Kerajaan Majapahit
Masa Transisi Kekuasaan
Awal
mula berdirinya Majapahit dimulai dari peristiwa runtuhnya Singasari pada tahun
1293 Masehi. Raja yang memerintah Singasari pada waktu itu adalah prabu
Kertanegara. Kertanegara adalah keturunan Ken Arok atau prabu Ranggah Rajasa,
sang Amurwabhhumi yang mengalahkan Kertajaya raja Kediri dalam perang di Ganter
tahun 1222 Masehi. Raja Kertanegara adalah raja yang besar pengaruhnya serta
raja pertama mencita-citakan persatuan nusantara. Ia juga merupakan tokoh yang
teguh pendiriannya setia pada agama yang dianutnya yaitu Budhisme aliran aliran
Tantra.
Dalam politik dalam negeri, nampaknya Kertanegara kurang disenangi oleh pengikutnya. Hal itu terjadi karena kebijakan- kebijakan Kertanegara tidak sesuai dengan kehendak para bangsawan waktu itu, misalnya adalah penggantian patihnya yang bernama Raganatha menjadi adhiyaksa serta pergeseran Wiraraja dari jabatannya diistana menjadi adhipati di Madura. Rasa ketidakpuasan para pemuka pada masa itu semakin menonjol ketika Kertanegara tidak mau menerima saran-saran mengenai bahaya serangan dari Kediri atau Daha yang kemungkinan akan timbul sewaktu-waktu.
Sisa-sisa Arca Majapahit |
Pada
tahun 1292 Masehi setelah ekspedisi Pamalayu, Jayakatwang yang dibantu oleh
Wiraraja melancarkan serangan terhadap Singasari. Serangan yang mendadak itu mengakibatkan
Raja Kertanegara serta beberapa pejabat istananya gugur. Kertanegara wafat pada
tahun 1292 Masehi dan sesuai dengan sifat keagamaannya, ia didharmakan sebagai
Siwa – Budha di candi Jawi Malang serta sebagai Wairocana – Locana ( Dhyani
Budha yang tertinggi dalam sistem agama Budha) di Sagala, Jawa Timur. Arca
Kertanegara sebagai Siwa – Budha ditemukan di Surabaya yang oleh masyarakat
disebut dengan arca Joko Dolok.
Awal Mula Berdirinya Majapahit
Pada saat Singasari diserang Kediri,
Raden Wijaya diberi tugas oleh Kertanegara yang merupakan calon ayah
mertuanya dan seorang raja dari Singasari untuk menghalau
serangan dari musuh. Dalam rangka menangkal serangan dari Kediri, Raden Wijaya
dan pengikutnya terpukul dan mengalami kekalahan. Raden Wijaya dan pengikutnya
terpaksa mundur untuk menyelamatkan diri. Ketika dalam pelariaanya menghindari
musuh, Raden Wijaya berserta pengikutnya lari ke Rabut Carat, selanjutnya ke
Pamawatan, Trung dan Kembang Sri. DiKembang Sri, Raden Wijaya masih dibuntuti
oleh musuh. Akhirnya Raden Wijaya memutuskan utuk menyeberangi Sungai Brantas
menuju desa Kudadu. Untuk menyeberang Sungai Brantas sangatlah sulit karena
aliran sungai yang deras dan jarak yang lebar antara tepi sungai mengakibatkan
banyak pengikut Raden Wijaya hanyut juga tertawan oleh musuh. Raden Wijaya
dengan sisa pengikutnya yang setia diterima dan dilindungi oleh penguasa desa
tersebut. Atas desakan para pengikutnya, Raden Wijaya disuruh meminta bantuan kepada
Wiraraja di Madura. Alasan tersebut ditolak oleh Raden Wijaya karena ketika Singasari diserang oleh Kediri,
Wiraraja ikut membantu Jayakatwang menghancurkan Singasari. Tetapi karena
desakan pengikutnya dan jaminan dari Nambi seorang putera dari Wiraraja
akhirnya usulan tersebuut diterima.
