Alasan Kerajaan Chola Menyerang Sriwijaya: Motif Ekonomi di Kawasan Malaka
Ekspedisi besar angkatan laut raja Cholamandala, Rajendra I, yang mengklaim dalam prasasti-nya telah "mengirim banyak kapal di tengah lautan yang bergulung-gulung" dan menaklukkan lebih dari selusin kota pelabuhan sekaligus kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara sekitar tahun 1025 Masehi, adalah peristiwa unik dalam sejarah hubungan India dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara.
Wilayah Tahklukan Cholamandala |
Sejak abad milenium pertama, lalu lintas kegiatan perdagangan antara India dan Asia Tenggara sangat maju. Begitupula dengan penyebaran budaya, agama Budha dan Hindu sama-sama meninggalkan jejak mendalam dan abadi pada budaya-budaya di Asia Tenggara.
Pengaruh budaya India Selatan di Indonesia ditemukan pada seni Buddha Amaravati dan huruf Pallava Grantha yang dipakai sebagai tulisan dalam prasasti paling awal Indonesia pada abad kelima Masehi.
Melihat hubungan dagang dan persebaran budaya antara India dengan Asia Tenggara yang damai, invasi besar Chola terhadap Sriwijaya pada tahun 1025 M, diikuti oleh ekspedisi angkatan laut yang lebih kecil pada tahun 1070, menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa hal itu dapat terjadi?
Ada dua alasan memgapa raja Chola melakukan ekspedisi militer melawan raja Kadaram (Sriwijaya). Alasan pertama, Sriwijaya memiliki kontrol mutlak atas Malaka. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya hambatan perniagaan antara Chola dengan negara Cina. Kemudian alasan kedua adalah keinginan sederhana dari pihak Rajendra sendiri untuk memperluas kerajaannya melalui digvijaya ["penaklukan dunia"] ke negara-negara di seberang lautan yang sudah dikenal rakyatnya supaya wibawa raja Chola semakin meningkat.
Namun alasan yang paling kuat adalah motif ekonomi yakni masalah perdagangan sebagai insentif utama ekspedisi angkatan laut Rajendra ke Sumatra. Penyerbuan itu dilakukan untuk menetapkan hak-hak perdagangan bagi para pedagang berbahasa Tamil di wilayah Malaka. Kapal-kapal Tamil yang berusaha menghindari pembayaran pajak di pelabuhan-pelabuhan Srivijaya diserang dan dihancurkan. Kemudian upaya diplomatik dan militer Sriwijaya untuk memblokir hubungan maritim langsung antara pelabuhan India dan pasar Song mungkin menjadi faktor utama yang melandasi serangan angkatan laut Chola pada tahun 1025 dan 1070-an.
Wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 |
Pelabuhan Sriwijaya dalam sistem perdagangan Samudra Hindia menjadi titik perniagaan penting dunia saat itu, hal ini dipicu dengan kebangkitan kekuatan-kekuatan baru sejak akhir abad kesepuluh. Malaka sebagai tempat strategis mampu mengalirkan keuntungan finansial besar dalam arus perdagangan antara Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Song di Cina. Hal inilah yang membuat Raja Cholamandala ingin menguasai Malaka.
Serangan Kerajaan Cholamandala ke Sriwijaya pertamakali terjadi pada tahun 1017 M. Serangan ini merupakan aksi balasan atas capur tangan Sriwijaya yang menghambat hubungan perniagaan antara India Selatan dengan Cina yang begitu getol menarik pajak bagi pedagang Tamil.
Temuan keramik Cina di Pantai Coromandel dan Malabar India, memberi petunjuk bahwa dahulu pernah ada perdagangan langsung antara Cina dan India di tempat itu dari abad 11 hingga puncaknya abad ke-13. Hal itu dikuatkan lagi dari toponimi nama daerah di India yang terpengaruh bahasa Cina seperti Kollama (Quilon). Kemudian dengan temuan porselin yingqing dari abad ke-11 di Ibukota Cholamanda, Gangaikondacholapuram. Keramik ini besar kemungkinan dibawa oleh perutusan Raja Chola untuk China sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Keberhasilan Armada Cholamandala menginvasi Melayu pada tahun 1025, tidak terlepas dari pengalaman Angkatan Laut Cholamandala dalam penahlukan Sri Lanka, Maladewa, dan Andaman. Dari pengalaman tersebut, pelaut-pelaut Tamil memiliki kecakapan dalam penggunaan rasi bintang untuk navigasi, rancang bangun kapal dan pengaturan kebutuhan logistik untuk pelayaran jarak jauh selama ekspedisi ke Melayu.
Tidak disebutkan seberapa banyak kapal yang digunakan selama ekspedisi ini. Namun sebuah prasasti yang ditemukan di Barus, Sumatra, berangka tahun 1088, Kerajaan Chola menggunakan kapal kayu untuk mengepung Sriwijaya. Barus sejak lama telah menjadi pelabuhan internasional. Di sana banyak pedagang-pedagang Tamil bermukim. Kemungkinan besar, selama ekspedisi ke Melayu, tentara Tamil banyak menggunakan jasa angkut yang disediakan oleh kapal-kapal pedagang Tamil ke Sumatra.
Meskipun Sriwijaya pernah tahluk, namun pengaruh Cholamandala tidak sebegitu signifikan terhadap budaya Nusantara. Sebut saja Candi Dieng dan Prambanan. Hanya sedikit yang memiliki kesamaan corak bangunan seperti India Selatan. Begitupula tujuan politik Chola di Sumatra, pangeran Chola tidak ada yang berkuasa di sana. Mengingat jarak tempuh India dan Sumatra yang terbilang jauh, kontrol politik terhadap Sumatra menjadi tidak efektif.
Belum lagi adanya campur tangan Kediri yang berusaha membebaskan sekutu Melayunya dari cengkraman India. Kediri yang dipimpin Samara Wijayatungga membentuk aliansi dengan Sri Lanka berhasil membebaskan negara pelabuhan sekutu Sriwijaya di Sri Lanka dari cengkraman Chola. Kota pelabuhan Sri Lanka telah dikuasai oleh Kerajaan Chola selama 20 tahun lamanya. Bahkan kesuksesan aliansi Kediri - Pandya berhasil meruntuhkan Kerajaan Chola. Perlu di ketahui bahwa selama Chola berkuasa, ada dua kerajaan yang menjadi musuh bebuyutannya, yakni Chalukya dan Pandya. Namun akhirnya Pandyalah yang berhasil menahlukan Chola. Adanya bukti aliansi militer Kediri - Sri Lanka - Pandya ini didapat dari isi prasasti Madirigiri yang ditemukan di Sri Lanka.
sumber: Kulke, Hermann et.al. 2009. Nagapattinam to Suvarnadwipa reflections on the Chola naval expeditions to Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Post a Comment