Pelibatan Masyarakat dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Indonesia
UU
Nomor 29 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, memungkinkan daerah mandiri
dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk bidang pendidikan. pemberlakuan
otonomi tersebut membawa perubahan pada penyelenggaraan pendidikan, yaitu
berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan (Hasbullah,
2006: 2). UU Nomor 25 tahun 2000 tentang pembangunan nasional, menyatakan ada
tiga tantangan bidang pendidikan di Indonesia, yaitu: 1) mempertahankan hasil
pendidikan yang sudah tercapai. 2) mempersiapkan sumberdaya manusia yang
berkompeten dan mampu bersaing di pasar global, dan 3) sejalan dengan
diberlakukannya otonomi daerah, pendidikan nasional dituntut untuk mewujudkan
proses pendidikan yang demokratis, memelihara kebutuhan daerah dan peserta
didik serta mendorong partisipasi masyarakat (Hasbullah, 2006: 1).
Diantara persoalan yang dihadapi pendidikan sekarang adalah rendahnya mutu lulusan, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan dan masalah kurikulum, menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah. Manajemen Berbasis Sekolah dikembangkan sebagai upaya memaksimalkan desentralisasi pendidikan yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan menghasilkan lulusan bermutu. Masyarakat yang dimaksudkan di atas tidak hanya peran orang tua siswa dan masyarakat saja, tetapi juga dunia kerja dan dunia industri yang nantinya menjadi pemakai out put pendidikan yang ada (Hasbullah, 2006: 4).
Otonomi
diberikan agar sekolah mampu mengelola sumber daya sesuai dengan prioritas
kebutuhannya salah satunya adalah melibatkan masyarakat dalam manajemen sekolah.
Partisipasi masyarakat diperlukan untuk
membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan
(Hasbullah, 2006: 5)
Apa fungsi pemberlakuan otonomi daerah
dalam pendidikan?
Pemberlakuan
Otonomi Daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses
desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU Nomor 32 tahun
2004, tentang urusan pemerintahan pusat yang diserahkan kepada daerah meliputi
sumber pendanaan, pengalihan prasaran,
serta kepegawaian (Hasbullah, 2006:17). Kebijakan otonomi yang ditempuh pemerintah berdampak pada
perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan di daerah. (Hasbullah, 2006: 18).Sebelumnya,
pengaturan otonmi daerah dalam bidang pendidikan sudah dinyatakan dalam PP
Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan
provinsi. Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan
provinsi menjadi sepenuhnya wewenang pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten
atau kota adalah mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan
daerahnya, perubahan kelembagaan untuk efisiensi serta efektivitas peremcanaan
pada unit-unit kerja daerah, dan pemberdayaan sumber daya manusia yang
menekankan profesionalisme serta perubahan anggaran pembangunan pendidikan
(Hasbullah, 2006: 33). Implementasi desentralisasi pendidikan berdampak pada tugas
dan beban berat yang diampu pemerintah kabupaten/kota dalam layanan pendidikan,
terutama daerah yang kemampuan diri (capacity building) dan sumber daya
pendidikannya kurang (Hasbullah, 2006: 30).
Dalam
konteks otonomi daerah, kurikulum tidak hanya sekedar daftar mata pelajaran
yang dituntut dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam arti yang luas,
kurikulum berisi kondisi yang melahirkan suatu rencana atau program pengajaran
tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi di dalam lembaga (proses
pembelajran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses, dan
akhirnya produk atau hasil tersebut. Jadi tujuan diciptakan kurikulum adalah
untuk mewujudkan visi dan misi lembaga pendidikan. sehingga untuk menunjang
keberhasilan sebuah lembaga pendidikan harus tersedia (Hasbullah, 2006:21):
1. Tenaga
pengajar (guru) yang berkompeten.
2. Fasilitas
fisik dan penunjang yang memadai
3. Tenaga
penunjang (tenaga administrasi, pustakawan, laboran, tukang kebun)
4. Dana
yang memadai
5. Manajemen
yang efisien dan efektif.
6. Terpeliharanya
budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religius, moral, kebangsaan dan
lain-lain.
7. Kepemimpinan
pendidikan yang visioner, transparan, dan akuntabel.
