Sejarah Evolusi Manusia, Kemampuan Menjinakkan Api yang Membedakan Manusia dengan Kera
Perjalanan Panjang Evolusi Manusia Dimulai dari Kemampuan Mereka Memasak dengan Api, Itulah yang Membedakannya dengan Kera.
Pertanyaan lama tapi masih relevan dipertanyakaan hingga hari ini: Dari mana manusia berasal? Orang-orang Yunani kuno meyakini bahwa manusia diciptakan oleh para dewa dari tanah.
Namun setelah Darwin mengemukakan grand teorinya tentang seleksi alam, maka kecenderungan masyarakat modern percaya bahwa tubuh manusia dibentuk oleh seleksi alam yang dimulai dari nenek moyang kita di Afrika.
Di masa lalu, jauh sebelum orang pertama kali menulis atau mengolah tanah, leluhur Homo sapiens tinggal di Afrika sebagai pemburu dan pengumpul biji-bijian.
Dari fosil tulang belulang mereka mengungkapkan adanya kekerabatan antara Homo sapiens dengan orang-orang Afrika yang telah hidup sejuta tahun yang lalu.
Meskipun leluhur manusia telah menjawab pertanyaan kita melalui mitos dengan jawaban yang berbeda-beda, tetapi hanya sains yang dapat memutuskan "Apa yang membuat kita menjadi manusia?"
Momen transformatif yang memunculkan genus Homo, berasal dari aktifitas menjinakan api yang kelak melahirkan makanan yang dimasak.
Memasak meningkatkan nilai makanan pada manusia. Aktifitas memasak turut mengubah bentuk tubuh manusia, penggunaan otak manusia, manajemen waktu, dan kehidupan sosial yang membuat manusia menjadi konsumen energi eksternal. Sehingga dari aktifitas itu telah menciptakan hubungan baru antara manusia dengan alam yaitu ketergantungan manusia pada bahan bakar.
Catatan fosil menunjukkan bahwa sebelum nenek moyang manusia bertransformasi menjadi manusia modern saat ini, karakteristik tubuh nenek moyang kita lebih dominan berwujud kera daripada manusia. Pembedanya ialah, nenek moyang kita sudah mampu berdiri tegak. Cara itu yang membedakan dengan kera. Oleh ilmuan evolusionis, hewan ini dinamakan australopithecus.
Australopithecus adalah segolongan simpanse. Mereka adalah pemanjat pohon yang hebat, memiliki perut seukuran kera, dan moncong yang menonjol mirip kera. Otak mereka juga tidak lebih besar daripada simpanse.
Wajah Austropithecus juga bukan tipe wajah manusia. Mereka memiliki alis yang besar, mata gelap dan rahang yang besar. Lengan tanganya panjang, berotot. Kaki mereka pendek menunjukkan kemampuan hebat mereka dalam memanjat.
Australophitecus hidup tiga juta tahun yang lalu. Mereka mencari makanan di semak Afrika yang kaya namun menakutkan. Sebagian besar Australopithecus akhirnya punah tetapi garis keturunannya perlahan berubah.
Secara evolusi, Australophitecus adalah salah satu hewan yang beruntung. Transisi evolusi ini pertama kali terjadi pada 2,6 juta tahun yang lalu. Dari serpihan batu tajam yang ditemukan di Ethiopia menjadi petunjuk bahwa mereka telah mampu menggunakan perkakas. Bekas luka pada tulang fosil hewan buruan menunjukkan bahwa pisau sederhana buatan mereka telah digunakan untuk memotong daging kijang guna mendapatkan potongan ideal. Perilaku baru ini sangat efektif – penggunaan alat ini akan memungkinkan mereka menguliti gajah dengan cepat - dan jauh lebih terampil daripada apa pun yang dilakukan simpanse ketika makan daging.
Pembuatan pisau menunjukkan adanya perencanaan, kesabaran, kerja sama, dan perilaku yang terorganisir.
Sekitar 2,3 juta tahun yang lalu, catatan tentatif pertama muncul dari spesies baru, habilis. Habilis adalah "mata rantai yang hilang" antara kera dan manusia. Dalam teori Evolusi, mereka adalah leluhur kita.
Habilis berukuran hampir sama dengan australopithecus, memiliki lengan panjang dan wajah yang menonjol mirip dengan kera. Namun mereka sudah mahir membuat pisau, dan mereka memiliki otak dua kali lebih besar daripada kera, sehingga ditempatkan dalam genus Homo. Singkatnya, mereka menunjukkan campuran karakteristik kera dan manusia.
Setelah habilis muncul, butuh ratusan ribu tahun bagi roda evolusi untuk mulai berputar dengan cepat lagi, tetapi antara 1,9 juta dan 1,8 juta tahun yang lalu, beberapa habilis berevolusi menjadi Homo erectus, dan dengan kedatangan mereka, dunia menghadapi masa depan yang baru.
Kemampuan mental Homo erectus tidak ada yang tahu apakah mereka menggunakan jenis bahasa primitif, atau seberapa baik mereka mengendalikan emosi mereka. Tetapi Homo erectus jauh lebih mirip dengan manusia moderen daripada spesies sebelumnya.
Mereka diperkirakan telah berjalan dan berlari dengan lancar seperti yang kita lakukan hari ini. Berbagai keturunan mereka, termasuk Neanderthal yang hidup lebih dari satu juta tahun kemudian, semuanya menunjukkan bentuk dan status yang sama dengan Homo sapiens.
Anatomi tubuh Homo erectus sangat mirip dengan kita sehingga beberapa antropolog menyebut mereka Homo sapiens, tetapi sebagian besar tetap mempertahankan nama lamanya yakni Homo erectus karena ada karakteristik yang berbeda dengan kita, seperti otak yang lebih kecil daripada yang ditemukan pada manusia modern.
