Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Sejarah Dharma Bakti TNI-AU untuk Kemerdekaan Indonesia

Hai Sahabat Story, jumpa lagi dengan Padi Emas. Ngomong-ngomong nih, andai saja waktu itu, ketika Agresi Militer Belanda I pecah, apa jadinya Indonesia tanpa peranan AURI (sekarang TNI-AU), kira-kira apakah Republik Indonesia saat ini masih tetap berdiri? Biar tau jawabannya, yuk kita bahas bersama-sama Sejarah “Dharma Bakti TNI-AU untuk Kemerdekaan Indonesia”

Perjanjian Linggarjati

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Belanda yang ingin menjajah kembali tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan masih menganggap bahwa Indonesia sebagai negari jajahannya. Meskipun sudah kalah dan terusir oleh Jepang pada tahun 1942, Belanda datang kembali ke kepulauan ini untuk merebut negeri yang sempat mereka jajah dengan cara mendompleng pasukan Inggris yang ditugaskan Sekutu untuk melucuti tentara Jepang.

Kedatangan Belanda ke Indonesia disambut dengan konfrontasi terbuka. Sekutu, dalam hal ini diwakilkan kepada Inggris mencoba menjembatani penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda melalui perundingan, namun selalu berujung kegagalan.

Tidak berhenti di situ, pada akhir Agustus 1946, Inggris kembali mengirimkan diplomatnya, Lord Killearn untuk mempertemukan Indonesia dengan Belanda dan menggagas sebuah perundingan lanjutan pada 7 Oktober 1946 di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta. Perundingan tersebut akhirnya menghasilkan persetujuan gencatan senjata sementara antara Indonesia dan Belanda yang efektif diterapkan sejak tanggal 14 Oktober 1946. Perundingan di Jakarta diteruskan dengan perundingan di Linggarjati, Subang, Jawa Barat pada tanggal 11 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Hasil Perjanjian Linggarjati memutuskan bahwa Belanda harus mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura, serta harus meninggalkan wilayah RI paling lambat 1 Januari 1949.


Agresi Militer Belanda I
Pada tanggal 20 Juli 1947, tiba-tiba saja Gubernur Jenderal H.J. van Mook menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Perjanjian Linggarjati. Pernyataan itu diikuti dengan serangkaian serangan udara Belanda ke titik-titik pertahanan penting Indonesia.
Total kekuatan militer Belanda yang dikerahkan untuk merangsek ke Indonesia mencapai lebih dari 100.000 orang tentara. Dengan kekuatan sebesar itu, mereka mampu dengan mudah mendesak mundur para pejuang Indonesia di berbagai kota hingga mengungsi ke gunung-gunung. Pejuang Indonesia tak berdaya karena kurangnya persenjataan.

Serangan yang dikenal sebagai Agresi Belanda I itu mengakibatkan hancurnya pesawat-pesawat milik Indonesia, kerusakan fasilitas, dan jatuhnya korban jiwa. Belanda sengaja memfokuskan penyerangan ke lapangan udara untuk melumpuhkan kemampuan Angkatan Udara Republik Indonesia  sehingga tidak mampu membalas dengan serangan udara juga.

Sebelumnya Indonesia telah mengantisipasi kemungkinanan adanya serangan itu karena seminggu sebelumnya, Jenderal H.J. van Mook telah meminta pasukan Indonesia supaya mundur sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi. Namun seruan itu ditolak tegas oleh Indonesia. Sebagai antisipasinya, Indonesia menyebar pesawat-pesawatnya di beberapa pangkalan udara, seperti di Pangkalan Udara Maguwo (Yogyakarta), Pangkalan Udara Bugis (Malang), Pangkalan Udara Kalijati (Subang), Pangkalan Udara Cibeureum (Tasikmalaya), dan sebagainya.

Serangan Belanda cukup taktis. Supaya tidak ada kesempatan membalas menggunakan pesawat bekas Jepang, masing-masing pangkalan udara Republik Indonesia diserbu secara serentak dalam waktu yang hampir bersamaan. Upaya tersebut berhasil. Banyak pesawat tempur Indonesia yang sedang diparkir tertembak hingga rusak parah.