Perjalanan Raden Wijaya dimulai dari
Rembang untuk menyeberangi Selat Madura menuju kekediaman Wiraraja. Ia dan
pengikutnya diterima dengan baik oleh Wiraraja sebagaimana layaknya seorang
pangeran yang sedang berkunjung ke daerah. Raden Wijaya selama tinggal di
Madura bersama Wiraraja mengatur siasat untuk merebut kembali tahta mertuanya
yang telah dikuasai oleh Jayakatwang. Usaha itu dilakukan dengan tipu muslihat
dengan cara Raden Wijaya berpura – pura menyatakan tahluk dan setia kepada
Jayakatwang. Namun, diam – diam Raden Wijaya membangun kekuatan dengan
mengumpulkan pengikut – pengikut yang setia terhadap Raden Wijaya untuk balas
dendam. Raden Wijaya diterima Jayakatwang untuk mengabdi kepada Kediri. Tanpa
ada kecurigaan, Jayakatwang memberi sebidang tanah Tarik kepada Raden Wijaya. Bahkan,
Jayakatwang memberikan bekal untuk membuka hutan Tarik tersebut untuk
dipergunakan Raden Wijaya sebagai daerah kekuasannya. Hutan Tarik tersebut oleh
Raden Wijaya diberi nama Majapahit. Nama Majapahit sendiri konon berasal dari
ketidaksengajaan seorang pekerja yang kehabisan bekal ketika membabat hutan
Tarik, ia menemukan buah maja yang dimakan rasanya pahit, oleh karena itu
daerah tersebut dinamakan Majapahit. Tata letak bangunan, jalan, pasar, dan
sarana pertemuan lainnya ditata secara teratur sehingga menjadi daya tarik
orang – orang dari Singasari, Kediri, dan Madura untuk berdagang atau bermukim
disana.
Setelah kekuatan Raden Wijaya terhimpun
kembali, secara diam – diam, ia mengadakan kontak dengan Wiraraja di Madura
untuk mengkudeta Jayakatwang. Tetapi niat Raden Wijaya tersebut dicegah oleh
Wiraraja dengan alasan menunggu pasukan Cina yang ingin mengeksekusi
Kertanegara karena dendam atas penghinaan utusan raja Cina yang bernama Meng – Chi oleh Kertanegara. Ku Bilai Khan
yang murka mengirim pasukanuntuk menyerang Singasari. Karena Cina tidak
mengetahui gejolak politik di Jawa, dikiranya Singasari – Jayakatwang masih
sama yang dahulu yaitu Singasari – Kertanegara. Pasukan Cina yang dipimpin oleh
Ike Mese, Kau Shing, dan Shing Pi mendarat di Canggu. Disanalah pasukan Cina
tersebut bergabung dengan pasukan Majapahit untuk menggempur Kediri. Setelah
Kediri runtuh, Raden Wijaya menyerang balik pasukan Tartar. Serangan yang tiba
– tiba ini banyak membunuh tentara Tartar dan mengacau balaukan pasukan Cina,
sehingga pasukan Cina yang selamat dari penyerangan tersebut pulang ke negerinya
dengan tangan kosong.
Dengan runtuhnya kerajaan Kediri dan
kembalinya tentara Tartar dari Jawa ke Cina, mulailah babakan baru berdirinya
kerajaan Majapahit. Raja Majapahit yang pertama ialah Raden Wijaya. Ia
dinobatkan menjadi raja pada tahun 1293 Masehi. Ia bergelar Cri Kertarajasa
Jayawarddhana Anantawikramottunggaldewa. Ia memimpin kerajaan Majapahit
didampingi oleh empat orang permaisuri puteri raja Kertanegara. Mereka adalah;
Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuanawaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi
Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi
Dyah Dewi Gayatri. Dalam masa pemerintahannya, rakyat aman dan sentosa. Ia
tidak lupa akan jasa – jasa pembantunya dalam rangka mengambil kekuasaan dari
Jayakatwang. Mereka yang berjasa diberi jabatan- jabatan penting seperti
Wiraraja yang dianggap sangat berjasa dalam proses perjuangan berdirinya
kerajaan Majapahit, ia memperoleh
kekuasaan di daerah timur Jawa Timur seperti Lumajang dan Blambangan. Pada
tahun 1309 Masehi, raja Kertarajasa mangkat dan didharmakan di candi Sumberjati
sebagai Siwa dan candi Simping sebagai Buddha.