Homo erectus adalah pemburu yang mahir. Tetapi aktifitas mereka tidak memecahkan masalah utama mengenai anatomi Homo erectus yang memiliki rahang kecil dan gigi kecil. Jika mereka pemburu yang handal, dalam teori evolusi harusnya gigi mereka besar dan tajam. Namun pada faktanya gigi dan rahang mereka tetap kecil tetapi mampu beradaptasi dengan baik untuk memakan daging mentah yang keras dari hewan buruan mereka.
Mulut yang lemah ini tidak dapat dijelaskan oleh Homo erectus yang pandai dalam berburu. Sesuatu yang lain pasti sedang terjadi.
Betapa beruntungnya bahwa Bumi memiliki api, dengan kayu yang kering dan mudah terbakar, api memberi kita kehangatan dan cahaya, yang tanpanya spesies kita akan dipaksa hidup seperti binatang lain.
Sangat mudah untuk menggambarkan seperti apa hidup ini tanpa api. Malam-malam akan dingin, gelap, dan berbahaya, memaksa kita untuk menunggu tanpa daya hingga matahari terbit.
Manusia modern membutuhkan api di mana pun mereka berada. Selain kehangatan dan cahaya, api memberi kita makanan hangat, air yang aman diminum, perlindungan dari hewan buas, dan sinyal.
Dalam masyarakat modern, api mungkin disembunyikan dari pandangan mata. Api dirapikan di dalam tungku, terperangkap di blok mesin mobil, atau dikurung di pembangkit listrik yang menggerakkan jaringan listrik, tetapi kita masih sepenuhnya bergantung pada api.
Charles Darwin pencetus teori evolusi, tidak menunjukkan minat untuk mengetahui kapan api pertama kali dikendalikan. Gairahnya saat itu hanyalah evolusi, dan dia pikir api tidak relevan dengan bagaimana manusia berevolusi. Menurutnya menjinakkan api hanyalah cara lain manusia untuk menanggapi tantangan alam. Sama halnya ketika manusia bermigrasi ke iklim yang lebih dingin, inisiatif mereka akan memakai pakaian, membangun gubuk, membuat api dan dengan bantuan api mereka memasak makanan yang mulanya keras dan sulit dicerna menjadi empuk. Lain halnya hewan yang tingkatannya lebih rendah dari manusia, mereka harus memiliki struktur tubuh yang yang kuat untuk bertahan hidup dalam kondisi tertentu sehingga mereka harus berevolusi.
Satu abad kemudian, antropolog Claude Lévi-Strauss seorang ahli mitos suku-suku Brasil, melalui penelitiannya ia terkesan dengan cara memasak suku-suku primitif. Dalam bukunya yang ditulis tahun 1960-an, The Raw and the Cooked, aktifitas memasak melambangkan kontrol manusia terhadap alam. Tidak hanya itu "Memasak menandai transisi manusia dari ketergantungan terhadap alam menjadi sebuah budaya".
Terlepas dari skeptisisme utama tentang peran api dalam evolusi manusia, beberapa ahli berpendapat bahwa kemampuan memasak telah menjadi bawaan sifat asli manusia. Ahli gastronomi Prancis Jean-Anthelme Brillat-Savarin mengatakan "dengan api, manusia telah menjinakkan Alam itu sendiri," tulisnya pada tahun 1825.
Pentingnya api merambah pada kehidupan sosial. Setelah nenek moyang manusia mampu memasak, mereka mulai menyadari pada pentingnya berburu hewan-hewan khusus. Dan karena berburu maka tugas harus dibagi kepada anggota kelompok, terutama laki-laki, sedangkan perempuan mengambil peran memasak.
Ide-ide yang menunjukkan bagaimana manusia menjinakan api sehingga mempengaruhi perilaku manusia dalam evolusi telah banyak ditulis oleh pakar antropologi fisik Carleton Coon, Loring Brace, Catherine Perlès, dan sosiologi Joop Goudsblom. Tetapi analisis semacam itu bersifat sementara dan hanya menggambarkan tentang sejarah memasak.
Pada tahun 1998, sejarawan seni memasak Michael Symons, berhasil menggabungkan unsur-unsur intelektual dari berbagai disiplin ilmu, ia mengungkapkan gagasan bahwa memasak dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan, mulai dari nutrisi hingga masyarakat, ia membuat klaim yang lebih kuat tentang "memasak adalah mata rantai yang hilang dalam evolusi". Dasarnya adalah makanan yang dimasak lebih aman dikonsumsi manusia, menciptakan rasa yang kaya dan lezat, serta mengurangi pembusukan. Pemanasan makanan memungkinkan manusia untuk membuka, memotong, atau menumbuk makanan yang sulit dikunyah oleh rahang. Memasak juga meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Energi ekstra memberi keuntungan biologis untuk bereproduksi lebih baik dari sebelumnya.
Dari beranakpinak, gen manusia menyebar. Tubuh mereka merespons dengan beradaptasi secara biologis terhadap makanan yang dimasak, memenangkan seleksi alam untuk mengambil keuntungan maksimal dari jenis makanan baru.
Ada perubahan anatomi, fisiologi, ekologi, sejarah kehidupan, psikologi, dan masyarakat berkat keterampilan memasak. Bukti fosil menunjukkan bahwa ketergantungan ini muncul tidak hanya beberapa puluh ribu tahun yang lalu, atau bahkan beberapa ratus ribu, tetapi segera kembali pada awal zaman manusia ada di Bumi, yakni awal evolusi manusia, habilis yang kelak menjadi Homo erectus. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, manusia adalah kera yang dapat memasak.
sumber: Wrangham, Richard. 2009. Catching Fire : How Cooking Made Us Human. London: Profil Books
Post a Comment