Lapangan Terbang Maguwo termasuk yang terakhir di bombardir karena di pagi hari tanggal 21 Juli 1947, cuaca Yogyakarta masih diselimuti kabut tebal sehingga Belanda gagal menemukan lokasi Pangkalan Udara Maguwo berada. Tetapi siangnya serangan datang lagi. Empat pesawat pemburu Belanda menjatuhkan beberapa bom di atas Pangkalan Udara Maguwo dan mes tentara, menyebabkan kebakaran di sana.

Esok harinya Belanda tidak menyerang Maguwo, sehingga ada anggapan tak akan ada lagi serangan. Tetapi pada sore hari tanggal 23 Juli 1947, Belanda kembali menyerang Maguwo. Pesawat-pesawat Belanda melepaskan tembakan mitraliur (senapan mesin) dan menjatuhkan granat. Sejumlah anggota AURI mencoba membalas. Satu pesawat Belanda kena tembak, tetapi tidak jatuh. Pesawat itu melarikan diri.

Serangan lebih besar terjadi dua hari kemudian pada 25 Juli 1947. Pada peristiwa tersebut Belanda berhasil menemukan pesawat-pesawat milik AURI yang sedang dipanasi mesinya. Tak tahunya Belanda datang menyerang. Beberapa pesawat Cukiu dan Cureng hancur. Bahkan satu-satunya pesawat pembom milik AURI yang tersisa, yaitu Pangeran Diponegoro I, juga hancur. Maka jika ditotal, sejak serangan Belanda tanggal  21 Juli hingga 25 juni 1947, ada sekitar 40 pesawat AURI yang hancur dan hanya tersisa dua Cureng, satu Guntei, dan satu Hayabusa."

Simpati dan Dukungan Nehru untuk Indonesia Merdeka

Selama Agresi Militer Belanda I, Indonesia nyaris tak berkutik. Selain fasilitas militer rusak juga fasilitas komunikasi radio hancur lebur. Untuk meminta dukungan dari luar negeri, Presiden Soekarno mengutus Sjahrir mencari bantuan dan dukungan dari luar negeri.

Belanda tahu peran vital Sjahrir bagi Indonesia, utamanya dalam merumuskan keputusan Indonesia selama perundingan dengan Belanda. Apa pun yang diputuskan Sjahrir akan disetujui Soekarno. Karena itu, Sjahrir menjadi target incaran belanda. Benar saja, dihari kedua Agresi Militer Belanda I, rumah Sjahrir di Jakarta dikepung tentara Belanda. Untunglah saat itu Sjahrir sudah mengungsi ke Yogyakarta menemui Presiden Soekarno. Akan tetapi, sejumlah orang di rumah Sjahrir ditangkap Belanda.

Mengingat Indonesia saat itu sedang di blokade oleh Belanda, Sjahrir tidak bisa serta merta terbang ke luar negeri. Namun simpati dari pemimpin India Pandit Jawaharlal Nehru telah mengubah kondisi tersebut. Nehru mengirim utusannya bernama Patnaik, seorang penerbang andal yang juga pengusaha India untuk menerbangkan Sjahrir ke India melalui Singapura menggunakan pesawat Dakota miliknya.

Sebagai pengusaha, Patnaik memiliki maskapai penerbangan bernama Kalinga Airlines. la sering datang ke Indonesia untuk mengembangkan bisnis tekstilnya. Berkat kelihaiannya Patnaik berhasil menerobos blokade Belanda. Ia tak menghiraukan ancaman Belanda yang menyebutkan akan menembaknya "India tidak mengakui penjajahan Belanda di Indonesia. Jika pesawat saya ditembak Belanda, setiap pesawat Belanda yang melewati India akan ditembak pula," katanya.

Berkat keberaniannya itu, Patnaik segera terkenal sebagai penerbang yang ahli menerobos blokade udara Belanda. Itulah sebabnya mengapa Nehru menugaskan dirinya. Hasilnya memang mengejutkan Belanda. Tiba-tiba saja pada 22 Juli 1947, di sore hari Sjahrir sudah muncul di Singapura dan memberikan keterangan pers. Tidak mengetahui keberadaan Syahrir, Belanda menduga bila Sjahrir tiba di Singapura karena menumpang pesawat Dakota yang membawa diplomat Inggris Lord Killearn sehingga Belanda tak berani memeriksa pesawat itu. Namun, dugaan itu salah.

