Pondok Pesantren Al Munawwir Gringsing - Batang

Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik

        Terjadinya konflik horizontal yang mengatasnamakan agama berdampak pada jatuhnya korban jiwa dan eksodus masyarakat dari tempat kelahirannya. Konflik telah membelah masyarakat (segregasi pemukiman) menjadi komunitas yang terpisah berdasarkan agama.
        Kegagalan dalam de-eskalasi konflik, pelucutan senjata, dan penegakan hukum, membuat peran negara dalam resolusi konflik cenderung belum mudah diatasi. Di Poso Sulawesi Tengah, konflik meletus pertama kali tahun 1998. Upaya mengahiri konflik sudah dilakukan oleh Pemda dengan menangkap aktor utama kerusuhan. Meskipun aktor utamanya sudah diadili dan dijatuhi hukuman, namun aktor-aktor lain dibalik layar dengan segala kepetingan, tidak terjamah hukum. Dengan kata lain, meskipun pemerintah sudah melakukan tindakan mengahiri konflik, tetapi tidak seakar-akarnya alias
belum tuntas. Problema seputar ekonomi dan jabatan birokrasi merupakan bagian dari akar persoalan yang terabaikan. Padahal isu itulah yang menjadi komoditi penting sejak awal meskipun persoalan itu dibiaskan dengan isu: Asli-Pendatang, Muslim dan non-Muslim.
        Di saat pemerintah lokal sudah tidak mampu mengendalikan keamanan Poso, seharusnya pemerintah pusat harus turun tangan. Namun kenyataannya, saat itu negara sedang mengalami kebekuan rasa. Ketika salah satu kubu mengalami ketidakberdayaan, dunia Barat dan PBB mulai menyoroti, barulah pemerintah pusat yang sebelumnya tidak terusik konflik Poso mendadak peduli. Setelah mereka “terbangun”, mereka memfasilitasi perundingan antar kubu. Ada tiga pilihan: konflik dilanjutkan, konflik ditindak dengan keras, dan konflik dihentikan dengan perundingan. Pihak yang bertikai memilih opsi ketiga karena mereka sudah jenuh dengan konflik. Inilah yang membuahkan sepuluh kesepakatan bersama yang menjadi pedoman kedua pihak untuk mewujudkan perdamaian yang tertuang dalam Deklarasi Malino untuk Poso.
        Sejak konflik meletus, sebagian besar masyarakat secara mandiri membangun inisiatif untuk mengahiri konflik. Para tokoh dua komunitas mengadakan pertemuan di Tagolu dan sepakat menghentikan konflik. Mereka sepakat bersama sama memberantas minuman keras yang mereka nilai sebagai pemicu konflik. Pada tanggal 8 Januari 1999, 129 tokoh masyarakat dan tokoh agama antikonflik mengadakan kesepakatan Poso. Dalam kesempatan itu mereka menyerukan agar masyarakat segera menghentikan perselisihan dan menyerukan untuk menangkap aktor kerusuhan. Namun, akar problematika Poso tidak tersentuh dalam kesepakatan, bahkan oleh kebijakan negara dalam mencegah konflik yang lebih meluas. Akibatnya, mereka yang mempunyai kepentingan terus memprovokasi masyarakat melalui celah berbagai isu.
        Konflik antar komunitas keagamaan ini mudah sekali tersulut. Memang ada inisiatif penghentian konflik secara mikro yang berusaha mencegah melebarnya konflik ke wilayah mereka. Pada tanggal 25 Mei 2000, disepakati perjanjian Tokorondo antara kepala Desa Tokorondo dengan kepala Desa Masani. Mereka sepakat untuk saling melindungi apabila salah satu dari kedua desa diserang. Namun, kesepakatan tersebut harus berakhir dengan gempuran provokasi. Warga Desa Mesani tidak mampu menahan gempuran massa yang menyerang Desa Tokorondo pada 27 sampai 28 Mei 2000. Upaya damai skala mikro memang banyak digalangkan tetapi selalu dihancurkan oleh kekuatan massa yang terprovokasi. Resolusi konflik yang berpijak pada perspektif adatpun tidak mampu menghentikan kekerasan. Konflik yang berkembang lebih diideologiskan secara kental oleh isu komunitas keagamaan, maka pendekatan kultural dalam situasi konflik masih berada pada puncak eskalasi menjadi tidak terlalu berarti.
        Hubungan negara dan masyarakat dalam penyelesaian konflik Poso menjadi masalah tersendiri, terutama ketika aparat justru menjadi pelopor penyebab jatuhnya korban jiwa. Konflik Desember 1998 tidak memakan korban jiwa yang meninggal, tetapi pada konflik April 2000 justru aparat yang menyebabkan jatuh korban jiwa. Kenyataan tersebut tentu saja aparat dalam menyelesaikan konflik bukan untuk meredam tetapi malah memperparah situasi konflik. Untuk menetralisir situasi agar kondisi tidak semakin parah, aparat pemerintah menyelenggarakan pertemuan yang melibatkan dua komunitas yang sedang berkonflik. Pada pertemuan 23 April 2000, disepakati bahwa Brimob akan ditarik dari wilayah Poso karena telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Tetapi penarikan tersebut dinilai sia-sia saja. Masyarakat yang terlibat konflik telah banyak yang mengungsi, hal itu berdampak pada meluasnya medan konflik. Konflik yang semula terkonsentrasi di Poso mulai merambat ke kecamatan-kecamatan lain. Pelepasan aktor kerusuhan yang pernah ditangkap Aparat merupakan kesalahan fatal, seoalah negara tidak mempunyai peraturan hukum untuk pelaku kerusuhan. Bahkan ada fenomena sangat ironis dimana rasa aman dikalangan salah satu kelompok terbangun bukan dari hadirnya aparat melainkan karena eksistensi kelompok radikal. Hal itu terjadi karena warga kecewa karena laporan-laporan warga tidak ditindak secara serius oleh aparat.
        De-esklasi konflik baru tercapai setelah dideklarasikannya perjanjian Malino pada bulan Desember 2001. Upaya mengimplementasikan deklarasi Malino meliputi bermacam-macam kegiatan seperti pertandingan olahraga, kesenian dan berbagai kegiatan kultural. Menurut Kriesberg, semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antar pihak yang berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Dari ketergantungan antar pihak akan melahirkan rasa saling pengertian dan menjunjung norma kebersamaan yang dapat mencegah konflik. Selain itu, kesediaan masyarakat yang secara iklas untuk melupakan konflik yang pernah terjadi membuat proses perdamaian cepat terwujud. Damai Poso, Damai Indonesia...

Sumber Buku:
Syafuan Rozi, dkk., 2006. Kekerasan Komunal. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber Foto:
http://foto.inilah.com/read/detail/71189/indonesia-tanpa-diskriminasi

No comments

Powered by Blogger.