Menuju Masa Keemasan
Setelah
Raden Wijaya mangkat, Majapahit dipimpin oleh anaknya dari pernikahan dengan
Dyah Sri Tribuanameswari yaitu Raja Jayanegara. Pada masa pemerintahan
Jayanegara atau Kala Gemet, situasi politik kurang stabil. Banyak timbul
pemberontakan yang bersumber pada ketidak puasan bekas para pengikut ayahnya
yang dirasa kurang adil dalam memberikan kedudukan bagi mereka. Diantara
pemberontakan – pemberontakan tersebut antara lain adalah; pemberontakan Rangga
Lawe pada tahun 1309 Masehi, pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311,
pemberontakan Juru Demung pada tahun 1313 Masehi, dan banyak pemberontakan –
pemberontakan kecil lainnya. Diantara pemberontakan tersebut, yang paling
bahaya adalah pemberontakan Kuti pada tahun 1319 Masehi. Ketika terjadi pemberontakan ini, Raja
Jayanegara sempat diungsikan ke desa Badander. Saat raja Jayanegara diungsikan,
raja ini dikawal oleh pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Raja Jayanegara berada dipengungsian selama
15 hari, ketika Jayabaya mengungsi di desa Badander, rupanya Gajah Mada
menumpas pemberontakan Kuti. Kuti dan kawan – kawannya berhasil ditumpas dan
akhirnya Raja Jayanegara dapat kembali keistana. Berkat kecekatan Gajah Mada
untuk meredam pemberontakan Kuti,nama Gajah Mada mulai menanjak kariernya dan diangkat
sebagai patih di Kahuripan. Setelah dua tahun kemudian ia diangkat sebagai
patih di Daha menggantikan Arya Tilam yang telah lanjut usia. Pada tahun 1328
Masehi, Raja Jayanegara mangkat. Ia mangkat karena dibunuh oleh Tancha, seorang
Tabib kerajaan. Tancha membunuh Jayanegara karena Jayanegara sering mengganggu
isteri Tancha. Akhirnya, Tancha sendiri dibunuh oleh Gajah Mada dengan alasan
bahwa Tancha telah menghilangkan jiwa sang raja. Jayanegara didharmakan di
Silapetak di Bubat sebagai Wisnu dan di Kapopongan sebagai Buddha Amogasidhi.
Karena semasa hidupnya Raja Jayanegara tidak berputera, maka tahtanya
digantikan oleh adik perempuannya bernama Bhre Kahuripan yang bergelar
Tribhuanottunggadewi Jayawisnuwarddhani.
Masa
pemerintahan Tribuwanottunggadewi berlangsung lama yaitu dari tahun 1328 hingga
1350 Masehi. Selama masa kepemimpinannya, Majapahit mengalami dua pemberontakan
yaitu di Keta dan di Sadeng, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan.
Pada masanya, keadaan kerajaan Majapahit aman dan tenteram.
Tribuwanottunggadewi mangkat pada tahun 1350 Masehi. Pengganti
Tribuwanottunggadewi adalah puteranya yang bernama Hayam Wuruk.
Setelah
diangkat menjadi raja Majapahit, Hayam Wuruk bergelar Cri Rajasanegara. Masa
pemerintahan Rajasanegara merupakan puncak keemasan dari kerajaan Majapahit.
Dibawah patih hamangkubumi Gajah Mada, pengaruh Majapahit hampir mencakup
seluruh Nusantara, mulai dari pulau Sumatra hingga Irian. Hubungan diplomatik
dengan negara tetangga tidak hanya terbatas di kawasan Asia Tenggara tetapi
sampai India dan Persia. Rajasanegara sangat memperhatikan rakyatnya dan
negaranya. Dibidang seni, budaya, pendidikan
dan agama mendapat tempatnya. Raja Rajasanegara juga sering mengunjungi
daerah – daerah untuk berinteraksi dengan rakyat.