Masyarakat
saat ini lebih cenderung berpikir pragmatis, yakni suatu tuntutan kepada
lembaga pendidikan untuk melahirkan out put yang menjamin masa depan anaknya
dalam sektor dunia kerja. Sehingga kurikulum pendidikan harus dijaga dan selalu
mengikuti perkembanga teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas lulusan di
lapangan. Sebuah lembaga pendidikan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk mengupgrade perkembangan teknologi. Sehingga untuk menutup kekurangan
tersebut harus ada kucuran dana pendukung dari non-dana bantuan pemerintah.
Bagaimana mengatasi masalah dana untuk
pendidikan?
Persoalan
anggaran pendidikan menyangkut besarnya alokasi anggaran. Besarnya anggaran
pendidikan Indonesia saat ini masih kecil dibanding negara-negara ASEAN. Masalah
dana merupakan persoalan yang krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem
pendidikan di Indonesia dan dana juga yang menjadi salah sau sarat keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan. Alokasi dana untuk pendidikan di Indonesia masih
terlalu rendah jika dibandingakan dengan negara-negara maju. Menurut UU Nomor
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, alokasi anggaran dana untuk
pembangunan pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Hasbullah, 2006:25). Dalam
konteks ekonomi, pada dasarnya pendidikan merupakan investasi panjang yang
hasilnya tidak bisa dilihat satu dua tahun, tetapi jauh ke depan. Sebagai suatu
investasi produktif, mestinya pembangunan pendidikan harus menperhitungkan
biaya dan manfaat dari pendidikan (Hasbullah, 2006: 26-27).
Kemajuan
sekolah ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam menyediakan dana pendidikan.Untuk
memajukan lembaga pendidikan, sekolah harus menggali dan mengembangkan
sumber-sumber potensi yang ada di lingkungannya. Apabila kemampuan lingkungan
sangat minimal, perlu diupayakan adanya solidaritas nasional agar jangan
terjadi di daerah Indonesia ada yang tidak dilayani bidang pendidikannya. Jika
terjadi hal seperti itu akan melahirkan kecemburuan sosial yang dapampaknya
akan menggoncang persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu pemerintah
harus memprioritaskan anggaran pendidikan untuk memperbaiki mutu pendidikan di
Indonesia (Hasbullah 2006: 46).
Bagaimana cara pelibatan masyarakat
dalam Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah?
Manajemen
Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) merupakan
model menejemen yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif dalam memenuhi kebutuhan mutu sekolah
(Dwiningrum, 2011: 25). MPBS bertujuan untuk memandirikan atau memperdayakan
sekolah melalui kewenangan otonomi yang bertujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan dan meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan melalui keputusan bersama. Dalam MPBS Masyarakat diberi
kepercayaan untuk menyusun perencanaan, melakukan pemantauan, dan evaluasi
layanan pendidikan. Dengan demikian masyarakat memiliki kontrol bagi sekolah
untuk mengelola sumber daya dan mutu pendidikan yang diinginkan (Hasbullah,
2006: 52).
Partisipasi
sebagai prasyarat bagi peningkatan mutu. Partisipasi masyarakat menekankan pada
pengambilan keputuasan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Dalam hal
pengambilan keputusan masyarakat ikut menentukan arah dan orientasi pembangunan. Wujud
partisipasi masyarakat bermacam macam, seperti kehadiran rapat, diskusi,
sumbangan pemikiran, tanggapan dan penolakan terhadap program yang ditentukan
(Dwiningrum, 2011: 61).
Orang
tua siswa termasuk bagian dari masyarakat. Keterlibatan orang tua dalam
mendukung pendidikan anaknya sering dijumpai di sekolah, meski ada beberapa
siswa tidak lagi merasakan kehadiran orang tuanya di rumah maupun di sekolah
karena orang tuannya sudah meninggal, tinggal bersama kerabat, bahkan siswa
tidak pernah tahu keberadaan orang tuannya. Secara fisik dan psikologi sebagai
orang tua akan mengantar buah hatinya untuk menggapai cita-cita anaknya. Di
sisi lain, beberapa orang tua punya alasan beragam dalam memilih proses
sosialisasi anak, tetapi ada kecenderungan yang sama yaitu keinginan orang tua
menyekolahkan anaknya agar anaknya pintar dan berkarakter.