Dari Singapura, Sjahrir melanjutkan perjalanan ke New Delhi untuk menjelaskan situasi termutakhir Indonesia selama Agresi Militer Belanda I kepada Nehru. Nehrupun geram mendengar aksi Belanda itu. Ia juga merasa heran karena Dewan Keamanan PBB tak bereaksi. Usai pertemuannya dengan Sjahrir pada 24 Juli 1947, Nehru mengadakan konferensi pers. Ia mengemukakan kekecewaannya kepada PBB. "The sudden attack by the Dutch in Indonesia is an astounding thing which the new spirit of Asia will not tolerate. No European country has any business to use its army in Asia. If other members of the United Nations toler are this or remain inactive, then the United Nations Organizationg tenses to be”.  Sebagai protes kepada Belanda, Nehru kemudian melarang maskapai penerbangan Belanda, KLM melintasi udara India. Beberapa negara Asia seperti Thailand juga memberlakukan hal yang sama.

Selama tinggal di Yogyakarta, Patnaik disebutkan melatih para penerbang asal Indonesia seperti Agustinus Adisutjipto, Abdulrahman Saleh, dan Iswahyudi untuk menerbangkan pesawat Dakota. Melihat kecanggihan Dakota, sebenarnya AURI sudah tertarik memiliki pesawat jenis ini karena kemampuannya yang luar biasa bisa menembus blokade Belanda. Tetapi akibat blokade Belanda dan inflasi yang tinggi, AURI terkendala biaya. Meskipun belum mampu membeli Dakota, namun sejak 6 Juni 1947, AURI dapat menyewa Douglas C-47 Skytrain untuk keperluan logistik. AURI menyewa pesawat C-47 milik Robert Earl Freeberg mantan pilot AL AS. Kemudian pada tanggal 9 Juni 1947, Freeberg membawa C-47 ke Maguwo. Pesawat tersebut segera dioperasikan AURI  dengan nomor registrasi RI-002.

Jumlah korban dari Indonesia selama Agresi Militer Belanda I mencapai ratusan ribu orang. Belum lagi yang luka-luka. Kondisi itu membuat Indonesia membutuhkan bantuan obat-obatan dan makanan dari masyarakat Internasional. Seperti diberitakan The Sydney Morning Herald, pada 25 Juli 1947, Ketua Palang Merah Indonesia melalui radio di Yogyakarta memohon bantuan kepada Mrs. Malcolm Mac Donald, istri Gubernur Jenderal Malaya, dan kepada kaum perempuan di Malaya, untuk mengirim bantuan obat-obatan dan kebutuhan Palang Merah melalui udara, Palang Merah Malaya setuju untuk memberi bantuan. Namun, karena adanya blokade udara oleh Belanda, bantuan itu tak bisa begitu saja sampai di Indonesia.

Di tengah kesulitan itu, Adisutjipto mengajukan diri untuk menjemput bantuan dari Palang Merah Malaya ke Singapura. la mengontak Patnaik untuk menyediakan pesawat Dakota yang akan dicarter untuk membawa obat-obatan bantuan Palang Merah Malaya tersebut. Akhirnya Adisutjipto bersama penerbang Abdulrahman Saleh yang juga dokter dan Adi Sumarmo terbang ke Singapura pada tanggal 27 Juli 1947 dini hari. Mereka terbang menggunakan pesawat Dakota dan kembali ke Maguwo pada 29 Juli 1947. Rencananya, Adisutjipto sendiri yang akan memiloti Dakota sewaan dari Patnaik saat menerbangkan obat-obatan itu ke Indonesia (Yogyakarta).

 Balas dendam Kadet Muda AURI

Sebelum mereka bertiga berangkat ke Singapura, suasana dendam dirasakan para kadet penerbang Indonesia yang melihat pesawat-pesawatnya hancur akibat serangan Belanda di Maguwo. Hampir seluruh pesawat hancur dengan hanya menyisakan empat pesawat yang layak terbang yaitu dua Cureng, satu Hayabusa, dan satu lagi Guntei. Dengan segala upaya, mereka membujuk pimpinan AURI agar diperbolehkan membalas dendam.