Walaupun
Rajasanegara sangat harum namanya dihati masyarakat, namun dijumpai pula
sedikit celanya dengan adanya peristiwa perang Bubat (Pabubat) pda tahun 1357
Masehi. Menurut kidung Sunda ( Sundayana), waktu itu Hayam Wuruk bermaksud
untuk memperistri puteri Sri Bhaduga Maharaja Sunda yang bernama Dyah Pitaloka,
akan tetapi hal tersebut tidak dikehendaki oleh patih Gajah Mada dengan alasan
bahwa Sunda belum takluk kepada Majapahit. Ketika puteri Sunda beserta
pengiringnya datang ke Majapahit, mereka memperoleh penghinaan yang sangat
merendahkan mereka. Atas kejadian tersebut akhirnya terjadi perang antara Sunda
dan Majapahit di lapangan Bubat. Dalam perang tersebut, Sri Bhaduga beserta
para pengiringnya gugur, sedangkan Dyah Pitaloka bunuh diri. Hayam Wuruk sangat
sedih melihat peristiwa tersebut, sedangkan Gajah Mada merasa sangat bersalah.
Pada tahun 1346 Masehi, Gajah Mada meninggal dunia.
Karena
gagal memperistri puteri Sunda, akhirnya Hayam Wuruk memperistrikan Paduka
Sori, puteri Wijayarajasa yang juga paman Hayam Wuruk sendiri. Dari pernikahan
ini Rajasanegara memperoleh seorang puteri bernama Kusumawardhani yang kelak
akan menjadi pengganti Hayam Wuruk. Dari selir lain, Hayam Wuruk mendapat
seorang putera yang kelak menjadi penguasa di daerah Wirabhumi dan bergelar
Bhre Wirabhumi. Pada tahun 1318 Masehi, Hayam Wuruk mangkat dan digantikan oleh
puterinya Kusumawardhani.
Runtuhnya Majapahit
Pada
masa pemerintahan Kusumawardhani, tahta kerajaan Majapahit terancam oleh
perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan sendiri. Pertikaian antar keluarga
tersebut dimulai ketika Wikramawardhana memerintah atas nama istrinya (
Kusumawardhani) melawan Bhre Wirabhumi yang juga merupakan anak dari selir
Hayam Wuruk yang berkuasa di daerah Blambangan pada tahun 1401 Masehi. Didalam
kitab pararaton peristiwa pertikaian keluarga tersebut disebut dengan “paregreg” yang berarti runtuh. Berita
dari Cina mengabarkan bahwa pada saat terjadi peperangan antara kedua penguasa
tersebut, 70 orang utusan Cina pengikut Cheng – Ho tewas saat melakukan
kunjungan ke Majapahit. Dalam perang tersebut kerajaan Timur dapat dihancurkan
oleh kerajaan Barat. Karena utusan Cheng – Ho ikut terbunuh, kerajaan Barat
diminta untuk membayar ganti rugi yang besar.
Setelah
Bhre Wirabhumi wafat, nampaknya pertikaian ini semakin meruncing, hal ini terbukti pada masa pemerintahan raja Suhita
pengganti Wikramawardhana yang wafat pada tahun 1429 Masehi, Raden Gadjah yang
dianggap telah membunuh Bhre Wirabumi juga dibunuh. Pada tahun 1447 Masehi,
Suhita wafat dan digantikan oleh adiknya yang bernama Bhre Tumapel Kertawijaya.
Raja ini hanya memerintah selama 4 tahun, kemudian digantikan oleh Bhre Pamotan
yang bergelar Sri Rajasawarddhana atau dikenal juga dengan Sang Sinagara.
Rajasawarddhana
memerintah selama 2 tahun dan rupanya pemerintahan masa itu dipindahkan ke
Keling – Kahuripan. Sebab dipindahkannya pusat pemerintahan tersebut tidak
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin perpindahan kekuasaan ini disebabkan
oleh kekacauan akibat pertentangan antar keluarga yang semakin meruncing. Sejak
tahun 1453 Masehi hingga tahun 1456 Masehi, terjadi kekosongan dalam
pemerintahan Majapahit. Pada tahun 1456 Bhre Wengker atau Bhra Hyang
Purwwawisesa putera Kertawijaya naik tahta. Purwwawisesa memerintah sampai
tahun 1466 Masehi kemudian diganti oleh Bhre Pandan Salas, ia bergelar Dyah
Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana. Ia memerintah dan berkedudukan di Tumapel.