Karakteristik
orang tua, misalnya pengusaha, petani, pedagang, dan pegawai akan mewarnai
kondisi dan kualitas sekolah. Oleh karena itu sekolah harus menjalin hubungan,
kerjasama dengan orang tua peserta didik. Peran orang tua dalam pembentukan
lingkungan belajar yang kondusif di rumah adalah (Dwiningrum, 2011:66-67)
1. Menciptakan
budaya belajar di rumah
2. Memprioritaskan
tugas yang berkaitan secara langsung dengan pembelajaran di sekolah.
3. Mendorong
anak untuk aktif dala berbagai kegiatan dan organisasi sekolah baik yang berupa
kulikuler maupun ekstra kulikuler.
4. Memebri
kesempatan pada anak untuk mengembangkan gagasan, ide, dan berbagai aktivitas
yang menuunjang kegiatan belajar.
5. Menciptakan
situasi yang demokratis di rumah agar tukar pendapat dan pikiran sebagai sarana
belajar dan membelajarkan.
6. Memahami
apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh sekolah, dalam mengembangkan
potensi anaknya.
7. Menyediakan
sarana belajar yang mewadai, sesuai dengan kemampuan orang tua dan kebutuhan
sekolah.
Outcome
siswa dipengaruhi oleh latar belalakang keluarga, seperti sosial-ekonomi, ras,
etnis, dan struktur keluarga yang mana kesemuanya akan berpengaruh pada
keterlibatan keluarga dalam proses pendidikan anak.
Apa Fungsi Komite Sekolah?
Dalam
UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas pada butir 4 disebutkan perlunya
peningkatan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Upaya Pemerintah tersebut antara lain membentuk Komite Sekolah dan Dewan
Pendidikan, dengan tujuan utama meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif
lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan (Hasbullah, 2006: 47).
Komite
sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam
rangka peningkatan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di
satuan pendidikan baik pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun
jalur pendidikan luar sekolah. Anggota-anggora Komite Sekolah terdiri dari
kepala sekolah dan dewan guru, orang tua siswa dan masyarakat. Sedangkan Dewan
Pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam meningkatkan
mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan di kabupaten/kota. Anggota Dewan
Pendidikan terdiri dari: (1) unsur masyarakat (LSM, tokoh masyarakat, tokoh
pendidikan, yayasan penyelenggara, dunia usaha/industri/ asosiasi profesi,
organisasi profesi tenaga pendidikan, dan komite sekolah), unsur birokrasi dan
legislatif (Dinas Pendidikan, anggorta DPRD) (Hasbullah, 2006: 47).
Dewan
pendidikan dan Komite merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai
hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pendidikan lainnya.
Posisi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, satuan pendidikan dan lembaga-lembaga
pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan
yang berlaku. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bertujuan untuk
(Hasbullah, 2006: 48):
1. Mewadahi
dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan
program pendidikan di kabupaten/kota (untuk Dewan Pendidikan) dan satuan
pendidikan (untuk Komite Sekolah)
2. Meningkatkan
tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan.
3. Menciptakan
suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan
dan pelayananan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota dan satuan
pendidikan.
Adapun
peran yang dijalankan Dewan Pendidikan adalah sebagai pemberi pertimbangan
dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Disamping itu, juga
berperan sebagai pendukung baik yang bewujud finansial, pemikiran, maupun
tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. peran lain Dewan Pendidikan adalah
sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggara
dan keluaran pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif)
dan DPRD (legislatif) dengan masyarakat. Dilain itu peran yang dijalankan
Komite Sekolah adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan
pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. Badan ini juga berperan
sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Di samping itu, Komite Sekolah
juga berperan sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
pentelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, serta sebagai
mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan
(Hasbullah, 2006: 49).
Untuk
menjalankan peranannya tersebut, Dewan dan Komite Sekolah memiliki fungsi yaitu
mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraaan
pendidikan yang bermutu. Badan itu juga melakukan kerjasama dengan masyarakat,
baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah
dan DPR berkenanan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, Fungsi
lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan
berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan pada masyarakat.
Sumber Bacaan
·
Hasbullah. 2006.Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
·
Siti Irene Astuti Dwiningrum. 2011. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat
dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Post a Comment