Akhirnya para penerbang muda yang berusia sekitar 20 tahun itu melakukan serangan balasan pada subuh tanggal 29 Juli 1947 menggunakan tiga pesawat, karena dari empat pesawat tersisa, yang satu sudah tak layak terbang. Sasarannya adalah lapangan terbang yang dikuasai Belanda di Semarang dan Kota Salatiga. Namun saat menjalankan aksinya, ternyata satu pesawat malah kesasar ke Ambarawa dan menjatuhkan bom di sana.

Pionir Penerbang AURI Gugur

Berita akan datangnya pesawat Palang Merah Indonesia sebenarnya sudah di beritakan sehari sebelumnya kepada Inggris (yang menjadi wakil Sekutu di Indonesia untuk menjaga perdamaian pasca-Jepang takluk dan Indonesia merdeka) dan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) di Jakarta. Bahkan aksi itu sudah di beritakan oleh sejumlah surat kabar seperti Malayan Times, Strait Times, dan siaran radio.

Inggris dan NICA sudah memberi izin. Akan tetapi, karena marah yang belum reda akibat gagal menemukan musuh yang dikejarnya, Ruesink dan Erkelens pilot tempur Belanda kehilangan kendali. Tanpa ampun, setelah Dakota mempersiapkan landing, mereka tembaki hingga oleng dan jatuh di Desa Ngoto, Yogyakarta. Dari sembilan penumpang itu, tujuh meninggal di tempat kejadian. Mereka adalah pilot yang menerbangkan pesawat itu, Alexander Noel Constantine (Australia), dengan kopilot mantan Squadron Leader Inggris Roy Lance Hazelhurst, Adisutjipto, Abdulrahman Saleh, Adisumarmo Wiryokusumo (juru radio), Zainal Arifin (perwakilan Perdagangan RI), dan juru teknik asal India Beda Ram. Sedangkan dua lainnya dibawa ke rumah sakit yaitu istri pilot Ny. Alexander N. Constantine dan A. Gani Handoko Cokro dari GKBI Comal, Tegal. Namun, karena lukanya parah, Ny. Alexander meninggal di rumah sakit, sementara Gani selamat.

Dalam konferensi pers esok harinya di Jakarta, Ruesink maupun Erkelens menyangkal telah menembak Dakota VT-CLA. Seperti diberitakan Reuter yang dikutip koran Australia The Courier Mail edisi 31 Juli 1947, Ruesink menyebutkan, pesawat carteran PMI itu jatuh menukik tanpa ditembak. "Pesawat menukik dari ketinggian 5.000 kaki mungkin dengan kecepatan 350 mil per jam. Lalu menyambar pucuk-pucuk pohon. Saya melihat bubungan bola api dari ledakan," kata mereka. Namun kesaksian itu berbeda dengan kondisi di lapangan, di badan pesawat tampak beberapa bekas tembakan, dari bagian hidung lalu samping kanan dan ekor.

Selain itu, tubuh Adisumarmo juga tertembus peluru dari punggung hingga tembus ke perut. Tak mungkin hal itu terjadi tanpa ada tembakan. Peristiwa itu menimbulkan kehilangan besar bagi Indonesia. Tiga perintis penerbangan Indonesia gugur, yaitu Adisutjipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo. Nama ketiganya kemudian diabadikan menjadi nama bandar udara. Karena besarnya peran serta AURI dalam peristiwa itu, maka TNI AU menetapkan setiap tanggal 29 Juli sebagai "Hari Bakti TNI AU".

Nah, itu tadi gais Sejarah “Dharma Bakti TNI-AU untuk Kemerdekaan Indonesia”. Jikalau saat awal merdeka, Indonesia tidak punya TNI-AU, dapat dipastikan Indonesia akan lenyap dari peta dunia. Sebab, lewat TNI AU lah, suara jeritan Rakyat Indonesia di dengar dunia lewat suara Perdana Mentri India, Pandit Jawaharlal Nehru di PBB. Sekian...

 

 

No comments

Powered by Blogger.