolah-sekolah Cina dipaksa tutup. Di bulan-bulan berikutnya, orang Cina dilarang mengembangkan bisnisnya atau melakukan perdagangan dengan luar negeri. 

Firma-firma dagang besar orang Cina bangkrut dalam semalam. Warga Indonesia jadi korban karena punya leluhur orang Cina; mereka dilarang memiliki lahan garapan dan dipaksa membayar pajak lebih banyak ketimbang yang berdarah asli Indonesia.

Jika mereka usahawan, mereka diwajibkan memberi lima puluh persen saham perusahaan kepada pribumi Indonesia yang bisa membayar selama sepuluh tahun dari laba perusahaan itu. 

Pada 1959 seorang anggota parlemen Indonesia menyerukan deportasi massal seluruh orang Cina yang pro-KMT. Adalah kebijakan pemerintah buat mendorong sebanyak mungkin orang Cina keluar dari negara Indonesia.

Jikalau situasinya buruk bagi orang Cina, lebih buruk lagi yang dialami orang Indonesia secara keseluruhan. Ditimpa oleh berbagai pemberontakan perselisihan politik, kekacauan ekonomi (indeks biaya hidup terkerek sekitar setengah juta persen antara 1957-1967 dan kemungkinan pecahnya republik kepulauan beraneka bahasa, yang luasnya 2.800 mil, Presiden Sukarno makin menjadi sosok yang tak populer. Menjelang 1959 ia sungguh-sungguh butuh memperbaharui citranya yang ternoda. 

Peraturan Pemerintah No. 10 (4 mei 1959) didesain untuk mencapai tujuan itu. Keseluruhan ras Cina di Indonesia dilarang berdagang di pedesaan. Sekitar 400.000 orang Cina, kehilangan pencaharian dan terpaksa meninggalkan rumahnya dan pindah ke kota-kota. Lebih dari 100.000 orang bermigrasi di tahun depannya. 

Tiongkok mengirimkan kapal-kapal untuk memulangkan lebih dari 40.000 orang. Angkatan Darat Indonesia menyewa lusinan kapal untuk menurunkan sisanya di sepanjang pesisir Melayu, Singapura dan Taiwan. Itu adalah eksodus massal terbesar yang pernah dilihat Indonesia.


sumber: Alexander, Garth. 2017. Silent invasion Orang-Orang Cina di Asia Tenggara. Yogyakarta: Gre Publishing

No comments

Powered by Blogger.