Nampaknya pemerintahannya diserang oleh Bhre Kertabhumi hingga terpaksa
dipindahkan ke Daha hingga wafatnya pada tahun 1477 Masehi.
Pengganti
Bhre Pandan Salas adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Pada masa
pemerintahannya, ada usaha untuk mempersatukan Majapahit yang sudah terpecah –
pecah, antara lain yaitu menggulingkan kekuasaan Bhre Kerthabumi yang
berkedudukan di Majapahit. Dengan terbunuhnya Bhre Kertabhumi, pemerintahan
Ranawijaya yang semula berpusat di Keling dipindahkan kembali ke Majapahit.
Menurut
sumber – sumber sejarah, diperkirakan bahwa raja Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya ini adalah raja Majapahit yang terakhir sebelum Majapahit dikalahkan
oleh Demak. Dalam kitab Carita Purwaka Caruban Nagari diketahui bahwa Raden
Patah Penguasa kerajaan Demak yang pertama adalah putera Prabhu Brawijaya
Kertabhumi yang gugur karena serangan Girindrawarddhana, oleh sebab itu maka
dapat disimpulkan bahwa perpindahan pemerintahan dari Ranawijaya ke Raden Patah
adalah perpindahan kekuasaan dalam satu lingkungan keluarga sendiri. Menurut
tradisi, keruntuhan Majapahit terjadi pada tahun saka 1400 “sirna-ilang-krtaning-bumi” tetapi dalam
prasasti diketahui bahwa sampai tahun 1486 Masehi, kerajaan tersebut masih
berdiri. Berdasarkan berita asing diketahui bahwa antara tahun 1518 hingga 1521
Masehi, kerajaan Majapahit ditaklukan oleh Demak sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada tahun – tahun tersebut, kerajaan Majapahit runtuh.
Kerajaan
Majapahit runtuh bukan hanya serangan dari Demak, tetapi juga karena tekanan –
tekanan ekonomi dari kerajaan – kerajaan
pesisir yang bercorak Islam. Selain itu, perang antar keluarga kerajaan
sendiri juga memperlemah kekuatan Majapahit, lalu satu per satu wilayah bawahan Majapahit
melepaskan diri dan akhirnya Majapahitpun akhirnya runtuh.
Kondisi Kehidupan Majapahit
Kehidupan
politik dan struktur pemerintahan Majapahit dapat dikatakan sebagai percontohan
pola dan struktur pemerintahan kerajaan – kerajaan di Jawa pada masa kemudian
setelah runtuhnya Majapahit. Ibukota kerajaan sebagai tempat tinggal raja dan
keluarganya. Para anggota keluarga kerajaan dijadikan gubernur didaerah –
daerah tertentu. Untuk meredam pemberotakan karena luasnya wilayah kerajaan
kadang kadang mengkhawatirkan kedudukan seorang raja, untuk mencegah hal
tersebut terjadi maka dibentuklah suatu ikatan kekeluargaan dengan cara
perkawinan. Sitem poligami sangat subur, maka pada suatu saat akan timbul usaha
dari pangeran – pangeran untuk merebut tahta pemerintahan kendatipun bukan
haknya.
Di bidang
sosial, raja merupakan penguasa tertinggi. Semua ucapan yang keluar dari raja
merupakan hukum. Pada masa Majapahit pembagian masyarakat dapat dikelompokan
mejadi 3 kelompok – kelompok lokal yang terdiri dari kelompok desa, kelompok
keagamaan, yang terbentuk dari perbedaan kelas atau kasta, dan kelompok
masyarakat yang mempunyai keahlian.
Kehidupan
dibidang agama pada masa Majapahit menduduki tempat yang penting, baik tingkat
pusat maupun tingkat daerah, bahkan raja Majapahit dalam mengemban tugasnya didampingi
oleh pendeta kerajaan yang disebut brahmaraja atau wiku haji. Terdapat dua
agama yang banyak penganutnya pada waktu itu yaitu agama Siva (Siwa) dan agama Buddha. Pemuka agama Siwa
disebut Dharmadyaksa ring Kasaivan sedangkan agama Buddha disebut Dharmadyaksa
ring Kaboddhan. Selain dua agama besar tadi masih ada penganut Wisnu yang
disebut golongan Wasinawa. Diluar kelompok – kelompok tersebut masih ada
golongan masyarakat yang mempunyai
kepercayaan asli yang terpengaruh oleh kebudayaan India seperti para
Resi Manguyu, Janggan dan Anjar.
Disektor Ekonomi
pada masa Majapahit dititik beratkan pada sektor pertanian dan perdagangan.
Pertanian pada masa itu dikelompokan menjadi dua sistim yaitu pertanian irigasi
dan pertanian non-irigasi. Sistim irigasi berundak – undak atau dikenal juga
dengan sistim terasering sudah dikenal masyarakat. Sistim pengairan sudah maju
dengan bukti pembuatan bendungan di Trowulan yang dikenal masyarakat luas
dengan sebutan waduk Segaran. Hasil bumi seperti padi dan palawija juga hasil
hutan seperti kayu sudah diperdagangkan dengan pedagan dari luar negeri. Uang
kepeng sudah dipergunakan pada sistem tukar menukar barang atau jual beli. Dengan banyak ditemukannya uang kepeng di
situs Trowulan, membuktikan bahwa hubungan perdagangan Majapahit dengan Cina
pada waktu itu berjalan sangat baik.
Kemajuan
dibidang seni bangunan dan tata kota dapat kita lihat ketika kita datang ke
situs Trowulan. Menurut kitab Nagarakrtagama yang dikarang Prapanca pada tahun
1365 Masehi dapat diketahui bahwa istana raja sangat teratur. Istana raja
dikelilingi oleh tembok bata yang tebal dan tinggi. Diluar benteng, terdapat
parit yang dalam, disebelah barat terdapat jalan raya. Gapura pintu masuk ada
dua yaitu disebelah barat dan sebelah utara.
Diutara gapura terdapat pasar, alun – alun, serta bangunan – bangunan
tempat pertemuan. Gapura pada masa Majapahit masih dapat kita temui di daerah
Trowulan seperti gapura Wringin Lawang dan gapura Bajang Ratu. Dalam seni
kesusastraan dan seni tari dapat Majapahit menghasilkan kitab – kitab yang
bernilai tinggi dari keindahan dan juga historis seperti kitab Nagara Krtagama
yang pada dasarnya bernama “Desawarnana”
yang artinya lukisan tentang desa – desa. Dalam bidang seni tari dan drama pada
jaman Majapahit sudah sangat maju. Kata
– kata mangingel, tandak, mangin – mangin, dan abanyol,
sering dijumpai dalam kitab – kitab maupun prasasti yang berarti menari,
bermain tandak, menayanyi, bernaun drama atau lawak. Dalam kitab Pararaton
Hayam Wuruk disebut sebagai ahli dalam bidang seni tersebut. Dikitab tersebut
juga disebutkan bahwa ketika Hayam Wuruk menjadi dalang nama panggilannya
bernama Tritaraju. Ketika bermain sebagai peran wanita ia bernama Pager Antimun dan bila sedang bermain sebagai
pelawak pria ia bernama Gagak Ketawang.
Pendidikan pada
waktu itu tidaklah berbeda dengan pendidikan pada masa kini. Para guru bukan
bertujuan untuk menciptakan seseorang yang ahli dalam suatu bidang ilmu pengetahuan
saja namun lebih dilandaskan pada masalah – masalah moral yang merupakan cermin
kepribadian bangsa yang mandiri. Candi pada waktu itu bukan hanya merupakan
tempat ibadah, tetapi juga sarana untuk belajar. Dengan media seperti gambar –
gambar yang ada pada dinding candi (relief), masyarakat pada waktu itu belajar
dari gambar – gambar tersebut yang kebanyakan dari gambar – gambar tersebut
berisikan ajaran moral.
Sumber
Buku:
Gamal Kamandoko. 2009. The True History Of Majapahit (1).
Jogjakarta: Diva Press.
Slamet Muljana. 1965. Menuju Puncak Kemegahan (Sedjarah Keradjaan
Madjapahit). Jakarta: Balai Pustaka.
Sumber Gambar:
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=madjapahit
Post a Comment